13.32

Menggagas Pendidikan Berbasis Keberpihakan

Diciptakannya pendidikan tidak lain bertujuan membantu manusia menemukan hakikat kemanusiaannya. Pendidikan harus mampu mewujudkan manusia yang eksistensialis. Hal ini mengindikasikan, pendidikan harus menjadikan manusia sebagai manusia yang sedang menuju kesempurnaan atau insan kamil. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal dan memahami relitas kehidupan yang ada di sekelilingnya.

Dengan adanya pendidikan diharapkan manusia mampu menyadari akan potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berpikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran), dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berpikir, manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak sedikit orang yang mengartikan pendidikan sebagai proses pengajaran formal yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan menjadi bagian dari proses pendidikan. Hal ini jelas perspektif yang keliru dan harus diluruskan. Kita harus bisa membedakan antara pendidikan yang memiliki makna luas dengan pembelajaran yang mempunyai makna terbatas.

Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human) baik dalam bentuk formal maupun informal. Sedangkan pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itu sendiri sebenarnya belum sepenuhnya mewakili diri manusia.

Karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata. Akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki. Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya lain. Melihat realitas tersebut, sekiranya pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia. Dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya pembebasan.

Namun, idealitas yang dibangun di atas berbalik arah ketika melihat realitas pendidikan dalam prakteknya. Tidak sedikit pendidikan yang justru malah membebankan peserta didik. Beban jam pelajaran di Indonesia ternyata lebih dari seribu jam per tahun. Ini diberlakukan dari SD hingga SMA. Angka ini terlama di dunia. Padahal, jumlah jam pelajaran di negara-negara Asia-Pasifik (yang bukan termasuk negara maju) hanya 900-960 jam per tahun. Negara Indonesia memang hebat, sehingga semuanya mau diambil. Nyatalah, dunia anak yang bersekolah di Indonesia sebenarnya dunia khayal, tetapi amat melelahkan. Tak memberi ruang bernapas! Padahal sebagai kiasan saja, manusia membutuhkan waktu untuk tertawa, mencurahkan isi hati, dan berlari-lari untuk mencari jati dirinya.

Belum lagi, seiring bergantinya menteri berganti pula kurikulumnya. Siapa yang berkuasa, dia berhak atas semuanya. Sebenarnya tidak masalah adanya pergantian kebijakan. Masalahnya, apakah pergantian kebijakan itu merupakan persoalan yang paling mendasar? Ternyata tidak. Banyak hal yang telah mengalami perubahan. Ujung-ujungnya berimplikasi pada pembengkakan biaya. Kalau begini, yang menjadi korban rakyat lagi. Rakyat selalu menjadi pelengkap penderita.

Ketidakprofesionalitasan guru dalam mengajar masih saja terjadi. Padahal sudah berulang kali diberikan pelatihan, hasilnya tetap nihil. Kekerasan pun terkadang tidak bisa lepas dari karakter guru yang berwatak kolot. Guru menjelaskan, siswa mencatat. Guru berbicara, siswa mendengarkan. Pengajaran bersifat monolog (satu arah). Inilah pendidikan gaya bank. Jika demikian, peserta didik tidak lain hanya duplikat dan foto copi guru. Secara tidak langsung telah terjadi pembunuhan kreativitas.

Sistem kurikulum berbasis kompetensi saja terbukti mengalami kegagalan. Banyak berita yang mengindikasikan sistem tersebut belum siap untuk diterapkan secara bersamaan. Hanya beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang mampu menerapkannya. Itu pun lembaga yang memang sudah berkelas tinggi. Bagi lembaga pendidikan pinggiran tetap saja terbelakang. Akhirnya, malah menimbulkan kesenjangan lagi. KBK hanya mempermainkan rakyat kecil. Persoalan lain juga tak terselesaikan, seperti dana BOS, sertifikasi guru, dan segudang masalah pendidikan lainnya. Idealitas tak seperti realitas. Menjadi suatu kewajaran jika ada anak didik akan mengatakan, sesuatu yang paling menyenangkan di sekolah adalah ”waktu istirahat, saat ada jam pelajaran kosong, dan ketika pulang sekolah”.

Kiranya, perlu menata ulang pendidikan yang berbasis ”keberpihakan”. Keberpihakan tentunya kepada mereka yang tertindas, mereka yang tidak mendapatkan haknya, dan mereka yang selalu menjadi korban dari pendidikan. Keberpihakan ini tentunya ingin meraih pendidikan sesuai dengan hakikatnya. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin.

Gerakan keberpihakan setidaknya telah dilakukan oleh sekolah alternatif bernama SMP Qoryah Toyyibah di Salatiga, Jawa Tengah. Sekolah ini mencoba menerapkan prinsip pendidikan murah tapi berkualitas. Prinsip ini ternyata terbukti benar. Hanya dengan SPP sepuluh ribu perbulan setiap siswa sudah bisa mengakses internet selama 24 jam. Tiap siswa mendapatkan satu komputer dengan membayar seribu perhari. Tempat belajarnya adalah alam terbuka, seperti di kebun dan di taman. Kreativitas lebih dikedepankan dan membebaskan siswa untuk berkreasi apa pun.

Pada momen bulan Mei yang bisa disandingkan dengan hari pendidikan nasional (hardiknas) inilah, pemerintah sebagai aktor perubahan pertama harus mecoba memaknai ulang hakikat dari tujuan pendidikan. Kemudian melakukan keberpihakan terhadap mereka yang belum mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Karena lembaga pendidikan sekarang sudah mulai jauh dari realitas. Mungkinkah suatu ketika guru manusia adalah alam, kemanusiaan adalah bukunya, dan kehidupan adalah sekolahnya? tanya Kahlil Gibran, penyair besar kelahiran Lebanon. Penulis menambahkan, apakah keberpihakan adalah spiritnya? Semua tergantung sistem yang berjalan.

06.56

Sepatah Kata Pelajar Mringis-Palingtragis

“Pelajar meringis tak bisa apa-apa!,
pelajar meringis kerjaannya tragis-tragis!”

Pertama-tama dan yang paling utama serta tidak akan lama-lama, saya yang ditunjuk panitia sebagai pelajar mringis-palingtragis mengucapkan banyak terima kasih telah ditunjuk untuk menyampaikan kejadian-kejadian tragis yang menimpa pelajar selama ini. Kepada para pelajar tragis saya ucapkan selamat mringis dan kepada para pelajar mringis saya ucapkan tragis.
Para hadirin dan hadirat, serta orang miskin dan orang yang sedang sekarat, saya ingin mengucapkan sepatah, dua patah, hingga kata-kata saya bisa membuat goyang patah-patah... Annisa Bahar pun kalah, apalagi Inul dan yang sealiran darah, dalam sambutan penutup ini. Kita dilarang begadang, begadang sih boleh saja, asal ada manfaatnya. Opoh...
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu guru, untuk bapak saya ucapkan kasih dan untuk ibu saya ucapkan terima, karena bapak sukanya mengasih dan ibu sukanya menerima, yang telah membuat muka saya semakin mringis, sampai-sampai mau ngaca saja aku sulit. Dan sepertinya teman-teman malu main padaku.
Kepada Ibu Kasih selaku guru sejarah saya ucapkan terima atas ajarannya yang selalu salah arah, guru IPA yang telah mengajarkan pengetahuan asal-asalan, serta seluruh guru yang pernah menjadikan diriku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang. Cang, kacang panjang, yang panjang jaga...!!!
Untuk teman-temanku yang bermuka mringis, tetaplah kalian setia untuk menunggu bersama, sambil tertawa, menjadi satu, dalam acara Republik Pelajar Mringis, di stasiun televisi Transformatif. Dapatkan CD dan kasetnya di mana aja. Gratis dibagikan secara cuma-cuma. Jika tidak ada, jangan salahkan saya. Namanya juga cuma-cuma, cuma ngomong, cuma ngumumin, dan ikan cuma, kakak iparnya ikan cumi. Untuk anak jangan cuma-cuma!
Di hari yang paling tragis ini, saya campur sedih berikut tertawanya juga tapi cuma sedikit, karena pelajar masih saja menjadi obyek penderita, belum pernah menjadi obyek yang berbahagia. Karena kalimatnya selalu “Pelajar menjadi korban penindasan setiap kebijakan pemerintah”. Coba kalimatnnya “Tono, seorang pelajar SMA, mendapatkan ciuman dari Chelse Olivia”, maka posisi pelajar di sini akan menjadi obyek yang berbahagia, bersama Slamet dan Santoso, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di sekolah saya, mepet sawah alias Mewah
Tanggal lucu belas, bulan purnama, tahun di atas bantal

Atas Nama Pelajar

Ringis-Tragis
Siswa SMA “Suka Menindas Pelajar”

06.35

Realitas Itu Guru Sejati

Realitas itu diciptakan
Dia bisa ditafsirkan siapa saja

Bayi, thiflun, remaja, dewasa, tua

Tidak ada otoritas tertinggi

Guru hanya menafsir realitas, kemudian menjadi teks

Lalu disampaikan kepada orang lain

Orang lain mendengarkan tafsir realitas yang berupa teks

Orang yang tertindas adalah realitas

Realitas akibat korban dari dominasi

Dominasi adalah penguasa


Gunungkidul, 17 September ‘05

22.38

Aktivis di Persimpang Jalan

Menjadi orang yang berseberangan atau berlawanan arus sudah lumrah jika mendapatkan omongan miring, menjadi menu obrolan di sela-sela rapat/pertemuan, terkadang dikucilkan, bahkan dicemooh. Namun sebagian orang akan mengacungkan jempol dan akan mengucapkan kalimat salut kepada si pelawan arus itu. Sayang, tidak semua orang berani berseberangan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti arus tanpa landasan yang jelas. Tentunya kita ingat kalimat, lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan. Beranikah anda?

Sebagai aktivis, kita pasti kenal sosok Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Mereka lahir dan memang (mungkin) diciptakan untuk menentang arus, sekalipun nyawa merenggut mereka sejak berumur muda. Justru jika mereka berumur tua, mungkin ketenarannya tidak seperti sekarang ini. Mereka telah menjadi spirit dan mampu membakar semangat dan gelora generasi muda. Mampu pula menjadi inspirasi untuk melawan segala bentuk dari ketidakadilan.

Buah pikiran mereka terkadang tidak enak didengar oleh sebagian telinga orang. Bahasanya tajam, lugas, tegas, tanpa basa-basi. Tak kenal apakah mereka pejabat atau anak seorang tukang buruh. Bagi mereka semua orang tak ada bedanya. Orang baru paham akan pikiran kedua anak muda ini setelah berulang kali mencernanya. Bisakah aktivis genarasi sekarang melakukan hal yang sama dengan Gie dan Wahib? Jawabnya: Bisa! Tanyakan pada diri anda sebagai seorang aktivis.

Awalnya tidak ada keinginan untuk memperlihatkan isi pikiran dari catatan buku ini kepada orang lain. Apalagi bercita-cita untuk menerbitkannya. Namun, karena ada desakan dari teman kalau muatan tulisan-tulisannya cukup bagus, akhirnya dicoba untuk dikirim ke penerbit Resistbook. Tak diduga, naskah itu diterima begitu saja setelah dua minggu dipelajari redaksinya.

Ada empat bab, Catatan Tentang Pergerakan, Catatan Tentang Pendidikan, Catatan Tentang Agama, dan Catatan Tentang Gaya Hidup. Masing-masing dari bab berbicara secara terpisah-pisah. Setiap satu jenis tulisan selalu ada tanggal, bulan, dan tahun pembuatannya. Itu artinya, menandakan kondisi pikiran penulisnya saat itu. Pada bab pertama, mengurai tentang gejolak-gejolak yang terjadi dalam sebuah gerakan atau organisasi. Terkadang kita selalu mengalami kejenuhan berorganisasi, terjadinya perdebatan antara salah dan benar, senior terlalu berkuasa dan yunior harus taat, terjadinya reshufle kepemimpinan, lemahnya pegkaderan, persoalan ideologi gerakan, hingga pemerintah.

Pada bab kedua lebih banyak melakukan kritik terhadap model pendidikan Indonesia yang tidak pernah konsisten dan tepat (soal ini bisa lebih banyak diulas oleh Mas Eko). Bab tiga mencoba menawarkan adanya konsep-konsep baru dalam agama, seperti menulis juga merupakan bagian dari jihad bahasa, sapere aude itu ijtihad, memaknai ulang keikhlasan dalam beragama, perdebatan antara Barat dan Timur yang tak kunjung usai, dan kritik terhadap Sipilis (sekulerisme, pluralismo, dan liberalisme).

Pada bagian terakhir, kita diajak untuk kembali memaknai ulang kejadian-kejadian di dalam hidup. Kita diajak untuk berbicara tentang waktu yang terkadang membelenggu kita, mengobrolkan tetang mitos malam minggu, persoalan ada dan tidaknya sugesti, hingga berbicara tentang makna kecantikan tidak mesti putih.

Semua itu tentunya dibingkai dalam frame bahwa seorang aktivis harus memiliki keberanian untuk mengambil sebuah keputusan. Dalam bahasanya Kant, kita barus bersapere aude! Berani berpikir, bertindak, mengambil keputusan sendiri.

Terlepas dari itu semua, apa yang disajikan dalam buku mungil bersampul coklat dan ada gambar sepatu (kayak buku anak-anak, tapi menantang) ini bukanlah apa-apa. Dia hanya memberi spirit kepada khalayak pembaca untuk berani melakukan pemaknaan ulang terhadap realitas yang terjadi di dalam hidup.

Kita harus berani memaknai kembali sebuah realitas yang sudah mapan untuk dipertanyakan kembali. Kemudian dibuat konsepsi baru tentang realitas tersebut. Karena realitas itu milik bersama dan bisa diapakan saja. Dalam bahasanya Zuli Qodir pada pengantarnya, generasi muda harus memiliki perspektif kritis-multitafsir, karena realitas itu tidak tunggal, termasuk dalam memaknai agama (Islam).

Papringan, 29 September 2006

21.28

Islam Barat Pascakartun Nabi

Memperbincangkan persoalan Barat dan Timur (Islam) memang tidak akan ada habis-habisnya. Membicarakan masalah ini sama saja membicarakan tentang agama, cinta, dan filsafat.
Persoalan Barat dan Timur yang tak terselesaikan ini ditandai dengan munculnya kembali kartun Nabi Muhammad saw. di majalah Italia, Studi Cattoli edisi Maret setelah beberapa waktu yang lalu sempat geger di media harian cetak Denmark.
Di kartun tersebut, Nabi Muhammad saw. digambarkan tengah berada di neraka. Kemudian ada dua penyair besar Italia, Dante Alighieri dan Virgil, sedang melihat ke arah Nabi saw. yang hanya digambarkan setengah badan. Keduanya kemudian terlibat dialog. "Apakah itu Muhammad?" tanya Virgil kepada Dante. "Ya, dia (Nabi Muhammad) terpotong menjadi dua bagian karena telah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat," jawab Dante.
Ada apa di balik pemuatan kartun Nabi Muhammad saw. untuk yang kesekian kalinya?
Padahal pemuatan kartun itu sudah pernah diangkat harian cetak Denmark, Jyllands Posten, dan hanya menimbulkan kemarahan umat Islam sedunia. Di sana-sini banyak orang yang memboikot Denmark. Akibatnya, Denmark merugi 65 juta dolar AS yang dialami Arla Foods Compani, sebuah perusahaan makanan asal Denmark.
Dalam kajian akademik, Barat pada awal-awal kelahiran orientalisme sekitar abad ke-18 amat sangat kejam terhadap dunia Timur dan agama Islam khususnya. Menurut mereka, Islam dapat menjadi ancaman pada masa mendatang. Sebab itu, penting menggambarkan citra negatif dari figur Islam, Muhammad. Namun, sikap kejam itu mulai luntur ketika muncul seorang kritikus orientalisme, Edward W. Said dengan bukunya Orientalisme. Menurut Said, orientalisme bukan sekadar wacana akademis, melainkan memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. Barat harus bertanggung jawab atas persepsi geografis yang dia bangun. Maka muncullah orientalis-orientalis yang sok bersifat bersahabat, seperti Karen Armstrong, John L. Esposito, Annemarie Schimmel, dan lain sebagainya. Mereka akhirnya lebih memilih kata "Islamisis" sebagai pengganti orientalis. Islamisis lebih akrab dan tidak terkesan menggurui.
Keruntuhan orientalisme makin diperkuat lagi dengan munculnya kajian yang bernama oksidentalisme. Kajian ini memang datang agak terlambat, abad ke-20. Salah satu tokoh yang sering disebut adalah Hassan Hanafi, intelektual muslim Mesir. Dalam bukunya Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Hanafi berniat ingin mengakhiri sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.
Kelahiran oksidentalisme sebagai penyeimbang sekaligus pembebas Barat (yang terkesan superior) atas Timur (lebih banyak terkesan inferior). Hematnya, buku tersebut hadir ingin membebaskan ego kekuasaan the other pada tingkat peradaban agar ego dapat memosisikan diri sendiri secara bebas. Yang dimaksud dengan ego dalam adalah peradaban Timur khususnya Islam dan the other adalah Barat.
Persoalan Barat dan Timur menjadi makin lunak ketika beberapa waktu yang lalu Tony Blair, Perdana Menteri Inggris, mengunjungi Indonesia. Hal ini menandakan adanya babak baru wajah Islam dan Barat: Lebih harmonis. Blair juga menulis artikel khusus untuk Harian Kompas.
Dalam tulisannya, Blair ingin menunjukkan adanya komitmen yang mendalam untuk mengakhiri benturan peradaban (clash of civilization). Menurut Blair, benturan peradaban terjadi bukan antaragama dan juga bukan antarperadaban, melainkan benturan antarindividu dan antarorang.
Pernyataan itu amat penting, relevan, dan mempunyai momentum yang tepat. Setidaknya, secara politis ada pergeseran sikap dari hegemonik totaliter menuju sikap moderat dialogis. Tulisan Blair sepertinya ingin menandakan adanya hubungan yang berasaskan kesamaan.
Namun, sepertinya apa yang diinginkan dan digagas Tony Blair tidak dikehendaki sebagian warga Barat yang lain. Walaupun Blair dianggap sebagai representasi Barat, pihak-pihak lain tetap saja tidak henti-hentinya menghina dan mendiskreditkan Islam dengan berbagai cara.
Cara-cara itu yang baru ketahuan sekarang adalah dengan pemuatan kartun di media massa seperti di Denmark, Italia, dan negara-negara Eropa yang informasinya tidak ter-cover media Indonesia.
Kiranya, babak baru Barat dan Islam yang digagas Blair beserta timnya seperti berjalan di atas awan. Perbuatan sia-sia belaka. Mungkin lebih tepatnya, cita-cita yang terkesan utopis. Jika demikian, penulis menjadi makin yakin dengan ayat yang terdapat dalam kitab suci Alquran, "Dan mereka kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan rela terhadap kamu sekalian (umat Islam) sampai kamu benar-benar masuk kepada agama (millah) mereka". Sekalipun ada golongan yang menginginkan Barat dan Islam damai, tetap saja ada golongan lain yang menginginkan benturan antara Barat dan Timur (Islam) harus tetap dilanggengkan.
Saya kira jangan terhipnosis dulu dengan ajakan Tony Blair untuk berdamai. Ajakan itu tidak ubahnya hanya ingin melemahkan semangat warga muslim yang ingin menentang Barat, sehingga Barat bisa kembali melancarkan agregasinya menghancurkan Islam.
Umat muslim hanya ingin dibuat lelah oleh isu-isu yang kontroversial, seperti pemuatan Nabi umat Islam. Maka dari itu, energi kita jangan terlalu terforsir menanggapi persoalan-persoalan yang bersifat advokatif.

21.28

Ketika Pendidikan Adalah Pembebasan

Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakekat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti dan memahami relitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berfikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran) dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berfikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Selama ini kita sering mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan sebagi proses pendidikan. Jelas, ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan. Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dengan pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itupun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.

Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur soiial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.

Semua hal di atas merupakan tujuan ideal pendidikan, namun bagaimana kenyataan di lapangan? Ternyata praktek pendidikan yang terjadi justru sebaliknya. Pendidikan dijadikan cara untuk melanggengkan doktrin tertentu dan sebagai alat hegemoni kekuasaan. Peserta didik hanya dijadikan objek dan dilatih untuk menjadi penurut dengan tujuan keseragaman nasional. Apabila hal ini terjadi, pendidikan tidak lagi mampu menjadikan manusia sebagi insan kamil, tetapi justru menjadikan manusia sebagai robot-robot kekuasaan yang tidak bisa berfikir secara kritis dan bebas terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan manusia mengalami kehampaan eksistensi sebagai manusia yang pada dasarnya secara fitriyah memiliki potensi berfikir bebas dan berkesadaran.

Kondisi pendidikan seperti ini sama sekali menafikan peserta didik sebagai manusia yang berpotensi untuk berfikir dan akan muncul kelompok masyarakat terbelakang dan bodoh, yang sebenarnya merupakan akibat dari penindasan struktural. Ketertindasan struktural inilah yang pada tataran global melahirkan proses kemiskinan baik di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sebagai akibatnya, terjadi transformasi budaya yang bermakna dekaden, yaitu dari budaya kritis menjadi budaya oportunis dan pragmatis. Dengan demikian penjinakan yang dilakukan oleh struktur kekuasaan melalui cara penyeragaman berfikir telah mengakibatkan suatu kondisi dimana kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran kritis sebagai manusia yang dikaruniai akal, melainkan kesadaran na’if yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.

Inilah persoalan pendidikan bangsa kita yang begitu kompleks dan hanya sedikit orang yang peduli. Oleh karena itu, sudah saatnyalah pendidikan kritis diwujudkan, demi terciptanya cita-cita yang berorientasi pada usaha penyadaran dan pembebasan. Jika kita merujuk pada buku “Pendidikan Popular” karya Mansour Fakih dkk, ada tiga ciri pokok pendidikan kritis yaitu belajar dari realitas, tidak menggurui, dan dialogis.

Sekarang saatnyalah kita mampu menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang berkesadaran. Kita harus memulai mengenal dan memahami realitas dengan cara terjun langsung pada permasalahan yang muncul dari masyarakat, juga membaca buku-buku pengetahuan baik yang bersifat klasik maupun kontemporer sehingga ketinggalan informasi. Apabila agenda besar dalam melakukan pendidikan kritis dapat terealisasikan, maka saat itulah muncul yang namanya pembebasan.

21.13

Sesatkah Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah?

Umat Islam di negeri ini kembali terserang “virus aliran sesat” baru bernama Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Setelah beberapa waktu lalu digegerkan oleh Lia Aminuddin yang mengaku sebagai Malaikat Jibril, kemudian ditangkap dan sekarang bebas, kini giliran Ahmad Mushaddeq, pendiri Al-Qiyadah Al-Islamiyah, diamankan oleh kepolisian DKI Jakarta.

Al-Qiyadah Al-Islamiyah secara bahasa artinya kepemimpinan yang bersifat Islami. Aliran ini didirikan oleh Ahmad Mushaddeq, seorang pensiunan PNS DKI Jakarta. Dia pernah aktif di PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) dan turut membangun NII KW-9. Mushaddeq, panggilan akrabnya, sejak 23 Juli 2006 bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder Bogor, dan mengaku mendapatkan wahyu dari Allah SWT untuk mengganti kedudukan Muhammad sebagai Rasul. Kini dia mengklaim dirinya sebagai Rasul baru pengganti Muhammad.

Ajaran-ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah antara lain tidak mewajibkan shalat lima waktu kecuali shalat malam, tidak ada kewajiban puasa, dan naik haji. Menurut Mushaddeq, kita sekarang masih masuk pada periode Mekkah. Sehingga ajarannya hanya menegakkan aqidah Islamiyah saja. Untuk urusan-urasan syariat belum ada kewajiban. Dalam ajarannya dikenal juga apa yang disebut penebusan dosa dengan menyerahkan uang kepada Al-Masih Al-Mau’ud alias Ahmad Mushaddeq.

Lebih dahsyat lagi, aliran ini mengganti dua kalimat syahadat dengan syahadat baru, yaitu: “Asyhadu an Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Masih al-Mau’ud Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Al-Masih Al-Mau’ud sebagai Rasul Allah). Mereka tetap mengakui Al-Qur’an sebagai sumber ajarannya, tetapi tidak mengakui hadits. Mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsiran mereka sendiri, tanpa bantuan hadits.

Aliran yang sudah berumur setahun lebih ini memiliki buku berjudul “Ruhul Kudus yang Turun Kepada Al-Masih Al-Ma’ud” setebal 192 halaman yang mengisahkan tentang Micael Muhdas mendapat wahyu dari Allah SWT. Micael Muhdas adalah Al-Masih al-Mau’ud alias Ahmad Mushaddeq. Menurut data detik.com, pengikut aliran ini telah mencapai 41 ribu orang yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia, antara lain DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Padang, Lampung, Batam, dan Makassar. Kebanyakan di antara mereka adalah pelajar dan mahasiswa.

Di Jakarta ada 8.972 orang pengikut. Di Yogyakarta ada 5.114 orang dengan perbandingan 60 persen lebih pengikutnya adalah mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa kota pelajar pun telah menjadi sasaran dari aliran ini. Kini di Jakarta ada 40 orang pengikut Al-Qiyadah yang diamankan polisi. Delapan orang di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan, dan 24 orang di Jakarta Barat.

Melihat kejadian ini, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat dan harus segera dibubarkan. Kecaman itu pun muncul dari berbagai kalangan baik secara organisasi atau perorangan. Bahkan ada yang mengancam untuk membuhuh para pengikutnya.

Kita masih ingat dengan salah satu hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Hanya satu yang masuk surga, yaitu golongan yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hadits tersebut janganlah diartikan secara tekstual. Karena jika diartikan demikian, hadits tersebut semakin tidak bermakna. Apalagi dengan kehadiran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang semakin menambah daftar jumlah aliran-aliran dalam Islam. Belum lagi, baru-baru ini ditemukan aliran baru bernama “Al-Qur’an Suci” di Bandung.
Membaca logika hadits di atas, pada dasarnya Islam mengakui Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad dan Al-Qur’an-As-Sunnah sebagai sumber ajarannya. Mafhum mukhalafahnya (kebalikannya), jika ada aliran dalam Islam yang tidak mengakui ini berarti dia tidak menjadi bagian dari Islam, termasuk juga Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan aliran-aliran lainnya. Menjadi sebuah kewajaran jika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran ini.

Selain itu, jika Mushaddeq benar-benar mengaku sebagai Nabi, seharusnya dia memiliki kitab, ajaran, dan mukjizat tersendiri. Tidak njiplak dan mengorek-ngorek ajaran Islam seperti yang telah dilakukannya saat ini. Apalagi ketika ditangkap polisi menyerah tak berdaya. Seharusnya dia memiliki mukjizat bisa lolos dari hukum.

Seharusnya pula, Mushaddeq menggunakan nama lain terhadap alirannya. Bila perlu membuat agama baru. Jadi tidak sama dengan Islam. Ketika Muhammad mendirikan Islam, nama agamanya tidak sama dengan nama agama-agama sebelumnya. Muhammad memiliki kitab sendiri, ajaran sendiri, dan cara beribadahnya sendiri. Hal ini pun yang seharusnya juga dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq agar lebih selamat dari cercaan umat Islam lainnya.

Namun jauh dari itu semua, kebebasan beragama menjadi hak setiap masing-masing manusia dengan segala risikonya. Mushaddeq pun siap menanggung akibat dari perbuatannya selama ini. Adanya perbedaan di antara sesama kita haruslah dijaga, karena itu merupakan rahmat dalam kehidupan ini.

Tentunya hak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan haruslah dijaga ketat oleh aparat pemerintah. Jangan lagi terjadi kekerasan terhadap pendiri maupun para pengikut aliran ini, seperti apa yang pernah terjadi terhadap Jamaah Ahmadiyah di Porong Bogor beberapa waktu lalu. Aparat keamanan harus benar-benar siap melakukan penjagaan untuk hal ini. Kita harus bersikap bijak dan berpikir sehat pada setiap permasalahan yang ada.

20.58

Nasib Masa Depan Ormas Pasca UU Keormasan

Kini Organisasi Kemasyarakatan, disingkat Ormas, sedang dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang setelah Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan realitas sekarang. Perdebatan di DPR tentu beragam mewarnai kepentingan mereka masing-masing. Ormas telah didefenisikan sebagai salah satu sarana bagi masyarakat unuk mewujudkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam rangka menjamin keutuhan negara, persatuan dan kesatuan bangsa guna tercapainya tujuan nasional, diatur dengan Undang-Undang.

Dari rancangan yang sekarang sedang berjalan, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi perhatian bersama. Pertama, ormas haruslah berbadan hukum. Artinya, pemerintah tidak akan mengakui keberadaan sebuah ormas tanpa ada akta notaris. Untuk mendapatkan akta notaris, sebuah ormas harus sudah memiliki nama organisasi, visi dan misi, asas, tujuan, lambang, kedudukan, struktur organisasi, keanggotaan, wilayah kerja, permusyawaratan, dan lain sebagainya. Jika Ormas tidak berbadan hukum, maka tidak akan ada akses ke pemerintah serta tidak memiliki ruang publik, misal pemasangan spanduk atau jenis pengumunan lain.

Kedua, asas Ormas harus mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa asas yang dimiliki oleh segala Ormas di Indonesia harus selaras dengan butir-butir Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang yang lainnya (RUU Ormas, pasal 17).

Artinya, Ormas yang tidak berketuhanan alias Ormas beraliran komunis atau atheis tidak akan diakui di negara ini karena bertentangan dengan asas Pancasila butir pertama. Hematnya, Ormas yang tidak berketuhanan Yang Maha Esa dianggap tidak ada dan tidak sah sesuai hukum. Hal yang sama pun berlaku pada Ormas beraliran keras atau fundamental. Jika Ormas beraliran fundamental ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pemerintah berhak membekukan atau membubarkan Ormas tersebut.

Dalam pasal 31 dituturkan ada tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ormas. 1) Menjaga, memelihara, dan mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan NKRI, dan ideologi negara; 2) Menjaga dan memelihara ketertiban umum serta mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas; dan 3) Menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan demikian, Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menggangu kedaulatan dan keutuhan NKRI, dilarang menyebarluaskan ideologi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dilarang melakukan kegiatan yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat, dilarang melakuakan atau mendukung tindak pidana korupsi, pencurian uang, terorisme, separatisme, dan radikalisme (RUU Ormas, pasal 52).

Kasus yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap kelompok Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat dan terhadap Gus Dur alias Abdurrahman Wahid saat berceramah di Purwakarta Jawa Barat, 23 Mei 2006, telah mencerminkan anarkisme sesama warga negara dan bertententangan dengan pasal di atas.

Ketiga, pembentukan Ormas oleh warga negara minimal berusia 17 tahun atau susah menikah, termasuk anggota bagi ormas berbasis massa harus berusia 17 tahun atau susah menikah. Logikanya, bagi mereka yang belum berusia 17 atau belum menikah tidak ada ruang untuk bergabung dalam ormas apa pun. Ketika kita melihat ormas-ormas yang ada, maka aturan ini sangat merugikan organisasi semacam Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), dan Ikatan Putri-putri Nahdhatul Ulama (IPPNU) yang telah berjalan cukup lama. Secara riil, basis massa mereka adalah pelajar yang duduk di bangku sekolah SMP dan SMA atau yang setingkat. Sebagai contoh di IPM, anggota adalah mereka yang yang berusia 12 sampai 21 tahun atau sedang duduk di bangku setingkat SMP dan SMA. Karena itu, penulis berharap agar keanggotaan Ormas basis massa tidak hanya dibatasi oleh umur tetapi diberi kebebasan dalam menyusun AD/ART-nya.

Keempat, dalam pasal 22 disebutkan bahwa ormas berbasis massa lingkup nasional harus berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Pasal ini tentu merugikan bagi ormas-ormas keagamaan yang sejak kelahirannya telah berjuang untuk kepentingan sosial tapi keberadaannya tidak di ibu kota. Kerugian itu bisa dirasakan oleh Muhammadiyah, ‘Aisyiah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Nasyiatul ‘Aisyiah (NA), Tapak Suci Putra Muhammadiyah (TSPM), Kepanduan Hizbul Wathan (HW), Majelis Mujahididn Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Kedudukan organisasi-organisasi ini berada di Yogyakarta yang lahir jauh sebelum RUU Ormas ada. Karena itu, harus ada klausul lain yang menjelaskan bahwa ormas yang tidak berkedudukan di ibu kota hanya ormas yang berdiri jauh sebelum UU Keormasan ini ditetapkan atau jauh sebelum negara ini merdeka.

Untuk konteks negara kita yang sedang menganut aliran demokrasi, penulis menilai bahwa Ormas di masa depan haruslah berbadan hukum dan merujuk kepada asas Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pasal 52 di atas benar-benar dijalankan oleh seluruh elemen masyarakat demi terciptanya keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini bukan mengindikasikan bahwa Ormas harus berasas pancasila. Justru semua Ormas diberi kebebasan untuk menentukan asasnya, tetapi tetap berpedoman pada kemaslahan warga negara.

Untuk poin nomor tiga dan empat seperti dijelaskan di atas perihal keanggotaan ormas berbasis massa minimal 17 tahun dan keberadaannya harus di ibu kota, harus ditinjau ulang demi kemaslahan bersama. Sebuah Undang-Undang dibentuk dan dilaksanakan tentunya untuk kemaslahatan bersama bukan malah untuk mendiskriminasikan salah satu kelompok yang ada. Kita adalah negara demokratis, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

20.54

Stop Komersialisasi Ramadhan!

Tak terasa setengah perjalanan ramadhan telah berlalu. Tiap hari bulan yang dianggap suci itu semakin berkurang dan akan segera berganti dengan bulan baru. Ramadhan menjadi bulan yang berkah dinanti-nantikan oleh seluruh kalangan masyarakat, baik pedagang, para ustadz, kyai, politikus, media, artis, grup band musik, maupun dunia pertelevisian.

Karena ada momen ramadhan, masyarakat yang pada awalnya tidak berjualan akhirnya berjualan juga. Barang yang dijual tidak jauh dari kolak, es kelapa muda, minuman manis, gorengan, roti, buah-buahan, dan lain sebagainya. Jalan raya yang pada hari-hari biasa tidak ramai, kini menjadi padat dengan hadirnya pedangan dan pembeli baru. Setelah bulan ramdahan berlalu, jalanan menjadi sepi kembali.

Para ustadz dan kyai pun tak kalah tanding ikut nimbrung di bulan yang suci ini. Atas nama bulan ramadhan, mereka siap diundang sebagai penceramah baik saat tarawih, shalat subuh, maupun ketika takjilan. Tak heran jika bulan ramadhan adalah program 30 hari mencari amplop. Banyak penghasilan yang akan diambil pada bulan ini. Belum lagi ada ormas atau partai yang membuat selebaran pengumuman yang kurang lebih berbunyi: “Jika membutuhkan dai atau penceramah, hubungi kami di alamat… atau kontak ke no berikut…”, dan seterusnya.

Para artis dan pihak Production House (PH) pun tak ingin kalah dengan hadirnya ramadhan ini. Baik artis maupun PH bekerjasama untuk membuat film Islami khusus menyambut bulan suci ramadhan. Artis yang dalam kesehariannya selalu mengumbar aurat, kini ketika hadir di film edisi khusus ramadhan menjadi muslimah melebihi wanita-wanita biasa. Jilbab hanya dijadikan kedok untuk mengeruk uang. Filmnya pun laris ditonton pemirsa, baik menjelang buka puasa atau setelah shalat tarawih.

Para penyanyi solo maupun grup band juga berbondong-bondong menciptakan lagu spesial untuk ramadhan. Grup Band Ungu sukses meluncurkan album yang kedua kalinya untuk ramadhan. Pada ramadhan yang lalu, Grup Band Radja juga turut menyumbangkan satu album untuk ramadhan. Bahkan Acha dan Irwansyah berbalik menjadi penyanyi yang terlihat religius.

Hampir setiap hari, seluruh stasiun televis menayangkan beragam acara yang seluruhnya dikemas untuk ramadhan. Mulai dari sebelum sahur, bakda sahur, pagi, siang, menjelang buka puasa, hingga setelah tarawih dan mau tidur.

Semua itu adalah karena berkah ramadhan sebagai bulan untuk seluruh umat manusia.

Bulan suci ramadhan pada dasarnya dijadikan sebagai terminal bagi umat muslim dalam mengaruhi hidup ini. Ketika 11 bulan yang lalu seluruh umat manusia melakukan aktivitas yang beragam, kini saatnya pada bulan ramadhan melakukan refleksi terhadap apa saja yang telah kita lakukan. Jadikanlah ramadhan sebagai bulan untuk merefleksikan diri terhadap apa saja yang dilakukan selama ini.

Di bulan ini pula kita harus kembali mendekatkan diri pada sang rabb agar kita tidak terlampau jauh meninggalkan agama. Kita diajak untuk beribadah dengan imbalan segala amal apa pun pasti akan dilipatgandakan. Bahkan tidur pun menjadi ibadah. Inilah bulan special yang dielu-elukan oleh siapa saja.

Ramadhan telah menjadi komoditas siapa pun. Proses industrialisasi alias perdagangan atas nama ramadhan terjadi di mana-mana. Semua orang ikut andil dengan beragama kegiatan. Paket hemat ramadhan menjadi kebiasaan para pedagang di took-toko kecil.

Lebih penting lagi, komersialisasi ramadhan terjadi dalam dunia pertelevisian. Banyak pihak yang mengeruk keuntungan tanpa mengambil substansi bulan ramadhan, baik dari pihak PH, artis, maupun iklan yang berdatangan. Filmnya memang bagus dan disenangi oleh pemirsa, tapi kita tanpa sadar telah menjadi sasaran dan korban dari kebiadaban para pengeruk keuntungan tersebut.

Ramdhan telah menjadi korban dari budaya pop. Budaya Pop yang menurut John Storey dalam bukunya Cultural Studies and Pop Culture dianggap sebagai kebiasaan berupa praktek-praktek dalam keseharian, misal liburan ke pantai, perayaan ulang tahun, tujuh belas agustusan, dan aktivitas lainnya. Kata “pop” singkatan dari “popular” yang arti sederhadanya adalah disukai oleh banyak orang. Karena itu, budaya pop bisa bermakna budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan.

Praktek-praktek budaya pop bisa kita lihat pada laku kerasnya penjualan buku Harry Potter, larisnya film Titanic dan The Lord of The Ring, boomingnya film Ada Apa dengan Cinta dan Heart, serta semaraknya bulan ramadhan dengan beragam kegiatan. Kita juga bisa melihat perkembangan budaya pop dalam dunia musik terjadi pada tenarnya Dewa, Padi, dan Sheila on 7. Akhir-akhir ini terjadi juga pada Ungu, Letto, Radja, Peter Pan, dan lain sebagainya.

Dengan mengacu pada contoh-contoh di atas, semarak ramadhan merupakan bagian dari komoditas budaya pop yang berarti budaya tinggi tertutama pada kasus penjualan buku, rekaman, dan juga rating audiens televisi yang dinyatakan sebagai budaya pop. Apakah kita tinggal diam dengan realitas bulan ramadhan yang menjadi bagian dari komersialisasi? Awas virus komersialisasi ramadhan harus dijauhi, bahkan dilawan!

Yogyakarta, 19 September 2007

20.49

Orientalisme Sarat Kepentingan Geo-Politis

Harus disadari, dominasi Barat atas Timur dalam konteks studi orientalisme hanya sebuah permainan yang dibungkus lewat kepentingan geografis-politis. Sehingga realitas yang lahir, Barat ingin mencoba mengerdilkan Timur. Kesan yang muncul di publik adalah Barat berkuasa dan Timur dikuasai. Barat superior dan Timur inferior. Jika Timur ingin maju maka harus belajar dengan Barat. Balfour dan Cromer pun senada mengatakan, orang Timur itu irasional, bejat moral, dan kekanak-kanakan. Sedangkan orang Eropa rasional, berbudi luhur, dewasa, dan normal. Orang Timur akhirnya hanya sebagai pihak yang diadili dan yang didisiplinkan Barat.

Orientalisme bisa dinilai sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperealisme terhadap Timur, terutama terhadap dunia Islam. Hal ini juga disadari oleh Komaruddin Hidayat, bahwa orientalisme telah meninggalkan stigma buruk di kalangan dunia Islam. Sehingga apapun yang dikatakan oleh sarjana Barat tentang Islam harus dicurigai. Begitu juga dengan sarjana-sarjana Indonesia yang mengambil program Islamic Studies di Perguruan Tinggi Barat patut dicurigai, karena telah terkontaminasi oleh pemikiran para orientalis.

Banyak perspektif yang berbicara tentang orientalisme terkait dengan perkembangan zaman, hingga menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai. Salah satu pedebatan itu, apakah Fazlur Rahman, pemikir Islam yang diusir dari negerinya (Pakistan), bisa dikatakan sebagai seorang orentalis karena dia menetap di Amerika dan mengajar ilmu-ilmu keislaman? Padahal dirinya seorang Muslim. Atau, bisakah orang-orang Muslim Indonesia yang belajar tentang Islam di Amerika disebut sebagai orientalis? Pertanyaan-pertanyaan ini mencoba menggugat makna orientalisme yang masih bias. Apakah makna itu didasarkan atas pemikiran seseorang yang tertarik terhadap kajian ketimuran? Didasarkan atas geografis seseorang (maksudnya, tinggal Barat)? Atau hanya khusus untuk orang-orang non Islam yang mempelajari Barat? Kiranya perlu ada interpretasi baru atas orientalisme.

Penulis sepakat dengan kritik yang dilontarkan Edward W. Said, bahwa orientalisme tidak hadir dalam suatu ruang yang hampa, tetapi ia lahir karena faktor politik dan budaya. Maka dari itu, Barat harus bertanggung jawab atas persepsinya yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Kekeliruan ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan penjajahan, keagamaan, ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi.

Problema orientalisme itu akhirnya memunculkan berbagai tanggapan, terutama dari kalangan kaum muslimin. Sebagian mereka ada yang menganggap, seluruh orientalis adalah musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secara emosional menyatakan, orang Islam yang mempelajari karya orientalis termasuk antek zionis. Hal ini tidak terlepas dari argumen mereka yang menyatakan, orientalisme itu bersumber pada ide-ide kristenisasi yang sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. Sebagai contoh karya HAR Gibb, Mohammedanism. Di dalam bukunya itu, Gibb berpendapat Al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad dan menamakan Islam sebagai Mohammedanism. Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama Islam.

Namun, ada sebagian kelompok lain yang bersikap toleran. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama bersikap sangat berlebihan. Semua karya kaum orientalis dinilai sangat ilmiah dan obyektif. Kelompok kedua lebih bersikap hati-hati dan kritis. Mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam, karena beberapa karyanya cukup memberi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan umatnya.

Prinsipnya, meminjam pernyataan Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. Secara politis, pandangan dan kajian Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa serta menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan. Tegasnya penyebaran Kristen.

Penulis semakin menaruh rasa curiga terhadap orang-orang Barat yang mengkaji ilmu-ilmu ketimuran yang semakin intensif. Mereka sekarang tidak suka disebut sebagai orientalis, lebih sukai dengan nama Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis karena adanya kritik tajam Said. Inti kritiknya, terjadi bias intelektual Barat terhadap dunia Timur, Islam, dan dunia muslim khususnya. Memang, orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Sedangkan Islamisis tampak lebih bersahabat. Nama-nama Islamisis yang produktif saat ini adalah John L. Esposito, Karen Armstrong, Annemarie Schimmel, Martin Lings, Charles Kurtzman, dan lain sebagainya. Di antara mereka ada yang kemudian masuk Islam seperti Annemarie Schimmel.

Kritik penulis, sebenarnya para orientalis yang ingin berganti nama itu hanya ingin mencari perlindungan dari kata ”Islamisis”. Kata ”Islamisis” sebenarnya terjadi problem bahasa dan mereka tidak tepat dikategorikan sebagai Islamisis. Ini penggunaan kata yang perlu didekonstruksi ulang. Biarlah term orientalis tetap melekat bagi mereka yang ingin mempelajari dunia ketimuran. Jangan atas nama ”Islamisis” yang hanya sebagai perlindungan tetapi bermisi buruk.

Demikian, orientalisme hingga tulisan ini ada masih menjadi bagian dari disiplin ilmu yang tak terselesaikan dan sarat akan kepentingan geo-politis. Kalau pun di kalangan tradisi Islam muncul oksidentalisme dengan Hassan Hanafi sebagai juru bicara, toh tetap tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Tetapi, setidaknya dengan kehadiran oksidentalisme, posisi Timur bisa menjadi subyek atas Barat. Tidak melulu Barat sebagai subjek. Tepatnya, oksidentalisme hadir sebagai penyeimbang atas orientalisme yang selama ini telah mendominasi dunia Timur.