14.50

Surat Rachel untuk Farel (Heart)

Farel sahabatku, aku menulis surat ini sambil mengenang persahabatan kita yang penuh dengan kegembiraan dan tawa. Sejak kecil main basket bersama-sama, berlari-larian di kaki bukit. Kamu buatkan aku mahkota indah dari dedaunan. Semua itu terlalu indah untuk kukenang.

Persahaban kita begitu dekat. Sampai tiba saatnya kamu jatuh cinta pada Luna. Sulit sekali kujelaskan bagaimana perasaanku. Aku gembira melihat kamu bahagia. Tapi entah kenapa aku tiba-tiba merasa kehilangan. Kadang aku cemburu karena kamu gak punya banyak waktu lagi untukku. Sungguh aku sangat terpukul ketika dokter bilang, kakiku harus diamputasi.

Tanpa kaki aku gak akan bisa main basket lagi sama kamu, sambil tertawa bekejaran dalam hutan. Pada akhirnya aku menyadari, aku gak ingin kehilangan kamu Farel. Tapi saat perpisahan itu pasti akan datang juga. Karena aku tahu, kamu sangat mencintai Luna. Dan suatu ketika kamu akan menikahinya.

Aku gak mau ada kata-kata perpisahan di antara kita, Farel. Untuk itulah akhirnya aku memutuskan untuk mendonorkan hatiku pada Luna. Dengan hati yang ada di tubuh Luna, maka aku bisa terus mendampingimu, Farel. Bahkan sampai kamu menikah dan punya anak. Lalu hatiku yang kudonorkan di tubuh Luna, aku bisa terus bersamamu.

Melalui hatiku yang kini ada di tubuh Luna, dengan cara itu aku mencintaimu.

14.27

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?" "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.

Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan.

Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

11.48

HP, Antara Kebutuhan dan Keinginan

Di tahun 90-an, HP masih menjadi barang langka dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu atau klas menengah ke atas. Tetapi pada millenium ketiga ini, yakni awal tahun 2000an, HP menjadi teman akrab dan familiar di tangan masyarakat, baik orang biasa maupun kalangan menengah ke atas. Bahkan sudah menjadi menjadi semacam aksesoris yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Jika tidak ada teman bicara, maka HP bisa menjadi teman yang menghibur.

Sebenarnya fungsi HP untuk menunjang proses komunikasi menjadi lebih cepat, mudah, dan praktis. Kita tidak perlu lagi pergi ke wartel untuk menelpon seseorang. atau tak harus kerim surat lewat jasa pos yang memakan waktu cukup lama, belum lagi ongkos kirim mahal. Di HP sudah ada fasilitas Short Message Service (SMS) yang fungsinya sama dengan surat. Hanya dengan ganti rugi 350 perak, pesan singkat langsung sampai ke tujuan. Dengan HP, kita bisa berbuat apa saja, bisa miscal-miscalan, mencari kenalan, godain orang, mengancam orang, menipu dan segala perbuatan yang positif maupun negatif.

Lebih-lebih sekarang ini jenis dan fasilitas yang ada di HP tidak sekedar alat komunikasi saja. Banyak variasi yang bisa dipilih oleh para konsumen. Baik dari segi warna, bentuk, cashing, ringtone, gambar, minta info dan games. Bahkan sudah semarak dengan fasilitas rekam suara, foto, radio dan lain-lain. Maka ketika beli HP dengan fasilitas lengkap seperti di atas, kita tidak perlu lagi beli tustel, tape recorder dan radio. Ringkas, mudah, dan ringan. Tetapi harganya memang agak mahal sedikit.

Bagi remaja, HP menjadi trend dan rumor tersendiri. Seolah-olah kalau tidak mempunyai HP tidak Pe-De dan nggak gaul. Bisa dilihat, hampir semua remaja dan sebagian pelajar sekolah selalu memegang HP. Entah itu HP orang tuanya ataupun hasil dari beli sendiri. Dan harga sangat variatif, dari yang murah sampai yang mahal, ratusan ribu hingga lima jutaan. Dan Counter HP pun sudah berjejer di sepanjang jalan raya. Di mana-mana tercantum tulisan-tulisan, seperti: tukar tambah HP, dicari HP dengan harga mahal, di sini dijual HP dengan harga murah, dan juga harga pulsa dari yang puluhan ribu hingga ratusan. Entah itu simpati, mentari, E-M3, Pro-XL, kartu Halo, Jempol, Frends, Flexi dan sejenisnya. Semua sangat bervariatif sesuai dengan dompet remaja.

Gejala dan fenomena ini menjadi hal yang baru bagi kehidupan kita. Di mana semua orang ikut terjun dan terlibat di dalamnya. Bagi remaja yang ingin ikut-ikutan, maka dia selalu mengikuti perkembangan info. Dan berita soal HP bisa didapatkan melalui majalah, koran, internet, dan media lainnya. Informasi mudah didapat dan diakses. Bahkan HP sekarang sudah menjadi sebuah maenan yang digandrungi remaja. Dia rela berkorban untuk membeli HP terbaru dan selalu gonta-ganti.

Di balik itu semua, ada sesuatu yang menjadi problem bagi perkembangan psikologis, terkhusus bagi remaja, yakni kehilangan kesadaran. Dia akan ikut dengan arus gelombang dan terninabobokan dengan barang-barang baru. Remaja kadang kala ingin semua kebutuhannya terpenuhi. Berbagai cara akan dilakukan, termasuk mungkin mencuri. Budaya seperti ini menjadi tidak baik, karena kedudukan HP telah menguasai sebagian hidup manusia, padahal seharusnya kitalah yang menguasai teknologi.

Maka kita perlu cermat memposisikan antara HP sebagai sebuah kebutuhan dan HP sebagai sebuah keinginan. Mungkin bagi orang kaya, itu tidak masalah, tetapi bagi orang pas-pasan atau kaum miskin bagaimana? Karena itu, nafsu haruslah dikekang dengan akal kita, sehingga kita dapat berfikir sesuai dengan kondisi kebutuhan. Ketika ingin membeli HP, maka prioritas utama adalah membeli HP yang bisa buat telpon dan sms saja. Selebihnya bukanlah hal yang penting. Dan sisa uang dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lain, semisal membeli buku bacaan, ditabung, atau membeli pulsa.

Ketika kita berbicara dengan pola fikir “keinginan”, maka tidak ada pertimbangan lain kecuali seuatu yang kita inginkan itu harus tercapai dan berhasil. Maka di situ nafsulah yang berbicara. Sedangkan jika melihat sesuatu dengan sudut pandang “kebutuhan”, maka kita akan melihat pada kondisi pribadi, baik keuangan maupun pertimbangan lainnya. Dan kita bisa belajar bijaksana terhadap diri sendiri. Melalui inilah proses belajar menjadi dewasa bisa tertanam. Dan nilai-nilai pendidikan juga tumbuh dengan sendirinya. Maka untuk memilih HP haruslah sesuai dengan kebutuhan, bukan mengikuti keinginan dan nafsu.

Pernah dimuat di Kuntum

11.41

Keikhlasan Cintanya

Pria itu berdiri di teras rumahnya saat pagi hari. Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Sambil olah raga kecil, ia tak henti-hentinya melihatku. Saat itu aku memang sedang berdiam diri di kamar, memikirkan tentang masalah keluargaku yang selalu ribut karena pertengkaran kecil.

Sorenya lelaki itu memperkenalkan dirinya kepadaku lewat adik sepupuku. Dari adik sepupuku itulah kuketahui namanya, Aman. Kesan pertamaku padanya, ia terlihat sombong, banyak tingkah, dan selalu menggoda wanita. Aku Nela, seorang wanita judes dan selalu berburuk sangka pada setiap lelaki. Kata ibu dan juga teman-temanku, aku orang yang tidak murah senyum, bawaannya selalu marah, dan mudah stres jika tidak mampu menyelesaikan sebuah masalah.
Tiap hari aku selalu serius belajar untuk meraih cita-citaku menjadi dokter. Hal ini disebabkan, dulu ayahku meninggal karena kanker yang tidak memiliki biaya untuk berobat. Dengan menjadi dokter, aku berharap bisa membantu rakyat kecil.
Hampir setiap hari Aman selalu mengganggu dan menggodaku, bahkan sering main ke rumah. Awalnya, keluargaku tidak suka dengan kehadiran Aman. Namun lambat laun kedatangan Aman membawa perubahan di rumahku. Suasana awal yang gaduh sekarang menjadi sedikit tenang. Dua tanteku yang dulu sering ribut, kini mulai saling berbaikan. Bibiku yang dulu ganjen menggoda lelaki, kini menjadi pendiam. Entah siapa Aman, aku tak pula mengenalnya lebih dekat. Yang kutahu, dia hanya seorang pendatang dan bertempat tinggal di samping rumahku.
Tidak kenal pagi, siang, atau malam, Aman selalu datang menggangguku. Mengajakku untuk selalu senyum, saling berbagi kesenangan, dan jangan mudah stres jika sedang menghadapi cobaan. Mula-mula aku cuek saja dengan sikapnya yang sok berbuat baik kepadaku.
Entah dapat kabar dari mana, Aman kenal dengan teman sekolahku, Adev. Kata ibuku, perkenalan Aman dan Adev terjadi ketika Adev main ke tempatku dan bertemu dengan Aman. Saat itu aku sedang tidak di rumah, tapi pergi ke tempat temanku.
Dari Adevlah, Aman mengetahui sifatku. Kebetulah Adev suka menulis catatan harian dan buku catatan itu dibaca oleh Aman seharian ketika maen ke rumah Adev. Kebetulan Adev tidak tahu kalau catatan hariannya dibaca Aman.
Adev sebenarnya sudah tahu banyak tentang jeleknya sifatku. Tetapi dia belum memiliki keberanian untuk merubah diriku. Dia hanya bisa memendamnya entah sampai kapan.
Aman mulai mengetahui siapa aku sebenarnya dan dia ingin segera merubahku.
***
“Hei Nel, maukah kau kuajak nonton film di bioskop?” ajak Aman penuh harap.
Awalnya aku tidak mau. Tapi karena Aman terus mendesak dan berharap padaku, aku tak kuasa menolak permintaannya.
Sejak saat itu aku mulai mengenal siapa sebenarnya Aman. Setelah nonton, aku diajaknya untuk jalan-jalan menyusuri jalan raya. Sedikit-dikit aku marah, tapi Aman mampu menenangkanku hingga kami pulang ke rumah.
Di minggu selanjutnya dia mengajakku jalan-jalan ke mall. Seperti biasa, karena Aman memaksa, aku tak kuasa menolakknya.
“Yang penting dia tidak berbuat hal yang macam-macam,” batinku.
Aku diajak jalan-jalan, makan di cafe, tertawa, maen time zone, dan lain sebagainya. Tak terasa seharian aku diajaknya bersenang-senang.
Di minggu-minggu selanjutnya dia pun terus selalu berusaha mendekatiku. Mengajakku untuk diperkenalkan ke dunia yang penuh dengan senyum. Aku mulai berpikir, mengapa dia kok ingin sekali mengajakku bermain ke sana-kemari. Apa dia tidak punya kerjaan yang lain?
Sebenarnya dia adalah seorang manager di perusahaan terkenal. Tapi dia tidak ingin aku mengetahui itu.
Orang tuaku dan juga sanak familiku mulai senang dengan kehadiran Aman. Selain membawa perubahan, kehadiran Aman membuat dagangan keluargaku menjadi laris. Awalnya, tokoku kalah saingan dengan toko depan rumah.
Sejak saat itu aku mulai tumbuh rasa empatik terhadap Aman. Dia adalah orang yang telah merubahku menuju dunia yang penuh senyum.
***
Ketika Aman tahu kalau aku menyukainya, dia malah berubah sikap kepadaku. Sikapnya tidak seceria seperti sebelum-sebelumnya. Dia agak menjauh dariku. Untuk beberapa hari, persahabatanku dengan Aman menjadi renggang. Aku gak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Padahal aku tahu, kalau dia memang cinta kepadaku. Hal ini kuketahui dari ibunya yang pernah berkata padaku.
“Nak, sejak Aman kenal dengan kamu sebenarnya dia sudah jatuh cinta kepadamu. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia katakan. Karena itulah dia menjauh darimu,” jelas Ibu Aman sambil meninggalkanku.
Di samping penjelasan ibunya, aku dapat kabar kalau Aman sebenarnya sudah menikah dengan seorang dokter sejak lama. Dia mendekatiku hanya karena ingin menyakiti hatiku saja. Mendengar kabar itu, aku menjadi benci terhadap Aman. Tetapi benci itu masih dibalut rasa cinta kepadanya, sehingga membuat hati ini terombang-ambing seperti kapas yang tak menentu ke mana arah yang akan kutuju.
Tiap hari aku menjadi semakin heran dengan sikap Aman. Dalam masa kekosonganku itu, Adev datang untuk menghiburku. Tiap hari dia berlagak seperti Aman. Menghibur, membuatku senang, dan mengajakku jalan-jalan persis seperti apa yang telah diperbuat oleh Aman kepadaku. Aku menjadi heran dengan sikap Adev yang berubah kepadaku.
Sejak saat itu pula aku mulai mengenal Adev lebih dekat. Hingga suatu saat Adev mengungkapkan rasa cintanya kepadaku. Namun aku belum bisa menjawab cintanya Adev lantaran hati ini masih ada rasa cinta untuk orang lain. Dengan pertimbangan dari diriku sendiri dan pertimbangan dari keluargaku, akhirnya aku harus memilih Adev untuk menjadi pacarku.
“Nak, Aman kan sudah menyakiti dan membohongi hatimu. Dia telah berniat jahat kepadamu. Ibu mulai sadar, kebaikan yang selama ini diperbuat Aman untuk keluarga kita hanya ingin membuat hatimu terluka,” pesan ibu.
Dengan pertimbangan itu, akhirnya aku memilih Adev menjadi pendamping cintaku.
Waktu telah lama berjalan, hingga aku menjadi orang yang semakin dewasa. Hari pertunanganku dengan Adev pun telah terlaksana. Tinggal menunggu hari untuk melaksanakan hari pernikahan.
Tiba-tiba, suatu hari aku mendengar Aman masuk rumah sakit. Kabar itu aku dengar dari wanita yang diaku oleh Aman sebagai istrinya.
“Hai, bukankah kamu istrinya Aman?” sapaku saat bertemu di toko baju.
“Istri Aman? Bukan. Ini suamiku bersamaku. Aman adalah teman baikku yang telah mempertemukan kami berdua hingga kami sudah bertunangan,” ucapnya yang saat itu bersama calon suaminya.
“Aman adalah dewa penolong dalam hidup kami,” tambahnya.
“Apa!!!” aku mendadak kaget dengar kabar itu.
“Anda siapa? Oh iya, sudah tahu kalau Aman sekarang ada di rumah sakit?”
Tanpa menghiraukan penjelasan wanita itu, aku langsung pegi dan mencari tempat sepi. Sedih, sakit, dan pedih hati ini telah dibohongi lagi.
Aku berlari mencari rumah sakit di mana Aman diperiksa. Setelah sampai di rumah sakit, Aman sudah tidak ada. Kata dokter, dia kabur dari sumah sakit. Aku pun lari mencari tempat sepi untuk berdiam diri.
Aman tidak ingin aku tahu kalau dirinya sakit. Dengan izin orang tuanya yang saat itu sedang menjaganya, Aman pergi dan mencariku hingga akhirnya mendapatiku di bawah pohon tempat biasa kami sering bertemu.
Aman menjelaskan kalau dirinya hanya sakit biasa. Tidak parah. Aman juga tetap membenarkan kalau dirinya sudah menikah dengan dokter yang kujumpai tadi.
“Nel, percayalah padaku. Aku sudah menikah sejak lama dan belum dikaruniai seorang anak. Perempuan yang kau temui itu hanya ingin membohongimu,” ungkap Aman meyakinkanku.
Aku hanya diam.
“Nel, ada seorang pria yang sangat mencintaimu. Dia sangat mengharapkan dirimu. Dialah adalah calon suamimu sendiri, Adev,” tambahnya.
Aku hanya diam tertunduk dan menangis. Aman pun memeluk dan menahanku untuk tidak menangis lagi.
Aku pun yakin dengan penjelasan Aman yang meledak-ledak.
Hingga hari pernihakanku tiba, aku tetap yakin kalau Aman memang telah menyakiti hatiku.
***
Beberapa hari setelah pernikahanku, aku mendapat kabar kalau Aman masuk ke rumah sakit lagi. Kelurgaku beserta Adev mendatangi rumah sakit di mana Aman diperiksa.
Di rumah sakit itulah semua rahasia Aman terbongkar. Ternyata Aman selama ini telah terserang penyakit jantung. Hidupnya tidak akan lama lagi. Soal dia sudah pernah menikah dengan seorang dokter adalah ungkapan bohong. Aman hanya ingin memperjuangkan Adev yang selama ini mencintaiku. Perubahan sikap Adev hingga ia berani menyatakan cintanya kepadaku adalah karena usaha keras Aman agar cinta Adev terbalas olehku.
Aman sebenarnya mencintaiku. Tapi cinta Aman tak ingin membuatku menjadi seorang janda. Karena cintanya yang amat besar itulah, Aman menginginkan aku menikah dengan Adev.
“Adev adalah nyata, sedang aku tidak,” pesan Aman saat di rumah sakit.
“Kau bodoh, Aman,” kesalku.
“Lama tak bertemu kau tampak gemuk, Nel,” ucap Aman kepadaku mengarahkan ke pembicaraan lain.
Kemudian aku lari keluar menahan isak tangisku yang tak tahan melihat betapa besar tulus cintanya kepadaku. Kuketahui, ternyata ucapan Aman itu untuk yang terakhir kalinya.
***
“Hatinya sangat tulus dan cintanya begitu ikhlas. Semua tak bisa dibayar dengan uang, Nak,” jelasku.
***
“Hei Bu, kenapa melamun?” anakku menoba membangunkanku dari lamunanku.
“Nak, itu tadi cerita tentang Aman yang telah membuat ibu tersenyum sebelum ibu menikah dengan ayahmu,” ceritaku pada anakku sambil ditemani Adev.
“Sekarang Aman di mana, Bu” tanya si Aman kecil anakku.
Aku beri nama Aman kepada anakku sebagai penghargaan atas keikhlasan cintanya kepadaku.
”Aman telah meninggal sejak di rumah sakit itu. Sekarang dia telah kembali ke pangkuan Tuhan.”
"Ibu beruntung bisa menikah dengan ayahmu. Ayahmu adalah suami sekaligus teman baik dalam hidup,” tambahku.

Di Sudut Tanya, 28 Oktober 2006

14.37

Dan Humor pun Harus Kritis

Dunia lawak Indonesia semakin marak dengan hadirnya jenis lawakan baru berupa musik humor. Hal itu ditandai dengan kesuksesan grup musik humor asal Surakarta, Team Lo, yang mengusung tema-tema humor menggelitik. Keadaan tersebut semakin menemukan jati dirinya setelah sering muncul sebagai band tamu di acara Audisi Pelawak Indonesia (API) oleh stasion televisi swasta TPI. Lagu-lagu yang dibawakan sangat beragam. Namun, tetap bernuansa plesetan. Mulai dari rock, pop, Islami, melayu, hingga lagu-lagu daerah.


Melawak di televisi adalah melawak yang paling berat, karena harus melayani berbagai macam selera. Ia harus mampu menghibur anak umur tujuh tahun hingga kakek-kakek, yang lulusan S-3 maupun yang tidak pernah mencium bau sekolah. Ia juga harus menghibur orang yang senang kritik sosial sampai orang yang senang dengan lelucon timpuk-timpukan.


Bagi sebagian orang, dunia lawak dijadikan sebagai tempat pencarian nafkah. Jika tahun sebelum 70-an diadakan lomba lawak, pesertanya bisa dihitung dengan jari. Tapi, sejak tahun 80-an, peserta lomba lawak selalu berjubel pesertanya. Banyak orang berminat menjadi pelawak. Sekarang humor bisa di atas satu milyar. Orang menjadi terkesima hanya menjual lelucon sekitar 20 menit. Itu pun tidak seluruhnya lucu. Honornya betul-betul edan. Siapa yang tidak ngiler. Tiba-tiba pelawak melesat masuk ke dalam kelas ekonomi atas. Barangkali inilah yang dituntut masyarakat, honor tinggi, harus menampilkan lawakan yang berkualitas tinggi pula.


Dengan diiming-imingi duit, banyak orang berbondong-bondong membuat grup lawak. Hal ini muncul sekitar tahun 90-an. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada anggapan, lawakan sekarang tidak lucu dan hanya dilucu-lucukan. Pernyataan ini amat sederhana, tetapi mengandung sebuah tuntutan lebih. Kebutuhan akan tertawa tidak saja terkekeh-kekeh, namun harus mempunyai muatan tertentu. Istilah sekarang, ikut berperan mendidik bangsa. Masyarakat kita semakin kritis, sehingga diperlukan pula humor yang kritis.


Berbagai pihak nampaknya mulai sepakat. Ada kecenderungan bahwa lawak yang berkelas atas adalah yang memiliki unsur kritis. Lawak harus menjadi gerakan moral, menjadi semacam kontrol dalam kehidupan bernegara. Maka, lawak harus sedikit menyerempet ke arah politik. Hal yang demikian itu didukung lagi oleh media massa, baik elektronik maupun cetak, yang sering menyiarkan dan memberitakannya. Namun, melawak ke arah politik tidak gampang alias susah. Bahkan sebagian orang mengatakan, susahnya setengah mati.

Makanya, seorang pelawak harus cerdas. Kritik bisa disampaikan lewat canda, agar yang dikritik tidak merasa dikritik. Pelawaklah yang kin tampil untuk menyuarakan keinginan itu. Bisa dikatakan, pelawak itu orang-orang lugu, sehingga kalau menyampaikan sesuatu hanya dianggap melucu, tidak serius. Dengan bahan yang sama nilainya, akan berbeda pengaruhnya jika diucapkan oleh Amin Rais dengan yang meluncur dari mulut Tessy Srimulat.

Dalam pengertian paling dasar, lelucon terjadi karena dua sebab: tak sengaja dan disengaja. Lelucon tak sengaja terjadi begitu saja dan lucu.. Lelucon sengaja merupakan hasil kreasi. Bisa digolongkan sebagai buah karya dan cipta manusia.

Dari beberapa karya lelucon hasil kreasi bisa dilacak "jurus" atau "senjata" yang menjadi pilihan para kreator sebagai alat pengungkapan ekspresinya. Jurus yang digunakan kreator bisa saja berlainan atau sama, namun tiap kreator biasanya berupaya mencapai sesuatu yang khas dan pas untuknya. Di antaranya ada guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir. Tapi tidak tajam-tajam amat. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati.

Ada juga satire dan slapstick. Satire sama-sama menyidir, tapi muatan ejekannya lebih banyak. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat tidak mengenakkan. Beberapa karikatur di media barat punya kecenderungan yang kuat ke arah ini. Jika slapstick leluconnya kasar. Orang terjengkang. Kepala dipukul pakai tongkat. Perut diselomot setrika panas. Pendek kata, banal. Lelucon ini sangat efektif untuk memancing tawa masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi tertentu. Beberapa film kartun untuk konsumsi anak-anak, juga banyak menampilkan lelucon model ini. Si bebek dilempari benda oleh musuh dan masuk ke mulutnya. Benda itu ternyata granat. Lalu, meledak. Tubuhnya berantakan seperti kain yang diptong-potong. Tak lama kemudian, pulih lagi. Lalu si bebek cengar-cengir balas menyerang lawan.

Selain ketiga jenis lelucon di atas, masih ada jenis lelucon lainnya, seperti sinisme, pelesetan, analogi, surealisme, kelam, olah estetika, eksperimental, apologisme, dan lain sebagainya. Huh, dasar humor. Boleh tertawa asal mingkem.

14.13

Ketika Civitas Muhammadiyah Mengawal SK 149

Setelah membaca dan mencermati Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 149/KEP/1.0/B/2006 tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, penulis tertarik untuk memberikan komentar sekaligus penguat atas surat keputusan yang lebih dikenal dengan “SK 149”. Walaupun tulisan ini terkesan agak terlambat, tetapi untuk konteks dan kondisi sekarang persoalan SK 149 masih tetap relevan.

Kemunculan SK 149 tidak lain merupakan akumulasi dari keberadaan Muhammadiyah yang dari waktu ke waktu seperti buah apel yang “digerogoti” seekor ulat. Segala cara sudah dilakukan oleh Muhammadiyah untuk menyingkirkan ulat tersebut, toh tetap saja ulat itu menempel terus. Di setiap jajaran Muhammadiyah dari elit hingga grassroot pun membicarakan persoalan Muhammadiyah yang sedang menghadapi common enemy, yaitu masuknya “ideologi lain”. Ketika tokoh-tokoh Muhammadiyah berceramah atau berpidato di hadapan para kadernya, tak lain tema yang diangkat adalah persoalan “adanya ideologi lain”. Ketika cara-cara lembut sudah tidak berhasil dilakukan, maka lahirlah SK tersebut dengan bahasa yang sangat bijaksana, yaitu bahasa “konsolidasi”.

Kehadiran SK 149 patutlah disambut dengan penuh atusiasme dan krititsisme dari para kader, serta mengawal substansi SK tersebut dan mengimplementasikannya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit kepada jajaran Muhammadiyah yang paling bawah, Pimpinan Ranting. Karena di rantinglah, eksistensi Muhammadiyah kembali dipertanyaan. Jika rantingnya eksis, maka eksis pula Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya.

Catatan Penting dari SK 149
Ada beberapa hal catatan penting yang terdapat dalam SK 149. Pertama, poin yang berbunyi: “Bahwa Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang cukup tua dan besar sangat menghargai ukhuwah, kerjasama, toleransi, dan sikap saling menghormati dengan seluruh kekuatan/kelompok lain dalam masyarakat, lebih-lebih dengan sesama komponen Islam. Karena itu, Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak dan keabsahan untuk bebas dari segala campur-tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya”. (Menimbang: nomor 4).

Secara tersurat telah jelas, bahwa Muhammadiyah memiliki prinsip menghargai ukhuwah, kerjasama, toleransi, dan sikap saling menghormati terhadap organisasi manapun, bahkan dengan non-muslim sekalipun. Namun sikap toleransi Muhammadiyah itu harus ada timbal baliknya dari pihak yang telah diajak bersikap toleransi untuk juga kembali menghormati segala bentuk keputusan Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah sudah melaksanakan kewajibannya, saatnya Muhammadiyah pun mendapatkan haknya yang sama untuk tidak ada campur tangan, pengaruh, serta kepentingan dari pihak mana pun. Entah dari parpol, sesama ormas Islam, maupun dari non-Islam.

Kedua, Seluruh civitas (pimpinan, kader, anggota, karyawan, amal usaha, ortom, majelis/lembaga, kantor) Muhammadiyah wajib bebas dari paham, misi, infiltrasi, pengaruh, dan kepentingan dari mana pun yang dapat merugikan dan merusak persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan civitas Muhammadiyah harus bebas dari kepentingan partai politik mana pun termasuk partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik yang bersayap dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini berpijak pada Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Jika tidak ditetapkan demikian, maka amal usaha Muhammadiyah akan selalu dijadikan alat/lahan berdakwah dan melakukan kampanye politik sesuai dengan kepentingannya, serta terjadi perbedaan paham dalam melaksanakan hari raya Idul Fitri/Idul Adha seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

Ketiga, civitas Muhammadiyah dituntut untuk memiliki komitmen, integritas, serta loyalitas kepada persyarikatan sebagaimana yang tercermin dalam kepribadian Muhammadiyah. Karena itu, para kader Muhammadiyah baik pimpinan maupun anggota benar-benar mengamalkan dan menjalankan ajaran-ajaran (produk hukum) Muhammadiyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti Khittah Perjuangan, Muqoddimah Anggaran Dasar, Matan dan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, serta keputusan-keputusan resmi Muhammadiyah, termasuk SK 149.

Keempat, seluruh jajaran Muhammadiyah terutama ortom dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk segera melakukan penguatan gerakan dan ideologi dengan melakukan pembinaan-pembinaan dan bentuk-bentuk pengkaderan seperti Darul Arqom, Baitul Arqom, Taruna Melati, Tunas Melati, Up-Grading, Refreshing, pengajian-pengajian umum dan khusus, serta pengelolaan kegiatan-kegiatan masjid dan mushalla agar hidup kembali sesuai dengan ruh dan spirit perjuangan Muhammadiyah. Lebih tegas lagi, seluruh program ortom harus mengarah kepada bentuk-bentuk pengkaderan yang tentunya dengan segala inovasi dan kreasinya. Begitu juga dengan seluruh jajaran pimpinan dan karyawan AUM yang harus direvitalisasi paham bermuhammadiayahnya. Tentunya, program ini dijalankan oleh Majelis Pendidikan Kader (MPK) beserta jajaran majelis dan lembaga lainnya.

Dari keempat catatan di atas, pembaca (lebih-lebih pihak yang kurang/tidak sepakat) mungkin akan menilai bahwa Muhammadiyah terkesan tidak dinamis dan tidak toleran. Muhammadiyah akan dinilai eksklusif dan anti perubahan. Penilaian seperti itu dipersilahkan saja, asalkan dengan argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi jauh lebih penting ketika kita mendengarkan komentar Hassan Hanafi, bahwa ketika datang era ketertutupan maka keterbukaan adalah sebuah kemajuan. Begitu sebaliknya, ketika datang era keterbukaan maka sikap ketertutupan merupakan bentuk dari kemajuan.

Muhammadiyah lahir di era ketertutupan (1912), maka keterbukaan (konsep adanya ijtihad) adalah sikap awal Muhammadiyah berdiri dengan melawan segala bentuk kolonialisme, kemiskinan, dan anti TBC (Takhayul, Bid’ah, Khurafat). Karena itu, Muhammadiyah sering mendapat julukan ormas yang dinamis. Sekarang adalah era serba terbuka. Justru agar Muhammadiyah tetap konsisten dengan nilai-nilai kedinamisannya, maka Muhammadiyah mengambil sikap tertutup agar nilai-nilai yang dibangun oleh Muhammadiyah tetap bertahan di tengah ”perdagangan nilai-nilai” yang beragam. Di sinilah, Muhammadiyah justru sedang ingin konsisten dengan perjuangannya.

Kritik Terhadap AMM
Sementara organisasi induknya sedang hangat-hangatnya melawan segala infiltrasi dan kepentingan politik maupun ideologi lain, tetapi angkatan mudanya malah ingin mencoba terjun ke wilayah rawan yang sedang diperangi oleh induknya. Artinya, ketika Muhammadiyah sekarang sedang melawan segala bentuk kepentingan politik praktis dan datangnya ideologi dari berbagai bentuk, tetapi AMM-nya malah sangat “gandrung” dengan “politik praktis” konteks Muhammadiyah. Sebagai bukti, Kongres AMM di Yogyakarta tahun 2005 lalu merupakan bentuk dukung-mendukung terhadap calon ketua umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010. Muktamar di masing-masing AMM lebih terkesan politis. Substansi yang seharusnya dibicarakan seperti arah kebijakan masing-masing ortom, telah dilupakan. Tetapi bentuk-bentuk pemilihan ketua beserta jajarannya menjadi hal yang paling penting.

Belum lagi kelahiran partai yang muncul dari gagasan kaum Muda Muhammadiyah sebagai bentuk kekecewaan terhadap partai yang selama ini tidak mampu menampung aspirasi warga Muhammadiyah serta gagal menghantarkan kader Muhammadiyah untuk menjadi presiden RI. Namun, kondisi kontras perpolitikan yang terjadi di tubuh Muhammadiyah dan AMM tidak bisa terlepas dari perpolitikan bangsa yang juga semakin carut-marut.

Menjadi sebuah keharusan, bahwa AMM khususnya dan ortom pada umumnya untuk kembali meluruskan gerakannya sesuai dengan khittah perjuangan dan AD/ART-nya masing-masing. AMM juga harus mengindahkan apa yang sudah menjadi keputusan PP Muhammadiyah perihal SK 149 sebagaimana yang telah termuat dalam SM edisi no. 24 tahun ke-91/16-31 Desember 2006 halaman 34-35. Jika hal ini tidak diindahkan, maka nilai-nilai puritanisme dan kedinamisan Muhammadiyah harus kembali dipertanyakan ulang. Karena itu, civitas Muhammadiyah harus menghormati serta melaksanakan kebijakan yang terdapat dalam SK 149.

Saatnya untuk Mengawal
SK 149 bukan sekedar surat edaran yang hanya dibaca, bukan prasasti yang indah dipajang, bukan pula sederet tulisan yang hanya mengancam orang lain yang selama ini menggangu Muhammadiyah. Tetapi SK tersebut haruslah dipahami, dipelajari, hingga dikawal sampai pada tataran yang lebih konkrit. Dari Pimpinan Pusat hingga Pimpinan Ranting harus melakukan usaha-usaha pengkaderan dengan segala bentuknya. Hal ini berlaku juga untuk ortom dan AUM. Di setiap jajaran baik PP, PW, PD, PC, dan PR harus melakukan pengkaderan dengan konsep yang benar-benar sesuai dengan khittah perjuangannya.

Misal, IRM melakukan pengkaderan Taruna Melati dari pusat hingga ranting. IMM dengan Darul Arqom-nya, Pemuda dengan Tunas Melati-nya, serta NA, Aisyiah, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan. Jika hal ini dilakukan, kita benar-benar amanah atas SK 149. Tentunya, kita juga jangan terlalu terjebak untuk mengurus hal ini saja, hingga lupa persoalan lain yang lebih penting dan lebih menguntungkan persyarikatan. Selalu bijaklah dalam bertindak. Selamat berjuang Muhammadiyahku!

Ridho Al-Hamdi
Ketua PP IRM yang Membidangi Kaderisasi Periode 2006-2008

(Pernah dimuat di SM 2006)

13.21

Cerpen SIM

Sudah sejak kelas dua SMA dulu aku mau bikin SIM, Surat Izin Mengemudi untuk motor. Ya, sekitar lima tahun yang lalu. Sekarang aku sudah kuliah semester enam di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Aku memang seorang perantau dari Sumatera, tapi sudah menetap lama di Jogja. Kurang lebih sembilan tahun, sejak masuk SMP.

Niat itu nggak kesampaian lantaran aku belum punya KTP Jogja. Di akhir kelas tiga aku mencoba membuat KTP Jogja atas nama keluarga bapak kosku, Pak Bagong. Seharian aku mengurus administrasinya dari tingkat RT, Puskesmas, hingga Kecamatan. Setelah itu menunggu satu minggu. Semua habis sekitar sepuluh ribuan.

Keesokannya aku bertanya-tanya tentang pembuatan SIM kepada Pak Bagong. Kata beliau nggak usah saja, karena hanya akan ditipu polisi.

“Nak, kamu itu gak bakalan dapat SIM kalau nggak punya uang banyak,” jelasnya sambil menyeruput kopi pahitnya.

“Lha, memang butuh duit berapa, Pak?” tanyaku heran.

“Rp 150 ribu. Itu sudah beres.”

“Kok mahal banget. Kata Pak RT cuma habis 75 ribu. Memang bapak tahu dari mana?”

Iku, tetangga samping kosmu seminggu yang lalu baru saja buat SIM juga.”

“Ooo,” anggukku.

Niatku untuk membuat SIM tidak kesampaian, karena kondisi keuangan ngepas. Sebenarnya sih bisa kalau mau dipaksakan, tapi uang untuk makan sebulan bakal ludes.

***

Di akhir kelas tiga keinginan buat SIM muncul lagi, karena hampr kuliah. Kucoba bertanya pada Fauzan, temen sekelas, yang sudah buat.

“Zan, kemarin buat SIM habis berapa?”

“Rp 180 ribu.”

“Ha!!! Bukannya Rp 75 ribu. Kok mahal sekali?” tanyaku melotot.

“Ya, memang segitu. Ceritanya, saat aku tes tertulis rambu-rambu lalu lintas dan praktek naik motor nggak lulus. Kucoba kedua kalinya tetep nggak lulus juga. Aku tanya apa yang salah, polisi itu nggak mau memberi tahu. So, aku nembak saja.”

Trus gimana?”

“Setelah itu aku nuggu sejam, cek kesehatan, sidik jari, foto, langsung jadi.”

Lag-lagi aku urungkan niat itu lantaran kondisi keuangan ngepas. Sebenarnya sih bisa kalau mau dipaksakan, tapi uang itu untuk bayar pendafataran masuk kuliah.

Setahun kemudian, setelah aku pindah kos dan punya motor, dapat kabar kalau pembuatan SIM naik lagi menjadi Rp 200 ribu. Aku nggak habis pikir, “Kapan aku bisa buat SIM?” Padahal harga semakin naik.

Selama nggak punya SIM itu pula aku sudah ditilang empat kali. Pertama, siang hari saat pulang kuliah aku harus mengeluarkan uang dari kocek Rp 20 ribu untuk pelanggaranku itu. Kedua, menjelang shalat Subuh saat aku pulang dari sebuah pelatihan dan sengaja menerobos lampu merah. Tak diduga, nggak jauh di depanku polisi langsung menyetop. Awalnya aku harus membayar Rp 35.000. Kemudian kutawar menjadi Rp 20 ribu. Ketiga, 20 ribu saat pulang dari Parangtritis. Keempat, Rp 20 ribu lagi sepulang dari rumah teman di Bantul.

Keadaan yang demikian itu membuatku was-was jika akan mengendarai motor. Nggak nyaman. Mata harus siap sedia kalau-kalau ada cegatan. Kemudian membelokkan arah roda motor dan kabur. Usaha seperti ini kerap kulakukan. Tetapi ini bukanlah solusi yang jitu buat menangani permasalahan tidak punya SIM.

Jika ingin buat aku nggak punya uang sebanyak itu. Lagian aku gak mau juga melalui jalur licik seperti itu. Tapi, apa aku harus seperti ini terus? Selalu ditilang polisi. Bisa-bisa uang sebulan apes dan nggak bisa makan. Aku dibuat pusing sama kepolisian itu.

“Seharusnya polisi itu kan mengayomi masyarakat, bukan malah membuat risau,” renungku suatu hari. Dan hasil renunganku itu diiyakan banyak teman serta tetangga-tetangga lain yang sudah jadi korban. Mereka dengan terpaksa harus mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan kartu pengaman itu. “Aku nggak habis pikir, sebenarnya apa yang diinginkan pihak kepolisian itu?”

***

Akhir-akhir ini aku sering menjumpai polisi melakukan rasia di jalan. Seminggu bisa dua sampai tiga kali. Keadaan ini membuatku semakin panik.

Kuputuskan saja kalau aku harus membuat SIM. Kusiapkan uang sebanyak Rp 200 ribu. Ini hasil permintaanku dari orang tua. Aku mengajak teman untuk membantu dalam proses pembuatan kartu itu. Namun, temanku melontarkan pertanyaan.

“Emang kamu sudah siap uang berapa?”

“Rp 200 ribu.”

Nggak cukup. Sekarang naik lagi, jadi Rp 250 ribu.”

Busyet dah, mahal amat,” celetukku sambil mengerutkan dahi.

“Mau jadi apa nggak?”

Setelah dipikir-pikir, aku tetap lanjut untuk membuat SIM. Dengan penuh pertimbangan kuambil sebagian uang jajan untuk menutupi kekurangan itu. Terpaksa bulan ini aku harus ngirit.

Jum’at, jam 10 pagi, aku dan temanku itu pergi ke Kapolres. Setelah parkir motor, bapak setengah tua itu mendekatiku dan menawarkan jasa SIM.

“Mas, buat SIM baru atau perpanjangan?”

“Buat baru, Pak,” jawabku sambil berjalan menuju arah kantor pembuatan SIM.

“Mau tak bantu nggak? Cukup Rp 270 ribu. Rp 20 ribu untuk cek kesehatan, Rp 10 untuk sidik jari. Selebihnya untuk formulir, foto, dan jasa kami.”

Dengan jawaban serinci itu aku bertambah pusing. Kucuekkan saja orang itu, lalu aku menuju ruang pembuatan SIM. Terpampang jelas di tembok, “Untuk pembuatan SIM baru Rp 75.000. Untuk perpanjangan Rp 60.000”. Tulisan lainnya, “Ingat, banyak calo! Jangan sekali-kali main curang”.

“Jika harganya segitu, selebihnya mereka apakan? Bagi hasil dengan teman sekerja? Ah, masa sih polisi, sebagai abdi negara, tega melakukan pemerasan terhadap rakyat? Nggak mungkin,” pikirku.

Aku duduk lama di bangku panjang itu sambil melihat orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang ngisi formulir, tes lalu lintas, cek kesehatan, dan kesibukan lainnya.

Dengan sikap tegas aku mengambil formulir itu. kuisi lalu kuserahkan ke ruang tes. Saat tes tertulis tentang tanda-tanda lalu lintas aku bisa menjawab semua. Tes naik kendaraan gak ada salah. Kesehatan mataku baik. Aku yakin pasti lolos. Esoknya aku dipanggil dan dinyatakan tidak lolos.

“Kenapa nggak lolos, Pak?”

Ada yang salah.”

“Saat apa? Seingatku semua benar.”

“Itu katamu! Sudah nggak usah berdebat. Anda mau mengulangi lagi atau dengan cara lain?”

“Saya tes lagi saja, Pak!”

“Baiklah. Silahkan ambil formulir lagi,” jawabnya penuh ketus.

Kuambil lagi dan kuisi sesuai dengan prosedur yang ada. Saat tes tertulis dan praktek tidak ada yang salah sama seperti sebelumnya. Begitu juga dengan kesehatan mataku. Tapi, saat diumumkan tetap saja tidak lulus. Aku ngotot dan membentak polisi itu dengan menggebrak meja. Semua tatapan orang yang ada di ruangan itu terfokus ke arahku.

“Anda mau apa, Mas!” bentak polisi lain.

“Saya tidak sepakat dengan cara ini!!!”

“Lalu?”

“Saya heran dengan kedudukan polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat, tapi malah membuat bencana. Anda-anda ini kan abdi negara, seharusnya santun dengan kami!!!” sergahku sambil menuding para polisi yang ada di ruangan itu.

Dari arah belakang seseorang memborgol tanganku.

“Anda kami tahan, karena berlaku tidak sopan di kantor kepolisian,” jawabnya sambil memaksaku jalan menuju sel.

Hei, saya salah apa? Mengapa mereka yang licik itu tidak ditahan,” berontakku.

“Diam. Duggg!!!”

Tiba-tida tangan polisi itu mendarat di Pundakku. Aku pingsan, tak sadarkan diri. Kemudian aku terbangun dan sudah mendapatkan diri di dalam sel. Sementara temanku masih berdebat dengan polisi itu.

“Sial. Dasar polisi keparat,” kesalku.

Esoknya aku dikeluarkan dari sel dan terdaftar di kepolisian sebagai salah satu orang yang telah berbuat tindak pidana.

“Ya sudah, Pak. Sekarang kalau mau buat SIM cepat berapa?”

“Rp 270.000.”

Kuambil uang dari saku tiga lembar seratusan ribu. Kebetulan dari kemarin aku sengaja bawa uang segitu buat jaga-jaga. Semua berjalan dengan cepat. Tak lebih dari satu jam. Formulir diisikan. Tinggal cek kesehatan dan sidik jari. Lalu foto dan menunggu pengambilan. Selesai. Setelah itu pulang.

Tak kusangka, atas nama uang mereka rela menjual simbol “Abdi Negara” kepada rakyat. Ini bukan sikap budi pekerti.

Patangpuluhan, 2 Juli 2005

13.14

Negeri Plesetean

Seorang ibu penjual mie ayam di salah satu sudut utara kota Yogyakarta mengeluh tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Ibu yang memiliki anak dua ini hanya bisa bersedih melihat kenyataan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah bukanlah manusia, melainkan setan. Setan yang tidak mau mendengarkan keluhan manusia. Setan adalah makhluk yang dengan seenaknya sendiri bertindak. Sama halnya dengan pemerintah yang asal main kebijakan. Lalu apa bedanya?

Ia bukan seorang pejabat teras atas yang bisa memberikan kebijakan sesuai dengan kepentingannya. Bukan seorang penulis cerdas yang mampu menuangkan pikirannya lewat media massa. Bukan pedagang yang sukses dengan meraih segala keuntungannya. Bukan pula orator yang mampu berdemo turun ke jalan. Tetapi dia seorang ibu rumah tangga dan rakyat biasa yang hanya bisa mengeluh dan menangis ketika musibah menimpanya. Tidak ada pekerjaan lain kecuali berjualan mie ayam demi menghidupi keluarganya, termasuk biaya pendidikan bagi anaknya. Si suami sekaligus kepala rumah tangga sudah meninggal.

Di wajahnya tidak ada sedikit pun senyuman yang memberi isyarat tanda kebahagiaan dan keceriaan. Setiap hari hanya mengeluh dan gelisah melihat bangsa Indonesia, bangsa yang telah menjadi darah dagingnya. Baginya, kenaikan harga BBM ini musibah terbesar yang dialami seumur hidupnya. Bu Sunarsih, demikian biasa dipanggil, mengatakan musibah ini “wes nekak gulu”. “Mending enak hidup di era Pak Harto, harga gak ada yang mahal,” demikian ia menghibur diri. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu kalau Indonesia di era Presiden Soeharto meninggalkan hutang di sana-sini.

Semua barang telah naik termasuk peralatan dan jenis bahan makanan untuk penjualan mie ayamnya. Dari harga minyak, mie mentah, dan bumbu-bumbu lainnya. Sebelum keputusan harga BBM naik, mie ayam Bu Sunarsih dua ribu rupiah. Tetapi setelah tanggal 1 Oktober 2005, saat Menteri Perekonomian Indonesia, Abu Rizal Bakrie, membacakan keputusan tentang naiknya harga BBM, harga mie ayam Bu Sunarsih menjadi dua ribu tiga ratus. Sebenarnya dia tidak tega menaikkan harga mie ayamnya, karena merasa kasihan melihat anak-anak kos yang ada di samping kanan-kirinya kurang mampu secara finansial. Tetapi harus bagaimana lagi. “Kalau tidak dinaikkan, saya tidak bisa belanja,” demikian akunya dengan penuh gelisah. Di tengah kegelisahan ini masih ada orang yang merasah kasihan kepada orang lain. Inilah sebuah perbuatan mulia yang patut ditiru.

Sambil mengaduk mie ayamnya, ibu itu terus mengomel dengan para pembelinya tanpa akhir. Seolah dunia ini sudah kejam terhadapnya. Tentunya ini hanya cerita kecil yang sering kita jumpai di masyarakat pada umumnya. Teriakan-teriakan tak terdengar seperti ini pasti banyak dijumpai pada mereka yang memiliki ekonomi sempit. Pertanyaanya, apakah mereka tidak mengamuk? Jelas mengamuk bung! Tetapi ekspresi amukannya tidak seperti pertarungan di sidang DPR yang hampir terjadi adu jotos. Tidak pula sekejam pembantaian Amerika terhadap Irak. Bentuk amukannya dipendam di dalam dada, seolah bersikap dewasa terhadap kebijakan pemerintah. Ada keinginan untuk memberontak, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan seperti layaknya partai politik. Padahal jika mereka menyadari betul, kekuatan tertinggi adalah rakyat. Tinggal bagaimana rakyat menyatukan kekuatan itu, lalu menghantam para elit penguasa yang tuli dan buta. Bisakah kita kita gelisah seperti kegeliasahan yang dirasakan oleh Ibu Sunarsih?

Para mahasiswa dan ilmuwan kampus yang selama ini dianggap sebagai orang yang memiliki kesadaran tinggi telah berkoar-koar di sepanjang jalan. Mereka memperjuangkan hak-hak rakyat yang selama ini telah terenggut oleh sebagian kepentingan oknum. Tetapi toh usaha mereka sia-sia belaka. Tak ada respon positif dari pemerintah, bahkan dengan demo-demo seperti itu pemerintah semakin kebal dan tahan banting. Ha, ha, ha, kayak barang dagangan saja.

Tak tertinggal masyakarat desa yang tidak mengerti apa-apa tiba-tiba terkena imbas dari musibah yang melanda bangsa ini. Bangsa yang telah mereka anggap sebagai nenek moyang dan leluhur agung. Bangsa yang telah merdeka selama 66 tahun tetapi rakyatnya masih saja dalam “belenggu hitam” oleh penguasa bejat. Lalu apa arti merdeka, kalau rakyatnya masih terjerat di dalam semak-semak rumput. Rezim Orde Baru telah mengekang akal pikiran manusia, asas tunggal yang harus dipakai di dalam hidup keseharian rakyat Indonesia hanyalah pancasila. Bagi mereka yang melawan akan dibunuh. Inikah bentuk kemerdekaan? Kemerdekaan yang telah melahirkan kekejaman terhadap rakyatnya. Ampuni kami, Tuhan.

Tak heran, jika kenaikan BBM dikaitkan dengan meledaknya bom Bali kedua. Kalau boleh diplesetkan, BBM adalah “Bom Bali Meledak”. Jika BBM naik maka bom bali akan naik (baca: meledak) pula. Ada juga yang mengatakan BBM adalah “Bola-Bali Mundak”. Sehingga sebagian orang mengatakan SBY-JK adalah singkatan dari ”Susah Bensin Ya-Jalan Kaki”. Ha, ha, ha...

Di tengah banyaknya musibah yang menimpa bangsa Indonesia, masih saja ada plesetan miring. Plesetan itu pun mengandung unsur kebenaran. SBY singkatan dari Susilo Bawahannya Yusuf. Kenyataannya memang demikian bukan? Wapres Jusuf Kalla lebih bisa menguasai Parlemen DPR dari pada SBY. Terkadang segala keputusan Wapres melebihi peran presiden. Lucu sekali bangsa ini. Bangsa yang oleh Koes Plus dilukiskan, bukan lautan hanya kolam susu/ kail dan jala cukup menghidupimu/tiada badai tiada topan kau temui/ ikan dan udang menghampirimu/Orang bilang tanan kita tanah surga/ tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Tapi kenyataannya?

Sedikit lelucon. Di sebuah toko ada sederetan jam yang dijual. Semua jam menunjukkan karakter negaranya masing-masing. Jenis jamnya ada yang lambat, tapi ada pula yang kencang. Ketika seorang pembeli menanyakan mana jam milik orang Indonesia. Si penjual mengatakan, tidak ada. Lalu ke mana? Dipakai untuk baling-baling helikopter. Sebuah ledekan yang menunjukkan tingkat korupsi Indonesia begitu cepat dan tinggi. Ada-ada saja, Mas.

Ini pertanda apa wahai bangsaku, bangsa yang hingga kini masih saja mengagung-agungkan demokarsi. Seolah demokrasi di atas segala-galanya. Tapi sudahkah paham apa itu demokrasi? Jangan-jangan selama ini kita telah salah memahami apa itu demokrasi. Pernah ada seorang mahasiswa yang berdemo dan berkoar-koar tentang demokrasi. Kemudian menggedor pintu salah satu ruangan kelas kampus dan memaksa orang yang sedang hikmat belajar untuk ikut berdemokrasi. Inikah tindakan demokrasi? Secara tidak langsung dia tidak konsisten dengan pendiriannya. Berfikir demokrasi tapi tidak bertindak demokrasi.

Kegelisahan yang dialami Ibu Sunarsih di atas mungkin tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kasus-kasus yang lebih besar seperti gempa dan tindakan kriminalitas. Tapi jika teriakan-teriakan kecil itu sudah di ambang batas dan tidak memiliki kesabaran lagi, maka mereka bisa menjadi orang yang lebih brutal dari permainan musik underground. Puncak kesabaran ada batasnya, Bung. Jika batas itu sudah lewat maka singa hutan bisa dihantam.

Wahai bangsaku, lihatlah kami yang berada di pinggiran desa ini. Jangan membuat kami yang sudah sengsara menjadi lebih sengsara. Habis sudah kesabaran di dalam dada ini. Dada yang setiap hari ditusuk oleh duri-duri kecil. Saatnya bagi kami untuk menuntut kepada anda wahai pemerintah. Kami berhak atas diri anda, karena anda adalah perwakilan rakyat yang memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangkan kepentingan pribadi atas nama kepentingan rakyat. Inilah kejahatan yang harus segera dibunuh.

Dunia sudah kejam. Dengan kekejaman itu wajar jika ada seseorang yang akhirnya memilih jalan bunuh diri. Mungkin inilah pilihan terbaik baginya dari pada dia tersiksa di dunia. Bagi mereka yang bunuh diri mungkin mengatakan, “Tuhan Maha Bijaksana terhadap keputusan yang aku pilih. Biarlah orang menilai semaunya sendiri. Inilah jalan yang terbaik bagiku. Jalan yang telah Engkau berikan padaku, karena Engkaulah pembuat takdir itu.”

Janganlah bersedih, karena kesediahan itu akan datang setiap hari. Buatlah hari-harimu dengan plesetan-plesetan ceria. Niscaya kau akan tetap bahagia. Tugas kita sekarang adalah bangkit. Hai, Pemerintah! Orang yang kerjaannya suka merintah. Merintah rakyat yang tertindas. Janganlah engkau yang berada di istana membuat kebijakan seenaknya sendiri. Pikirkan kami yang berada di sudut desa terpencil. Kami punya anak dan istri yang setiap hari selalu meminta keinginannya masing-masing. Ya, Allah berilah keadilan kepada kami, kepada bangsa Indonesia, bangsa yang sedih bin pesetan.

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Idul Adha Gunung Kidul)

13.07

Saatnya IRM Kembali Ke Pelajar

Sebentar lagi, salah satu ortom Muhammadiyah berbasis pelajar dan remaja akan menghadapi perhelatan akbar bernama Muktamar yang ke-15 di Medan, Sumatera Utara. Acara yang digelar selama lima hari ini bukan hanya sekedar untuk berlibur ke kota Batak. Tetapi pada momen inilah, bagaimana eksistensi IRM dalam kancah global kembali dipertanyakan.

Organisasi yang sudah berumur 45 tahun sejak kelahirannya 18 Juli 1961 ini telah banyak melahirakan tokoh, potikus, ilmuwan, atau sekedar guru dan pendidik biasa. Namun lain dulu lain sekarang, IRM harus mencoba kembali merefleksikan eksistensi dirinya pada era sekarang dengan melihat apa yang telah diperbuat pada masa lalu sehingga bisa membuat sejarah pada masa yang akan datang. Era di mana, struktur sosial semakin mengekang keberadaan masyarakat sekitarnya. Lalu apa yang telah diperbuat oleh IRM selama ini? Siapa yang diperjuangkan? Dan siapa yang dilawan?

Pertanyaan di atas telah menggugah IRM khususnya para aktivis yang terlibat di dalamnya untuk bangun dan bangkit dari tidur panjangnya. Bangkit tidak sekedar diam dan melakukan aktivitas apa adanya. Tetapi bangkit untuk kembali membangun dan memperbaiki bangunan-bangunan yang selama ini sudah mulai rapuh. Kita mencoba mempertanyakan dan menguji ulang, masih relefankah strategi yang telah diperjuangkan IRM? Apa bangunan-bangunan yang perlu diperbaiki, dipertegas, dan dikokohkan? Meminjam istilah filsafat, apa epistemologi gerakan yang telah digunakan IRM selama ini?

Dari pertanyaan di atas, akan melahirkan pula pertanyaan, siapa basis yang akan diperjuangkan oleh IRM? Masih relevankah dasar-dasar gerakan dan AD/ART IRM? Bagaiaman dengan rutinitas program yang selama ini telah dijalani IRM, sesuaikah dengan maksud dan tujuan IRM atau malah semakin menjauh karena organisasi ini sangat besar tanpa ada kontrol?

Sejak era reformasi 1998, kondisi bangsa sudah mulai berubah. Dulu, perjuangan IPM (sebelum berganti menjadi IRM) masih di bawah tekanan pemerintah rezim orde baru. Karena itu, tidak banyak kebijakan yang bisa diperbuat oleh IRM, sehingga IRM hanya memiliki semboyan Tiga Tertib: Tertib Ibadah, Tertib Belajar, dan Tertib Organisasi. Kini, berbagai macam gerakan bisa berbuat dengan sebebas mungkin melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat. IRM pun harus kembali berpikir ulang, sudahkah gerakan yang berbasis pelajar ini memperjuangkan rakyatnya?

Kelahiran IRM tidak terlepas dari semakin banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berkembang sehingga Muhammadiyah sangat memerlukan organisasi pelajar untuk membentengi akidah para pelajar Muhammadiyah dari serangan orang-orang komunis pada saat dulu (1960-an). Karena itu, bukan menjadi perdebatan lagi kalau basis IRM adalah pelajar dan hingga kini pun tetap pelajar. Hanya saja namanya yang berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah karena desakan pemerintah saat itu, tahun 1992, untuk tidak boleh menggunakan kata “pelajar”.

Penulis kira, muktamar di Medan nanti menjadi momen yang paling berharga bagi IRM untuk melakukan pembelaan kepada basis utamanya, pelajar. Ini bukan berarti IRM harus back to IPM. Selama ini, IRM telah jauh dari realitas yang akan digarap. IRM tidak angakt bicara ketika ada persoalan naiknya BBM pada bulan Oktober 2005 lalu? Seharusnya IRM bisa membela basisnya. Silahkan BBM naik tetapi transportasi untuk pelajar Se-Indonesia tetap tidak naik atau bahkan ada keringanan. Tidak ada pembicaraan tentang hal ini. Persoalan UN beberapa waktu lalu, peran IRM terlihat kurang signifikan untuk mencoba melakukan perubahan pada level kebijakan. Padahal, menterinya orang Muhammadiyah. Seharusnya, menjadi lebih mudah bagi IRM untuk melakukan perubahan pad level kebijakan. Tapi hal ini tidak dilakukan lantaran apa yang diperjuangkan IRM tidak jelas.

Dalam maksud dan tujuan IRM telah tertulis, “Terbentuknya remaja muslim yang berakhlak mulia dan berilmu dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhoi oleh Allah Subahanahu wata’ala.” Point utama gerakan IRM adalah mewujudkan remaja muslim yang berkahlak mulia dan berilmu. Jika ada sesuatu apa pun yang tidak mendukung untuk mewujudkan remaja yang berdedikasi ke arah akhlak mulia dan berilmu maka itu adalah musuh IRM. Sebagai contoh, jika televisi tidak menunjang ke arah akhlak mulia dan berilmu, maka televisi menjadi musuh IRM dan harus diperangi.

Kesadaran Kritis dan Realitas Pelajar
Mejadi pilihan yang tepat jika paradigma kesadaran kritis sebagai ruh gerakan IRM di era sekarang. Kesadaran kritis dimaknai sebagai bentuk kesadaran tertinggi di antara kesadaran naif dan kesadaran magis. Lalu, kaitannya dengan gerakan IRM apa? IRM sebagai gerakan berbasis pelajar harus sadar kalau anggotanya sekarang banyak menjadi korban pada segala aspek, baik pada aspek sosial, potilik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Pada aspek sosial, pelajar yang suka tawuran langsung divonis sebagai destroyer/perusak kenyamanan. Padahal para pemvonis itu tidak tahu apa yang melatarbelakangi tawuran itu terjadi. Di bidang politik, pelajar hanya berfungsi sebagai makanan empuk ideologi-ideologi politik tertentu. Mereka hanya dijadikan pelengkap kampanye dan rela berjam-jam di bawah panasnya terik matahari. Mengecat badannya sesuai dengan warna parpol yang disegani, dan mengganti suara motor dengan yang lebih nyaring. Berharap mereka mendapat hiburan, kaos oblong, dan uang sebagai pencuci mulut.

Pada ranah ekonomi, pelajar menjadi santapan empuk para kapitalis. Mereka hanya mementingkan keuntungan pribadi dan menjerumuskan pelajar dengan segala bentuk rayuan untuk membeli produk-produknya tanpa pandang bulu. Pada akhirnya, budaya konsumerisme dan pop menghantui kehidupan pelajar kapan pun dan di mana pun mereka berada. Apalagi sekarang sudah ada sarana media massa sebagai salah satu cara para kapitalis meracuni pelajar dengan berbagai propaganda dan kampanye produk.

Kesadaran kritis yang diciptakan tentunya harus dilakukan setahap demi setahap. Para aktivis yang terlibat di dalamnya tentu harus dipahamkan terlebih dahulu dengan paradigma yang sedang diusung. Jika tidak demikian, ditakutkan para aktivisnya menjadi latah dengan kata-kata ”kesadaran kritis” hingga akhirnya malah menjadi anti-kritis.

Ada beberapa indikator sebuah gerakan atau seseorang dianggap kritis. Indikator ini tentunya meliputi aspek personal atau aktivis IRM maupun gerak langkah IRM sebagai organisasi. Pertama-tama indikator kritis ditandai dengan adanya upaya untuk sadar bahwa realitas sosial itu tidak tetap, tetapi dapat berubah-ubah menuju kondisi yang lebih baik. Ini adalah tugas setiap orang sebagai pemimpin di dunia ini. IRM pun harus memulainya sekarang. Kepekaan dan kepedulian adalah langkah selanjutnya sebagai bentuk konsekuensi dari sadar. Ia harus mampu memahami berbagai kontradiksi yang sedang terjadi di segala aspek. Peduli menunjukkan rasa tanggung jawab dan komitmen bahwa realitas sosial harus terus dirubah menuju kondisi yang lebih baik.

Pada akhirnya aksi/tindakan nyata merupakan langkah terakhir dari rangkaian tradisi kritis. Aksi merupakan bentuk keterlibatan yang sebenarnya dalam proses perubahan. IRM yang mewakili kaum pelajar harus menunjukkan sikap keberpihakannya dengan jelas. Keberpihakan itu tentunya tidak hanya dikerjakan oleh IRM sendirian, akan tetapi harus melibatkan semua komponen dalam suatu komunitas sosial yang memiliki tujuan yang sama. Misal, IRM bekerja sama dengan Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nadhatul Ulama (IPNU), dan LSM lain yang memiliki kepedulian terhadap dunia pelajar. Dengan demikian, gerakan IRM akan dipandang sebagai gerakan yang memiliki karakter visioner dan pelopor.

Agenda IRM ke Depan
IRM kembali ke pelajar, kiranya menjadi pilihan yang tepat bagi IRM yang sedang mengusung paradigma kesadaran kritis. Pelajarlah umat yang akan dibela oleh IRM. Kesadaran kritis terkait erat dengan hubungan struktur sosial dan kebijakan pemerintah. Untuk itu, banyak agenda yang nanti harus diperbincangkan oleh IRM pada muktamar yang ke-15 nanti. Agenda yang perlu diperbincangkan adalah fokus basis Gerakan IRM: pelajar atau remaja, kebijakan-kebijakan terkait dengan permusyawaran dan struktur IRM, program-program yang akan diperbincangkan, serta profil kader IRM.

Menjadi hal yang perlu diagendakan pula, persoalan keroposnya nilai-nilai ideologi Muhammadiyah yang tertanam pada jiwa para aktivis IRM. Sudahkan mereka benar-benar memahami dan menjalankan khittah perjuangan Muhammadiyah? Karena itu, proses ideologisasi di tingkatan internal IRM perlu dimassifkan, mengingat ini juga yang menjadi agenda persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi induknya. Proses kaderisasi menjadi pilihan yang tepat. Pengkaderan Taruna Melati dari tingkat dasar hingga purna harus dioptimalkan sedemikian baik. Dari tingkatan pusat hingga ranting harus ada taruna melati. Karena, jika proses kaderisasinya mati maka tunggu saat kehancuran sebuah organisasi atau gerakan. Optimalisasi proses pengkaderan menjadi agenda penting yang sedang dijalankan oleh Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah periode sekarang.

Realitas ini tidak bisa dihindari atau ditinggalkan begitu saja. Muhammadiyah ke depan menjadi tanggungan generasi angkatan Muda sekarang. Hal yang lumrah ketika kaderisasi menjadi poin penting untuk segera digembar-gemborkan di segala level dari pusat hingga ranting. Bagaimana dengan IRM sekarang?

Ridho Al-Hamdi
Ketua Kader PW IRM DIY

(Pernah dimuat SM, 2006)

17.14

Wajah Yogyakarta Pascagempa

Hampir semua warga Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tahu kalau tiba-tiba pada Sabtu, 27 Mei 2006, pukul 5.54 (versi lain ada yang mengatakan 5.56) terjadi gempa tektonik dari Laut Selatan berkekuatan 5,9 skala Richter (versi Badan Meteorologi Universitas Gadjah Mada 6,2 skala Richter). Tanpa diduga, guncangan selama kurang lebih satu--dua menit itu langsung merobohkan ratusan rumah warga terutama di daerah Kabupaten Bantul.

Awalnya, warga sekitar mengatakan gempa itu berasal dari Gunung Merapi. Tetapi sebagian lain mengatakan gempa berasal dari arah pantai Selatan (Parangtritis). Akhirnya, warga yang dari selatan (Jalan Parangtritis) berlari menuju utara, dan yang dari utara (dekat Gunung Merapi) berlari ke selatan. Terjadilah keributan di tengah-tengah Kota Yogyakarta.


Warga menjadi kalut dan kacau. Semua kendaraan seketika itu banyak yang saling bertabrakan dan jatuh di jalanan karena guncangan gempa. Orang-orang yang berada dalam rumah, keluar menuju tanah lapang. Semua aktivitas terhenti.


Suasana mencekam dan teror psikologis menghantui warga. Menjadi suatu kewajaran karena baru kali ini gempa berkekuatan di atas 5,9 skala Richter menggoyang Kota Gudeg.


Suasana mencekam itu ditambah lagi dengan datangnya isu yang mengatakan akan datang tsunami. Orang-orang berteriak, "Ada air! Ada air!" Tetapi, itu hanyalah suara-suara tidak bertanggung jawab yang memperkeruh suasana.


Aliran listrik saat itu juga mati. Media koran tidak terdistribusikan dengan baik dan berita televisi tidak ada. Satu-satunya media yang menjadi pusat informasi adalah radio lokal Yogyakarta, Sonora FM.


Warga yang ingin menghubungi dan memberi informasi ke Sonora harus menggunakan telepon genggam. Itu pun tidak langsung nyambung, tersendat-sendat.


Warga menjadi trauma dengan gempa seperti ini, sehingga ketika mendengar suara mirip gempa langsung lari ke luar. Begitu seterusnya. Hal ini disebabkan adanya berita yang mengatakan akan ada gempa susulan.


Kondisi psikologis saat itu memang tidak baik. Bisa dikatakan gempa yang terjadi pada pagi hari itu adalah teror psikologis.


Kejadian ini memang tidak pernah diduga-duga. Sebenarnya, yang diperkirakan mengguncang Yogyakarta adalah Gunung Merapi. Tetapi, itulah alam, yang tidak bisa ditebak dengan tepat secara teoretis.


Pascagempa, Bupati Kabupaten Bantul, Idham Samawi, mengimbau seluruh warga Bantul dan DIY pada umumnya untuk tidur di luar rumah pada malam pertama pascabencana karena gempa susulan bisa terjadi tiba-tiba.


Warga harus selalu waspada dengan adanya gempa susulan. Secara teoretis, tsunami tidak akan terjadi.


Sebab, kalaupun terjadi, seharusnya 5--10 jam setelah gempa pagi harinya atau tsunami, akan ada gempa lebih kuat lagi dari gempa sebelumnya. Tetapi, kemungkinan kecil kalau ada gempa yang lebih besar. Ini berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi UGM.


Kondisi Yogyakarta rusak berat. Banyak bangunan yang roboh dan rata dengan tanah, terutama daerah Bantul. Sebab itu, semua lembaga pendidikan meliburkan diri. Bahkan, ada universitas yang akhirnya tidak melaksanakan ujian akhir semester lantaran kampusnya tidak layak lagi digunakan.


Warga di daerah Bantul banyak yang mengungsi ke daerah utara (Kota Yogyakarta dan Sleman). Bahkan, ada yang mengungsi ke daerah lain di luar DIY. Tindakan serupa pun dilakukan para pendatang, terutama mereka yang berstatus mahasiswa.


Banyak dari mereka yang akhirnya memutuskan balik ke kampung halaman. Alasannya, selain menghindar teror psikologis, kampus dipastikan libur. Sehingga tidak ada aktivitas lagi. Mungkin mereka berpikir, lebih baik pulang kampung saja daripada menjadi korban bencana.


Dari data terakhir, lebih 5.000 korban yang meninggal pascagempa tersebut. Sejak hari pertama, pihak televisi selalu memberitakan kejadian gempa tersebut.


Bantuan berbagai pihak berdatangan silih berganti. Banyak posko-posko yang didirikan baik oleh pemerintah, LSM, organisasi independen, ormas, orsospol, maupun warga sekitar. Di jalanan, banyak orang yang meminta-minta bantuan hanya untuk menyambung hidup mereka.


Mereka tak punya malu lagi, entah itu laki-laki maupun perempuan. Tujuan mereka hanya satu, bisa bertahan hidup.


Jalanan di daerah Yogyakarta menuju Bantul akhir-akhir ini menjadi padat. Orang lalu lalang untuk mengirim dana dan logistik ke daerah-daerah bencana.


Setiap rumah sakit selalu penuh dengan korban-korban jiwa. Toko-toko dan warung makan banyak yang tutup, sehingga bagi pendatang yang ingin mencari makan agak kesusahan. Harga bensin tiba-tiba naik hingga belasan ribu per liter, begitu juga dengan harga-harga barang lain.


Walaupun logistik selalu datang dari mana-mana, tetap saja masih ada daerah yang belum terjamah posko-posko bencana, terutama daerah pedalaman dan pelosok. Tim relawan kami (Posko Muhammadiyah) sangat kebingungan menangani hal ini.


Banyak hal yang belum tertangani, pendataan masih lemah, serta logistik yang keluar masuk belum tercatat dengan rapi. Karena masyarakat panik, akhirnya rumah mereka ditinggalkan begitu saja.


Banyak rumah yang kehilangan, baik itu perabotan dapur, alat-alat elektronik, sepeda motor, hingga ternak sapi dan kambing. Saat-saat yang mencekam inilah kesempatan menjarah dilancarkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.


Bahkan, di salah satu kampus di Yogyakarta, ada toko buku yang hancur dan akhirnya hampir semua bukunya dijarah warga sekitar. Tidak heran jika lagu ciptaan Ebit G. Ade menghiasi suasana ini, terutama bait lagu yang mengatakan, "masih ada tangan yang tega berbuat nista".


Ini wajah Daerah Istimewa Yogyakarta pascabencana. Perekonomian hancur dan warga harus kembali menata ulang kondisi bangunan tempat tinggalnya. Salah satu radio memberitakan untuk memulihkan kembali DIY membutuhkan waktu sekitar satu tahun.


Tak ada kata lain selain uluran bantuan saudara-saudara yang ada di Nusantara ini. Sekecil apa pun bentuk bantuan itu sangat berharga untuk membangun kembali salah satu daerah istimewa ini.


Pernah dimuat Harian Lampung Post, Kamis 8 Juni 2006

16.50

Televisi Sebagai Tanda Era Goblogisasi

Penulis mempunyai keponakan. Namanya Reni. Kini dia sedang duduk di bangku SMP. Tentunya keponakan itu bukan di Jogja, tapi di Metro (Lampung). Penulis sempat bersamanya untuk beberapa minggu. Awalnya, keluarga paman saya ini tidak memiliki televisi, apalagi komputer. Namun hidup harus berubah dan kehidupan keluarga paman saya pun ikut berubah. Mereka kini memiliki televisi, komputer pun ada dua buah.

Kini, kebiasaan menonton televisi tidak bisa dilepaskan oleh Reni. Bahkan remot pun harus dia yang memegang. Tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya tanpa seizin Reni. Kebiasaannya yang dulu rajin mengikuti tadarus tiap sore hari di masjid, kini menjadi jarang disebabkan tontonan gosip yang selalu menghadirkan artis-artis cantik dan terkenal. Shalat Maghrib dan Isya’ di masjid pun mulai ditinggalkannya secara perlahan-lahan. Itu juga disebabkan karena program televisi yang menyajikan tayangan sinetron anak muda penuh glamour dengan soundtrack lagu dari band-band papan atas negeri ini.

Sang ibu pun tak ingin ketinggalan dengan anaknya. Saat malam hari, ibu tiga anak ini rutin menyaksikan program acara sinetron keluarga dan misteri ilahi. Sang ayah hanya mendapat jatah pagi hari untuk menonton siaran berita. Itu pun terbatas waktunya. Karena jam tujuh harus sudah berangkat ke sekolah. Maklum, beliau mejabat sebagai kepala sekolah di desanya.

Kita pun masih ingat dengan sederetan film-film ternama berkelas internasional semisal Titanic dan The Lord of The Ring yang sempat mewarnai dunia pertelevisian kita. Hadir pula film-film remaja yang akhirnya bertengger di panggung televisi, seperti AADC, Dealova, Eifel… I’m in Love, dan Cinta Pertama. Bahkan ada yang dijadikan cerita serial seperti yang terjadi pada film Heart.

Dalam kontes musik, lahir band-band baru yang hampir keseluruhannya dirajai oleh anak muda. Lagu-lagu mereka pun hampir tiap jam selalu mewarnai program acara televisi. Ada yang dijadikan soundrack film, soundtrack iklan, siaran 10 tembang hits dalam negeri, atau konser di berbagai tempat di tanah air. Tentunya satu sama lain saling menggaet penggemarnya. Ribuan kaset mereka pun tercecer di pinggir jalan.

Televisi merupakan tanda dari globalisasi. Dia lahir dari rahim modernisasi. Modernisasi yang terkadang tak selalu membawa kebahagiaan. Menjadi sesuatu hal yang sulit untuk menolak kehadiran televisi di era goblogisasi dan gombalisasi yang serba tanpa skat dan batas ini. Seolah, televisi telah menjadi salah satu menu wajib dalam keluarga. Mungkin, slogan “Matikan TV-mu” hanya menjadi gonggongan anjing yang ditinggalkan kafilah.

Ironis memang. Karena kita telah masuk ke dalam ‘lubang hitam’ modernisasi dan menjadi agak sulit untuk keluar dari lubang tersebut. Televisi telah menjadi bius yang mampu menghipnotis jutaan manusia secara perlahan-lahan tanpa disadari oleh manusia itu sendiri. Seluruh program acaranya telah menjadi pil yang mampu menawarkan ilusi-ilusi indah. Para produser pun telah berhasil meninabobokan kita, tertutama kawula mudanya.

Walaupun kita sudah mengetahuinya, tetapi tetap saja belum sadar. Generasi muda yang seharusnya mampu melawan proses pembodohan ini, ternyata telah terlena dengan tayangan-tayangan tersebut. Meminjam istilah Sigmund Freud, televisi adalah ilusi yang harus dimusnahkan! Karena dia telah menawarkan janji-janji palsu yang merusak identitas generasi muda.

Hal ini bukan menandakan bahwa televisi divonis seratus persen sebagai media yang tidak berguna. Sebenarnyanya banyak juga tayangan lain yang bermanfaat bahkan harus ditonton, semisal berita, liputan khusus (investigasi, buser, dll), discovery, national geographic, english learning, dan bedah tokoh. Lalu, bagaimana dengan tayangan-tayangan sampah yang tidak bermoral? Tinggalkan! Cari aktivitas lain yang bisa menghindarkan kita dari sekedar menonton program yang tidak berguna itu.

Sekarang, apa yang harus kita perbuat sebagai warga biasa? Tidak ada! Karena kita bukan direktur utama dari sebuah stasiun televisi, bukan produser pada sebuah program acara, dan bukan pula sutradara atau penulis skenario dalam proses pembuatan alur cerita film.

Yang bisa kita lakukan hanya meninggalkan produk mereka dan mencari produk lain yang lebih berkualitas. Tapi terkadang kita masih senang dengan produk yang kurang berkualitas tersebut. Karena produk yang kurang berkualitas biasanya malah lebih nikmat ditonton. Sekarang, kita hanya bisa memilih: Ingin menjadi budak televisi atau membebaskan diri dari perbudakan tersebut. Tulisan ini belum bisa memberikan solusi, tetapi hanya mengingatkan kembali apa yang telah kita perbuat dalam hidup ini. Karena hidup harus selalu direfleksikan!

Papringan, December 22, 2007

14.40

S.a.k.i.t.

Sutarno, pemuda asal Bacilen, Kajoran, Klaten Selatan, mengidap penyakit kaki gajah, elephantiasis. Kedua kakinya bengkak sebatas lutut. Bagian betis ke bawah besarnya hampir sama rata. Kalau sedang masuk angin kakinya yang sering dihinggapi cacing Filaria itu semakin membesar. Terkadang keluar lendir akibat beberapa luka di lipatan kaki. Setiap orang akan canggung jika melihatnya, apalagi mendekat.

Pada umurnya yang ke-51 tahun ini ia belum juga menikah. Setiap gadis yang akan dijodohkan selalu menolaknya, karena merasa tidak nyaman dan jijik. Ia memutuskan untuk tidak mencari pasangan hidup dan memilih hidup sendiri. Ia hanya pasrah kepada yang Maha Kuasa. Untung para kerabatnya selalu bergiliran mengirimkan makanan. Setiap pagi, jam 07.00-9.00 ia pergi ke sawah, bertani. Setelah itu ia kembali ke rumah untuk mengurus badannya. Dialah orang pertama kali ditemukan sebagai penderita kaki gajah untuk tahun ini, sebagaimana yang telah diberitakan di harian Jawa Pos, 29-30 Juni 2005.

Tak banyak orang yang mengenalnya, kecuali kerabat dan sanak familinya. Apalagi sampai prihatin dan bertandang ke rumahnya. Orang-orang yang jauh dari rumahnya bisa tahu karena koran asal Surabaya itu meliputnya selama dua edisi, Kamis dan Jum’at. Tak ada isak tangis, malu atau mengeluh pada dirinya. Termasuk saat ditemui oleh wartawan saat diwawancarai. Kalau rasa sakit iya, tetapi itu bukanlah satu-satunya halangan bagi dia untuk tetap melakukan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari dengan baik.

Hingga umur yang setengah abad itu ia tetap tegar dengan segala rintangan dan cobaan. Tidak ingin mencari jalan pintas yang berakibat fatal untuk menyelesaikan aibnya. Aib yang bagi orang lain bisa dianggap sangat menjijikkan. Bisa jadi, kalau orang lain yang sudah buntu pikirannya, sudah bunuh diri atau tidak mau bertemu dengan siapa pun.

Kita bisa melihat juga bagaimana sakit dan keluh kesahnya seorang ibu pada hitungan 9 bulan 10 hari, di saat mengandung si jabang bayi yang sudah berontak untuk berjumpa dengan dunia. Bisa jadi kelahiran si anak mengakibatkan ibunya meninggal atau harus dioperasi. Bagi kaum laki-laki atau para suami hanya bisa sekadar membayangkannya saja.

Setengah tahun yang lalu badai tsunami telah mengguncang bangsa ini. Membuat semua orang yang ada di dunia ikut merasa sakit dan prihatin akan musibah yang merenggut banyak nyawa. Badai itu tak kenal tua atau muda, beriman atau kafir, bangsawan atau rakyat biasa. Berbondong-dondong bantuan dalam bentuk uang dan barang mengalir, baik dari negeri sendiri maupun negeri orang. Semua merasa terpanggil dengan peristiwa yang terjadi pada 26 Desember 2004 itu. Di saat sebagian orang sedang menikmati weekend dengan indahnya pemandangan pantai.

Halaman koran dan media cetak selalu menghadirkan liputan berita kriminal: pembunuhan, perampokan, tabrakan, dan segala bentuk kriminalitas lainnya. Semuanya selalu saja membuat kerabat yang terkena bencana tak segan-segan menjerit, mengeluarkan air mata hingga meronta-ronta tak ada hentinya. Tapi apakah bagi kita yang enak-enakan dengan harta dan tahta bisa merasakan sakit mereka? Atau minimal dalam bentuk prihatin, sehingga ada keinginan untuk menyisihkan waktu dan harta bagi mereka?

Sakit bagi sebagian orang merupakan bagian hidup yang harus dijauhi, bahkan mendekat pun jangan. Mereka akan selalu waspada, apalagi bagi orang yang takut dengan datangnya kematian. Tetapi bagi sebagian yang lain sakit adalah rahmat, kasih sayang. Jika kita diberi sakit berarti Allah semakin sayang, sehingga kita akan terus-menerus bertasbih, bertahmid, dan bertakbir pada-Nya. Terkadang kita baru ingat berdzikir pada sang Pencipta di saat salah satu bagian tubuh merasa sakit atau dilanda musibah.

Jika aku sakit maka Dialah yang akan menyembuhkanku.” Itulah salah satu arti ayat yang menjadi spirit bagi orang-orang sakit. Mereka berkeyakinan bahwa Allah pasti akan menyembuhkan penyakitnya. Dokter hanya sebagai motivator untuk proses penyembuhan sakitnya.

Bagi Sutarno, penyakit yang dideritanya itu merupakan salah satu bentuk ketegaran melawan hidup. Tidak ada kata pesimis baginya. Jika ditebak, mungkin Sutarno akan bilang,“Hidup itu berjalan apa adanya, mengapa mesti ditakuti? Toh, semua orang pasti akan menjemput ajalnya.”

Lalu, bagaimana dengan yang sehat? Tentunya harus lebih tegar dari apa yang di alami oleh Sutarno. Ketegaran untuk melawan hidup yang masih panjang. Jangan malas belajar karena tidak punya HP merk baru. Jangan tidak beribadah karena tidak ada baju baru. Tetapi berpikir, sudahkah saya bisa membahagiakan orang-orang terdekat atau malah membuat mereka sakit?

Yogyakarta, 10 Desember 2007