20.08

Fatsun Politik Muhammadiyah


Muhammadiyah memiliki hajat bernama tanwir yang akan diadakan pada tanggal 5-8 Maret 2009 di Bandar Lampung, sebuah forum terbesar di Muhammadiyah setelah muktamar. Salah satu agenda besar yang akan dibahas adalah meneguhkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menuju terciptanya masyarakat yang mandiri dan berkeadaban. Sebulan kemudian, tepat 9 April 2009, pesta demokrasi digelar di republik ini untuk memilih para anggota legislatif. Jarak yang tidak jauh antara tanwir dan pemilu, apalagi tanwir diadakan sebelum pemilu.

Sebagai organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan masa depan negeri ini. Apalagi tema dalam tanwir adalah membangun visi dan karakter bangsa. Sebuah momentum yang cukup tepat bagi Muhammadiyah untuk berkontribusi dalam menuntun jalannya demokrasi di negeri ini. Selain itu, kader-kader Muhammadiyah sudah tersebar di berbagai sektor pemerintahan, sehingga kualitas dan kapabilitas mereka perlu dikembangkan ke jenjang yang lebih luas lagi. Kader Muhammadiyah juga kader bangsa, sehingga bukan menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada kader Muhammadiyah yang berkontestasi di tingkat nasional. Toh, dia juga warga negera Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga negara lain yang non Muhammadiyah.

Jika pada pemilu 2004, Muhammadiyah memiliki kader yang maju sebagai salah satu kandidat presiden, mengapa pada pemilu 2009 ini tidak berperan juga. Ini bukan berarti ingin mengulangi kesalahan, tetapi justru belajar dari sejarah untuk menciptakan sejarah baru. Realitas lahirnya Partai Matahari Bangsa merupakan bentuk ’kekecewaan’ terhadap Partai Amanat Nasional yang selama ini tidak bisa menampung aspirasi warga Muhammadiyah, padahal pendiri partai berwarna biru ini adalah mantan ketua umum Muhammadiyah.

Atas dasar realitas di atas, muncul egoisme di kalangan elit gerakan ini, mengapa kader Muhammadiyah tidak maju sebagai salah satu kandidat presiden? Di antara para pimpinan Muhammadiyah yang popularitasnya cukup tinggi adalah Dien Syamsuddin, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Popularitasnya sebagai cendikiawan muslim tidak hanya terdengar di Indonesia saja, gaungnya bahkan hingga ke taraf internasional. Sebuah modal sosial yang cukup kuat untuk berkontestasi dengan para pesaing lainnya.

Gelombang demokrasi membuka kran bagi semua warga negara untuk terlibat sebagai pemain baik di tingkat lokal maupun nasional. Kalaupun hanya sekadar menjadi penonton, harus menjadi penonton yang kritis. Di antara salah satu pemain ataupun penonton itu pasti ada warga Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah sudah sejak lama menetapkan garisnya untuk tidak berpolitik praktis, tetapi tetap menghormati dan tidak buta terhadap politik. Jika berpolitik praktis, maka imbasnya akan terseret pada struktur Muhammadiyah itu sendiri.

Sebagai contoh, jika ada ketua PWM yang maju sebagai calon legislatif dan dia menang dalam pemilihan, maka akan muncul logika di masyarakat bahwa untuk mendapatkan kursi legislatif tidak harus kemana-mana (apalagi mengeluarkan banyak biaya), tetapi cukup merebut kursi ketua PWM saja. Lalu, untuk merebut kursi ketua PWM harus melalui tahap persaingan ketat di antara para calon yang bersaing. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi segala cara untuk mendapatkan jabatan ketua PWM, termasuk money politic dan black campaign di antara para calon. Jika hal ini terjadi, struktur Muhammadiyah akan terseok-seok.

Karena itulah, melihat adanya perkembangan tersebut, Muhammadiyah mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan bagi pimpinan Muhammadiyah, ortom, dan amal usaha untuk terlibat dalam politik praktis yaitu maju sebagai calon legislatif, kepala daerah, ataupun DPD. Jika para kadernya tetap maju, maka harus meninggalkan jabatannya di struktur Muhammadiyah. Di samping itu pula, Muhammadiyah mungkin belajar pada sejarah bahwa di pemilu 2004 telah gagal menghantarkan kadernya menuju kursi RI satu, maka sejarah itu jangan berulang lagi. Sebagian opini publik mengatakan, bahwa orang sekaliber tokoh reformasi Amien Rais saja kalah, apalagi orang lain.

Sebagaimana kita tahu, bahwa Dien Syamsuddin sudah bergegas akan maju menjadi salah satu kandidat yang akan meramaikan bursa calon presiden ketujuh di republik ini. Hal ini terus menjadi perbicangan liar di internal Muhammadiyah. ’Bola liar’ itu seperti tak berpangkal. Ada beberapa hal catatan penting yang dikemukakan di sini. Pertama, Muktamar Muhammadiyah Malang 2005 melahirkan adanya kontrak moral di antara ketigabelas pimpinan Muhammadiyah yang terpilih (berikut tanda tangannya), bahwa mereka akan mengabdi di Muhammadiyah hingga akhir periode. Artinya, mereka semua telah berkomitmen atau mewakafkan diri untuk benar-benar berjuang di Muhammadiyah.

Kedua, realitas saat ini mengatakan bahwa Muhammadiyah belum memberikan restu kepada Dien untuk maju sebagai capres, terutama di kalangan elit. Ketiga, partai yang mengusung Dien maju sebagai calon presiden bukanlah partai besar yang sudah teruji pada pemilu-pemilu sebelumnya, apalagi basis suaranya belum bisa dibuktikan secara konkrit. Sebagian masyarakat mengatakan, partai pengusung Dien adalah partai pecahan dan setiap partai pecahan biasaya sulit untuk menjadi partai besar. Keempat, kader-kader Muhammadiyah tersebar di parelemen dan partai yang berbeda-beda, sehingga menjadi sulit bagi Dien untuk bisa merangkul mereka dan membulatkan suara pada satu fokus isu. Kelima, kecenderungan pemilih warga Muhammadiyah adalah pemilih rasional (rational voter), walaupun masih ada sebagian yang cenderung ideologis.

Tanwir yang akan berlangsung pada awal Maret nanti merupkan arena netral yang siapa saja bisa memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Karena itu, sebelum itu semua terjadi, kita jangan mempolitisir tanwir sebagai ajang untuk merapatkan isu tertentu, misal pencalonan presiden. Tanwir merupakan forum yang dihadiri oleh semua perwakilan wilayah, maka hendaklah forum ini dijadikan sebagai arena untuk membangun negeri ini menjadi negeri yang memiliki karakter yang bermartabat di hadapan semua negara.

Tujuan di atas jauh lebih mulia daripada tujuan-tujuan pragmatis yang kepentingannya hanya sesaat. Jangan sekali-kali menodai tanwir dengan kepentingan politik praktis segelintir orang. Muhammadiyah jangan terlalu lelah dan kehabisan energi pada tahun yang serba demokrasi ini, karena Muhammadiyah memilik fatsun dalam berpolitik. Masih ada pekerjaan rumah yang akan menanti, yaitu Muktamar Muhammadiyah 2010 yang agendanya jauh lebih besar dan tentu menguras pemikiran yang sangat mendalam. Pada muktamar satu abad inilah, pikiran-pikiran Ahmad Dahlan akan diformulasikan ulang untuk menginjak pada abad kedua. Kiranya Dien dan warga Muhammadiyah bisa memahami realitas ini.

Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjan Ilmu Politik UGM

13.09

Dan Humor pun Harus Kritis

Dunia lawak Indonesia semakin marak dengan hadirnya jenis lawakan baru berupa musik humor. Hal itu ditandai dengan kesuksesan grup musik humor asal Surakarta, Team Lo, yang mengusung tema-tema humor menggelitik. Keadaan tersebut semakin menemukan jati dirinya setelah sering muncul sebagai band tamu di acara Audisi Pelawak Indonesia (API) oleh stasion televisi swasta TPI. Lagu-lagu yang dibawakan sangat beragam. Namun, tetap bernuansa plesetan. Mulai dari rock, pop, Islami, melayu, hingga lagu-lagu daerah.

Melawak di televisi adalah melawak yang paling berat, karena harus melayani berbagai macam selera. Ia harus mampu menghibur anak umur tujuh tahun hingga kakek-kakek, yang lulusan S-3 maupun yang tidak pernah mencium bau sekolah. Ia juga harus menghibur orang yang senang kritik sosial sampai orang yang senang dengan lelucon timpuk-timpukan.

Bagi sebagian orang, dunia lawak dijadikan sebagai tempat pencarian nafkah. Jika tahun sebelum 70-an diadakan lomba lawak, pesertanya bisa dihitung dengan jari. Tapi, sejak tahun 80-an, peserta lomba lawak selalu berjubel pesertanya. Banyak orang berminat menjadi pelawak. Sekarang humor bisa di atas satu milyar. Orang menjadi terkesima hanya menjual lelucon sekitar 20 menit. Itu pun tidak seluruhnya lucu. Honornya betul-betul edan. Siapa yang tidak ngiler. Tiba-tiba pelawak melesat masuk ke dalam kelas ekonomi atas. Barangkali inilah yang dituntut masyarakat, honor tinggi, harus menampilkan lawakan yang berkualitas tinggi pula.

Dengan diiming-imingi duit, banyak orang berbondong-bondong membuat grup lawak. Hal ini muncul sekitar tahun 90-an. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada anggapan, lawakan sekarang tidak lucu dan hanya dilucu-lucukan. Pernyataan ini amat sederhana, tetapi mengandung sebuah tuntutan lebih. Kebutuhan akan tertawa tidak saja terkekeh-kekeh, namun harus mempunyai muatan tertentu. Istilah sekarang, ikut berperan mendidik bangsa. Masyarakat kita semakin kritis, sehingga diperlukan pula humor yang kritis.

Berbagai pihak nampaknya mulai sepakat. Ada kecenderungan bahwa lawak yang berkelas atas adalah yang memiliki unsur kritis. Lawak harus menjadi gerakan moral, menjadi semacam kontrol dalam kehidupan bernegara. Maka, lawak harus sedikit menyerempet ke arah politik. Hal yang demikian itu didukung lagi oleh media massa, baik elektronik maupun cetak, yang sering menyiarkan dan memberitakannya. Namun, melawak ke arah politik tidak gampang alias susah. Bahkan sebagian orang mengatakan, susahnya setengah mati.

Makanya, seorang pelawak harus cerdas. Kritik bisa disampaikan lewat canda, agar yang dikritik tidak merasa dikritik. Pelawaklah yang kin tampil untuk menyuarakan keinginan itu. Bisa dikatakan, pelawak itu orang-orang lugu, sehingga kalau menyampaikan sesuatu hanya dianggap melucu, tidak serius. Dengan bahan yang sama nilainya, akan berbeda pengaruhnya jika diucapkan oleh Amin Rais dengan yang meluncur dari mulut Tessy Srimulat.

Dalam pengertian paling dasar, lelucon terjadi karena dua sebab: tak sengaja dan disengaja. Lelucon tak sengaja terjadi begitu saja dan lucu.. Lelucon sengaja merupakan hasil kreasi. Bisa digolongkan sebagai buah karya dan cipta manusia.

Dari beberapa karya lelucon hasil kreasi bisa dilacak "jurus" atau "senjata" yang menjadi pilihan para kreator sebagai alat pengungkapan ekspresinya. Jurus yang digunakan kreator bisa saja berlainan atau sama, namun tiap kreator biasanya berupaya mencapai sesuatu yang khas dan pas untuknya. Di antaranya ada guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir. Tapi tidak tajam-tajam amat. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati.

Ada juga satire dan slapstick. Satire sama-sama menyidir, tapi muatan ejekannya lebih banyak. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat tidak mengenakkan. Beberapa karikatur di media barat punya kecenderungan yang kuat ke arah ini. Jika slapstick leluconnya kasar. Orang terjengkang. Kepala dipukul pakai tongkat. Perut diselomot setrika panas. Pendek kata, banal. Lelucon ini sangat efektif untuk memancing tawa masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi tertentu. Beberapa film kartun untuk konsumsi anak-anak, juga banyak menampilkan lelucon model ini. Si bebek dilempari benda oleh musuh dan masuk ke mulutnya. Benda itu ternyata granat. Lalu, meledak. Tubuhnya berantakan seperti kain yang diptong-potong. Tak lama kemudian, pulih lagi. Lalu si bebek cengar-cengir balas menyerang lawan.

Selain ketiga jenis lelucon di atas, masih ada jenis lelucon lainnya, seperti sinisme, pelesetan, analogi, surealisme, kelam, olah estetika, eksperimental, apologisme, dan lain sebagainya. Huh, dasar humor. Boleh tertawa asal mingkem.


Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum

13.03

Di Film Indie Aku Berekspresi

Indie merupakan sebuah semangat untuk do it your self. Lahirnya film indie bermula sa-at banyak pembuat film di Amerika kesulitan menembus jaringan Hollywood. Alasan film-film mereka ditolak, antara lain karena kurang populer dari segi cerita, tidak komersil, aktor dan aktrisnya kurang menarik sehingga tidak punya nilai jual.

Istilah independen sendiri memang agak rancu waktu diterapkan di Indonesia. Di Ame-rika, istilah film indie adalah film yang mele-paskan diri dari industri mapan. Di Indonesia didefinisikan sebagai film yang nggak masuk bioskop atau layar lebar. Tetapi bisa juga disebut sebagai komunitas yang sejak awalnya memang menamakan diri indie sebelum me-nawarkan ke sebuah perusahaan. Karena semangat indie yang punya karakteristik idealis itulah booming bikin film pun terjadi.

Banyak orang ngomong kalau indie itu ha-rus benar-benar mencerminkan sebuah idea-lisme dari si pembuat. Tetapi sebenarnya se-tiap karya film apapun harus mempunyai pesan yang mencerminkan idealisme si pembuat. Terserah itu film cemen kayak sinetron, laris manis kayak AADC atau berat banget kayak garapannya Garin Nugroho.
Jika dicermati, film-filmya Garin memang terkesan sangat imajinatif dan susah dipaha-mi, sehingga penonton merasa kesulitan da-lam menangkap pesannya. Padahal secara konsep maupun estetik top abis. Tidak ada salahnya jika seseorang dalam membuat film merasa perlu memberikan subyektifitasnya. Tetapi harus diingat, selain sebagai media eks-presi film juga merupakan media komunikasi, karena dibilang berhasil jika pesan yang disampaikan bisa dipahami penonton.

Dewasa ini, ada anggapan kalau membuat film itu gampang. Tinggal modal pinjem handy-cam, patungan beli kaset produksi, ngedit bareng. Jadi sudah. Tapi perlu diingat, harus ada keseimbangan antara konsep isi, cerita, segi estetik dan visual. Sebuah karya seni akan terlihat berkualitas pada saat terjadi keseim-bangan dari hal-hal di atas.
Di samping itu, bikin film bisa dijadikan sebagai media untuk curhat, nggak perlu pa-kai riset dulu. Cuma sebatas modal dengkul sama urat doang. Tapi jangan ngamuk kalau hasilnya juga berkualitas dengkul dan urat, he... he...

Memang tidak salah kalau ada ungkapan, bahwa setiap orang adalah seniman, mampu bikin film sendiri. Tapi ada yang perlu digaris-bawahi, jika film itu merupakan sebuah makh-luk hidup tentunya dia akan berteriak. Film itu bakalan minta tolong untuk tidak diperkosa atas nama kebebasan seni. Dia juga memo-hon untuk hidup normal secara seimbang dari segi konsep dan estetik, karena dia merasa terhormat pada saat semua hal di atas terwu-jud. Dan si pembuat film akan merasa dihargai dengan jerih payahnya.
Membuat jernis film ini memang tidak terlalu menghabiskan banyak uang, tetapi tuntutan berkualitas dan enak dinikmati itu harus. Tentunya kualitas bisa didapat lewat konsep cerdas dan brilian yang diturunkan ke tataran teknis pembuatan. Dan untuk mem-baca produk jadinya, dibutuhkan juga tingkat apresiasi yang boleh dibilang lebih tinggi dari penonton.

Jakarta International Film Festival (JiFFest) sendiri menjadi salah satu even dari banyaknya even apresiasi film, baik lokal maupun internasional. Film-film yang diputer agak berbeda dengan film-film bioskop biasanya. Misinya adalah sebagai salah satu ajang sineas-sineas muda berbakat untuk menampilkan karya mereka, serta mening-katkan apresiasi masyarakat pada film yang bukan produksi perusahaan resmi. Film-film tersebut tentunya mengusung semangat indie, yang biasa diproduksi dengan biaya rela-tif rendah dan pilihan tema yang nggak umum banget.

Booming film semacam ini tidak lepas dari perkembangan teknologi yang makin dekat dengan pembelinya. Sebut saja mun-culnya berbagai handycam digital yang makin banyak ditemukan di pasaran. Dengan begitu, biaya produksi sebuah film bisa dipangkas. Sekarang, dengan modal ratusan ribu saja sudah cukup buat biaya produksinya.

Selain itu, menjamurnya Komunitas Film Independen bisa menjadi wadah buat men-dongkrak produktivitas film indie. Banyak cara yang mereka lakukan. Membuat film, diapre-siasi dan disebarkan sendiri. Caranya berke-liling ke berbagai tempat. Duh, semangatnya perlu dikasih aplause. Indie banget gitu lho.

Ridho Al-Hamdi

13.02

Kaligrafi, Butuh Tekun dan Teliti

Keindahan tulisan kaligrafi (Arab) yang biasa menghiasi masjid, mushala, atau al-Quran tidak terlepas dari tangan terampil para khathat (kaligrafer). Kemampuan memahami tulisan al-Quran dipadu de-ngan kreativitas seni yang prima menjadi kunci sukses seorang penulis kaligrafi.

Bani, seorang santri di Jogja, mengaku tertarik dengan seni keindahan menulis huruf Arab setelah belajar di salah satu pondok pesantren. Awalnya ia tidak berminat, tetapi setelah meli-hat tulisan kaligrafi temannya ia tertarik mempelajarinya. Diam-diam ia mulai mempelajari seni kaligrafi dengan mendatangi sejumlah toko buku. Ia membaca dan memahami beberapa buku yang membahas kaligrafi beserta contoh-contohnya, kemudian mulai berlatih. Usahanya mulai membuahkan hasil ketika ia mendapat order mendekorasi sebuah masjid. Sejak saat itu ia serius menekuni dunia seni kaligrafi. Pesanan selalu saja ada, hingga se-karang tidak terhitung jumlah karyanya yang menghiasi masjid dan mushala.

Meski telah banyak berkarya, Bani mengaku masih tidak puas akan ilmu yang di-milikinya. Setiap kali mendatangi mushala atau masjid, ia selalu kagum pada karya kaligrafi yang ada di dalamnya. Untuk memenuhi rasa tidak puasnya itu Bani selalu berdiskusi dengan sesama penulis kaligrafi sehingga memperoleh ide-ide segar yang bisa dituangkan pada karyanya.

Tidak ada syarat khusus bagi seorang yang ingin belajar kaligrafi, tetapi bagi mereka yang ingin belajar hendaknya menguasai dasar menulis huruf Arab. Keinginan yang kuat dan bakat seni yang baik sangat membantu mempercepat seseorang belajar kaligrafi.

Banyak jenis dan corak khat yang bisa dituangkan ke dalam bentuk seni. Khat Naskhi merupakan jenis khat yang paling dasar dan kita sering menjumpainya di setiap lembaran-lembaran al-Quran buatan Arab atau yang berukuran kecil. Khat Riq’ah berfungsi untuk menulis arab cepat, sehingga bentuknya terlihat simpel dan tidak ada harokat. Khat Diwani dan Diwani Jali bentuknya melingkar-lingkar seperti tali yang diikat, terkadang susah kalau dibaca. Khat Koufi jenisnya kotak-kotak. Jika ingin melukis jenis khat ini harus meng-gunakan penggaris agar rapi dan sempurna. Khat Tsuluts adalah jenis kaligrafi yang indah dan sering digunakan untuk hiasan dinding atau kanvas. Bentuk hiasan khatnya bisa bulat, lon-jong, seperti buah apel, atau dalam bentuk binatang dan orang. Dan masih ada jenis khat yang lain, seperti khat Farisi dan Raihani.

Karya seni kaligrafi bisa diperdagangkan karena diakui memiliki nilai jual yang baik. Karenanya banyak pelukis muslim yang membuat karya seni kaligrafi dari yang harganya murah hingga mahal. Kalau dijumlah mereka yang menekuni seni ini bisa ratusan orang.

Perkembangan kaligrafi di Indonesia saat ini terlihat sangat pesat. Di Indonesia kita memiliki Amri Yahya dari Yogyakarta, pelukis kaligrafi yang juga sebagai pelopor seni batik Indonesia yang beberapa waktu lalu telah meninggal. Ada juga Saiful Adnan yang karya lukisan kaligrafinya memiliki karakter dan ciri khas yang kuat. Khatnya berbeda dari delapan jenis khat yang baku. Belum lama ini ada lukisan kaligrafi yang tulisannya berjenis HanZi yang diperkenalkan oleh Winarso, seorang pelukis, mantan kepala sekolah sebuah SMU di Yogyakarta. Karakter khatnya lebih mengandalkan kombinasi antara tulisan Arab dan China, sehingga terlihat bahwa itu jenis kaligrafi China.

Di Demak ada tempat pengrajin seni kaligrafi relief yang terbuat dari bahan kuningan. Kerajinan ini, barangkali baru satu-satunya yang ada di Kota Wali. Mu’alim, si pembuat kaligrafi itu sangat mahir menggambar dalam bentuk ikan arwana, gerombolan kuda liar, kereta kencana, dan binatang lain dalam lembaran plat kuningan. Menurut pengrajin kaligrafi asal Jepara ini, untuk bisa menulis kaligrafi yang berkualitas diperlukan ketelitian, ketenangan dan kesabaran. Sebab, salah sedikit menulis bisa berakibat fatal.

Karya kaligrafi Indonesia saat ini sudah dikenal di dunia dan dapat disejajarkan dengan karya dari Irak, Mesir, dan Turki yang sudah terlebih dahulu mendunia. Di tingkat ASEAN saja kaligrafi Indonesia sering kali merajai ber-bagai kompetisi. Salah satunya saat lomba kaligrafi di Brunei Darussalam tahun 2002 Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka) menjadi juara pertama.

Belum lama ini, grup band Dewa telah menggunakan lafadz “Allah” (jenis khat Koufi) untuk cover album terbarunya, Laskar Cinta. Dalam pementasan yang disiarkan langsung salah satu TV swasta itu, terlihat gambar kaligrafi itu dijadikan alas panggung pentas. Dani dan teman-temannya berjingkrak-jingkrak memainkan musik di atasnya.
Tentu saja, perbuatan ini memicu pertentangan di kalangan umat Islam. Apalagi bagi mereka yang benar-benar paham tentang kaligrafi. Gugatan muncul dari kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang menyatakan siap memerangi perbuatan yang dipelopori oleh Ahmad Dani tersebut. Di pihak lain dukungan kepada Dewa mucul dari Ulil Abshar Abdalla dan Gus Dur. Prisipnya, Dani mengatakan ini kebebasannya sebagai umat muslim untuk berekspresi, tetapi dalam sebuah jumpa pers dia telah menyatakan minta maaf jika perbuatan ini menyinggung umat Islam yang lain.


Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum

12.59

Mural, Siapa Yang Suka?

Sederet gambar dengan warna bervariasi pada dinding-dinding jalanan daerah Kuningan terkesan cukup unik. Terpampang sebuah gambar wajah setengah abstrak seakan menyapa publik yang melintasi simpang empat itu. Ada pula karikatur sosok jagoan mirip James Bond dengan gaya sedang melakukan pembunuhan sadis. Memanfaatkan tembok pinggir jalan, penyangga tol, jalan layang, serta pagar dinding sebagai media untuk berekspresi dan berkarya, karya seni ini menyebar hampir ke seluruh sisi kota Yogyakarta. Mural, demikian banyak orang mulai mengenalnya, telah semarak di berbagai kota besar, seperti Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bandung.

Mural yang pada awalnya dibuat sebagai ungkapan protes lewat gambar-gambar di tembok-tembok bangunan dan gedung-gedung di wilayah perkotaan, ekspresi dan maknanya mulai bergeser. Tidak melulu sebagai ungkapan protes tetapi juga menambah artistik tata ruang kota dan menjadi pemandangan yang menyejukkan di tengah ingar bingar rutinitas kehidupan kota.

Gejala ini menular ke beberapa tempat setelah ada seniman yang tergabung sebuah komunitas salah satunya adalah Apotik Komik. Kemudian beberapa siswa sekolah mulai melukis dinding sekolahnya. Para pemuda melukisi dinding kampungnya. Hal ini dapat menjadikan kota lebih cantik. Jogja telah melakukannya, karena sesuai dengan citranya sebagai kota budaya. Namun, banyak pertanyaan, apakah mural itu mempercantik atau malah mengotori keindahan kota?

Di Jakarta pernah terjadi penghapusan semua lukisan dinding dengan cat putih pada tahun 2001. Namun, pelarangan itu hanya berhenti sebentar. Beberapa waktu kemudian bermunculan lagi gambar-gambar yang lebih unik. Inilah bentuk perjuangan para seniman yang ingin mendapatkan ruang publiknya sendiri. Orang tidak melulu dihadapkan pada pemandangan kota yang dipenuhi papan iklan, tetapi akan lebih hidup dengan aneka gambar seni di pinggir jalan raya. Di Jakarta ada sekelompok seniman yang dimotori Kassah Hakim, misalnya, membuat karikatur tokoh-tokoh politik.

Selain sebagai penghias kota, mural mampu untuk menggugah kesadaran masyarakat. Sebagai contoh, sebuah mural yang terdapat di sekeliling tembok lapangan Kridosono dan di dinding SD Negeri Tukangan I Jalan Suryopranoto Jogjakarta. Setiap kali kita lewat jalan itu pasti tampak pemandngan lukisan. Mural yang berada di pojok perempatan itu bukan hanya melakukan kampanye baca, melainkan juga pendekatan yang tepat kepada masyarakat akan perlunya membaca.

Simak saja beberapa tulisan yang terbaca pada mural tersebut: Open book open mind, book reader, maca buku agawe pinter lan migunani (membaca buku membuat pintar dan bermanfaat). Semua kata itu sangat jauh dari kesan bombastis. Para pembuat mural ini membiarkannya mengambang begitu saja sehingga kata-kata yang bertebaran dalam mural tersebut terasa lebih padat. Ini lebih bisa diterima dibanding kampanye lain yang lebih bombastis dan penuh dengan slogan kosong. Bagi seniman mural, pilihan warna yang terbaik untuk mural adalah gelap, karena tidak akan memantulkan cahaya lampu bagi kendaraan yang lewat.

Contoh gambar mural di atas bukanlah seseorang berkacamata sedang membaca buku di perpustakaan, tetap seseorang yang sedang naik skate board sambil baca buku. Ini cara unik untuk mendekati publik. Ikon seperti ini akan lebih akrab, terutama bagi anak muda perkotaan. Sekaligus memberi arti, bahwa ketertinggalan bisa dihindari dengan selalu memperluas wawasan dengan membaca. Juga membaca merupakan kendaraan untuk mencapai tujuan.

Mural lebih cocok dengan sifatnya yang langsung berhadapan dengan khalayak. Sehingga tidak heran jika ia memiliki tema yang beragam, termasuk sosial dan politik, yang dikemas secara cukup provokatif. Banyak juga mural yang bercorak simbolik, karikatural, dan abstrak, yang akhirnya publik kesulitan mencerna pesannya. Maka, sebaiknya seni mural dibuat sedemikian enak dengan pemahaman masyarakat. Apalagi para pengendara sepeda motor atau kendaraan lain yang hanya melihatnya selintas. Biasanya sebagian besar seniman mural adalah mereka yang pernah menekuni dunia komik, misalnya komunitas Masyarakat Komik Indonesia dan Sekte Komik.

Mural dapat membantu bagi seniman yang kurang memiliki modal untuk memasyarakatkan dan mengaktualisasikan ide mereka. Tentu, karya itu hanya bisa dinikmati dan tak bisa dibeli. Seperti halnya seniman teater yang menggunakan pasar, atau swalayan, untuk memperagakan happening art dan pembacaan puisi. Dengan mengambil ikon anak muda, mural telah melakukan pendekatan yang tepat kepada publik akan pentingnya sebuah pesan moral. Ada semacam citra yang dicoba untuk dibangun, semisal kebersihan itu pangkal kesehatan atau menulis adalah aktivitas yang menyenangkan, gaul dan funky.

Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum