14.20

Menengok Potret Muhammadiyah Lokal


Muhammadiyah kini telah berumur satu abad. Spektrum gerakannya telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Sejak didirikan oleh Kyai Dahlan hingga sekarang, Muhammadiyah tidak hanya berkembang di Yogyakarta sebagai kota kelahirannya. Dengan kegigihan para aktivisnya dalam menyebarkan agama Islam, Muhammadiyah di awal perkembangannya telah mencolok di beberapa daerah seperti Pekalongan dan Minangkabau. Di samping itu, yang menjadi perhatian bersama juga, Muhammadiyah telah berkembang di tanah Bima (NTB) sejak 1930-an dengan berbagai kelebihan yang disajikan penulisnya dalam buku ini.
Syarifuddin Jurdi secara sistematis menjelaskan Muhammadiyah Bima mulai dari awal kelahiran, perkembangan, kiprah kemasyarakatan di bidang pendidikan dan kesehatan, serta peran yang dimainkan oleh Ortom-ortom setempat dengan berabagai dinamikanya yang beragam. Selain itu, penulis buku ini yang juga mantan aktivis IMM menjelaskan pola hubungan antara Muhammadiyah Bima dengan pemerintah (negara) lokal, terutama dalam memajukan proses demokratisasi lokal untuk mendorong terciptanya good governance dan clean governance.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dari buku ini. Pertama, Muhammadiyah Bima lahir dan berkembang bukan dari tokoh Muhammadiyah Jogja atau Jawa sebagai pusat pergerakan organisasi ini. Muhammadiyah Bima justru lahir dari mubaligh Muhammadiyah Sulawesi (M. Sanan) yang merupakan salah satu kader didikan Buya Hamka, tokoh Muhammadiyah dari tanah Minang. Secara historis, Muhammadiyah Bima merupakan hasil perjuangan dari elite-elite Muhammadiyah Sulawesi dan Minang.
Kedua, sekalipun jauh dari pusat peradaban Muhammadiyah di tanah Jawa, Muhamamdiyah Bima telah berkipah pada masyarakat setempat dengan memajukan dan memodernisasi kehidupan melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Hal ini terbukti dengan berdirinya RS PKU Muhammadiyah Bima dan sejumlah institusi pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Pondok Muhammadiyah Bima, hingga perguruan tinggi semisal Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Bima dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Bima.
Ketiga, elite-elite Muhammadiyah Bima juga terlibat dalam urusan politik kenegaraan lokal. Keterlibatan itu terbukti dengan turut bergabungnya sebagian elite Muhammadiyah Bima dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) Bima, menjadikan Muhammadiyah Bima sebagai pendukung utama Masyumi pada Pemilu 1955, dan bergabungnya beberapa tokoh Muhammadiyah Bima ke Parmusi. Di era Orde Baru, sikap-sikap politik yang dimainkan oleh Muhammadiyah selalu mendapat pertentangan dari rezim yang berkuasa. Di samping itu, Muhammadiyah Bima turut melakukan tindakan-tindakan konkrit, seperti kampanye anti-korupsi, tetap aktif melawan gerakan kristenisasi, serta mendukung penguatan civil society dan proses demokratisasi politik lokal (misal Pilkada).
Namun, dalam buku ini tidak dijumpai pembahasan spesifik yang berbicara tentang kekurangan maupun tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah Bima yang dapat dijadikan evaluasi kritis bagi gerakan Muhammadiyah di masa kini dan masa mendatang. Setidaknya, dengan adanya satu sub pembahasan tersebut, aktivis Muhammadiyah di daerah lain dapat mengambil pelajaran dari pergerakan Muhammadiyah Bima.
Terlepas dari itu, buku ini telah memberikan sumbangsih pengetahuan dan sharing pengalaman dari Muhammadiyah Bima untuk para aktivis di berbagai daerah. Karena setiap daerah memiliki cerita yang unik dan kearifan lokal yang tidak akan dijumpai di daerah lain. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat memotivasi PDM-PDM lain untuk dapat mendokumentasikan sejarah dan spirit perjuangan mereka menjadi sebuah buku (atau apapun bentuknya) untuk dibaca oleh generasi Muhammadiyah mendatang, sehingga para penerus gerakan ini tidak melupakan sejarah.

Ridho Al-Hamdi
Pengurus Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR)
PP Muhammadiyah 2010-2015