16.24

Menggagas Kekuatan Gerakan Pelajar Muhammadiyah

Hingga kini gerakan-gerakan pelajar yang mewakili kaum terdidik dengan seragam “abu-abu” dan “biru” masih belum mendapatkan tempat di masyarakat. Istilah abu-abu dan biru di sini adalah, mereka yang berstatus pelajar setingkat SMP dan SMA.

Tidak sekedar itu saja. Pada persoalan kebijakan publik (public policy) pun keberadaan mereka masih belum menjadi salah satu design maker. Sebut saja mereka yang termasuk kategori gerakan pelajar adalah Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU), dan gerakan-gerakan pelajar lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Realitas: Pelajar Tetap ‘Terpinggirkan’
Selama ini anggapan umum mengatakan, bahwa pelajar merupakan klas sosial yang terpinggirkan dan belum dianggap sebagai pihak yang mampu memberikan kontribusi pemikiran, terlebih sebagai pengambil kebijakan. Pelajar selalu diposisikan sebagai anak kecil yang belum tahu apa-apa, lemah, inferior, kurang berpengalaman, egoistik, serta selalu melakukan perlawanan secara pribadi dan brutal.

Klas sosial yang dimaksud di sini adalah kelompok masyarakat tertentu di mana anggota masyarakat tersebut menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni mereka bekerja (budak) dan menghasilkan nilai lebih dan mereka yang tidak bekerja (majikan) mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya kepada klas menengah distributor, pemilik modal, dan lain sebagainya. Hematnya, klas sosial selalu mengindikasikan adanya ketimpangan posisi, majikan hampir selalu menjadi atasan dan budak hampir selalu menjadi bawahan.

Dalam konteks klas sosial tersebut, pelajar diposisikan sebagai budak dari ilmu pengetahuan. Pemerintah, sekolah, dan guru adalah pihak yang mengeruk keuntungan dari pelajar. Dalam sistem pendidikan kita, terdapat dua arus ketimpangan antara guru sebagai pengajar dan murid sebagai obyek yang diajarkan.

Guru mengajar, murid belajar. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru sebagai subyek dari proses belajar, murid menjadi obyeknya. Inilah model pendidikan “gaya bank” yang haru segera dihapuskan.

Anggapan-anggapan di atas itulah yang pada akhirnya tidak memberikan ruang kepada para pelajar untuk beraktualisasi terlebih dahulu. Pelajar seperti berada di dalam kastil. Orang luar mengatakan, “Wah, enaknya di dalam kastil”. Tetapi mereka yang berada di dalam kastil mengatakan “Betapa kami sangat tersiksa”. Ini sama halnya dengan pembunuhan secara perlahan-lahan terhadap kreativitas pelajar.

Banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap pelajar telah membuktikan betapa pelajar masih saja menjadi golongan tertindas yang tidak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi kejadian bunuh diri akibat persoalan yang sepele.

Kita masih ingat seorang pelajar SMP di Cipunegara, Subang, Jawa Barat, tewas gantung diri karena tidak naik kelas. Remaja bernama Cahyono ini hidup bersama adik dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek. Kondisi ekonomi mereka relatif pas-pasan, sehingga ketika menerima rapor dan dinyatakan tidak naik kelas, remaja yang berusia 14 tahun ini mengalami tekanan batin yang sangat berat. Diam-diam, ia memilih jalan pintas bunuh diri.

Kasus Cahyono pun ditemani oleh kejadian yang menimpa pelajar SMP di Tegal, Jawa Tengah. Pelajar tersebut mengalami cacat mental permanen setelah diselamatkan dari usaha bunuh dirinya dengan cara menggantung. Ia tak tahan menanggung malu lantaran tunggakkan SPP yang belum terbayarkan, sementara pihak sekolah terus menagih. Di Cianjur, Jawa Barat, seorang bocah SD bunuh diri setelah diledek teman-temannya karena orangtua tak mampu membiayai acara study tour.

Kasus lain terjadi juga (17/7/2005) di Cikiwul, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Warga sekitar dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seikat tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan ayahnya, alasan Vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah.

Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam SD Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jum’at (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar Biaya Ujian Akhir Nasional (UAN), kini UN, sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Negeri Sanding IV Garut, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500.

Bergegas: Pelajar Berpihak, Maka Pelajar Ada!

Kasus-kasus di atas cukup membuktikan bahwa pelajar masih tetap menjadi yang tertindas. Karena itu, saatnya gerakan pelajar bangkit dari keterpurukan yang selalu membayang-bayanginya. Deklarasikan, bahwa gerakan pelajar mampu bertindak dan berlaku secara mandiri, mampu berpikir dan mengambil keputusan secara tegas tanpa ada paksaan, serta menyatakan diri sebagai salah satu subyek perubahan dari realitas sosial yang timpang.

Tunjukkanlah bahwa ini adalah prinsip dari Gerakan Pelajar Transformatif! Mari kita berikrar sebagai kaum intelektual yang mampu melakukan perubahan. “Pelajar Berpihak, Maka Pelajar Ada!”. Artinya, keberadaan Gerakan Pelajar Transformatif dianggap ada jika telah melakukan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan dan hak-hak pelajar. Keberpihakn tersebut tentunya harus dilandasi pada proses kesadaran, kepekaan, kepedulian, dan aksi nyata. Sebaliknya, pelajar akan tetap dikatakan sebagai obyek jika tidak bisa melakukan apa-apa. Keberadaan kita dibuktikan dengan keberpihakan kita!

Inilah sebuah Manifesto Gerakan Pelajar Transformatif: Pelajar transformatif berdaulat demi cita-cita perubahan sosial. Menundukkan kedzaliman adalah tugas mulia kami. Menegakkan keadilan adalah misi suci kami. Berpihak pada kepentingan pelajar adalah kewajiban kami.

Membangun Kekuatan Gerakan Pelajar Muhammadiyah
Setelah manifesto di atas dideklarasikan, saatnya IRM mulai bergegas untuk merapatkan kembali barisan organisasinya dan mempersiapkan agenda strategis untuk gerakannya ke depan. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan nama IPM dengan alasan, bahwa secara de jure IRM telah berganti menjadi IPM pasca SK PP Muhammadiyah. Tetapi secara de facto, pasca keputusan pleno diperluas PP IRM Juli 2007, masih menggunakan nama IRM sampai Muktamar November 2008.

Ada beberapa kekuatan yang bisa dan harus dilakukan oleh IPM, terutama pasca SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah perihal nomenklatur perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).

Pertama, setelah IRM berganti menjadi IPM, maka tidak ada lagi organisasi pelajar di sekolah Muhammadiyah kecuali Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ini sudah menjadi harga mutlak. Hal ini tentunya harus didukung pula oleh SK PP Muhammadiyah perihal IPM sebagai satu-satunya organisasi intra sekolah Muhammadiyah. Dengan demikian, tidak akan ada lagi dualisme antara IPM dan OSIS. Jika ada pihak sekolah yang tidak mengindahkan keputusan tersebut, maka perlu diberlakukan sanksi tersendiri dengan aturan-aturan yang berlaku. Kami pun berharap pula kepada Majelis Dikdasmen dari tingakt pusat hingga daerah untuk komitmen mengawal keputusan tersebut.


Kedua
, IPM harus kembali melakukan pembinaan secara intens terhadap sekolah-sekolah Muhammadiyah, terutama sekolah yang hampir gulung tikar dan kekurangan murid. Ini bukan berarti bahwa IPM mengambil alih peran sekolah. Tetapi IPM menjadi partner sekolah dalam melakukan poses pengembangan kegiatan belajar mengajar, di samping juga melakukan proses kaderisasi secara intens. Pelajar merupakan benteng ideologi bagi masa depan Muhammadiyah. Sejak kecil mereka harus ditanamkan semangat untuk berjuang di Muhammadiyah.

Ketiga, pembina IPM harus orang yang paham Muhammadiyah dan Ortomnya, diutamakan mereka yang sekarang sedang aktif di struktur IPM. Hal ini dilakukan agar kekuatan kaderisasi di tingkat sekolah pun menjadi lebih meningkat serta para aktivis IPM memiliki lahan dalam berjuang dan mampu menumpahkan ide-ide kreatifnya ke tingkat ranting. Salah satu hilangnya peran sekolah Muhammadiyah sebagai lembaga kaderisasi adalah karena pembina IPM bukanlah orang Muhammadiyah, apalagi yang paham tentang Muhammadiyah.

Saatnyalah kita membangun kembali kekuatan gerakan pelajar Muhammadiyah dalam rangka membela kepentingan dan hak-hak kaum pelajar. Hingga saat ini belum ada gerakan-gerakan pelajar yang berani meneriakkan suara pelajar, memperjuangkan pemerataan akses pendidikan ke seluruh pelosok tanah air, transportasi gratis, serta ada diskon bagi pelajar yang ingin berobat ke rumah sakit. Ini menjadi ‘misi suci’ bagi IPM bersama gerakan lain semisal PII, IPNU, dan IPPNU.

Pelajar adalah aset masa depan negara yang harus dijaga keutuhannya. Jangan ada pihak yang berani mencederainya.

Ridho Al-Hamdi
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah

09.32

Game Itu Candu, Bener Gak Sih?

Di sini pernah ada pengunjung yang menginap sampai satu bulan. Dia nggak pulang-pulang. Kalau dia makan, ya di depan komputer. Tinggal pesan di kantin, pasti diantar. Kalau mau minum tinggal ambil di kulkas. Kalau dia tidur, di kursi. Urusan mandi menjadi nomor sekian. Lagian kita juga menyediakan kamar mandi. Selain itu, dulu pernah ada 15-20 user kami yang menginap berhari-hari, hinga kami harus mengeluarkan dua buah kasur dan guling untuk tidur mereka.

Sebuah pengalaman yang dikisahkan Riyanto, asisten supervisor di Genesis Game Center Jalan AM Sangaji Yogyakarta, kepada Siti Muslihah KN dari Kuntum. Cerita lain juga didapatkan Triana Candraningrum dari Kuntum ketika menjumpai Brilian Akbar Suriadjati, siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta. Siswa ini mengaku saat ngegame frekuensi waktunya tidak pasti. ”Bisa-bisa sampai sehari semalam full,” ujar Billy, panggilan akrabnya. Pengalaman yang sama juga terjadi pada M. Iqbal Jayadi. ”Dulu saat UAN SMP pun aku tetap ngegame. Kalau diitung-itung seminggu bisa empat kali sehabis pulang sekolah. Bahkan bisa sampai semalaman,” kenang siswa SMA Negeri III Yogyakarta ini kepada Ardianto dari Kuntum.

Berbeda dengan Wiri Tunggul Sagara saat ditemui Nurun Isnaeni dari Kuntum. Siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ini memiliki jadwal tersendiri untuk ngegame. ”Jadwalku saat weekend aja. Aku mulai ngegame Sabtu malam jam sembilan hingga Minggu pagi jam delapan. Itu nggak pake istirahat. Trus dilanjutin lagi jam empat sorenya sampai jam sembilan malam,” ungkap siswa kelas II ICT (Information Communication Technology) ini. Namun saking asyik ngegame, terkadang game bisa membuat seseorang lupa akan kesehatannya, terutama persoalan makan. ”Kalau urusan makan sih terkahir. Namanya juga sudah seneng, susah ninggalinnya. Jadi, paling-paling aku cuma minum aja biar nggak dehidrasi,” aku Rifki Zulkarnaen, siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, kepada Nurun Isnaeni dari Kuntum.

Masing-masing anak memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang game. Tentunya, persoalan sejak kapan mereka bermain pun berbeda-beda. ”Kalau aku sih senang game sejak kecil, saat masih zaman Nintendo dan PS I. Tapi mulai sering mainnya ketika SMP,” kata Rezani, siswa kelas III Akademi Perhotelan SMK Negeri 2 Jakarta, saat ditemui Muhammad Raihan Febriansyah dari Kuntum. Alasan mereka suka dengan game pun beragam. Ada yang sekadar refreshing, menghilangkan stres, atau malah hobi. ”Ngegame tuh bisa menjadi penghibur saat sedih dan suntuk. Apalagi kalau pelajaran sekolah yang melelahkan selama enam hari. Jadi, aku butuh hiburan dengan memilih ngegame,” terang Rifki yang bertubuh tinggi dan berkulit putih.

Untuk bermain game bisa di mana saja. Di rumah sendiri, di tempat teman, atau di game center. Tapi sebagian dari mereka lebih memilih di game online. Selain asyik dan ramai, dengan game online kita bisa bermain dengan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Baik antarkota maupun antarnegara. Jadi, kita bisa bermain dengan gamers yang ada di Amerika atau di Jepang. Asyik kan. Dunia seperti dalam genggaman tangan. Sebagian besar dari juga mereka mengatakan kalau bermain paling asyik adalalah dengan teman. Mereka bisa saling adu ketangkasan dan uji kecerdasan. Kadang bisa sampai marah-marahan. Di situ letak keasyikan sekaligus kejengkelan mereka.

Dengan game online juga, pilihan permainannya sangat beragam. Para user pun dipersilahkan memilih game sesuka hati mereka tanpa ada batasan. ”Aku paling senang kalau main Diagoten Saiban III atau NDS. Ini permainan tentang pengacara yang berusaha menyelesaikan kasus yang dia hadapi. Aku seolah belajar jadi detektif beneran,” jelas Billy yang kini kelas XII IPS. Lain ladang lain ilalang. Lain Billy lain pula Rezani. Kalau Rezani senang bermain FIFA, Winning Eleven, dan Championship Manager. ”Seolah-olah aku seperti main bola beneran,” tambah siswa berambut lurus ini. Sedangkan Iqbal bersama temannya biasa bermain Warecraft. Ini permainan kompetisi. Ada 10 orang, lalu dibagi menjadi dua tim. ”Kalau lagi sendirian, aku biasa main Need for Speed,” ujar siswa berkulit putih ini.

Selain bermain di game center, biasanya ada sebagian dari gamers yang memiliki peralatan game di rumahnya. Entah itu beli sendiri atau malah dibelikan orang tuanya. Di rumah, mereka (gamers) bisa mengasah ketrampilannya. Barulah kalau di luar mereka bertanding dengan lawan-lawannya. Jadi, ngegame di rumah hanya sekadar buat latihan saja. Namun dari hasil reportase yang dilakukan Kuntum, kebanyakan dari mereka lebih senang main di game center. ”Di luar banyak teman dan kalau menang bisa pamer dengan yang lainnya,” aku Wiri yang suka tersenyum saat ditemui Kuntum.

Diakui atau tidak, game center sudah mewabah di masyarakat kita terutama di kota-kota besar, salah satunya Yogyakarta. Hal ini pun diakui oleh Drs. Achmad Choiruman, MC., M.Si., dosen Universitas Gajah Mada. Menurutnya, kelahiran game membuat siapa saja menjadi kecanduan. Game dapat menjadikan anak individual dan jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan waktunya habis untuk ngegame. ”Si anak juga jadi boros untuk mengeluarkan uang dan bisa membuat mata tidak sehat,” ungkapnya kepada Nurun Isnaeni dari Kuntum.

Dosen yang tinggal dikompleks Bulaksumur ini heran dengan anaknya yang gandrung dengan game. Hampir setiap pulang sekolah anaknya selalu main game. ”Sampai-sampai cara menghentikannya dengan mematikan komputernya dan meminta dia untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kalau nggak gitu, dia nggak mau berhenti,” tambahnya dengan perasaan cemas. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Suryani saat dijumpai Muhammad Raihan Febriansyah dari Kuntum. ”Setahu saya game center itu nggak punya aturan waktu. Seharusnya anak belajar di sekolah, malah nongkrong main game,” kata ibu dari Rezani yang agak gemuk ini.

Namun kita memang tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada perusahaan-perusahaan atau pemilik game center. Ini sudah zaman modern dan persaingan hidup semakin tajam. ”Jadi, kemunculan game center di tengah-tengah kehidupan yang susah ini merupakan hal yang wajar,” terang Dr. Tulus Warsito, M.Si., Dekan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang juga orang tua dari Billy, kepada Triana Candraningrum dari Kuntum.

Memang, fenomena game center kini telah menjadi hiburan yang sangat digemari siapa pun. Waktunya pun kebanyakan non-stop 24 jam. Alasan ini pulalah yang membuat Yizreel, pemilik Bintang Gamenet Yogyakarta, mendirikan bisnis warnet dan gamenet. Padahal sebenarnya toko ini awalnya mau dibuat toko buku. ”Tapi melihat prospek gamenet sangat bagus, akhirnya kami memilih bisnis itu,” ujarnya kepada Arief Hidayat dari Kuntum. Gamenet yang sudah berdiri sejak tahun 2001 ini setiap hari rata-rata dikunjungi sekitar 200-an orang. Tapi bisa jadi lebih banyak dari itu atau malah kurang. Semua tergantung kondisi. ”Untuk presentasi pengunjung, 30 persen remaja, 50 persen dewasa, dan 20 persen lainnya,” tambahnya sambil memegang kepala.

Jika kita ingin ngegame, harga sewanya bermacam-macam. Ada yang 1.500 rupiah per jam, 2.000 rupiah per jam, dan 2.500 per jam. Semua tergantung waktunya. Malah ada yang memberikan tarif 1.200 rupiah per jam di Bintang Gamenet Yogyakarta. ”Tapi itu untuk jam 10 malam hingga jam 10 pagi harinya,” terang Yizreel sambil menyulut rokok. Variasi harga dilakukan juga di Planet Game Center Yogyakarta. ”Di tempat kami per jam 2.500 rupiah. Kalau lima jam kena 10.000 rupiah. Untuk tujuh jam kena 13.000 rupiah. Dan kalau 10 jam harus membayar 18.000 rupiah. Sedangkan kalau menyewa satu hari kena 25.000 rupiah,” jelas Hadi, pemilik Planet Game Center, panjang lebar.

Setelah bermain game, ada banyak hal yang dirasakan gamers. Dampaknya bisa positif, bisa juga negatif. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pelajar asal Kendal yang tidak ingin menyebutkan namanya. ”Setelah ngegame uang jajanku berkurang, pelajaran di sekolah sering ketinggalan, dan selalu kurang tidur. Kalau di kelas pasti ngantuk,” ungkap siswa yang hanya memberikan nama samarannya ”M. Abdul Wahid” kepada Arief Hidayat dari Kuntum.

Dari kisah-kisah yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa game terlepas dari jenis dan metode permainannya sangat memberikan pengaruh kuat kepada penggunanya. Kecanduan untuk terus bermain menjadi dampak tersendiri ketika mereka senang mengoperasikannya secara kreatif. Gimana nggak kecanduan. Para user diizinkan untuk mengatur diri mereka sendiri tanpa batasan waktu. Di sinilah mereka menjadi aktif setelah jenuh dengan pelajaran yang selalu membuat mereka pasif. Bahkan untuk mencuri uang orang tuanya mungkin akan dilakukan hanya untuk duduk berjam-jam di depan permaian sebesar teve itu.

Selain itu, game juga bisa mengakibatkan kekerasan pada anak. Pada tahun 1993, dua senator AS, Joseph Lieberman dan Hillary Clinton, pernah berkampanye menentang serial Mortal Kombat, sebuah game pertarungan yang penuh adegan kekerasan dan banjir darah. Di samping itu, mereka juga melarang game-game jenis lainnya yang diketahui ada muatan pornografi. Dua senator ini juga menarik penayangan serial TV anak, Captain Kangaroo. Bahkan pemerintah Cina melarang peredaran sekitar 50 judul game komputer di negaranya. Lalu, bagaimana di Indonesia?


Ridho Al-Hamdi

Laporan: Triana Candraningrum, Ardianto, Liesna Eka N., Nurun Isnaeni, Arief Hidayat, M. Raihan Febriansyah, dan Siti Muslihah KN.

21.30

Asyiknya Jadi The King of Game

Boleh dikata, pada akhir tahun 2000 game hanya menjadi mainan anak kecil. Namun sekarang bukanlah sesuatu hal yang aneh lagi jika seorang ayah ikut duduk berjam-jam bersama anaknya untuk adu ketangkasan dalam memainkan game dengan berbagai macam pilihannya. Kini, game sudah menjadi mainan untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa.

Kalau dulu kita hanya mengenal GameWatch atau GameBoy. Kini kita dapat bermain game melalui komputer desktop (PC), laptop, atau pun melalui perlengkapan game pabrikan seperti PlayStation atau Xbox dengan berbagai macam pilihan permainannya. Bahkan saat ini PlayStation telah mengeluarkan perlengkapan gamenya dalam versi personal, yang disebut PSP. Sepintas, PSP sendiri mungkin mengingatkan kita pada era GameBoy, dimana sebuah game dapat dimainkan di mana pun melalui sebuah alat yang ukurannya agak lebih besar dari HP. Perlengkapan pendukung permainan yang ditawarkan pun sangat beragam, mulai dari mouse dan keyboard standart, QuickCam, headset, joystick, gamepad, racing wheel, PlayGear, dan lain sebagainya.

Perkembangan sekarang, game tidak hanya dimainkan secara personal atau dengan beberapa jaringan komputer dalam satu ruangan saja. Game telah berubah menjadi game online. Sekarang kita dapat bermain game dengan banyak orang yang mengaksesnya (melalui internet) di lokasi lain, bahkan dengan orang di negara yang tidak kita kenal sekalipun. Hal ini juga yang menyebabkan perusahaan game tidak segan-segan memberikan fitur ‘transaksi’ untuk game online. Peluang bisnis pun sudah merambah untuk jenis permainan ini. Sebuah bukti bahwa manusia dan imajinasinya merupakan hal yang tak terpisahkan.

Karena diperuntukkan ke semua orang, maka game dibuat dengan berbagai tingkat kesulitan dan kemahiran si pemain. Mulai dari level beginner sampai advance. Jenis-jenis game pun sangat beragam. Ada balapan (MotoGP, F1, Need for Speed, Colin McRae Rally), perang (Counter Strike, Sniper Elite, Black Hawk Down, Mercenaries), sepak bola (FIFA, Championship Manager, Football Manager, Winning Eleven, NBA, SreetBall), dan lain sebagainya. Semua dibuat untuk memanjakan selera konsumen. Setiap pemain pun bisa memperbaiki mobil, mengatur siasat perang, dan menyusun tim atau kesebelasan sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Hal yang sangat luar biasa. Pemain diizinkan untuk mengatur diri mereka dalam setiap game yang dimainkan.

Selain itu, game online juga telah menyediakan fitur komunitas online, sehingga menjadikan game online sebagai aktivitas sosial. Game jenis ini disebut Massively Multiplayer Online Games (MMOG). MMOG memungkinkan ratusan bahkan ribuan pemain untuk bermain di waktu yang bersamaan dengan media internet. Beberapa jenis MMOG antara lain: MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Game) seperti Ragnarok, Seal; MMORTS (Massively Multiplayer Online Real Time Strategy) seperti WarCraft, DotA, dan MMOFPS (Massively Multiplayer Online First Person Shooter) seperti CounterStrike.

Menurut penelitian Parks Association dengan berjudul “The Casual Gaming Market Update” dikemukakan, bahwa game online telah menjadi fenomena yang mampu mengalahkan situs-situs bertema jaringan sosial seperti Friendster, Multiply, MySpace, serta keberadaan video online seperti yang diusung oleh YouTube! Selain itu, dua pertiga pengguna internet dewasa di Amerika Serikat selalu bermain game online.

Jenis hiburan yang satu ini telah berevolusi dengan sangat pesat, dari sekadar aktivitas iseng-iseng hingga menjadi salah satu pilar dalam dunia hiburan. Bahkan saat ini di Indonesia banyak sekali pihak-pihak yang menawarkan pekerjaan sebagai Game Master. Artinya, game sudah dipandang sebagai suatu pekerjaan profesional. Cukup fantastik.

Secara cerdik perusahaan-perusahaan game ini telah berhasil membuat orang yang bermain melakukan hal-hal realistik untuk mendukung imajinasi virtualnya. Tidak hanya bertransaksi dalam game online, atau berperang secara online, bahkan berbohong pada orang tua demi beberapa jam di Game Center pun mungkin akan dilakukan. Memang secara moral perusahaan-perusahaan ini tidak bisa disalahkan. Semua kembali kepada bagaimana kita menerima perkembangan teknologi ini. Karena setiap kemajuan teknologi akan membawa konsekuensi tersendiri, termasuk bahwa tidak setiap kemajuan selalu membahwa kebahagiaan.

Yogyakarta, 7 Maret 2008