14.59

LSB-CSPP Adakan Diskusi Keislaman dan Pelatihan Kewirausahaan Bagi Aktivis Gerakan Laskar Islam

Yogyakarta – Pada tanggal 13-18 Desember 2010 Lembaga Sangga Buana (LSB) bekerjasama dengan Center for Social and Public Policy (CSPP) mengadakan sebuah acara bertajuk Diskusi Keislaman dan Pelatihan Kewirausahaan bagi para aktivis pemuda dan laskar Islam Se-DIY dan sekitarnya. Para peserta kegiatan ini terdiri dari ormas-ormas Islam dan aktivis masjid seperti, Masjid Az-Zahri, Tariqot Qodariyah wa Naqsabandiyah, Badko TPA Kota Yogyakarta, risma Masjid Al-Mustaghfirin, Majelis Attawabbin, risma Masjid Mu’adz bin Jabal, risma Kokam Prambanan, Forum Silaturahmi Remaja Masjid Yogyakarta (FSRMY), Jamaah Tabligh, dan lain sebagainya. Acara ini berlangsung di Balai Diklat Perindustrian dan Perdagangan Jl. Gedong Kuning No. 140 B Yogyakarta.

Kegiatan ini diadakan selama enam hari. Diharapkan, dari pelatihan ini dapat menghasilkan enterpreneur-enterpreneur muda yang profesional sehingga dapat menambah lapangan pekerjaan di masyarakat. Materi yang diberikan antara lain, seperti gerakan Islam dan kemandirian ekonomi umat, umat Islam dan perkembangan teknologi multimedia, budaya dan karakter sosial masyarakat, model gerakan Islam, jihad, dakwah, dan ahlul kitab, serta praktek berwirausaha semisal budidaya cacing dan jamur (tiram dan kuping). Para pembicara yang hadir antara lain seperti Amir Panzuri (APIKRI), Triyono, Bambang Karsono, Mohammad Shofan, Francis Wahono, Sarjudi, HS Amnoto, dan Dian Nafi. (rah)

15.24

Sang Pelopor


Judul: Sang Pelopor
Penulis: Ridho Al-Hamdi
Penerbit: Qalbiymedia
Terbit: Juli 2010

Setiap ruang dan waktu memberikan makna bagi kehidupan seseorang. Begitu juga yang terjadi pada cerita di buku ini. Mulai dari keluguan, genit dengan isu-isu seksi, emosional dengan ketidaksempurnaan, bersikap idealis pada segala sesuatu, mendapat kritikan dan cercaan, hingga akhirnya mulai bersikap kooperatif pada dirinya sendiri. Itu semua didapatkannya dari organisasi yang digelutinya selama sepuluh tahun.

Buku ini merupakan catatan refleksi pribadi dari sang penulis terhadap apa yang telah dirasakan dan dilaluinya selama berjuang di organisasinya. Sekalipun subyektif, setidaknya buku ini adalah dokumentasi cerita yang pernah ditulis oleh salah seorang kadernya yang berjuang dari bawah hingga ke puncak atas.

Pepatah lama pernah mengingatkan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai karya-karya pendahulunya. Setidaknya spirit gerakan iqra telah tertanam pada diri penulis buku ini sebagai PELOPOR, pelangsung, dan penyempurna amanah.

07.45

Cerita Malika dan Berbagi Cinta

(Diambil dari Catatan teman. Moga bermanfaat)


Ayo berbagi... Ayo berbagi...

Kalau ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di kebanyakan benak kita saat itu? Barangkali kita akan berfikir bahwa kita harus berbagi dana, berbagi makanan, susu, pakaian, serta berbagi barang atau apapun yang sifatnya materiil.

Hmm... Itu karena alam pikir kita telah dipenuhi oleh ide-ide materialistik: mengukur segala sesuatunya dengan materi dan kasat mata. Barangkali sejenak kita terdiam di keheningan alam pikir kita untuk menikmati berbagi sebagai sebuah kebahagiaan.

Kali ini saya akan mengajak Anda semua menikmati berbagi dengan yang lain tapi bukan bersifat materi, karena berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.

Suatu hari, sahabat saya bercerita saat ia diajak oleh ayah angkatnya berkunjung ke panti asuhan yatim. Ayah itu memang selalu rutin berkunjung ke panti asuhan atau rumah yatim minimal setahun dua kali. Biasanya sekali di awal bulan Ramadhan (untuk mensurvei kebutuhan panti) dan sekali di akhir bulan Ramadhan (untuk membawakan hal-hal yang dibutuhkan panti).

Di sebuah rumah yatim sore itu, ayah bertemu dengan seorang gadis cilik yang manis. Lalu sang ayah bertanya pada gadis penghuni rumah yatim itu.

“Anak manis, siapa namamu?”

“Nama saya Malika, Om,” jawab gadis kecil itu.

“Nama yang cantik, secantik dirimu, Malika.”

“Malika kelas berapa sekarang?” tanya si ayah dengan senyum.

“Kelas 1 SD, Om,” jawab Malika.

Sambil membelai kepala Malika, lalu seraya sang ayah bertanya.

“Malika sudah punya tas baru?”

“Sudah, Om. Kan sudah dibelikan Abi dan Umi...”

Lalu ayah bertanya lagi: “Kalau baju baru untuk lebaran?”

Malika dengan antusias menjawab: “Sudah tentu dong, Om. Semua teman-teman di sini juga sudah dibelikan baju lebaran kok.”

“Kalau begitu apa yang Malika inginkan? Nanti Om akan berikan buat Malika.”

“Emmm...” suara Malika terhenti.

Malika menundukkan kepala seperti khawatir. Sang ayah lalu membelainya dan mencoba meyakinkannya, bahwa ayah sahabat saya itu akan berusaha memenuhi apa yang ia inginkan.

“Ayo Malika, katakan saja pada, Om. Malika ingin minta apa, Nak?”

“Tapi Om jangan marah ya...,” suara mungil Malika.

“Om janji tidak akan marah,” jawab sang ayah tersenyum hangat.

“Gak jadi deh, Om. Malika takut Om nanti marah dengan Malika.”

Rasa penasaran sang ayah semakin besar. Apa rupanya yang ingin Malika minta sehingga ia begitu takut untuk mengutarakannya.

“Malika mau minta sepeda atau boneka baru? Mau minta TV? Atau apa, Nak, yang kau minta? Mintalah, Nak. Om, pasti akan belikan,” Tanya sang ayah.

Sang ayah semakin penasaran karena setiap tawarannya selalu dijawab dengan gelengan kepala Malika.

“Tapi Om jangan marah ya...”

Sang ayah berfikir, semahal apa sih barang yang diinginkan Malika sehingga ia begitu khawatir dan tidak yakin.

“Malika, Om berjanji tidak akan marah padamu. Mintalah apa yang Malika mau.”

Lalu di balik senyum innocent-nya Malika bersuara. “Om, Malika mau minta… boleh gak mulai hari ini Malika panggil ayah pada Om?”

Seketika itu bibir ayah nyilu, matamya berkaca-kaca. Sambil memegangi kedua pipi Malika dengan tangannya, sang ayah berkata “Tentu, Malika... Tentu boleh Malika panggil ayah.”

“Terima kasih ayah... terimakasih ayah...” seru Malika dengan teriksak sambil memeluk ayah.

Dengan senyum, Malika berkata lagi, “Malika sudah punya sepatu, sudah dibelikan tas, sudah ada baju baru, tapi dari dulu Malika belum punya Ayah. Tapi hari ini Malika sudah dikasih ayah dari Allah SWT.”

“Terimakasih ya, ayah..” Malika mengungkapkan rasa terima kasih dan syukurnya dengan memeluk ayah.

Setelah bermain-main dan banyak bercerita sore itu, sang ayah sadar bahwa ia belum memberikan apa-apa buat Malika.

“Nah Malika, sekarang Malika boleh minta apa saja pada ayah sebagai hadiah lebaran.”

Karena sebelum lebaran nanti, ayah akan ke sini lagi bersama ibu dan juga kakak-kakakmu. Tapi lagi-lagi, Malika menggelengkan kepalanya.

“Kan udah, tadi Malika sudah boleh memanggil ayah.”

“Ayolah Malika, minta lah sesuatu pada ayah.”

Sebentar Malika berfikir lalu ia berkata: “Ayah besok kalau datang ke sini lagi Ayah bawa kamera ya...”

Setengah bingung ayah bertanya, “Buat apa, Nak?”

“Malika ingin punya foto bersama ayah dan ibu juga kakak-kakak.”

Malika memohon itu sambil memegangi kedua tangan ayah. Tiba-tiba kaki ayah lunglai. Dia berlutut di depan Malika. Dia peluk lagi Malika sambil bertanya, “Buat apa foto itu, Nak?”

“Malika mau bawa ke sekolah dan mau Malika tunjukkan pada teman-teman. Ini foto ayah Malika, foto ibu, dan kakak-kakak Malika.”

Ayah tadi memeluk erat Malika, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terimakasih, Malika. Meski usiamu masih sangat belia. Kau telah mengajarkan pada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta karena itu lebih bermakna dari sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia.

Mari kita ajak lebih banyak orang untuk berbagi cinta, agar dunia ini lebih damai seperti yang dilakukan oleh Malika.

13.38

Novel MENEBUS IMPIAN

Judul: MENEBUS IMPIAN
Pengarang: Abidah El Khalieqy
Editor: Ridho Al-Hamdi
Kategori: Sastra/Novel
Penerbit: Qalbiymedia (QMED), Yogyakarta
Harga: Rp. 48.000,-
Terbit Pertama: Maret 2010
Tersedia di TB Gramedia, TB Togamas, Stokis Se-Indonesia

Sebuah novel yang berkisah tentang perjuangan seorang perempuan dalam memilih takdirnya sendiri, hingga ia mampu meleburkan usaha bisnis dan spiritualitas dalam satu ikatan cita-cita. Melalui berbagai aral yang melintang, luka dan derita, ia terus mencoba untuk mengubah pandangan hidupnya secara merdeka, bersikap mandiri dan tidak bergantung kepada siapa pun kecuali Gusti. Namun, ia juga mesti menghadapi lesatan panah-panah asmara yang menancap di dadanya. Sampai akhirnya dapat menebus impiannya sendiri dan impian ibunya. Dan semua kisah itu diawali dengan lika-liku kerja kerasnya dalam menjalankan usaha bisnisnya. Tak ada kata “menyerah dan kalah” dalam hidupnya, hingga ia memperoleh penghargaan dari perusahaan tempat bekerja, juga dari perguruan tinggi di mana ia menyelesaikan kesarjanaannya dalam peringatan Hari Kartini.

Info pemesanan: Didi (0274) 8345048