17.34

Kritik Pedas dari Musik Cadas

Sore itu terdengar gebukan drum dengan hentakan cepat. Kemudian menyusul melodi dari gitar yang meraung tinggi, diselingi cabikan bass yang berubah-ubah nadanya. Di tengah alunan melodi itulah menyelinap sebuah lagu. Suara vokal menjerit panjang, melengking dan memekakkan telinga. Perpindahan nada berlangsung secara cepat tanpa mengubah tempo musik. Penampilan grup musik di atas pentas itu, seakan-akan menumpahkan kemarahan yang dikeluarkan habis-habisan.

Di bawah panggung, sejumlah penonton tak hanya menggerak-gerakkan kepala, tetapi juga melakukan pow go, menikmati musik sambil membenturkan tubuh antar penonton. Inilah sebuah gaya komunitas underground dalam merespon musik. Mereka bergerak liar, saling bertubrukan dan saling menerjang. Ada beberapa di antaranya terjatuh dan hampir terinjak-injak. Tapi mereka hanya tertawa. Di pentas, suara vokalis terus bergemuruh makin tinggi. Bertelanjang dada dengan tubuh bertato. Penampilan bassisnya ugal-ugalan. Sedangkan tabuhan drum sesekali menunjukkan kegarangannya. Itulah penampilan Victim of Rage yang beraliran Brutal Death, group musik underground asal Bandung dalam sebuah acara yang bertajuk Stay In Underground di Bukit Kafe, Cimahi, pada akhir Januari 2005 kemarin.

Brutal Death adalah salah satu bagian dari Death Metal. Jenis musik ini liriknya asing. Suara gitar dan drumnya meniru kecepatan detak jantung seseorang yang seolah melihat pisau guilotine jatuh ke arah lehernya. Lagu-lagunya kental dengan warna kematian. Aksi panggungnya me-ngibas-ibaskan rambut panjang yang hampir dimiliki musisi maupun penggemarnya. Bunyi salah satu liriknya: “Blasphemy god, my body was possessed. The essence of their spirits are evil. Burning my flash, inhaling no regrets.” (artinya: Hujat Tuhan, kupersembahkan tubuhku untuk setan. Sumber jiwa adalah setan. Bakar dagingku dengan tanpa ampun). “Selain itu ada juga Pure Death, Domm Death, dan Hyperblast,” demikian kata Slamet, Vokalis Damnation asal Jogja, kepada kuntum.

Demikian juga kelompok Discount asal Bandung, yang hadir dengan warna musik Punk. Begitu naik ke pentas dengan brutal, mereka langsung direspon penonton. Ketika seorang personel Discount melemparkan ratusan stiker, penonton langsung saling berebut. Mereka saling terjang dan menabrakkan diri. Bahasa dan kata-kata yang diucapkan vokalis seakan tidak menjadi penting lagi untuk dikomunikasikan. Karena jeritan dan raungan adalah satu-satunya cara untuk mengomunikasikan pemberontakan mereka. Aliran Punk memang lebih mengutamakan pelampiasan emosi dari pada skill bermain. Rasanya belum lengkap jika dalam setiap konsernya tidak terjadi keributan, malah keributanlahyang diinginkan. Simbol Punker memakai jeans bebel, jaket kulit, rambut bergaya Mohawk (gaya rambut yang dibentuk ruincing ke atas), dan cenderung menggunakan apa saja yang dianggap menarik perhatian. .

Dari awal muncul hingga sekarang musik underground masih terkesan misterius. Banyak orang yang asal ngomong dan salah kaprah dengannya. Memahami musik underground sebagai musik perusak dan tidak punya tujuan. “Ungkapan demikian itu wajar-wajar saja. Mereka itu kan orang-orang yang belum me-ngerti musik. Standar mereka yang penting e-nak didengar. Coba kalau orang yang benar-benar mengerti musik, mereka akan salut dengan aliran kami,” cerita Camel, Bassis Damnation, grup musik underground dari Yogyakarta.

Memang jika ditelusuri lebih jauh lagi, tujuan adanya komunitas musik underground itu sudah jelas. Mereka menyampaikan pesan dan kritiknya lewat lirik lagu dan simbol-simbol yang ada di kaos atau di stiker. Sebagian dari aliran mereka lebih ke arah penghujatan, semisal pada aliran blasphemy yang dimiliki Damnation. Di sinilah letak keberanian dari musik underground.

Pada kenyataannya, memang jarang ada perusahaan kaset yang mau menerima jenis musik ini, sehingga mereka harus bekerja keras. Tetapi mereka tetap yakin, musik underground adalah yang terbaik. “Bagi saya, musik underground itu levelnya sudah tinggi. Orang lain belum tentu bisa semua. Kalau seperti Sheila atau Dewa, orang lain pasti bisa memainkannya. Nah, kita ingin mencari yang lebih dari itu. Musiknya lebih keras dan lebih kencang lagi,” ungkap Bonny, Drummer Damnation, saat ditemui kuntum di markasnya.

Memang tak mudah mengubah image dan anggapan masyarakat pada musik underground. Upay, ketua sebuah acara Stay In Underground, merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari gedung untuk acara tersebut. Belum lagi sponsor yang enggan bekerjasama. Anggapan pada musik underground yang negatif dan brutal, itulah pangkalnya. Sehingga komunitas underground akan tetap hadir dalam dunianya sendiri. Dunia yang mereka anggap lebih jujur meneriakkan perlawanan.

Hal senada dinyatakan Furqon Ilhaq, anak komunitas underground Gondomanan, Jogja. “Saya sih kurang setuju kalau ada orang yang ngomong musik underground itu negatif. Soalnya itu kan kreatif dan hasil karya.” Dimas pun mengakui juga. “Sebenarnya di komunitas underground ini kita berkarya. Mungkin caranya saja yang berbeda,” kata Drummer Green Sand yang kini masih menjadi siswa SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, saat ditemui di asrama sekolahnya.

Selain Punk dan Death Metal, musik underground masih memiliki Hardcore dan Back Metal. Hardcore tidak jauh berbeda dengan Punk. Namun, dia memiliki pola hidup sehat. Mereka tetap menyuarakan kritikan tajam. Lirik lagunya berkisah tentang himbauan untuk pengendalian diri, peduli sesama, cara hidup yang bebas alkohol dan bebas seks. Aksi panggungnya lebih terkendali walaupun masih tergolong brutal. Mereka lebih menonjolkan skill dan memperhatikan kenyamanan penonton. Contoh bandnya: Bad Religion, Black Flag, Warzone.

Kalau Black Metal mengutamakan protes dan perang terhadap Christ dan Christianity. Jenis musik ini tingkat kebisingannya melebihi Death Metal. Ciri fisiknya, muka dicoreng-coreng seperti setan, mengenakan paku-paku panjang dan senjata kuno. Dalam shownya mereka juga memasang dua salib terbalik dengan kepala babi. Kelengkapan lainnya adalah tombak-tombak dan rantai besi bermata runcing seperti layaknya pasukan perang dari neraka. Black Metal mempunyai simbol visual berupa: salib terbalik, pentagram terbalik, ang-ka 666 dan kepala kambing bertanduk. Sehingga arti logo di dalam musik underground sangat penting sekali, karena ia sebagai identitas diri dan menjadi pembeda antar aliran yang satu dengan yang lain.

Di komunitas underground terdapat tema-tema dalam nyiptain lagu. “Ada gore, yang mengarah pada pembunuhan. Porn, mendukung kepada yang berbau ponografi. Blasphemy, pengujatan kepada segala hal. Politics and Social, bernuansa kritik. Satanic, penyembahan terhadap setan dan dewa-dewa,” demikian kata Bonny, Gitaris Damnation.

Di satu sisi musik underground tidak bisa terlepas dari munculnya kaum Punk di Inggris. Dan ini tentu saja jenis musik yang dimainkan oleh komunitas underground akan semakin bertambah panjang saja. Ada Metal, Grindcore, Gothic, dan entah apalagi kelak yang akan menyusul. Namun, sejauh ini, sebagian besar dari mereka tak jauh-jauh juga dari Metal.

Sepanjang hampir 40 tahun terakhir, Metal adalah mesin pendorong perkembangan Rock. Metal adalah Rock yang berenergi tinggi, sehingga dia terus-menerus berubah semakin keras. Musik yang semula disebut keras, adayang datang kemudian. Trash Metal (yang sekarang termasuk dalam underground) merupakan sikap bermusik yang lebih ekstrem daripada Speed Metal, baik pada tata nada maupun lirik. Ritmenya terkesan ugal-ugalan. Sebagai contoh yang tepat adalah Sepultura di album Morbid Visionis. Hampir tidak terjadi permainan vokal seperti umumnya orang bernyanyi, yang ada hanyalah suara orang muntah.

Pada dasarnya, musik underground itu hanyalah variasi dari musik Rock di zaman sebelumnya termasuk penampilan penyanyinya. Pada tahun 70-an muncul berbagai kelompok yang mengusung warna Rock, seperti Led Zeppelin, Deep Purple dan sejumlah nama lainnya. Selain makan kakak tua dalam pen-tasnya, Ozzy Osbourne pernah juga menggigit dan menghisap darah kelelawar serta me-nyembelih binatang.

Sekarang, musik underground telah populer di tiga negara. Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Kanada dan Amerika. “Dan di Indonesia berpusat di Jogja. Jika ada orang yang ingin mencari musik underground, pasti larinya ke Jogja dulu,” Kata Ahmad Abror, salah seorang yang pernah aktif di underground. Masih kata Oik, demikian akrab di-panggil, “Orang Jakarta pasti nggak terima kalau Jogja dijadikan pusat musik underground. Mereka pasti beranggapan, pusatnya underground ya di Jakarta, karena Jakarta kan ibu kota negara. Tapi, terlepas dari itu semua, saya memaklumi saja.”

Di Indonesia, musik underground sudah hampir merata di setiap daerah-daerah. “Perkembangannya mulai merata sejak tahun 1999-an,” kata Camel. Hal ini terbukti dengan ikut sertanya sebagian besar musik underground pada even “Jogja Brebeg”. Di sinilah tempat mereka berekspresi dan adu kebolehan. Jogja Brebeg adalah salah satu even besar underground yang sering diadakan di Yogyakarta. Berpuluh-puluh grup musik menampilkan aksi panggungnya. Ada Murka (Lampung), Total Rusak (Padang), Death Cronic (Cirebon), Eruption (Solo), Kill Harmonic (Kediri), Second of Death (Tegal), Damnation, Mystis (Jogja), D’lonix (Bekasi), Disphercy (Temang-gung), Putrefection (Semarang) dan lain-lain. Kini Jogja Brebeg sudah mencapai hitungan kesebelas yang dirintis sejak tahun 1996. Terakhir pada bulan Oktober 2004 kemarin.

Bagi sebagaian orang, proses terbentuknya komunitas underground hanya sepele. “Waktu kelas 3 SMP saya nganggur, gak ada kerjaan. Terus saya kenalan sama teman yang pinter musik dan diajak main band. Waktu itu saya gak bisa. Tapi karena keseringan, akhirnya bisa juga,” ungkap Dimas. Berbeda dengan Oik. “Saat remaja dulu, saya gak puas dengan musik Rock, Grunge, Punk, dan Hardcore. Sehingga saya ingin membentuk komunitas musik yang melebihi dari mereka. Akhirnya saya mencari kaset-kaset underground di jalanan Malioboro supaya menambah inspirasi saya,” katanya.

Kepuasan seseorang dalam bermusik memang tidak bisa diukur. Mungkin hanya perasaan pribadi saja yang mampu mengetahuinya. Begitu juga pernah dialami Oik. Saking seriusnya dalam pementasan, Oik mengalami patah kaki. Baginya itu wajar-wajar saja. “Namanya juga senang-senang, ya harus berani menanggung resiko,” ungkapnya yang kini menjadi guru musik itu. Hal lain dialami Furqon. Baginya, ketika di panggung ia bisa puas berekspresi dan dapat meluapkan semuanya lewat gerakan fisik.

Ternyata, underground bisa juga dijadikan sebagai sumber penghasilan. Tempat mencari makan dan teman. Contohnya, Damnation yang kini sudah memiliki perusahaan kaos oblong. Markasnya yang bertempat di daerah Krapyak sering dikunjungi orang, apalagi menjelang saat-saat even Jogaja Brebeg. Di sinilah tempat personel Damnation mencari nafkah, jual kaos, baju, dan stiker buatan sendiri.

Bagi Dimas dan teman-temannya, komu-nitas ini bisa dijadikan sebagai tempat untuk berkarya, berdagang pigura, poster dan stiker di jalanan Malioboro. Pengalaman serupa juga dialami Furqon. “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya mencari uang dari ngamen”.

Bagi komunitas underground, rutinitas keseharian mereka jalani dengan santai dan apa adanya. Keseharian Dimas, selain ngeband seminggu dua kali, dia cuma nongkrong-nong-krong, nonton TV dan mendengarkan musik. Sedangkan kebiasaan personel Damnation selalu ngumpul bareng, ngeband seminggu sekali dan membuat lagu. Kadang manggung dari kafe ke kafe, club ke club dan buat acara yang bisa menghasilkan uang. Jadi tak jauh beda dengan komunitas musik lainnya.

Trevor Perez, gitaris Obituary, sebuah kelompok musik cadas beraliran Death Metal mengatakan: “Setiap orang memendam kemarahan dalam dirinya. Dan musik (underground) ini merupakan katup pelepasnya!” Bisa jadi dalam komunitas underground lah mereka yang merasa tersumbat kebebasannya, terjepit, frustasi dan tersingkir menemukan jalan kedamaiannya.

17.28

Underground: Musik Cadas Berkelas Bebas

Lirik lagunya terdengar asing. Tidak banyak orang yang senang dan memahaminya. Sebagian orang menganggap ini musik yang tidak bernada. Pada setiap aksi panggungnya hampir pasti terjadi keributan, jingkrak-jingkrak, menggoyangkan kepala, dan moshing, atau dikenal dengan gerakan sang vokalis meloncat ke penonton. Ada juga gerakan surfing, berselancar di atas kepala penonton. Terkadang ada yang menggunakan ritual khusus sebagai pembuka dalam setiap pementasannya. Ozzy Osbourne, mantan vokalis Black Sabbath, sebuah grup musik dekade 1970-an yang terkenal karena lirik dan nada-nada keras dalam lagunya, me-makan kepala burung kakak tua pada pentas pembukaannya. Di sini, dulu jaman om dan bapak kita masih muda, sekelompok grup musik rock mengawali pentasnya dengan mengusung peti jenazah ke atas panggung, menggantungnya dan kemudian membakarnya.

Itulah musik underground. Untuk mem-buktikan jati diri mereka di hadapan orang lain banyak cara yang dilakukannya. Dari cara yang biasa-biasa saja sampai yang paling ekstrem. Juga jenis musiknya. Ada Trash Metal, Hardcore, Death Metal, Grind Core, Black Metal, dan Brutal Death. Masing-masing berusaha menunjukkan karakter dan ciri khas yang berbeda. Hampir semuanya menggambarkan tipikal memberontak, dandanan lebih bebas, dan lirik yang sarat dengan nada tak puas pada keadaan dan cenderung bernada keras. Di atas panggung mereka menunjukkan kegilaannya dengan menyuarakan pemberontakan lewat musik dan syairnya. Karena permainan musik yang keras dan cepat, lagu cen-derung terasa lebih cepat selesai dalam waktu singkat.

Biasanya, ketika akan memulai memainkan lagunya sang vokalis memberi aba-aba, mikropon ditenempelkan di bibir, gitaris dan bassis siap membetot senar, setelah itu musik mulai dimainkan. Hening sesaat hingga satu persatu alat musik mulai terdengar. Raungan gitar yang memekakkan telinga, disusul dentuman drum yang dipukul dengan tenaga ekstra yang terasa hampir memecahkan gendang telinga. Ruangan menjadi bising. Kita tidak bisa mendengar pembicaraan teman sebelah. Setelah mendengarkannya, terasa ada suara yang membekas di gendang telinga, seperti suara dengungan. Itu yang biasanya mereka lakukan dalam latihan rutin seminggu sekali atau dua kali. Bahkan ada yang hampir setiap hari menjelang pentas.

Banyak yang menyebut aliran musik ini sebagai musik pemberontakan alias anti kemapanan. Underground bisa juga diterjemahkan sebagai pencarian jati diri baru yang lebih bebas di dalam seni musik. Ada kecen-derungan sikap ugal-ugalan yang diungkapkan lewat lirik lagu serta tingkah laku seronok dengan cara menghujat dan berbicara tentang kekerasan. Musik sangar ini lahir, sekitar tahun 1960-an, didasari oleh perwujudan dari “Ide Karya Seni Total” yang banyak dipengaruhi oleh aliran dadaisme di Amerika, yang mencakup teater dan juga musik. Pada saat itu, para seniman melihat dan merasa tidak ada ketenteraman dalam berkarya hingga kemu-dian membuat sebuah gerakan kesenian yang berkonsep seni anti seni.

Ciri musik underground juga tidak terlepas dari munculnya kaum punk di Inggris sekitar tahun 1975-an. Kaum proletar yang merasa tersisih melakukan reaksi yang tidak baik terhadap kemapanan masyarakat kota London yang sibuk bekerja. Inilah yang membuat mereka merasa tidak puas, kecewa, merasa terjepit, frustasi, dan tersingkir. Hingga muncul patriotisme kelas menengah dalam lingkungan para pekerja kasar. Mereka menciptakan pembaharuan dan kelasnya sendiri.

Afrizal Malna, seorang penyair kenamaan Indonesia, mengungkapkan kemunculan musik underground berada di luar timbangan estetika. Kemunculannya memberikan kejutan bagi dinamika estetika musik yang dirasakan stagnan. Dengan kata lain, jika estetika terlalu mengganggu kreatifitas, bagaimana jika estetika tersebut dihancurkan saja.

Kelahiran musik underground sendiri sebenarnya ditandai oleh dua situasi. Pertama, se-bagai bentuk perlawanan terhadap aturan musik dengan cara melahirkan teori-teori nada yang cenderung brutal. Kedua, sebagai kema-rahan terhadap keputusan-keputusan politik dengan cara menghujat lewat lirik dan simbol.

Menurut Camel, pembetot bas grup musik Damnation asal Jogjakarta, aliran-aliran ekstrem itu menjadi lebih semarak lagi pada tahun 1980-an. Di tahun-tahun inilah perkembangan musik underground bisa dikatakan telah menemukan ‘bentuknya’. Mulai dikenal banyak orang dan penggemarnya semakin bertambah. Terbukti dengan makin banyaknya pentas musik underground dan massanya yang tampil dengan ciri khasnya yaitu simbol-simbol penghujatan lewat pakaian, tatto yang menghiasi badan dan wajah atau gambar-gambar simbolis pada kaos yang mereka pakai.

Juga dinamakan underground karena dia indie lable. Artinya, tidak terikat dengan salah satu perusahaan musik apa pun alias berdiri sendiri. “Jadi, kalau kita mau demo (rekaman album), ya harus punya alat rekam sendiri,” ungkap Camel sambil memegang gitarnya.

Menjadi grup band alternatif (underground) memang sebuah pilihan. Mungkin, pada awalnya mereka menjadikan komunitas underground sebagai tempat untuk nongkrong saja. Ketika di dalamnya mereka temukan ba-nyak kebebasan, yang tidak mereka temukan di luar, maka jiwa pemberontakan yang selama ini tersumbat bisa mereka ungkapkan. Dari sini kemudian lahir ekspresi kebebasan yang mereka teriakkan lewat syair-syair keras dalam lagunya.