13.37

Selamat Datang Gerakan Pelajar Baru "IPM"

Awal kelahirannya bernama ”Ikatan Pelajar Muhammadiyah”, pada tanggal 18 Juli 1961 di Surakarta. Di tengah perjalanan rezim Orde Baru yang begitu diktator, nama IPM harus berganti menjadi ”Ikatan Remaja Muhammadiyah” tahun 1992 untuk menyelamatkan eksistensi gerakan ini. Karena kalau tidak berubah, IPM akan dibekukan. Bagi pemerintah saat itu, satu-satunya organisasi pelajar yang diakui hanyalah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).
Kemudian, ketika rezim Orde Baru telah tumbang, 1998, muncul keinginan dari berbagai kalangan untuk mengembalikan nama IRM menjadi IPM. Namun dari setiap Muktamar ke Muktamar, baik itu Muktamar di Jakarta (2000), Muktamar di Yogyakarta (2002), hingga Muktamar di Lampung (2004), masih belum menemukan titik terang. Permusyawaratan seperti ”bola liar” yang tidak ada pawangnya. Barulah titik terang itu sedikit ada pada Muktamar Medan (2006) dengan dibentuknya ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM dan kemungkinan perubahan nama.
Di tengah perjalanan IRM di bawah kepemimpinan Moch. Mudzakkir (Ketua Umum PP IRM) inilah, nama IPM secara resmi disahkan pada Muktamar Solo Jawa Tengah, 23-28 Oktober 2008. Tentunya perubahan nama itu tidak sekadar perubahan fisik seperti lambang, badge, maupun stempel. Tetapi perubahan harus kita tunjukkan secara paradigmatik. Maka dari itu, tim materi Muktamar kali ini telah merumuskan konstitusi baru IPM yang nantinya akan dijadikan panduan oleh seluruh pimpinan, kader, anggota, dan simpatisan IPM di mana pun mereka berada.
Konstitusi baru IPM tersebut secara sederhana bisa terbagi menjadi dua kategori. Pertama bisa disebut sebagai landasan idiil dan kedua bisa disebut sebagai landasan operasional. Kategori pertama terdiri dari Muqaddimah IPM, Kepribadian IPM, Strategi Perjuangan IPM, dan Agenda Aksi IPM. Kategori kedua terdiri dari AD/ART IPM, Struktur Pimpinan IPM, serta Kebijakan dan Program-program Bidang IPM. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Muqaddimah Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Muqaddimah merupakan pembuka ideologi IPM yang dijadikan landasan utama IPM dalam berjuang dan dalam menyusun konstitusi yang ada. Dalam Muqaddimah ini muatan awal dimulai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terdiri dari QS. Al-Fatihah, QS. Ali Imran ayat 104 dan 110, QS. Al-Hasyr ayat 18, QS. Al-Isra’ ayat 36, dan QS. Ar-Ra’d ayat 11. Keenam jenis ayat tersebut merupakan sikap yang diambil oleh IPM untuk melandasi setiap gerak langkah perjuangannya.
Setelah itu, barulah dijelaskan mengenai sejarah dan perkembangan IPM dari awal kelahiran hingga perkembangannya saat ini. Kemudian, di akhir Muqaddimah dirumuskan nilai-nilai dasar Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang terdiri dari lima butir: Nilai Keislaman, Nilai Keilmuan, Nilai Kekaderan, Nilai Kemandirian, dan Nilai Kemasyarakatan.
2. Kepribadian Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Kepribadian ini menjelaskan tentang sosok IPM sebagai organisasi yang berbasiskan pelajar. Karena itu, IPM didefinisikn sebagai gerakan Islam amar makruf nahi munkar di kalangan pelajar yang tertuju pada dua bidang, perorangan dan masyarakat.
Kemudian dijelaskan pula tentang Dasar dan Amal Perjuangan IPM yang memuat lima poin. Pertama, IPM sebagai gerakan dakwah di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai gerakan kader di kalangan pelajar. Ketiga, IPM sebagai gerakan keilmuan di kalangan pelajar. Keempat, IPM sebagai ortom Muhammadiyah di kalangan pelajar. Kelima, IPM sebagai organisasi independen di kalangan pelajar.
Pada bagian akhir, dirumuskan ulang tentang Janji Pelajar Muhammadiyah yang memuat enam pernyataan. Pertama, berjuang menegakkan ajaran Islam. Kedua, hormat terhadap orang tua dan guru. Ketiga, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Keempat, bekerja keras, mandiri, dan berprestasi. Kelima, rela berkorban dan menolong sesama. Keenam, siap menjadi kader Muhammadiyah dan bangsa.
3. Strategi Perjuangan dan Agenda Aksi IPM
Strategi perjuangan ini merupakan senjata bagi IPM untuk melancarkan aksi-aksinya terhadap para pelajar. Harapannya, dengan adanya strategi ini IPM bisa diterima oleh para pelajar di mana pun mereka berada. Strategi perjuangan IPM itu terdiri dari enam macam: Strategi Gerakan Keislaman, Strategi Gerakan Kader, Strategi Gerakan Intelektual, Strategi Gerakan Budaya, Strategi Gerakan Kewirausahaan, dan Strategi Gerakan Kemasyarakatan.
Setelah dirumuskan strategi perjuangan, maka perlu ada agenda aksi sebagai bentuk konkrit kegiatan IPM. Adapun bentuk aksi yang bisa dilakukan ada enam bentuk: Pengajian Islam Rutin (PIR), Sekolah Kader, Gerakan Iqra, Gerakan Budaya Tanding, Gerakan Kewirausahaan, dan Gerakan Advokasi Pelajar (GAP). Tentunya keenam agenda aksi tersebut memiliki bentuk kegiatannya masing-masing dengan ciri khasnya yang berbeda-beda.
4. AD/ART IPM
Ada beberapa perubahan yang terjadi dalam AD/ART selain perubahan istilah dari IRM menjadi IPM. Pertama, maksud dan tujuan IPM sekarang dirumuskan menjadi “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Kedua, tentang syarat berdirinya Ranting, Cabang, Daerah, dan Wilayah perlu diperketat lagi dengan klausul yang telah dijelaskan di AD/ART. Hematnya, jika ada Cabang atau Daerah yang tidak memenuhi syarat untuk berdiri, maka tidak ada surat keputusan tentang berdirinya Cabang atau Daerah tersebut.
Ketiga, tentang batas umur pimpinan. Di ART pasal 25 dijelaskan bahwa batas maksimal pengurus Ranting adalah 20 tahun atau hingga masa kelulusan SMA pada saat Musyran. Sedangkan batas maksimal pengurus Cabang dan Daerah adalah 22 tahun pada saat Musycab dan Musyda. Untuk Wilayah dan Pusat, batas maksimal pengurusnya adalah 24 tahun pada saat Musywil dan Muktamar.
Keempat, tentang distribusi Iuran Anggota dan Uang Pangkal (IA/UP). Jika di aturan lama distribusi IA/UP diberlakukan dari Ranting hingga Pusat, maka pada periode pascamuktamar Solo, distribusi IA/UP cukup dari Ranting hingga Daerah. Alasannya, Wilayah dan Pusat tidak secara langsung membina IPM Ranting, sehingga IPM cukup mengoptimalkan Daerah untuk langsung terjun melakukan pembinaan ke Ranting. Selain itu, agar pendanaan Daerah bisa lebih optimal dalam memberdayakan Ranting.
Selain itu, tetap ada perubahan-perubahan yang terjadi pada permusyawaratan baik dari Musyran hingga Muktamar. Semua perubahan tentu demi kebaikan gerakan IPM ke depan.
5. Struktur Pimpinan dan Kebijakan Program-Program Bidang IPM
Secara umum, struktur IPM tidak jauh berbeda dengan struktur sebelumnya. Sifat kepemimpinan di IPM adalah desentralisasi. Artinya, dalam melaksanakan dan memutuskan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama dengan penuh pertimbangan.
Namun ada beberapa perubahan nama bidang. Nama Bidang KPSDM berganti menjadi Bidang Perkaderan. Bidang Studi dan Dakwah Islam (SDI) berganti menjadi Kajian dan Dakwah Islam (KDI). Bidang Apresiasi Seni, Kebudayaan, dan Olahraga (ASKO) berganti menjadi Apresiasi Seni, Budaya, dan Olahraga (ASBO). Bidang Hikmah dan Advokasi (HA) berganti menjadi Bidang Advokasi. Untuk Bidang Kewirausahaan hanya ada di Ranting. Sedangkan untuk struktur di atasnya cukup dibentuk lembaga kewirausahaan di bawah koordinasi bendahara.
Adapun kebijakan-kebijakan program per bidangnya bisa dilihat di materi Muktamar (www.irm.or.id). Secara garis besar, program per bidang tetap mengacu pada strategi dan agenda aksi yang telah dirumuskan sebelumnya. Harapannya, dari satu periode ke periode selanjutnya, program-program yang diselenggarakan IPM bisa berkesinambungan (sustainablity program).
Selain materi di atas, ada beberapa rekomendasi yang harus dilakukan oleh beberapa pihak setelah IPM resmi disahkan pada Muktamar Solo. Kepada seluruh jajaran IPM dari Pusat hingga Ranting dan juga kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah, untuk mensosialisasikan perubahan nama ini secara serentak. Perubahan itu tentu diikuti dengan perubahan seluruh administrasi dalam IPM, begitu juga program dan kegiatannya.
Kepada Majelis Dikdasmen dari Pusat hingga Daerah, untuk mengawal perubahan nama ini dengan memberlakukan aturan bahwa satu-satunya organisasi pelajar intra sekolah yang diakui di sekolah Muhammadiyah hanyalah IPM. Karena itu, tidak ada lagi OSIS di sekolah Muhammadiyah.
Kepada PP IPM yang terpilih, untuk segera merumuskan ulang Panduan Pengelolaan Ranting dan Fortasi bagi siswa baru, serta Sistem Perkaderan IPM (SPI). Hal yang paling penting yang juga menjadi rekomendasi pada Muktamar ini adalah berdirinya Forum Guru Muhammadiyah (FGM). Harapan dengan berdirinya FGM ini, para guru di sekolah Muhammadiyah memiliki wadah untuk mengorganisir kepentingan dan hak-haknya dalam berjuang di amal usaha Muhammadiyah.
Dengan perubahan-perubahan di atas, diharapkan IPM ke depan menjadi lebih dinamis dan dekat dengan pelajar. Sukses selalu untuk IPM baruku dan selamat bermuktamar.
Ridho Al-Hamdi
Ketua PP IRM dan Ketua Tim Materi
Muktamar XVI IRM di Solo

13.16

Papua: Malam Kayak Hong Kong, Pagi Jadi Singkong

Saat menulis catatan ini, penulis berpikir kalau rentang waktu yang ditulis antara data (saat berkunjung ke Jayapura) dengan tulisan ini sangat jauh. Sudah setahun lebih (sejak Maret 2007) penulis berkunjung ke belahan Indonesia bagian timur itu, ketika ada tugas organisasi untuk mengawal proses musyawarah IRM Papua. Dalam sidang redaksi, diputuskan bahwa persoalan waktu bukanlah menjadi alasan utama sebuah tulisan tidak layak baca. Yang penting adalah pesan mendalam yang hendak disampaikan pada tulisan tersebut. Dari kesepakatan itulah tulisan ini lahir.

Masih tersimpan dalam ingatan, kunjungan ke Papua itu terjadi seminggu setelah terbakarnya pesawat Garuda di Bandara Adisucipto Yogyakarta (7/3/2007). Tentunya rasa khawatir terhadap jenis transportasi udara ini sempat menyelimuti pikiran penulis saat di udara bersama pesawat Merpati. Perjalanan di udara yang menghabiskan sekitar enam jam itu sempat transit di Makassar dan Timika.

Ketika detik-detik pendaratan (landing) di Bandara Sentani Jayapura, penulis melihat negeri Papua dari atas. ”Begitu luas, banyak pegunungan, awan, ada pula danau-danau kecil, dan rumah-rumah di pinggir sungai,” ingatku. Perjalanan dari bandara menuju lokasi masih menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Untuk beberapa hari, penulis tinggal di kompleks perumahan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kebetulan saat itu MUI Papua sedang menyelenggarakan pelatihan Dai Se-Papua selama enam bulan alias setengah tahun.

”Waw, ini sangat fantastis,” ungkapku kepada salah satu panitia ketika kutanya tentang kegiatan selama di MUI tersebut. Peserta yang hadir adalah utusan masing-masing daerah Se-Provinsi Papua. Sebagian besar dari mereka orang Muhammadiyah. Karena itu, mereka juga membawa anal-anak dan istrinya ke lokasi acara. ”Kayak mau pindah rumah aja,” gumamku saat itu.

Inilah pertama kalinya penulis menginjakkan kaki di tanah Papua. Dulu ketika SD, penulis hanya bisa menggambar peta Papua di atas kertas dan hanya bisa membayangkan apakah mungkin akan bisa ke sana. Tapi mimpi-mimpi itu berbalik menjadi kenyataan. Penulis pun jadi teringat dengan pepatah, bermimpilah kamu, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.ternyata, untuk keliling Indonesia tidak harus menjadi presiden. Tapi di IRM saja sudah cukup untuk mengenal Indonesia dan keragamannya.

Masyarakat yang tinggal di kota itu cukup multietnik, seperti layaknya di kota-kota besar lainnya. Penduduknya sudah majemuk. Banyak juga orang Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Bahkan ketua PWM Papua saja asli dari Palembang, Sumatera Selatan. Hanya saja, sebagian dari mereka masih ada yang keturunan Papua. Selain itu, gaya hidup mereka sudah modern. Pakaian mereka layaknya pakaian yang dipakai masyarakat pada umumnya. Toko-toko dan pasar pun sudah ramai. Namun harga-harga di sana relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga-harga di Yogyakarta.

Penulis masih ingat, ketika makan ikan bawal bakar di pinggiran pelabuhan Jayapura. Satu porsi harganya 40 ribu. Itu sudah dengan minuman dan sayuran lainnya. Menunya lumayan lengkap. Jika harga tersebut dibandingkan dengan harga di Yogyakarta, sangat jauh berbeda. Di Yogyakarta uang 10 ribu sudah cukup untuk itu semua.

Di tengah-tengah acara musyawarah tersebut, penulis juga bertemu dengan wakil bupati Kota Jayapura yang juga orang Muhammadiyah dan masih memiliki rumah di Maguwoharjo, Sleman. Kebetulan anaknya kuliah di UGM. Selain itu, penulis juga berkunjung ke sekolah Muhammadiyah Kota Jayapura. Ini satu-satunya SMA Muhammadiyah di Kota Jayapura. Letaknya satu kompleks dengan kampus STIKOM (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Jayapura. Di samping itu, Muhammadiyah Kota Jayapura memiliki juga TK, SMP, dan panti asuhan Muhammadiyah. Lokasi antara satu dengan yang lainnya saling berdekatan.

Kepala sekolah SMA-nya bernama Ahmad Dahlan. Penulis diminta untuk memberikan pengajian umum di lapangan setelah mereka berolah raga. Mereka sangat antusias dengan apa yang penulis sampaikan. Ketika diajak untuk menyanyikan lagu Sang Surya, sebagian besar mereka bisa menyanyikannya. Lebih herannya lagi, ada beberapa siswa yang beragama non-Islam bisa menyanyikannya dengan suara lantang di bagian paling depan.

Ketika penulis bertanya tentang agama siswa di sekolah tersebut, maka Pak Dahlan menjelaskan, sekitar 10 persen lebih siswanya beragama non-Islam. ”Mereka tidak berpikir ini sekolah Islam atau tidak, Mas. Tapi kualitas dan alumninya,” terangnya. ”Atau bisa saja, karena mereka kejauhan saat memilih sekolah lain, akhirnya memilih SMA Muhammadiyah dengan alasan dekat dengan rumah mereka,” tambahnya sembari tertawa bersama.

Hal ini pun terjadi juga di kampus STIKOM yang 80 persen mahasiswanya beragama non-Islam (pernah ditulis di majalah ini juga). ”Kita tidak bisa menolak mereka, Mas. Justru keuangan yang lancar dari mereka yang non-Islam itulah,” cerita Pak Nur, Rektor III STIKOM Jayapura. Hal ini pun sebenarnya terjadi juga di Kupang, NTT.

Dari pengalaman ini, penulis berpikir bahwa Muhammadiyah memang sangat besar dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Inilah wajah Muhammadiyah yang rahmatan lil ’alaimin (bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama, dan ras). Cita-cita ini sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (the real Islamic sociecity).

Muhammadiyah tidaklah berwajah sangar/penuh kekerasan. Ia juga tidak suka memaksa orang untuk sesuai dengan keinginannya. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mengajak siapa saja untuk saling menghormati perbedaan, toleransi terhadap beda keyakinan, serta tidak menyelesaikan persoalan melalui jalur kekerasan. Muhammadiyah, seperti yang pernah dinyatakan oleh Prof. Dr. HM. Dien Syamsuddin, MA, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sangat mengecam terhadap segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan atas nama organisasi apa pun.

Muhammadiyah Papua memberi pengalaman berharga kepada kita semua, bahwa perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk berdakwah. Justru di situlah, Muhammadiyah membuktikan dirinya untuk bisa bermanfaat (useful) bagi siapa saja.

Selama tinggal di Jayapura, penulis selalu melihat pegunungan tinggi yang penuh dengan rumah dan pepohonan lebat. Banyak bangunan rumah yang terletak di lereng-lereng gunung. Saat malam hari, penulis pernah diajak jalan-jalan keliling Kota Jayapura. Di suatu tempat, penulis berhenti dan mengamati Kota Jayapura dari ketinggian. Tiba-tiba suara Pak Nur muncul. ”Mas, Papua ini kalau malam kayak Hong Kong, tapi kalau siang kayak singkong,” ungkapnya sembari tertawa kecil. Penulis pun langsung paham dengan pernyataan tersebut.

Saat malam hari, Jayapura (yang mencerminkan ibu kota Papua) diterangi lampu-lampu kecil baik di lereng-lereng gunung maupun di pusat peradabannya (pasar dan bangunan kota). Jadi, Jayapura seperti dikelilingi kunang-kunang di setiap sudut gunung. Sedangkan di siang hari, segala jenis pepohonan terlihat besar dan menjadi pemandangan yang masih alami.

Selain itu, penulis juga sempat heran ketika salah seorang panitia mencarikan taksi untuk menghantarkan kepulangan penulis. Soalnya, selama di Papua penulis belum pernah melihat taksi. Pikir penulis, mungkin taksi di sini sangat spesial dan hanya untuk orang-orang tertentu. Tetapi jenis taksi yang dimaksud di Papua adalah mobil angkot kecil alias mikrolet. ”Ya Allah. Kirain apaan,” gumamku sambil tersenyum ketika panitia mempersilahkan penulis untuk menaiki taksi yang dimaksud bersama beberapa panitia lain yang ikut menghantarkanku ke bandara. Sepanjang perjalanan itu pula, banyak rumah di pinggir laut (kebetulan jalur darat satu-satunya terletak di pinggir laut).

Banyak hal yang membuat pengalaman penulis bertambah. Keanekaragaman, perbedaan konsep tentang sesuatu, semangat, dan penghormatan terhadap tamu. Semua itu tentunya didapatkan di Muhammadiyah saat pergi ke Papua.

Ridho Al-Hamdi