19.47

Kupang, Potret Pluralitas Kota Kasih


Adalah pengalaman baru, saya bisa berkunjung ke ibu kota Nusa Tenggara Timur (provinsi yang memiliki 16 kabupaten dan kota) yang terkenal sebagai ”Kota Kasih” ini. Di pinggi-pinggir jalan selalu ada tulisan ”Kupang Kota Kasih”. Pengambilan istilah ”Kasih” merupakan singkatan dari Kupang Aman, Sehat, Indah, dan Harmonis. Mungkin inilah suasana kerukunan yang didambakan masyarakatnya. Perbedaan waktu antara Kupang dengan Indonesia bagian barat, satu jam lebih cepat.

Selain itu, hampir di seluruh lapisan bawah tanah Kupang adalah karang. Sebagian masyarakatnya memberikan julukan lain kepada Kupang sebagai kota karang. Karena lapisan karang itulah, air menjadi sulit untuk didapatkan, sekalipun hampir setiap hari hujan. Walaupun hujan sangat deras, tapi jarang terjadi banjir. Seorang aktivis kampus di Kupang mengatakan, tanah di utara Kupang ini turun satu sentimeter setiap tahun, tapi tanah di selatan Kupang naik satu sentimeter juga. ”Jadi, Kupang seimbang dan nggak akan tenggelam walaupun hujan lebat, he, he...” guraunya.

Terkadang pihak penginapan yang kami tempati beli air dari tangki. Jadi, kita harus hemat air. Untuk mencuci saja harus menunggu bak mandi penuh. Karena itulah, pakaian kotor kami serahkan ke laundry yang ada di penginapan. Harganya dihitung per potong, tidak kiloan. Harga per potong 2.500 rupiah untuk semua jenis pakaian. Untuk jas paling mahal, 30 ribu rupiah. Tidak ada jasa laundry lain di sekitar penginapan. Sebenarnya kami ingin mencuci sendiri, tapi repot. Sedangkan laporan penelitian harus banyak yang dikerjakan.

Kunjungan ke Kupang ini berawal dari adanya penelitian tentang kehidupan beragama di kampus Nusa Cendana (Undana). Sebuah kampus yang didirikan tahun 1962 dan kini telah memiliki tujuh fakultas, baik sosial-humaniora maupun eksak. Tata letaknya hampir mirip kampus UI Depok. Luas, banyak pepohonan yang memisahkan antara satu fakultas dengan fakultas lain, dan di pinggiran kota. Model kampus seperti ini bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus yang lain. Tetapi (maaf), bangunannya tergolong kurang terawat.

Jika dibandingkan dengan kunjungan sebelum-sebelumnya, kunjungan kami ke kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Katolik dan Protestan ini cukup lama, hampir tiga minggu. Seolah sudah menjadi warga sana. Saya bersama Drs. H. Dahwan, M.Si. (Dosen Syariah UIN Sunan Kalijaga) tiba di Bandara El-Tari Kupang pada hari Jumat tengah malam, 9 Januari 2009.

Saat itu kami transit sementara di penginapan Astiti. Keesokan harinya hingga akhir penelitian, kami tinggal di penginapan Flores Indah di Kelurahan Solor, salah satu perkampungan muslim di Kupang. Penginapan ini milik orang Arab. Letaknya dekat pantai Kupang, sekitar 300 meter ke arah selatan. Jadi, kalau kita lari pagi, pasti bertemu dengan mulut pantai. Ada dua perkampungan muslim lainnya, Kampung Airmata dan Gondopoi. Sebenarnya masih ada penginapan yang lebih baik dari yang kami tempati, tetapi banyak hotel yang menyediakan kupu-kupu malam. Kami tak sanggup untuk tinggal di penginapan seperti itu, takut gak konsen buat laporan, he, he... Menurut data Depag NTT tahun 2007, jumlah muslim di NTT hanya 8,5 persen berada pada urutan ketiga setelah Katolik dan Protestan. Kemudian disusul Hindu dan Budha.

Hampir setiap hari, kami selalu mengunjungi Undana (kampus Penfui) dengan bis Damri. Disebut kampus Penfui karena letaknya di kampung Penfui. Ongkosnya 2.500 rupiah. Bis melewati pinggiran pantai, pasar ikan, terkadang naik-turun bukit, dan melintasi perkampungan. Waktu yang ditempuh sekitar 20 hingga 30-an menit. Tergantung laju kecepatan bis. Setelah turun dari bis, kami masih harus berjalan kaki lagi di bawah terik panasnya matahari untuk sampai ke kampus. Begitu juga ketika pulang. Tak jarang air keringat keluar dari pori-pori tubuh. Walaupun cuacanya hujan, tapi hawanya tetap panas. Maklum, harus adaptasi. Kalau ke kampus Undana lama, kami naik mikrolet jalur 2.

Saat di kampus, kami mencari dan mengcopy beberapa data, wawancara, mengamati perilaku mahasiswa, dan kembali lagi ke penginapan untuk menulis laporan. Berbagai kendala yang muncul dari pihak kampus sempat mewarnai perjalanan selama di Kupang. Namun itu justru menjadi tantangan. Di luar kampus, kami juga bertemu dengan beberapa aktivis organisasi ektra kemahasiswaan, seperti GMKI, PMKRI, HMI, GMNI, PMII, dan KAMMI sebagai pelengkap data.

Cuaca di Kupang memang lebih panas dibandingkan dengan kota-kota semisal Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Bogor. Walaupun kami datang di saat musim hujan, namun udaranya tetap saja panas. Hal ini dibenarkan oleh ibu penjual Rumah Makan ”Teluk Bayur” asal Bukit Tinggi. ”Panas ya, Mas? Ini aja sudah panas, apalagi kalau musim kemarau. Panasnya bisa sampai 37 derajat celcius,” ungkapnya. Tak heran jika ada perubahan di wajah saya, agak mateng, he, he…

Soal makan, harganya lebih mahal dibanding dengan makanan yang ada di Jawa. Jika saya makan dengan ikan laut, harga satu porsi bisa 25 ribu rupiah. Itu belum dengan air minumnya. Namun ada juga warung yang menyediakan makanan seharga 10 ribuan rupiah. Sebenarnya kami cukup sulit menjumpai rumah makan yang tergolong halal. Tetapi karena kami tinggal di kawasan muslim, banyak rumah makan yang menjadi pilihan sehari-hari. Misal, masakan Padang, masakan Solo, masakan Pasundan, nasi kuning, nasgor, Jawa timuran, soto, dan lain sebagainya. Sebagian besar penjualnya banyak pendatang, terutama dari Jawa. Kami pun ngobrol dengan bahasa Jawa. Tak jarang terdengar musik-musik dangdut juga. Plat kendaraan tidak hanya asli Kupang (DH), tetapi dari luar daerah juga ada. Serasa masih seperti ada di Jawa.

NTT juga merupakan salah satu provinsi multietnis. Budaya lokalnya beragam. Ada budaya Sumba, Rote, Alor, Lamaholot, Lio, Ende, Keo, dan lain sebagainya. Tidak ada satu budaya paten di NTT seperti budaya betawi mewakili Jakarta atau minang di Padang. Namun yang sering menjadi perwakilan NTT biasanya budaya Rote. Di samping itu, banyak imigran yang menetap di Kupang. Tentu jumlah mereka masih relatif kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lokal. “Saya tinggal di Kupang sudah 17 tahun, Mas. Jualan jamu gendong. Untungnya lumayan. Bisa untuk nambah biaya anak-anak yang sekolah di Ngawi,” kisah ibu setengah baya itu kepada saya.

Di mana-mana selalu ada gereja, bahkan tepat di depan penginapan kami ada satu gereja Protestan. So, sangat sulit sekali mendapatkan masjid. Suara adzan pun jarang terdengar. Untung saja 200 meter sebelah barat penginapan ada Masjid Al-Fatah yang biasa kami kunjungi untuk shalat terutama Dhuhur, Maghrib, dan Subuh. Maklum, kami terbiasa menjamak. Tetapi jamaah yang hadir tidak lebih dari tiga shaf.

Ada sesuatu hal yang berbeda di Kupang, yang tidak kita jumpai di kota-kota besar di Jawa. Di Kupang hampir tidak ada pengemis dan pengamen. Menurut penjelasan Ketua PWM NTT, Drs. H. Zaenuddin Achied, masyarakat Kupang memiliki nilai gengsi yang sangat tinggi. Hal ini dibenarkan oleh teman-teman IPM Kupang. ”Masyarakat Kupang itu tidak mau harga dirinya direndahkan. Lebih baik kelaparan daripada harus meminta-minta,” jelas teman-teman IPM. Tetapi kami masih menjumpai beberapa pemulung dan orang gila di pinggiran jalan.

Hal yang patut untuk diceritakan juga adalah orang-orang Kupang termasuk memiliki sikap yang ramah. Kalau kami menyapa, mereka pun melempar senyuman khasnya. Ketika naik Damri, mereka rela membagi kursi yang seharusnya cukup untuk dua orang menjadi tiga orang. Panggilan khas orang Kupang adalah ”Nona” untuk perempuan (kalau di Jawa ”Mbak”) dan ”Nyong” untuk laki-laki (kalau di Jawa ”Mas”). Sapaan kami sehari-hari kepada mereka adalah ”Met Pagi...”, ”Met Siang...”, ”Met Malam...” atau cukup dengan ucapan ”Halooo....” atau ”Saloommm”. Wajar, mereka kan non muslim.

Di samping itu semua, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa amal usaha Muhammadiyah, seperti TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK). Tapi sayang, suasana konflik di Muhammadiyah Kupang cukup tinggi. Salah satu konflik yang sempat mewarnai selama kami di sana adalah, perebutan jabatan rektor UMK yang menyebabkan kegiatan kampus mati total hingga kepulangan kami.

Terlepas dari itu semua, di tengah-tengah kesibukan, kami tetap mengikuti perkembangan berita tentang perang Israel-Palestina, pelantikan Barack Obama sebagai Presiden AS ke-44, tragedi tenggelamnya Kapal Teratai Prima di laut Sulawesi, banjir di Ibu Kota Jakarta dan beberapa daerah lain, turunnya harga BBM menjadi 4.500 rupiah, terbunuhnya Kolonel Kasminah, serta tak kalah juga komedi lucu Tawa Sutra sebagai penghibur kami. Semuanya telah mewarnai selama perjalanan kami di Kupang hingga Ahad, 25 Januari 2009. Capek juga.

Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum

20.59

Terorisme dan Ketidakadilan Global

Pengantar Tentang Kejahatan Lintas Batas
Berbicara tentang kejahatan lintas batas, maka kita akan membicarakan tentang segala bentuk tindakan kriminal yang melampaui batas-batas teritorial tertentu. Akan ada banyak pengertian yang digunakan untuk memberikan definisi terhadap istilah ”kejahatan lintas batas” atau yang disingkat dengan KLB. Di sini akan diuraikan juga macam-macam bentuk kejahatan lintas batas, serta terorisme sebagai isu sentral dalam kajian ini. Pada akhir pembahasan, diuraikan perspektif kritis dalam melihat terorisme sebagai kejatahan lintas batas serta solusi penyelesaiannya.

Kejahatan lintas batas dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang kompleks dan melibatkan para pihak (stakeholders) yang sungguh mengancam keamanan global. Lima faktor penyebabnya meliputi isu militer, ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial. Kelima elemen ini pada tataran konsepsional dapat dibedakan, tetapi pada level praksis, ketika timbul ancaman keamanan, substansi keterhubungan antar faktor-faktor itu menjadi sulit dibedakan. Artinya, sangat sukar mendeterminasi bahwa, sebuah ancaman keamanan nasional, regional, dan internasional hanya disebabkan oleh satu faktor saja (a single factor), misalnya faktor ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi politik (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Salah satu ancaman keamanan lintas batas terutama di daerah perbatasan setiap negara adalah penyelundupan orang dan barang. Modus operandi ini menjadi potensi ancaman besar bagi keamanan lintas negara yang sulit diberantas. Senator Amerika Serikat, John Kerry, menganggap kejahatan lintas batas sudah menggurita, yang erat hubungannya dengan aspek bisnis yang sangat menggiurkan. Kejahatan model ini juga melibatkan organisasi mafia, beraliansi dengan mitra lokal, pihak militer, birokrat, pebisnis, dan masyarakat. Perdagangan ilegal antar-negara antara lain meliputi obat-obatan terlarang, senjata, barang elektronik, manusia untuk tenaga kerja murah, perjualan organ tubuh, serta industri seks dan modal (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Pada awalnya, terdapat pemikiran bahwa ”kejahatan lintas batas” (transnational border crime) belum dapat diklasifikasikan sebagai jaringan sebuah organisasi kejahatan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dampak sangat besar dari kejahatan lintas batas itu mendorong pihak keamanan dan pemerintah untuk mengkontekskan perbuatan tersebut sebagai Transnational Organized Crime (TOC). Kejahatan terorganisir antar-negara tersebut semakin diawasi setelah penyerangan terhadap ”Menara Kembar” di New York, 11 September 2001. Modus operandi itu, kini diperhitungkan sebagai sebuah fenomena dan tindakan kriminal (terorisme) baru. Kendati pun belum ada definisi yang jelas tentang kejahatan lintas batas, tetapi salah satu faktor pemicunya adalah kemudahan akses internasional di sektor telekomunikasi, teknologi, dan informasi. Selain itu, kejahatan lintas batas terjadi juga karena lemahnya penegakan hukum di negara-negara berkembang antara lain seperti di Indonesia (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).
Pada perspektif yang lain, suatu perbuatan diklasifikasikan sebagai kejahatan lintas batas apabila memenuhi dua aspek utama. Pertama, dilakukan baik oleh individu atau kelompok secara ilegal; ditinjau dari sisi hukum dan keamanan dua atau lebih negara terkait. Dari sudut pandang dua negara bersangkutan, perbuatan serupa dikelompokkan sebagai “perbuatan melawan hukum”. Kedua, dari perspektif internasional, perbuatan kriminal serupa itu jelas melanggar berbagai perjanjian bilateral, trilateral, multilateral, konvensi, atau deklarasi tentang isu dan kasus yang sudah disepakati. Artinya, telah ada kekuatan hukum sebagai dasar dan rujukan untuk menilai sebuah perbuatan melawan hukum negara, dan patut dihukum (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Berbagai bentuk kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas (transnational crime) dengan melihat lokasi kejadian atau pelakunya. Ada yang terjadi di wilayah perbatasan antara dua negara dan melibatkan penduduk yang tinggal disekitarnya (transborder crime). Namun ada juga yang tersebar di berbagai kota/daerah yang bukan wilayah perbatasan, dilakukan secara berkelompok/jaringan internasional yang terorganisir (transnational organized crime).

Berdasarkan referensi yang telah ditemukan, ada 11 contoh jenis kejahatan lintas batas yang dapat dikemukakan di sini. Berikut ini adalah jenis-jenisnya.
1. Terorisme, merupakan serangan terkoordinir yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang tiba-tiba dan target korban yang seringkali warga sipil (Kamus Wikipedia).
2. Bajak laut (pirate), adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Tujuan mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapa pun kecuali di bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Target utama penyerangan para bajak laut adalah sebagian besar kapal-kapal (dan juga daerah-daerah kolonial) yang berada di bawah kekuasaan Spanyol atau Portugis (Kamus Wikipedia).
3. Illegal loging atau penebangan liar, merupakan kegiatan penebangan hutan yang tidak mendapatkan izin pemerintah dan dilakukan secara diam-diam.
4. Illegal fishing atau penangkapan ikan secara liar. Kegiatan seperti ini sama saja urgensi dengan pembalakan dan penambangan liar.
5. Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, demi tujuan eksploitasi (Situs Resmi Kedutaan Amerika di Jakarta).
6. Penyelundupan (smuggling), bisa berupa apa saja dari satu negara ke negara lain tanpa legal-formal.
7. Perdanganggan obat-obat terlarang (drug trafficking).
8. Penyelundupan senjata. Jenis kejahatan ini bisa berupa senjata api dan gas, serta peralatan senjata perang lainnya. Proses penjualan bisa dilakukan melalui darat dan udara (www.tempo.co.id, 2/12/04).
9. Kejahatan dunia maya (cyber crime). Dunia internet memang seperti dua sisi mata uang. Sisi satu memiliki nilai positif, tapi sisi lain mengandung nilai negatif. Nilai negatif ini yang dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas. Kejahatan macam ini bisa berupa pembobolan data milik negara, seperti yang pernah terjadi pada KPU.
10. Pencuciang uang (money laundering). The Financial Action Task Force (satuan tugas internasional) memerangi pencucian uang di seluruh negara. Indonesia masuk dalam daftar hitam negara tidak kooperatif sejak 2001 bersama dengan negara-negara yang selama ini dikenal sebagai surga pencucian uang, seperti Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina.
11. Korupsi. Secara sederhana korupsi bisa dipahami sebagai gejala atau praktek di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya suap, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya, demi keuntungan pribadi (BN. Marbun, 2005). Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, penjelasan tentang korupsi sudah dipaparkan secara gamblang dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Korupsi disepakati sebagai kejahatan lintas batas/negara yang serius pada pertemuan ke-6 tingkat Pejabat Senior ASEAN tahun 2006 tentang Kejahatan Lintas.

Di Indonesia, kejahatan lintas batas meningkat cukup signifikan beberapa tahun terakhir dan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Kejahatan yang terjadi di wilayah perbatasan, antara lain seperti illegal loging, illegal fishing, perdagangan manusia, penyelundupan, dan perdanganggan obat-obat terlarang telah menimbulkan kerugian negara puluhan triliun setiap tahunnya, jumlah yang semestinya cukup besar untuk membantu peningkatan kesejahteraan rakyat. Dari kejahatan trafficking, Indonesia dijadikan sebagai negara transit dalam penyelundupan migran gelap dari Timur Tengah ke Australia, dan melahirkan permasalahan tersendiri dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Masalah yang serupa juga terjadi dengan negara Malaysia. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai negara pemasok Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk industri prostitusi di Singapura atau Hongkong, yang disisipkan lewat kegiatan pengiriman TKI. Serupa hal itu, Indonesia menjadi pasar PSK asal Cina, Taiwan, Rusia, dan negara asing lainnya. Dua jenis kejahatan ini menimbulkan social cost yang besar bagi Indonesia (www.solidaritycenter.org).

Demikian pula kejahatan money laundering atas hasil dari bisnis haram seperti prostitusi, perjudian, narkoba, dan bahkan dari hasil korupsi yang masih sulit diatasi. Pada bulan Maret 2003, Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United State dalam International Narcotics Control Strategy Report melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam deretan negara major laundering countries di wilayah Asia Pasifik. Predikat ini diperuntukkan bagi negara yang lembaga dan sistem keuangannya terkontaminasi oleh bisnis narkotika internasional dalam jumlah yang sangat besar. Laporan tersebut didukung oleh laporan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2003, bahwa jumlah peredaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai 300 triliun rupiah per tahun, hampir sama dengan APBN yang hanya 315 triliun pada tahun itu (www.bnn.go.id). Selain itu, miliaran bahkan triliunan rupiah uang hasil korupsi disimpan di bank atau diinvestasikan di luar negeri dan penegak hukum tidak berdaya untuk menarik dana tersebut kembali ke Indonesia.

Dari sini dapat dipahami, bahwa kejahatan lintas batas merupakan tindakan kriminal yang tidak kenal keamanan dan perdamaian internasional. Dalam hal ini, kejahatan lintas batas akan difokuskan pada isu terorisme sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan lintas batas yang merugikan manusia di mana pun mereka berada.

Terorisme: Perlawanan atas Ketidakadilan Global
Dari jenis-jenis kejahatan lintas batas di atas, kajian ini difokuskan pada isu terorisme. Sebuah isu yang semenjak tragedi meledaknya World Trade Center lebih dilekatkan dengan isu jihad. Padahal makan terorisme sangat jauh dari esensi jihad itu sendiri. Nama agama di sini menjadi kambing hitam terorisme.

Menurut para ahli kontraterorisme, istilah ”teroris” dilekatkan pada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna, serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki pembenaran. Karena itu, para pelakunya (teroris) layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya, seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati (Kamus Wikipedia).

Menurut Francisco Budi Hardiman, istilah ”terorisme” pada tahun 1970-an dilekatkan pada beragam fenomena: dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kelaparan dan kemiskinan. Istilah ini jelas berkonotasi peyoratif, seperti juga istilah ”genosida” atau ”tirani”. Karena itu, istilah ini juga rentan dipolitisasi. Lebih jauh, dia menjelaskan juga bahwa terorisme termasuk dalam kategori kekerasan politis (political violence) seperti kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, gerilya, pembantaian, dll. Karakteristiknya antara lain, pertama, merupakan intimidasi yang memaksa. Kedua, memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk satu tujuan tertentu. Ketiga, korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni ”bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”. Keempat, target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas. Kelima, Pesan aksi ini cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal. Keenam, para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya berjuang demi agama dan kemanusiaan (F. Budi Hardiman, 2005).

Tujuan para teroris melakukan aksi-aksinya diungkapkan secara terperinci oleh F. Budi Hardiman. Menurutnya ada enam tujuan. Pertama, mempublikasikan suatu alasana lewat aksi kekejaman karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang cepat dan masif dimungkinkan. Kedua, aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok. Ketiga, katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa. Keempat, menebar kebencian dan konflik interkomunal. Kelima, mengumumkan musuh atau kambing hitam. Keenam, menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan polisi, serta lain sebagainya. Sedangkan untuk membenarkan aksi terorismenya, para pelaku teror membenarkan tindakannya berdasarkan lima alasan. Pertama, segala cara dibenarkan demi pencapaian tujuan transendental (surga). Kedua, kekerasan ekstrem dianggap bersifat katarsis, memberi rahmat, dan regeneratif. Ketiga, pelaku meletakkan aksinya dalam konteks sejarah dimana aksi itu merupakan elemen dari hukum sejarah itu sendiri. Keempat, dijelaksan dari perspektif moral kesetimpalan ’mata diganti mata, gigi diganti gigi’. Kelima, aksi teror dipandang sebagai ’kejahatan kecil’ dibanding dengan ancaman musuh yang merupakan ’kejahatan agung’ (F. Budi Hardiman, 2005).

Terorisme bukan merupakan isu baru. Namun menjadi lebih aktual ketika terjadi peledakan pada World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001. Tragedi yang terjadi selama dua jam ini dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan kurang lebih 3.000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, 189 orang tewas (termasuk para penumpang pesawat), 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke WTC merupakan penyerangan terhadap ”Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, mereka sebenarnya tidak saja menyerang Amerika Serikat, tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut (Kamus Wikipedia).

Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan terorisme internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya tragedi Bali (12 Oktober 2002) yang merupakan tindakan teror dan menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang (Kamus Wikipedia). Begitu juga kejadian bom di Hotel JW. Marriot, bom di Kuningan, bom di Kedubes Australia, dan Bom Bali II.

Memang belum ada pengertian yang tuntas tentang terorisme. Yang jelas, alasan para pelaku melakukan teror bom di mana-mana adalah anggapan bahwa dunia yang dihegemoni oleh neoliberalisme tidak berlaku adil. Islam yang dianggap sebagai agama paling sempurna telah dihina dan disubstitusikan. Islam dinggap oleh kaum neoliberalis, sebagai penghambat bagi gerak lajunya perekonomian dunia. Padahal bagi para teroris, agamalah yang seharusnya memimpin dunia. Karena anggapan bahwa Islam paling benar, maka nilai-nilai jihad mereka munculkan dalam bentuk peperangan. Pengeboman yang terjadi dimana-mana dan selalu dilekatkan dengan Islam sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan dunia global.

Atas dasar tolok ukur kejahatan lintas batas yang telah dijelaskan di atas, maka dalam konteks ini terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang dilakukan tidak hanya dalam satu wilayah tertentu saja, tetapi lebih dari dua negara. Di samping itu, terorisme telah mengancam keamanan internasional dan yang lebih penting lagi, terorisme telah menghilangkan banyak nyawa warga sipil yang tidak berdosa. Ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berada pada urutan teratas dan harus segera diberhentikan.

Pembacaan Teori Kritis Terhadap Terorisme
Menurut pembacaan teori kritis, kemunculan aksi terorisme merupakan bentuk perlawanan terhadap dunia global dan khususnya terhadap pemerintah atas perlakuan ketidakadilan terhadap kaum tertentu. Kaum tertentu ini yang kerap kali melakukan tindakan teror. Bagi para teroris, dunia sekarang telah didominasi oleh kaum neoliberalisme, istilah yang kerap dianggap ingin menghidupkan kembali ’liberalisme klasik’ dan juga sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi. Paham neoliberalisme ini dianggap sebagai musuh yang akan menjadi kekuatan global dan akan menyingkirkan semua pihak, termasuk agama. Dengan alasan inilah para teroris itu melakukan perlawanan terhadap dunia global dengan taktik yang bombastis dan dapat menarik perhatian dunia.

Menurut Adjie S., aksi terorisme sebenarnya ingin memaksa pemerintah untuk menyerah sekaligus mengikuti tuntutan mereka. Tujuan teror tidaklah menjadi penting, tetapi efek dan reaksi yang mereka lakukan dengan kejam itu yang menjadi target mereka dan berharap masyarakat dan pemerintah menjadi panik. Karena itu, dengan tindakan kejam ini para teroris berharap pemerintah mau mengikuti keinginan para teroris yang tidak pernah digubris (Adjie S., 2005).

Karena itu, demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan penuh perdamaian, ada beberapa langkah berikut ini yang harus menjadi perhatian utama dalam rangka menghadapi aksi terorisme. Pertama, membuat kesepakatan global bahwa terorisme sebagai common enemy dalam rangka pemenuhan dasar state security dan human security serta tidak membahayakan warga sipil di belahan negara manapun.

Kedua, pihak pemerintah harus memperketat keamanan negara dengan cara mempertegas hukum terhadap pelaku terorisme tanpa tebang pilih serta kembali memperkuat peran-peran lembaga kepolisian dan penjagaan keamanan, terutama pada batas-batas teritoriral antar-negara.

Ketiga, melakukan kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk memerangi segala bentuk tindakan terorisme dalam rangka perdamaian internasional.

Keempat, masyarakat sipil juga berhak untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat lain yang terindikasi menyimpan barang-barang pendukung terorisme. Jadi, kontrol tidak hanya datang dari atas (pemerintah), tetapi dari bawah juga. Pihak masyarakat harus mulai memiliki kesadaran untuk mengontrol sesama warganya sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus mengawasi semua pihak dalam penggunaan dan pemasaran bahan peledak.

Kelima, melakukan proses penyadaran kepada seluruh warga tentang apa itu terorisme, bahaya terorisme, dampak terorisme, jaringan terorisme, serta bagaimana mengetahui seseorang itu melakukan tindakan-tindakan yang mengindikasikan pada terorisme. Proses penyadaran bisa berupa pelatihan, short course, pembuatan opini publik di media (cetak atau elektronik), serta adanya gerakan kampanye anti-terorisme dari masyarakat sendiri. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan aksi-aksi terorisme dapat terkontrol dan tidak terjadi lagi.



Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

20.47

Pseudo Civilization, Sebuah Label untuk Indonesia

PENDAHULUAN
Gagasan tentang peradaban telah banyak dieskplorasi oleh para sejarawan, sosiolog, dan antropolog seperti Max Weber, Durkheim, Tynbee, Spengler, Sorokin, Christopher Dawson, dan lain sebagainya. Ide yang dikembangkan oleh pemikir Perancis abad ke-19 ini selalu diperlawankan dengan konsep “barbarisme”. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Konsep peradaban memberikan sebuah ‘tolok ukur’ yang dijadikan rujukan dalam memberikan penilaian terhadap berbagai dinamika kehidupan masyarakat, yang selama abad ke-19, orang-orang Eropa banyak melakukannya melalui usaha-usaha intelektual, diplomatis, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tataran masyarakat Eropa (Samuel P. Huntington, 2005).

Peradaban merupakan entitas bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Namun keduanya mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Kultur dari kampung di Sumatera tentu berbeda dari kultur kampung di Sulawesi. Namun secara umum keduanya sama-sama memiliki kultur Indonesia yang membedakan mereka dari kultur perkampungan di Australia. Di sinilah Indonesia bisa menjadi sebuah peradaban. Menurut Durkheim dan Mauss, sebagaimana yang dikutip Huntington, peradaban dimaknai sebagai suatu corak wilayah moral yang melingkupi sejumlah bangsa, dengan kebudayaan masing-masing yang hanya menjadi suatu bentuk tertentu dari keseluruhan. Dapat dipahami, bahwa peradaban merupakan bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya manusia yang dibedakan dari makhluk-makhluk lainya (Samuel P. Huntington, 2005).

Pada perspektif yang luas, peradaban-peradaban besar pada umumnya identik dengan agama-agama besar dunia. Mengapa demikian? Pengalaman selama ini membuktikan, bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa tetapi berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent). Karena itu, orang-orang yang memiliki kesamaan ras tetapi beda agamanya, bisa dipisahkan melalui peradaban. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang memiliki perbedaan ras tetapi memiliki kesamaan agama, bisa disatukan melalui peradaban. Arus utama agama itu ada dua: Islam dan Kristen. Pembedaan krusial antara berbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai, keyakinan, institusi, dan struktur sosial mereka, bukan karena ciri fisikal seperti bentuk kepala dan warna kulit (Samuel P. Huntington, 2005).

Setiap gerak langkah peradaban pasti menjumpai masa perkembangan maupun kemunduran. Ia besifat dinamis sekaligus jatuh, menyatu tetapi juga saling terpisah, serta di suatu saat tenggelam dan terkubur di dalam pasir-pasir masa. Fase-fase dari evolusi peradaban dapat dipahami melalui berbagai cara. Quigley melihat, bahwa peradaban-peradaban berkembang melalui tujuh tahapan: percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik, kekuasaan universal, keruntuhan, dan invasi.

Menurut Huntington, pada sudut pandang yang ekstrem, sebuah peradaban dan entitas politik bisa saja saling dipertemukan. Tionghoa menurut Lucian Pye adalah sebuah peradaban yang cenderung menjadi negara. Jepang adalah sebuah peradaban yang telah menjadi sebuah negara. Sebagian besar peradaban, bagaimanapun juga, memiliki lebih dari satu negara atau entitas politik. Dalam dunia modern, sebagian peradaban meliputi dua negara atau lebih. Banyak ilmuwan yang mengkalisifikasikan berbagai macam peradaban di dunia. Namun ada “suatu kesepakatan yang masuk akal”, Melko menyimpulkan setelah meninjau kembali berbagai referensi yang berkaitan dengan kurang lebih 12 peradaban besar yang masih eksis. Tujuh peradaban tidak lagi eksis yaitu Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantin, Amerika Tengah, Andea. Lima peradaban masih eksis yaitu Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Peradaban Barat (Samuel P. Huntington, 2005).

PERADABAN BARAT DAN PERADABAN TIMUR
Menjadi persolan tersendiri ketika ada dikotomi antara term “Barat” yang hingga kini selalu diidentikkan dengan superior (kuat) dan term “Timur” yang hampir lekat dengan kategori inferior (lemah). Istilah “Barat” secara umum digunakan untuk menunjukkan apa yang disebut dengan agama Kristen dan “Timur” untuk menggambarkan agama Islam.
Barat dengan demikian adalah sebuah peradaban yang dipandang sebagai ‘penunjuk arah’ dan tidak diidentikkan dengan nama orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Sedangkan Timur bisa dikatakan sebagai pihak yang mengikuti atau mengekor ke mana saja ‘penunjuk arah’ itu bergerak. Pengidentifika-sian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulutralnya (Samuel P. Huntington, 2005). Secara historis, peradaban Barat adalah peradaban Eropa yang diwakili oleh Yunani-Romawi dan peradaban Timur adalah peradaban jazirah Arab yang diwakili Mesir, Cina, dan India.

Di era modern, peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara. Eropa, Amerika, dan Atlantik Utara dapat dijumpai di dalam peta, sedangkan Barat tidak. Sebutan “Barat” juga digunakan untuk menunjukkan pada konsep “westernisasi” dan hal ini telah memberikan penafsiran yang menyesatkan dalam kaitan dengan westernisasi dan modernisasi (Samuel P. Huntington, 2005). Pada akhirnya, akan dipaparkan secara detail tentang peradaban Barat dan Timur dalam perspektif kaum orientalis dan oksidentalis. Masing-masing memiliki pandangannya yang berbeda-beda.

Perspektif Kaum Orientalis
Menurut kaum orientalis, peradaban Barat merupakan pusat perada-ban yang harus diikuti oleh peradaban-peradaban yang lain. Orang di luar peradaban Barat harus bercermin untuk bisa menjadi seperti peradaban Barat. Karena itu, ada anggapan bahwa hampir sebagian besar penerima hadiah Nobel adalah orang-orang Timur (Asia, Afrika) dengan asumsi, seseorang dikatakan bisa sama kedudukannya dengan Barat ketika telah menerima hadiah Nobel. Karena itu, cara untuk menggambarkan dunia Timur adalah melalui penelitian terhadap ilmu, tradisi, peradaban, dan kebudayaan Islam. Tujuannya adalah untuk menyelami rahasia, watak, sifat, pemikiran, sebab kemajuan, dan kekuatan masyarakat Islam (Abdul Fattah, 1997).

Bagi kaum orientalis, Timur adalah sesuatu yang eksotis, erotis, asing, sebagai fenomena yang bisa dimengerti, bisa dipahami dalam jaringan kategori, tabel, dan konsep, yang melaluinya Timur terus-menerus dibatasi dan dikontrol. Para orientalis telah menciptakan tipologi watak, menyusun perbedaan antara Barat yang rasional dan Timur yang malas (Bryan S. Turner, 2002). Para orientalis klasik memposisikan dirinya sebagai “ego” yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai “the other” yang menjadi obyek. Karena pembedaan kategori ini, muncul kategori superioritas dalam “ego” Eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji juga mengakibatkan munculnya kategori inferioritas dalam diri “the Other” non Eropa (Hassan Hanafi, 2000).

Hingga saat ini, minat Barat untuk mengkaji tentang dunia Timur dan ketimuran dan bidang keislaman sangatlah tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya institusi dan berbagai media Barat yang melakukan kajian keislaman. Hasil-hasil kajian mereka banyak beredar dan tersebar luas di masyarakat (baik di negara-negara Barat maupun di Timur), serta tertuang dalam ensiklopedia, kamus, buku, artikel, jurnal, dan sejumlah majalah lainnya. Untuk konteks Indonesia, diakui atau tidak, karya dan pemikiran mereka telah banyak dikonsumsi masyarakat umum, terutama oleh warga akademisi (Dadi Nurhaedi, 2003).Apalagi dengan adanya teknologi semacam internet yang semakin mempermudah arus informasi tentang kajian-kajian orientalis. Belum lagi adanya buku-buku terjemahan yang semakin mempercepat pemahaman para pembaca dan masyarakat luas yang mengalami kendala bahasa.

Dapat digambarkan, bahwa kaum orientalis memposisikan peradaban Barat selalu pada posisi kuat dan memposisikan peradaban Timur hampir pasti lemah. Timur harus dikonsepsikan kembali jati dirinya sebagai Timur dalam perspektif Barat. Karena itu, menurut mereka, Timur harus banyak bercermin pada peradaban Barat dalam berbagai aspeknya. Kalau tidak, maka Timur akan tetap menjadi terbelakang dan tidak bisa menyeimbangi Barat.

Perspektif Kaum Oksidentalis
Menurut kaum oksidentalis, eksistensi peradaban Barat sekarang tidak bisa terlepas dari historisitas masa lalunya yang hingga kini sumber-sumbernya masih disembunyikan. Mereka tidak ingin mengungkapkan (kalau tidak mau disebut menyembunyikan dengan malu-malu) siapa sebenarnya dan bagaimana pembentukan Barat (baca: Eropa) hingga menjadi seperti sekarang ini.

Seorang intelektual terkemuka dan kontroversial asal Mesir, Hassan Hanafi menjelaskan, bahwa Eropa yang kini berdiri kokoh telah memiliki dua sumber kesadaran yang disembunyikannya dan tak terekspos. Kedua sumber itu adalah sumber Timur Lama dan lingkungan Eropa. Timur Lama di sini meliputi Cina, India, Persia, dan Peradaban Mesopotamia (Babilonia, Asyiria, Accad), Syam (negara Kan’an), dan sumber-sumber dari seluruh benua Afrika dan peradaban Islam yang muncul dalam filsafat skolastik pada masa akhir abad pertengahan. Lingkungan Eropa meliputi agama-agama paganis di Eropa yang dimulai pada abad kedua sebelum tersebarnya agama Kristen, mitos, tradisi, budaya, letak historis, lingkungan geografis Eropa yang merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat dan perpanjangan Afrika ke arah utara (Hassan Hanafi, 2000).

Secara geografis, historis, dan peradaban, Eropa merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat. Bahasa Hindia-Eropa pun berasal dari Asia Tengah. Di samping sebagai alat komunikasi, bahasa mencerminkan ciri pemikiran, konsepsi tentang alam, dan nilai-nilai moral. Ketika Timur menjadi pusat peradaban dunia di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, hukum, ilmu pengetahuan, sastra, kesenian, industri, sejarah dan filsafat, agama-agama di Timur telah mempengaruhi agama di Romawi. Muncullah agama-agama yang berasal dari Timur seperti Cybele dari Asia Kecil, agama Serapis dari Mesir yang berpindah ke Yunani dalam format baru, Phrygion yang ritus-ritusnya selalu muncul dalam perayaan musim semi, tuhan-tuhan Mabellona, dan lain sebagainya. Romawi mengadopsi ritus-ritus Mesir dan hari-hari besarnya. Hal inilah yang memberi warna baru dalam kesadaran Romawi (Hassan Hanafi, 2000).

Filsafat Yunani sendiri tidak bisa terlepas dari pengaruh Asia Kecil yang secara geografis dan historis bersinggungan dengan peradaban Mesopotamia dan agama Timur, utamanya dari Persia. Legenda Siris, Osiris, dan Horus sangat popular dalam mitologi Yunani. Phitagoras pun mengenal matematika Timur dan tasawufnya. Plato pernah belajar di Memphis selama kurang lebih lima belas tahun. Bahkan bisa jadi teorinya yang terkenal tentang idea diambil dari teori kesenian Mesir Kuno. Hanya saja teori kesenian Mesir Kuno diterapkan dalam lukisan yang kasat mata, sedangkan teori Plato berupa pemikiran yang abstrak (Hassan Hanafi, 2000).

Seluruh aspek iluminis tasawuf dalam filsafat Yunani, termasuk esoterisme Socrates, kontemplasi Thales, dan pakar fisika awal tentang kejadian alam dan kehidupan, merupakan kelanjutan peradaban Timur. Astronomi, ilmu sihir, dan dunia para normal di Yunani juga berasal dari Babilonia. Di India juga ditemukan ilmu hitung, meskipun seolah-olah ada kesan Phitagoras dan Thales tidak pernah berinteraksi dengan sekte-sekte di Timur. Selain berada di belakang sumber Yunani-Romawi, Timur Lama juga berada di belakang sumber Yahudi-Kristen. Taurat merupakan kumpulan literatur yang mempunyai padanan dalam literatur Babilonia, Asyiria, Accad, dan Kan’an. Mitologi Ibrani lama berasal dari mitologi Mesopotamia (Hassan Hanafi, 2000).

Sumber Islam dalam kesadaran Eropa hampir tidak pernah disebutkan. Karena Islam dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran Eropa. Islam lebih dekat ke Timur daripada Barat walaupun sebenarnya tingkat penyebaran Islam ke Timur sama dengan penyebaran ke Barat. Islam ada di seperempat bumi Eropa, di Andalusia, bagian utara Perancis, bagian utara Italia, Sicilia, Crete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur. Ilmu pengetahuan Islam terutama filsafat, kalam, ilmu alam, matematika, menjadi salah satu penyangga kebangkitan Eropa modern (Hassan Hanafi, 2000).

Salah satu penyebab disembunyikannya sumber-sumber tak terekspos adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa. Rasialisme inilah yang menjadikan Eropa enggan mengakui eksistensi orang lain. Eropa diklaim sebagai pusat dan menempati puncak kekuatan serta menjadi pioner di dunia. Rasialisme bangsa Eropa terlihat jelas dalam ideologinya di abad lalu seperti nasionalisme, nazisme, fasisme, dan zionisme. Namun demikian, terungkaplah bahwa sumber-sumber kesadaran Eropa berasal dari Cina (Nedham), India (Nakamura), Islam (Garaudy), dan Timur Lama (Toynbee) (Hassan Hanafi, 2000).

Barat sebagai peradaban yang kosmopolit merupakan mitos yang harus dihancurkan kaum oksidentalis. Dengan metode fenomenologi dan dialektika-historisnya Hanafi, posisi Barat ingin dikembalikan pada posisi sejajar dalam peradaban manusia. Alhasil, tidak akan ada pusat peradaban dan cabang peradaban. Semua peradaban berada pada posisi yang sederajat. Satu sama lain saling berlomba untuk mencari yang terbaik. Kaum oksidentalis ingin mendudukan Barat sebagai obyek kajian, lalu melakukan pembebasan diri dari hegemoni Barat yang sarat kepentingan, dan pada akhirnya menghancurkan mitos bahwa Barat sebagai “kebudayaan kosmopolit”. Alhasil, terjadilah kesetaraan antar-peradaban. Cita-cita kaum oksidentalis tidak licik seperti kaum orientalis.

MEMBACA INDONESIA: SEJARAH SELALU BERULANG
Berdasarkan klasifikasi peradaban yang telah dijelaskan di atas, bahwa suatu peradaban itu terdiri dari berbagai macam kebudayaan, agama, serta norma-norma yang berlaku, maka Indonesia dalam konteks ini ditempatkan sebagai sebuah peradaban. Indonesia yang lebih kuat namanya dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki ragam adat-istiadat, bahasa, dan ras dari Sabang hingga Merauke. Mungkin tidak semua warga negara Indonesia mengenal apa saja macam-macam bahasa yang digunakan oleh orang-orang Indonesia, baik yang di Sumatera maupun yang di Papua. Bahkan dalam satu provinsi, sebagai misal, seorang warga ada yang tidak paham bahasanya, karena beda dialek. Bagaimana mau tahu jumlah perbedaannya, lha wong untuk mengetahui antar-desa saja sudah susah, apalagi antar pulau.

Pada persoalan bahasa saja, untuk bahasa Jawa sangat beragam jenisnya. Ada Jawa kromo inggil, Jawa kasar, Jawa ngapak, Jawa ala Jogja, dan Jawa ala Surabaya (arek-arek). Istilah “kamu” dalam bahasa Jawa cukup banyak, seperti: Sampeyan, panjenengan, kowe (kasar), dan lain sebagainya. Pada bidang agama, Indonesia sekarang telah mengakui enam agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghu Chu. Ini yang diakui, yang tidak diakui bahkan kelahiran agamanya sempat menjadi kontroversial juga mewarnai peradaban bangsa Indonesia. Itu yang nampak dalam permukaan, yang tidak nampak tidak boleh dianggap remeh begitu saja. Justru keragaman inilah yang mewarnai Indonesia untuk menjadi sebuah peradaban tersendiri.

Kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur lebih dari enam dekade tentu memiliki sistem pemerintahan yang selalu berganti-ganti. Mulai dari demokrasi pemerintahan pada masa revolusi kemerdekaan, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin ala Soekarno, rezim otoriter Orde Baru (state qua state, neo-patrimonialism, bureucratic polity, sampai dengan limited pluralism), hingga akhirnya memilih demokrasi sebagai asas pemerintahan.

Indonesia merupakan negara terbesar nomor empat di muka bumi ini. Ketika makalah ini ditulis, Indonesia telah merdeka menjadi negara lebih dari 63 tahun, walaupun pada kenyataannya Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tetapi mengakuinya pada tahun 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Apa yang kita alami dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, menurut Amin Rais, sesungguhnya hanya pengulangan dari apa yang yang kita alami pada zaman penjajahan kompeni dan pemerintahan Belanda di masa lalu. Perbedaan antara tempo doeloe dengan masa sekarang hanyalah dalam bentuk atau format belaka. Dahulu pendududkan fisik dan militer Belanda menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian, dan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan pertahanan. Sedangkan sekarang ketika penjajahan itu tidak dalam bentuk fisik lagi tetap saja kemandirian dan kedaulatan Indonesia sebagai negara tergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing (Amin Rais, 2008).

Kekuatan-kekuatan korporasi telah mendikte bukan saja perekonomian nasional seperti kebijakan perdagangan, keuangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, dan lain sebagainya, tetapi juga kebijakan politik dan pertahanan. Bahkan bisa dikatakan, bahwa bangsa Indonesia telah tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Negara kita begitu cepat lupa pada sejarah. George Santayana, filsuf Spanyol berpendidikan Amerika pernah mengingatkan, bahwa mereka yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi pengalaman sejarah itu. Ada juga pepatah asing yang sangat terkenal, sejarah berulang kembali. Kalau kita mau jujur melihat hilangnya kemandirian dan kedaulatan ekonomi kita, sesungguhnya sejarah imperealisme tempo dulu kini sudah hadir kembali dalam bentuk dan pengejawanta-han yang berbeda. Agaknya banyak di antara kita yang belum atau tidak menyadari-nya. Seorang dramawan dan sosialis Irlandia, George Bernard Shaw (1856-1950) mengatakan, bahwa manusia merupakan makhluk yang unik dan agak aneh, sekalipun sejarah selalu berulang, manusia sangat sulit bahkan tidak mampu untuk tidak mengulangi sejarah yang buruk. Karena itu, menurut guru besar ilmu politik ini, sejarah merupakan kontinuitas antara masa lalu, masak kini, dan masa depan (Mohammad Amin Rais, 2008). Ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Kita pasti ingat, pada awal abad ke-17, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mulai menjajah kita dan diteruskan oleh pemerintah Belanda sampai menjelang akhir perang dunia II. Bahkan Belanda berusaha kembali menduduki Indonesia pada tahun 1947 dan 1949. Mereka pada akhirnya berhasil menduduki kepulauan Indonesia dan mengusai hasi bumi, terutama rempah-rempah dan perkebunan Indonesia, sampai sekitar tiga abad. Ketika VOC bangkrut pada 1799. pemerintah Benda mengambil alih kegiatan VOC di Indonesia. VOC adalah korporasi multinasional pertama dalam sejarah dan merupakan perusahaan pertama yang menerbitkan saham (Amin Rais, 2008).

Secara bertahap VOC menjadi sebuah kekuasaan teritorial. Pada abad ke-19 kekuatan-kekuatan ekonomi Eropa, sebagai produk kapitalisme industrial, akhirnya menjadi unsur pokok dalam gelombang baru imperealisme Eropa. Untuk memperta-hankan imperealisme dan kolonialisme mereka, negara-negara Barat memerlukan komponen-komponen penopang berupa perbankan, media massa, dan dukungan elit nasional bangsa yang terjajah. Hakikatnya, korporatokrasi pada awal abad ke-21 merupakan turunan dari korporatokrasi empat abad silam. Hanya saja yang sekarang ini tentu lebih canggih dan seringkali bersifat terelubung, tetapi daya hancurnya mungkin justru lebih besar (Mohammad Amin Rais, 2008).

Sejarah berbeda dengan mitos. Mitos bersifat reaksioner, berhenti, dan tidak pernah berubah. Sedangkan sejarah berwatak dinamis dan seringkali memunculkan perubahan-perubahan, baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Karena itu, sekalipun sejarah cenderung selalu berulang, pengulangan itu sesuai dengan perkembangan zaman, dapat bersifat lebih fundamental, radikal, dan destruktif. Imperealisme ekonomi ternyata dapat muncul kembali sambil menunggangi proses globalisasi dengan daya eksploitasi dan destruksi yang lebih luas (Amin Rais, 2008).

Bila dicermati, mengapa VOC dan pemerintah Belanda dapat menjajah Indonesia. Tentu karena elit dan penguasa Indonesia saat itu (katakanlah para raja) tidak semuanya melakukan perlawanan bersama rakyat untuk memukul balik kaum imperealis-kolonialis. Tetapi justru sebagian dari mereka berkolaborasi dengan pihak penjajah. Tentu para pahlawan semisal Sisingamangaraha, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya telah berjuang keras untuk bangsa ini. Akan tetapi ada juga lapisan aristrokasi yang cenderung berdamai dan bahkan menjadi subordinat atas kompeni dan penjajah Belanda. Mereka bahkan mengumpulkan pajak atas nama pemerintah Hindia Belanda (Amin Rais, 2008). Sungguh amat kejam.

Cerita di atas akan menjadi lain ketika para aristokrasi Indonesia saat itu secara serempak bersama rakyat melakukan perlawanan terhadap para kompeni Belanda. Jelas, ini menjadi kesulitan besar bagi mereka untuk masuk ke Indonesia. Jika kekuatan perlawanan itu diterapkan untuk konteks sekarang, maka mustahil kekuatan-kekuatan korporatokrasi itu mengacang-acak dengan gampang kedaulatan ekonomi kita. Namun sayang, para elit penguasa kita malah tunduk (kalau tidak ingin disebut ketakutan) dari para korporatokrasi asing itu.

Membongkar mentalitas inlander ternyata tidak mudah. Semangat kemandirian dan rasa percaya diri yang diajarkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Syahrir, dan lainnya kin entah terbang ke mana. Sekeping contoh dapat disebutkan di ini, ketika Presiden Bush ingin melakukan kunjungan ke Indonesia, sebagian pemimpin besar bangsa ini malah “ketakutan” dan merasa panas dingin. Pengamanan yang diberikan kepada Presiden AS yang di negerinya sendiri sudah tidak populer itu sungguh berlebihan dan sekaligus agak memalukan. Tidak ada negara mana pun di dunia yang menyambut Presiden Bush seperti maharaja diraja, kecuali di Indonesia sekarang ini. Seolah Indonesia telah menjadi vazal atau negara protektorat AS (Amin Rais, 2008).

PSEUDO CIVILIZATION, LABEL BARU UNTUK INDONESIA
Sejak pra kemerdekan hingga menjadi negara yang berdaulat dan terbebas dari jajahan Belanda, Indonesia tidak bisa melepaskan sisa-sisa jajahannya, begitu juga warisan-warisan bangunannya. Sudah enam dekade Indonesia merdeka, tetapi warisan penjajahan tetap berlaku di Indonesia, bahkan model penjajahan itu dilakukan oleh sesama warga negaranya, baik itu oleh pemerintah terhadap rakyat atau militer terhadap warga sipil. Sejarah telah membuktikan bahwa kekejaman itu pernah dilakukan rezim pemerintah terhadap rakyat seperti yang terjadi pada peristiwa G 30S PKI (1965), kasus Malari, Tregedi pembantaian Tanjung Priok dan Talangsari, serta pembunuhan aktivis pro-demokrasi 1998 dan seorang aktivis HAM, Munir. Hal ini menunjukkan, bahwa warisan penjajan Belanda masih diberlakukan oleh sesama anak bangsanya sendiri.

Kita tentu akan bangga ketika tim sepak bola merah putih berlaga melawan kesebelasan asing di Kejuaraan Piala Asia tahun 2007, Stadion ISTORA seolah-olah mau runtuh. Teriakan dan tepuk tangan membahana, di dalam dan di luar stadion, yang mendukung kesebelasan merah putih sulit disaingin oleh bangsa Asia lainnya. Luar biasa. Setiap kali tim merah putih ini memperoleh medali emas, kita bangga bukan main, tetapi kalah kita kecewa besar. Ketika akhirnya Indonesia memperoleh urutan keempat di bawah Thailan, Vietnam, dan Malaysia, kita sedih berhari-hari (Amin Rais, 2008).

Apakah kita salah jika kita memuja-muja tim merah putih ketika bertarung di gelanggang olah raga regional atau internasional? Tidak salah sama sekali. Memang sudah seharusnya demikian. Akan tetapi mengapa nasionalisme olah raga seperti tidak ada kaitannya dengan nasionalisme ekonomi, nasionalisme politik, nasionalisme pertahanan-keamanan, nasionalisme pendidikan, dan nasionalisme di bindang yang lainnya. Bila diibaratkan sebuah rumah di pinggi jalan, maka olah raga itu bagian pagar depan yang selalu dilihat terus oleh semua pengguna jalan raya. Pemerintah kita seperti pemilik rumah di pinggir jalan raya itu. Dia hanya memiliki obsesi, bagaimaan pagar rumah terlihat bersih, mengkilat, dan tidak indah dipandang. Selain itu masa bodoh. Ketika perabotan rumah dicuci orang lian, ia tidak peduli. Bahkan ketika anak dan istrinya dibawa keluar oleh orang lain, si pemilik rumah tidak mengambil tindakan apa pun. Ia hanya bisa menonton, seolah tak ada sesuatu yang perlu dirisaukan. Yang penting, pagar rumah terlihat bagus. Kira-kira demikian gambaran yang sedang menimpa negara kita (Amin Rais, 2008).

Kedaulatan nasionalisme kita hanya sekadar kedaulatan simbolik. Sangat dangkal. Semua hanya nampak pada permukaan saja. Ketika kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi seperti perbankan dan industri asing, bahkan ketika kekuatan asing sudah dapat mendikte perundang-undangnan serta keputusan-keputusan politik, kita diam membisu. Seolah sudah kehilangan harga dan martabat diri (Amin Rais, 2008). Ketika kebudayaan kita secara perlahan-lahan tergantikan dengan kebudayaan luar negeri, kita enggan menanggapinya dan diam-diam mengikuti budaya dari luar negeri tersebut. Bahkan bangga jika kita menggunakan produk-produk mereka. Jika hal yang demikian telah terjadi, bagaiaman kedaulatan dan kemandirian nasional kita di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Ketiga indikator inilah yang akan label pada Indonesia sebagai negara yang pseudo civilization.

Kedaulatan Ekonomi-Politik
Dr. Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, mengingatkan kepada kita semua tentang bahaya neo-kolonialisme. Dalam pidatonya di depan the Asia HRD Congress di Jakarta, 3 Mei 2006, Mahathir mengatakan:

Neokolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakannya tatkala kita hidup berada di bawah kontrol agen-agen yang dikendali-kan oleh mantan penjajah kita (Amin Rais, 2008).

Mahathir mengingatkan, bila negara-negara Asia ingin maju, mereka harus merubah mindset atau tata-pikir mereka agar benar-benar merdeka dan berdaulat. Tata-pikir bangsa-bangsa Asia yang dijajah sampai berabad-abad telah menjadi kuat terpola dan berurat-berakar. Betapa tepatnya pandangan Mahathir itu. Kita seringkali melihat cara berpikir dan bertindak sebagian anak bangsa yang bagaikan beo dan (maaf) monyet yang selalu meniru-niru apa saja yang datang dari Barat (Amin Rais, 2008).

Karena para majikan dan pemikir ekonomi asing mengatakan, bahwa sistem ekonomi yang paling produktif adalah sistem yang ramah pada pasar, maka sebagian dari kita mengkhotbahkan seruang agar ekonomi Indonesia berwata market-friendly. Mereka seolah lupa kalau pasar tak pernah punya nurani. Ideologi pasar adalah seratus persen mencari profit tanpa ada pertimbangan apa pun juga. Joseph Stiglitz mengingatkan teori invisible hand atau tangan tidak kelihatan dalam ekonomi pasar sesungguhnya tidak nyata. Karena “tangan” itu memang tidak ada. Amin Rais pernah terkenjut ada sekorang ekonom Indonesia yang mungkin ilmuny masih nanggung, menganggap Stiglitz dan pendahulunya bodoh. Bodoh karena keduanya berpendirian, bahwa ekonomi pasar dapat lebih berfungsi bila pemerintah melakukan intervensi agar dapat lebih efisien di samping dapat mengurangi pengangguran.

Paham neoliberalisme telah merajalela di negara Indonesia tanpa ada perlawanan dari internal. Bahkan pemerintah secara malu-malu (kalau tidak mau disebut setuju) mendukung regulasi yang berpihak pada pasar. Walaupun tidak ada undang-undang yang mendukung adanya privatisasi aset-aset negara, tetapi secara personal para elit pemerintah memberikan dukungan tersebut. Bahkan akhir-akhir ini menteri BUMN ingin memprivatisasi lembaga-lembaga negara sehingga pemerintah tidak harus membuat regulasi tersebut. Banyak pula perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia tetapi pemiliknya dari luar. Free Port, Excon Mobil, Indosat, Blok Cepu, dan Aqua (Danone) menjadi sederet bukti bahwa sebagian aset Indonesia telah menjadi milik orang lain. Entah apa lagi yang akan dijual oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan dari negeri ini. Sebuah sikap yang kontras dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka, tetapi kedaulatan ekonomi tidak pernah berada di tangah rakyat.

Kita masih ingat bagaimana Indonesia tunduk pada WTO untuk menerima impor paha ayam dari AS sehingga ribuan peternak ayam kita serentak gulung tikar. Demikian juga Indonesia begitu taatnya membuka diri tanpa ada proteksi terhadap impor gula, tekstil, dan berbagai komoditas lain yang merugikan rakyat Indonesia sendiri. Sikap konyol Indonesia ini jarang ditandingi oleh negara lain. Inilah doktri globalisasi yang hingga kini masih diyakini oleh sebagian aristokrasi banga kita. Doktrin itu meliputi: liberalisasi perdagangan dan arus keuangan, deregulasi produksi, modal, dan pasar tenaga kerja, dan merampingkan (downsizing) peran negara, terutama yang berkaitan dengan program pembangunan sosial dan ekonomi (Amin Rais, 2008).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sistem perekonomian Indonesia ingin dibawa-bawa pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah disetir untuk membuat kebijakan yang pro terhadap pasar. Dalam konteks negara yang sedang berkembang, Indonesia ingin menerapkan sistem kapitalisme dan benar-benar mempersempit peran negara atau bahkan bila perlu tidak ada sama sekali. Namun sayang, sistem kapitalisme yang berkembang di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya (kecuali Singapura) tidak menjadi kapitalisme yang tulen, tetapi sekadar apa yang disebut Yosihara Kunio sebagai kapitalisme semu (ersatz kapitalism). Meminjam istilah Arief Budiman, kapitalisme semu bararti kapitalisme yang tersubstitusi dan lebih inferior.

Persoalan ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya benar-benar diberlakukan konsep developmental state sebagaimana yang telah berlaku di Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara di Asia Timur. Konsep ini merupakan suatu paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung mengintervensi proses pembangunan (yang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang mengandalkan kekuatan pasar) dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik (Yogi Suwarno, 2006).

Ketidakberdayaan sitem perekonomian Indonesia tidak lain karena masih banyaknya pihak-pihak yang melakukan perburuan rente (rent-seeking) yang dalam penjelasan Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, perburuan rente itu merupakan usaha yang dilalui tidak secara alami namun melanggar regulasi pemerintah, semisal korupsi. Keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi tujuan utama para kaum rent-seekers. Hal ini pun senada dengan apa yang dinyatakan oleh KS. Jomo, bahwa di samping pemberlakuan konsep developmental state yang telambat di negara-negara Asia Tenggara, adanya para pencari untung (rent-seeking) juga merajalela di belahan negara-negara Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia.

Karena itu, kita harus berani mengembalikan kedaulatan ekonomi yang sejak beberap waktu lalu selalu mengekor kepada sistem perekonomian Amerika. Kita harus secara serempak berani berteriak melawan tiga pilar institusi globalisasi: IMF, WTO, dan World Bank. Kita jangan mengulang kembali sejarah pascakrisis moneter yang melanda Indonesia akhir 1990-an, di mana Indonesia pernah didikte dan didominasi oleh IMF. Hampir semua koran baik dalam maupun luar negeri memuat berita ketidaberdayaan ini (saat di bawah kepemimpinan Soeharto).

Kedaulatan Budaya
Secara sederhana budaya adalah buah pikiran atau hasil akal budi (KBBI, 1990). Kebudayaan (culture) adalah konsep yang telah tua. Kata latinnya, cultura, menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak. Istilah itu selanjutnya telah berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Berkembang lebih lanjut, ia menjadi multidimensi bersama dengan munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya sejak abad ke-17 hingga abad ke-19 (www.kompas.com, 2003).

Menurut John Storey, ada tiga pengertian tentang budaya sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Raymond William. Pertama, budaya merupakan suatu proses umum perkembangan intelektual, spritual, dan estetis. Misal kita berbicara tentang budaya orang Indonesia dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual kaum cendekiawannya, spiritualitas para agamawannya, senimannya, serta para penyair-penyair besarnya. Kedua, budaya bisa berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Pengertian ini tidak hanya terpaku pada perkembangan intelektual, spritual, dan estetis saja. Tetapi juga mencakup perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritual agama tertentu. Ketiga, budaya pun bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Teks-teks dan praktik-praktik itu memiliki fungsi untuk menciptakan makna tertentu, misal puisi, novel, balet, opera, dan luiksan (John Storey, 2003).

Indonesia telah memiliki penduduk lebih dari 220 juta jiwa yang berdiam di 6.000 pulau di antara 17.667 pulau besar dan kecil. Memiliki sekitar 200 bahasa dan dialek lokal, 350 kelompok etnis dan adat istiadat yang tentu berbeda-beda. Agama pun ada enam: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Budaya di masing-masing daerah tentu berbeda satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Keanekaragaman itu menjadi kekayaan tersendiri yang dimiliki oleh Indonesia.

Namun, kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia di atas tidak bisa berdiri tegak di negerinya. Kebudayaannya seolah menjadi asing di negerinya sendiri. Justru budaya yang berkembang dan akrab dalam kehidupan sehari-hari adalah kebudayaan yang datang dari luar atau yang akrab kita sebut sebagai budaya barat (west culture). Budaya inilah yang pada akhirnya menghantui masyarakat Indonesia. Inilah salah satu bentuk keberhasilan dari apa yang telah dikonstruksikan oleh kaum orientalis dalam mengkaji dunia ketimuran. Mereka mengkonstruksikan, bahwa Barat adalah pusat kebudayaan yang harus menjadi cermin kebudayaan yang non Barat. Indonesia yang menjadi salah satu kebudayan non Barat harus berkaca kepada Barat. Konstruksi inilah yang telah menjadi main set masyarakat kekinian.

Pada akhirnya, generasi muda merasa bangga ketika menjadi komprador-komprador dari aset-aset asing. Barang-barang dari luar negeri dengan begitu mudah masuk ke Indonesia tanpa ada regulasi yang jelas. Pasar bebas pun telah berkelana di negara yang kaya akan sumber alamnya. Kalau boleh dikata, bendera neoliberalisme telah berkibar di negeri ini. Perusahaan-perusahaan besar seperti McDonal, KFC, Fred Chiken, Pizza Hut, dan lain sebagainya telah bertengger bebas di setiap jalan-jalan di kota-kota besar Indonesia. Hal ini berdampak pada tersingkirnya sektor ekonomi informal dari masyarakatnya sendiri (kalau tidak mau disebut ditinggalkan).

Budaya Barat yang kian hari makin dimintai generasi muda dengan produk-produknya yang menghipnotis, menjadikan budaya lokal kita mati kutu dan dijauhi (kalau tidak boleh dibilang dibenci) oleh warganya sendiri. Kita seolah tidak lagi bangga dengan keanekaragaman budaya yang sangat multietnis, bahkan malu jika melestarikan kebudayaan kita di hadapan teman yang lain. Kita bisa melihat dalam industri musik, tidak jelasnya aliran yang mereka anut bahkan hampir mendekati dan menyerupai gaya-gaya musik Barat. Dalam dunia pentas seni, tontonan wayang kulit, ketoprak, atau pun jenis pentas seni lainnya telah dikalahkan dengan sejumlah layar lebar yang datang dari barat. Dalam dunia perfilman, tontonan lokal telah digeser oleh sejumlah film-film barat yang dari segi kualitas jauh lebih baik dari dunia perfilman Indonesia. Tak jarang, sistem pendidikan di negeri ini pun hanya sekadar foto copi dari sistem-sistem pendidikan yang datang dari Amerika, Jepang, atau Australia.

Selain itu, budaya pop (pop culture) telah menggurita di negeri ini. Budaya pop dapat dipahami sebagai budaya yang diproduksi oleh massa untuk konsumsi massa. Budaya massa adalah budaya yang dianggap sebagai dunia impian secara kolektif. Misalnya, hiking ke pegunungan, liburan ke pantai, dan merayakan valentine’s day bersama pacar. Bagi Idi Subandi Ibrahim, budaya pop merupakan kebudayaan massa yang populer dan ditopang oleh industri kebudayaan (cultural industry), serta mengkonstruksi masyarakat tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri. Budaya massa yang terjadi disebabkan massifikasi, yaitu industrialisasi dan komersialisasi yang menuntut standardisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa. Dengan komersialisasi, produk budaya (massa) berubah, sejalan percepatan tuntutan pasar (Pikiran Rakyat, 15/7/05).

Masyarakat industrial, menurut Kuntowijoyo, ditandai oleh tiga hal, rasionalisasi, komersialisasi, dan monetisasi. Rasionalisasi artinya, bahwa masyarakat modern lebih mendahulukan sesuatu hal yang bersifat masuk akal daripada yang tidak masuk akal. Walaupun sebagian orang masih percaya pada dunia mistik, tetapi celah untuk berkomentar dan menyalahkan terhadap sesuatu yang tidak masuk akal terus saja terjadi. Karena itu, dentuman Rene Descartes yang berbunyi cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) benar-benar diamini oleh dunia sebagai awal dari lahirnya rasionalisme dan awal abad pencerahan, kemudian dilanjutkan dengan lahirnya teknologisasi pada segala bidang hingga sekarang.

Komersialisasi menunjukkan, segala segmen kehidupan harus memiliki daya jual tersendiri. Tidak ada sesuatu yang tidak komersiil. Hal ini ditandai dengan maraknya program-program di televisi, bioskop, penjualan kaset CD, buku, dan iklan-iklan di pinggir jalan maupun di televisi. Bahkan, sekarang komersialisasi terjadi pada dunia perbukuan. Ada penulis buku yang disebabkan bukunya best seller dan difilmkan, tarif untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar atau talkshow (sekali manggung) seharga 30 juta rupiah. Itu pun di luar transport. Selain itu juga, komersialisasi terjadi pada segmen masyarakat bawah, yaitu parkir kendaraan (motor misalnya) dan buang air kecil. Untuk kedua jasa ini kita harus mengeluarkan uang seribu rupiah. Mungkin beberapa dekade ke depan, untuk buang angin (kentut) atau bernafas saja kita harus membayar.

Monetisasi mengindikasikan bahwa semua hal harus diukur dengan uang. Ini terkait erat dengan penjelasan komersialisasi di atas. Dampak dari adanya proses komersiasliasi adalah menuntut adanya proses monetisasi (uangisasi). Uang menjadi satu bentuk konkrit atas proses yang terjadi. Makanya, banyak pemilik modal yang hanya menimbun uang dari hasil larisnya penjualan produk mereka. Rakyat bawah hanya menjadi sasaran empuk dari propaganda mereka. Rakyat tidak sadar bahwa mereka telah dihipnotis dengan rayuan iklan yang hiperbolis.

Dapat dipahami, bahwa budaya pop telah hadir di tengah-tengah kita dan dalam keadaan apapun, kita harus bisa menghadapinya. Pada perkembangan mutakhir, budaya pop sudah mewabah pada urusan gaya-bergaya yang melanda masyarakat kita. Persoalan yang satu ini pun sudah menjadi pusat perhatian yang serius. Pertumbuhan gaya-bergaya mau tidak mau disebabkan adanya globalisasi ekonomi dan adanya kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri gosip, apartemen, kawasan huni mewah, real estate, gencarnya iklan barang-barang supermewah, liburan wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya (Idi Subandi Ibrahim).

Melihat kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas, anak bangsa kita masih saja
ada yang menjadi komprador-komprador dari negara asing (bahkan bangga). Mereka malah membuka cabang perusahaan asing seperti dari Prancis atau Amerika di Indonesia. Apa mereka bersalah? Karena mereka bekerja dan mencari uang untuk sanak famili mereka. Di sinilah letak tidak berdaulatnya Indonesia dalam bidang kebudayaan. Budayanya telah tergerus dan tertimbun oleh budaya asing.

Kesimpulan
Entah sampai kapan, dikotomi oposisi biner antara peradaban barat dan peradaban timur akan selalu ada. Entah sampai kapan pula, peradaban barat selalu identik dengan kemajuan dan berkuasa. Sebaliknya, peradaban timur hampir dipastikan tertinggal, miskin, dan tidak berkuasa atas peradaban barat. Dalam konteks pembicaraan ini, Indonesia telah direpresentasikan sebagai bentuk peradaban yang ada di muka bumi ini.

Sejak kemerdekaannya hingga sekarang, peradaban Indonesia masih belum bisa berdaulat. Hal ini telah dibuktikan dengan dua indikator utama, yaitu tidak berdaulatnya dalam bidang ekonomi-politik dan tidak beraulatnya dalam bidang kebudayan. Atas dasar inilah, sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai pseudo civilization.


Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM