15.36

Indonesia Pascaeksekusi Amrozi CS

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I yang terdiri dari Amrozi, Imam Samudera, dan Muchlas dilakukan oleh tim tembak dini hari pada Minggu, 9 November 2008. Tentunya beragam komentar muncul dari banyak kalangan terhadap eksekusi mati tersebut. Sebagian besar merasa lega atas eksekusi terutama dari pihak asing (terkhusus warga Australia) dan korban baik luar negeri maupun domestik, karena setimpal dengan perbuatan mereka. Tetapi sebagian yang lain menyesali bahkan tidak rela atas eksekusi itu. “Lebih baik dihukum seumur hidup, biar mereka menyesal atas perbuatannya,” ungkap salah seorang warga Australia di salah satu stasiun swasta.

Teror dari berbagai pihak baik menjelang eksekusi maupun setelah eksekusi terus bermunculan. Salah satu teror pun muncul dari situs internet luar negeri yang mengancam akan membunuh Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla jika eksekusi dilakukan. Tertangkap pula salah satu anggota jaringan teroris di Jakarta yang menyimpan rakitan bom. Belum lagi temuan-temuan lain yang sedang dalam proses pencarian tim pemerintah.

Negara pun seolah dibuat kalang kabut oleh segelintir orang yang menginginkan teror tetap terus berjalan. Apalagi salah satu harian nasional pernah mengambil headline yang berjudul ”Jakarta Siaga Satu”. Berita ini seolah membuat kesan, bahwa Jakarta dan negara sedang dalam keadaan kritis atau bencana. Padahal persoalannya hanya terkait dengan eksekusi terpidana bom bali Amrozi CS.

Indonesia Sebagai Failed State?

Lalu bagaimana kekuatan negara atas ancaman-ancaman yang muncul? Atau jangan-jangan negara sudah tidak berdaya atas ancaman-ancaman tersebut, sehingga ini merupakan tanda-tanda Indonesia sebagai failed state. Masih adakah masa depan Indonesia sebagai negara? Ada tiga indikasi bagaimana negara (state) tetap ada atau the end of state sebagaimana analisisnya Busan.

Pertama, idea of the state. Dikatakan ada atau tidaknya sebuah negara, ketika masih ada warganya yang berpikir tentang konsep Indonesia (the idea of Indonesia). Hal ini memang terkesan ideologis dan memang cara yang harus ditanamkan kepada warga negara Indonesia harus ideologis. Walaupun Indonesia sudah hancur dari segi fisik kepulauan ataupun tata administrasinya, tetapi ide tentang Indonesia masih ada di otak masing-masing warganya, maka Indonesia tetap dikatakan ada.

Dalam konteks ini, posisi negara tetap kuat atas ancaman teroris pascaeksekusi Amrozi CS. Karena itu, pelajaran-pelajaran tentang sejarah Indonesia ataupun ide-ide tentang kebangsaan harus ditanamkan kepada anak didik kita sejak dini, sehingga mereka merasa bangga memiliki Indonesia.

Kedua, organizational expression of the state. Keberadaan sebuah negara tetap eksis atau tidaknya bisa diukur dari apakah struktur negara masih berjalan atau tidak, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota, rumah sakit, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika fungsi-fungsi ini masih berjalan sebagaimana mestinya, maka Indonesia tetap strong state.

Karena itu, fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas harus diperkuat kembali barisannya serta melakukan koordinasi secara terus menerus untuk menanggapi isu-isu yang tidak jelas. Tentunya, peran struktur negara harus dimainkan dengan full strong terhadap pihak-pihak yang selama ini dianggap berpotensi untuk menghancurkan negara.

Ketiga, physical foundation of the state. Sebuah negara dikatakan ada jika memiliki batas teritorial yang jelas. Indonesia pun tentu memiliki batas teritorial yang jelas dengan negara-negara tetangga. Walaupun beberapa waktu yang lalu pernah konflik dengan Malaysia terkait kasus ambalat yang sempat mengancam kedaulatan Indonesia. Karena itu, pemerintah harus tegas melawan semua pihak yang ingin merampas batas teritorial Indonesia. Jangan dibiarkan begitu saja sehingga batas Indonesia secara perlahan-lahan habis dan akan terjadi konflik yang berkepanjangan di internal negara Indonesia sendiri.

Jika ketiga poin di atas tetap ada, maka Indonesia bukanlah sebagai failed state pascaeksekusi Amrozi CS. Hal serupa pun pernah diungkapkan oleh Jusuf Wanandi (2002), bahwa Indonesia bukan termasuk failed state. Ada beberapa alasan atas pernyataan Wanandi, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik adanya penyelesaian konflik di beberapa daerah secara demokratis, serta masih adanya ide tentang nasionalisme dan patriotisme.

Di samping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pascaeksekusi Amrozi CS. Pertama, memperkuat sektor keamanan dan pertahanan. SBY dan JK sebagai kepala negara berserta kabinet Indonesia bersatu harus melakukan koordinasi secara intensif dengan struktur-struktur yang ada baik dari tingkat pusat hingga kepala desa dan RT-RW. Ini sebagai kontrol atas segala bentuk perlawanan yang berpotensi menghancurkan negara. Pihak kepolisian pun harus secara cermat melakukan operasi di berbagai sudut negara, baik itu di terminal, stasiun, pelabuhan, dan sudut-sudut Indonesia yang dianggap berpotensi terjadinya teror.

Kedua, pemantauan terhadap kurikulum mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah harus mengontrol sistem yang berjalan di setiap sekolah dengan tujuan tidak adanya indikasi pada pemahaman yang ekstrimis. Ini bukan berarti kita menerapkan kembali sistem diktator seperti yang terjadi di era Orde Baru. Tetapi hanya sebatas kontrol yang dilakukan tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat, dan terkhusus pihak keluarga.

Ketiga, memperkuat leadership di berbagai sektor publik. Gaya kepemimpinan harus diperkuat lagi pada berbagai jabatan publik, terutama presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Jabatan-jabatan seperti ini harus memainkan peran yang cerdas, tegas/tidak plin-plan, berpihak kepada yang tertindas, serta berani mengambil risiko atas keputusan yang telah dibuatnya. Bahkan nyawa dan keluarga pun harus siap dipertaruhkan atas jabatan publik yang diembannya. Karena itu, jabatan bukanlah santapan empuk yang diperebutkan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Jangan ada indikasi failed state terhadap Indonesia hanya gara-gara segelintir orang. Gunakan kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia, karena rakyat selalu berada di depan untuk segenap tumpah darah negeri ini.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I yang terdiri dari Amrozi, Imam Samudera, dan Muchlas dilakukan oleh tim tembak dini hari pada Minggu, 9 November 2008. Tentunya beragam komentar muncul dari banyak kalangan terhadap eksekusi mati tersebut. Sebagian besar merasa lega atas eksekusi terutama dari pihak asing (terkhusus warga Australia) dan korban baik luar negeri maupun domestik, karena setimpal dengan perbuatan mereka. Tetapi sebagian yang lain menyesali bahkan tidak rela atas eksekusi itu. “Lebih baik dihukum seumur hidup, biar mereka menyesal atas perbuatannya,” ungkap salah seorang warga Australia di salah satu stasiun swasta.

Teror dari berbagai pihak baik menjelang eksekusi maupun setelah eksekusi terus bermunculan. Salah satu teror pun muncul dari situs internet luar negeri yang mengancam akan membunuh Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla jika eksekusi dilakukan. Tertangkap pula salah satu anggota jaringan teroris di Jakarta yang menyimpan rakitan bom. Belum lagi temuan-temuan lain yang sedang dalam proses pencarian tim pemerintah.

Negara pun seolah dibuat kalang kabut oleh segelintir orang yang menginginkan teror tetap terus berjalan. Apalagi salah satu harian nasional pernah mengambil headline yang berjudul ”Jakarta Siaga Satu”. Berita ini seolah membuat kesan, bahwa Jakarta dan negara sedang dalam keadaan kritis atau bencana. Padahal persoalannya hanya terkait dengan eksekusi terpidana bom bali Amrozi CS.

Indonesia Sebagai Failed State?

Lalu bagaimana kekuatan negara atas ancaman-ancaman yang muncul? Atau jangan-jangan negara sudah tidak berdaya atas ancaman-ancaman tersebut, sehingga ini merupakan tanda-tanda Indonesia sebagai failed state. Masih adakah masa depan Indonesia sebagai negara? Ada tiga indikasi bagaimana negara (state) tetap ada atau the end of state sebagaimana analisisnya Busan.

Pertama, idea of the state. Dikatakan ada atau tidaknya sebuah negara, ketika masih ada warganya yang berpikir tentang konsep Indonesia (the idea of Indonesia). Hal ini memang terkesan ideologis dan memang cara yang harus ditanamkan kepada warga negara Indonesia harus ideologis. Walaupun Indonesia sudah hancur dari segi fisik kepulauan ataupun tata administrasinya, tetapi ide tentang Indonesia masih ada di otak masing-masing warganya, maka Indonesia tetap dikatakan ada.

Dalam konteks ini, posisi negara tetap kuat atas ancaman teroris pascaeksekusi Amrozi CS. Karena itu, pelajaran-pelajaran tentang sejarah Indonesia ataupun ide-ide tentang kebangsaan harus ditanamkan kepada anak didik kita sejak dini, sehingga mereka merasa bangga memiliki Indonesia.

Kedua, organizational expression of the state. Keberadaan sebuah negara tetap eksis atau tidaknya bisa diukur dari apakah struktur negara masih berjalan atau tidak, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota, rumah sakit, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika fungsi-fungsi ini masih berjalan sebagaimana mestinya, maka Indonesia tetap strong state.

Karena itu, fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas harus diperkuat kembali barisannya serta melakukan koordinasi secara terus menerus untuk menanggapi isu-isu yang tidak jelas. Tentunya, peran struktur negara harus dimainkan dengan full strong terhadap pihak-pihak yang selama ini dianggap berpotensi untuk menghancurkan negara.

Ketiga, physical foundation of the state. Sebuah negara dikatakan ada jika memiliki batas teritorial yang jelas. Indonesia pun tentu memiliki batas teritorial yang jelas dengan negara-negara tetangga. Walaupun beberapa waktu yang lalu pernah konflik dengan Malaysia terkait kasus ambalat yang sempat mengancam kedaulatan Indonesia. Karena itu, pemerintah harus tegas melawan semua pihak yang ingin merampas batas teritorial Indonesia. Jangan dibiarkan begitu saja sehingga batas Indonesia secara perlahan-lahan habis dan akan terjadi konflik yang berkepanjangan di internal negara Indonesia sendiri.

Jika ketiga poin di atas tetap ada, maka Indonesia bukanlah sebagai failed state pascaeksekusi Amrozi CS. Hal serupa pun pernah diungkapkan oleh Jusuf Wanandi (2002), bahwa Indonesia bukan termasuk failed state. Ada beberapa alasan atas pernyataan Wanandi, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik adanya penyelesaian konflik di beberapa daerah secara demokratis, serta masih adanya ide tentang nasionalisme dan patriotisme.

Di samping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pascaeksekusi Amrozi CS. Pertama, memperkuat sektor keamanan dan pertahanan. SBY dan JK sebagai kepala negara berserta kabinet Indonesia bersatu harus melakukan koordinasi secara intensif dengan struktur-struktur yang ada baik dari tingkat pusat hingga kepala desa dan RT-RW. Ini sebagai kontrol atas segala bentuk perlawanan yang berpotensi menghancurkan negara. Pihak kepolisian pun harus secara cermat melakukan operasi di berbagai sudut negara, baik itu di terminal, stasiun, pelabuhan, dan sudut-sudut Indonesia yang dianggap berpotensi terjadinya teror.

Kedua, pemantauan terhadap kurikulum mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah harus mengontrol sistem yang berjalan di setiap sekolah dengan tujuan tidak adanya indikasi pada pemahaman yang ekstrimis. Ini bukan berarti kita menerapkan kembali sistem diktator seperti yang terjadi di era Orde Baru. Tetapi hanya sebatas kontrol yang dilakukan tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat, dan terkhusus pihak keluarga.

Ketiga, memperkuat leadership di berbagai sektor publik. Gaya kepemimpinan harus diperkuat lagi pada berbagai jabatan publik, terutama presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Jabatan-jabatan seperti ini harus memainkan peran yang cerdas, tegas/tidak plin-plan, berpihak kepada yang tertindas, serta berani mengambil risiko atas keputusan yang telah dibuatnya. Bahkan nyawa dan keluarga pun harus siap dipertaruhkan atas jabatan publik yang diembannya. Karena itu, jabatan bukanlah santapan empuk yang diperebutkan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Jangan ada indikasi failed state terhadap Indonesia hanya gara-gara segelintir orang. Gunakan kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia, karena rakyat selalu berada di depan untuk segenap tumpah darah negeri ini.

Ridho Al-Hamdi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM