15.11

Indonesia after Amrozi CS Execution

After through long time, our government decides for executing Bali bombs perpetrator (Amrozi, Imam Samudera, and Muchlas) on Sunday early morning, November 9th 2008. As you know, there are many comments from our society about it. According to some people, particularly Australian people and victim families, that execution is compatible with their behavioral. Even several people feel happiness. Besides that, several people regret with that decision. “They enough acquire long life punishment, so they could regret it forever,” said an Australian in television.

After that execution, there are many threats for President and Vice President (SBY and Jusuf Kalla). One of the threats is from abroad cyber media. The main point of the threat is murder to President and Vice President. Additionally, our government catches one of terrorism network member in Jakarta. He stores bomb assemblies as well. There is other discovery about terrorism network which government looks for it.

Recently, the state confuses with this case. Tempo daily ever publishes in their newspaper headline with the title “Jakarta Siaga Satu”. This headline makes image that Jakarta and this country in critical situation. As you know, it just little problem about Bali bombs.

Is Indonesia as Failed State?
How about our state power from that threats? Or our country fear it, so this a sign for Indonesia as failed state. Is there Indonesia future? There are three indicators for a state is still strong or failed. This is Bursan’s analysis.

Firstly, idea of the state. There is or there isn’t a state, if there is the idea of Indonesia in Indonesia brain. I mean, this is an ideology must be growth in Indonesian heart. It relate with nationalism. So we must keep our imagines about unity of Indonesia. Secondly, the organizational expression of the state. The all government structure must be function, such as president, governor, regent, until head of village. Besides that, government buildings like hospitals, banks, and other BUMN (department of effort for public ownership). Thirdly, physical foundation of the state. It mean, government must have limit of territorial of state. The Ambalat case show to us that Indonesia not have power to defense their country. So, it’s terrible experience for us. We must be change more best.

As you know, the three points above could become standardization for Indonesia as strong state or failed state after Amrozi CS dead execution.

As well as that, there are some strategies for government after this execution and terrorism as well. First, strengthening security and defenses sector. The all government must make a consolidation intensively with all structure from central government until village level. This is as control to all parties which would to against government. The department of police are must be intensively looking for whatever related with terrorism.

Second, controlling to the lessons curriculum in the education institutions, from elementary school until university. It’s must be done. The purpose for there isn’t indication for extreme religious understanding. This is not Orde Baru regime, but as control for security in our country.
Third, strengthening leadership in all public sectors. The leadership model must be strong in all position, such as president or vice president, governor, and regent. They must be diligent and be coherent, advocating to all weak party, and they must be brave to deciding whatever quickly. Even they must be ready if their soul and family are lost caused on their decision. Therefore, as you know that public position is heavy responsibility.

So, we must make our country be a strong state, not failed state. The Indonesian people always ready to struggle for this country.

Ridho Al-Hamdi
A Postgraduate Student of Political Science UGM

15.05

Sumpah Pemuda Jilid Dua

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa indonesia.”

Demikian bunyi teks sumpah pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada awal terbentuknya, sumpah pemuda bernama “Ikrar Pemuda”. Namun karena dianggap kurang memiliki kekuatan makna secara bahasa, akhirnya kata “ikrar” berganti menjadi “sumpah”. Ikrar hanya dimaknai sebagai janji tanpa ada konsekuensi, sedangkan sumpah mengandung konsekuensi tertentu jika tidak dilaksanakan.

Karena itu, sumpah harus diyakini sebagai sebuah janji bagi pemuda Indonesia kepada dirinya dan dunia atas trilogi kebersatuan Indonesia. Janji yang berkonsekuensi pada kesadaran atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa.

Kesadaran ini penting dipahami mengingat Indonesia merupakan negeri yang amat kaya serta memiliki aneka bahasa, ras, adat, dan agama. BJ Habibi mengatakan, negeri ini negeri maritim atau bahari, karena 60 persen wilayahnya dikelilingi lautan dan diapit oleh dua benua dan dua samudera. Pada situasi seperti ini, kita patut bangga. Negeri kita sudah memiliki perekat bahasa: bahasa Indonesia. Bayangkan jika bahasa pemersatu negeri kita adalah bahasa Jawa atau bahasa Lampung.

Terlepas dari kondisi di atas, ada hal lain yang patut dicermati pemuda. Dulu, common enemy bangsa kita adalah kolonial Belanda, Portugis, atau Jepang. Hanya dengan bambu runcing, penjajah bisa kita usir dari negeri ini. Apa kuncinya? Semangat nasionalisme. Lalu, apa common enemy Indonesia saat ini?

Jika kita mengatakan musuh kita sekarang adalah kemiskinan, maka siapa yang harus dilawan? Tidak jelas. Musuh tidak terdeteksi seperti pra-kemerdekaan. Karena memang musuh itu adalah diri kita sendiri. Akibatnya, nasionalisme mulai luntur dalam benak pemuda Indonesia.

Secara de jure, bangsa kita telah merdeka sejak 63 tahun yang lalu. Tetapi secara de facto kemerdekaan belum bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa ini. Masih banyak terjadi kekerasan dan penindasan baik secara fisik maupun mental. Belum lagi masih ada sebagian wilayah dan daerah di negeri ini yang belum merasakan adanya listrik layaknya di kota-kota besar. Kemakmuran dan kesejahteraan masih belum merata. Kalau demikian, apa negara kita layak dikatakan sebagai negara yang merdeka?
Ironis memang. Apalagi jika mengingat sejarah kemerdekaan Indonesia yang sudah tua tetapi rakyatnya masih belum terlepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Pemandangan dan cerita tetang busung lapar, keracunan, dan penindasan masih terdengar dari sudut-sudut di setiap daerah di negeri ini.

Bagi Ahmad Syafii Maarif, kerusakan negeri ini hampir sempurna. Kira rapuh dari dalam. Dan salah satu kerapuhan itu adalah menyusustnya semangat nasionalisme kepemudaan. Dewasa ini, pemuda mengalami perubahan tingkah laku, sikap sosial, dan pandangan hidup yang beralih pada cara berpikir dan bertindak instan serta serba politis.
Sikap kaum muda tersebut tertera dalah tiga F, yaitu food, fashion, dan fun. Food tercermin pada makanan seperti pizza hut, McDonald, KFC, Hamberger, dan lain sebagainya. Fashion terlihat dari merk-merk pakaian semisal celana jeans, sepatu, topi, hingga handphone, dan aksesoris lain yang made in Amarika. Kemudian, fun bisa kita jumpai di tempat-tempat hiburan, cafe, hingga lokasi prostitusi. Pemuda kita telah digiring ke arah yang demikian.

Jika generasi muda kita lemah, apa yang akan terjadi pada satu dasawarsa ke depan? Karena itu, sudah saatnya bangsa ini harus mempersiapkan pemuda-pemuda dengan semangat patriotisme. Kita harus mulai menengok ulang pada budaya-budaya lokal yang kini mulai ditinggalkan untuk kemudian dibangkitkan serta ditunjukkan kepada dunia bahwa inilah bangsa Indonesia. Kita harus bangga dengan produk-produk lokal. Di sinilah pemuda benar-benar diharapkan untuk membangun kembali komitmen dan integritas Indonesia.

Sekarang, kira harus mempersiapkan pemuda yang memiliki visi masa depan yang jelas, memiliki ketrampilan, pengetahuan, pandangan yang berorientasi produktif, kekuatan spiritual, serta mampu menguasai bahasa internasional. Lain dulu lain sekarang. Sumpah pemuda yang selama ini kita dengarkan perlu dikaji ulang untuk kemudian dikonstruksi kembali redaksi dan maknanya. Realitas dulu dan sekarang sudah pasti berbeda. Tentunya, sumpah pemuda harus berubah.

Kiranya, sekarang kita harus kembali bersama-sama merumuskan sumpah pemuda jilid dua untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme pada pemuda-pemudi dan seluruh tumpah darah Indonesia sebelum semuanya terlambat. ”Kami putra dan putri Indonesia cinta pada budaya dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia cinta pada produk dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia siap memberantas korupsi di dalam negeri”.

Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

14.48

Is Muhammadiyah Collapse?

Geliat dan gesekan politik di Muhammadiyah pascareformasi semakin jelas dengan kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN), walaupun secara de jure tidak ada hubungan antara PAN dengan Muhammadiyah. Namun secara sosio-historis tidak bisa dinafikan bahwa Amin Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu (yang kemudian mengundurkan diri menjelang berdirinya PAN, 23 Agustus 1998) memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kader-kader Muhammadiyah. Bahkan Tanwir Muhammadiyah merekomendasikan Amin Rais sebagai kader terbaik untuk maju pada pemilihan capres tahun 2004.

Gesekan itu semakin bertambah ketika muncul kekecewaan dari sebagian kader muda Muhammadiyah terhadap perjuangan PAN yang dianggap tidak bisa membawa aspirasi dan kepentingan Muhammadiyah. Karena itu, digagaslah adanya Kongres Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tahun 2004 yang menghasilkan berdirinya Perhimpunan Amanah Muhammadiyah (PAM). Dari situlah, kemudian berujung pada lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) dengan kader yang mayoritas didominasi anak-anak muda Muhammadiyah.

Akhir-akhir ini, Muhammadiyah diributkan dengan munculnya iklan politik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) perihal dimunculkannya KHA Dahlan (pendiri Muhammadiyah), juga KH. Hasyim ’Asyari, Soeharto, dan beberapa nama lainnya sebagai tokoh bangsa. Berbagai kritikan menghujani PKS hingga dalih apa pun dijadikan sebagai pembenar atas tindakan mereka, bila perlu ayat suci Al-Qur’an dikeluarkan. Pepatah lama mengatakan, seribu alasan akan diungkapkan hanya untuk membenarkan sebuah premis awal.

Muhammadiyah dan AMM Sebagai Civil Society
Membaca dan menilai gerakan Muhammadiyah beserta AMM-nya (PM, NA, IMM, dan IPM), maka penulis memposisikannya sebagai civil society. Kehadiran mereka dalam konteks ini diletakkan sebagai ruang publik (public sphere) yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, seperti yang diungkapkan oleh Affan Gaffar (1999).

Karena itu, PM dan NA harus mampu mewakili aspirasi pemuda-pemudi yang ada di kampung/desa untuk melakukan upaya-upaya advokasi terhadap pemerintah. Begitu pula dengan IMM dan IPM yang harus mampu menjadi artikulator mahasiswa di kampus dan pelajar di tingkat sekolah. Terlepas dari kritik sejarawan Kuntowijoyo, bahwa klasifikasi ortom Muhammadiyah berdasarkan jenis kelamin, kita harus tetap yakin, bahwa AMM merupakan jembatan kuat untuk mewakili basis massanya.

Namun keyakinan yang selama ini dipegang kemudian dibenturkan dengan realitas, muncul sebuah pesimisme jika Muhammadiyah dan AMM-nya dianggap sebagai civil society, yang berujung pada terwujudnya masyarakat madani (beradab). Kita tidak bisa memungkiri, bahwa fragmentasi kepentingan personal di internal Muhammadiyah dan AMM sangat tinggi. Sumber fragmentasi itu bisa muncul dari tingkat ekonomi aktivisnya yang berbeda-beda, latar belakang sosial-budaya-pendidikannya, etnisitas yang beragam, serta sikap politik yang tersebar di berbagai partai politik. Entah itu di Golkar, PDI-P, Demokrat, PKS, PPP, Gerindra, maupun di PAN dan PMB itu sendiri.

Jika Muhammadiyah dianggap menjadi bagian dari civil society, masih jauh dari cita-cita masyarakat. Belum lagi konflik politis lainnya yang semakin menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak lagi ideal sesuai dengan tujuannya. Padahal, kelahiran Muhammadiyah dan ortom-ortomnya bukan hanya untuk internal Muhammadiyah an sich, tetapi untuk masyarakat luas pada umumnya.

Politik Nasional vis a vis Politik Muhammadiyah
Tidak bisa dipungkiri bahwa perpolitikan nasional membawa pengaruh yang cukup signifikan di segala level masyarakat, tak terkecuali di tingkat Muhammadiyah. Nilai-nilai demokrasi yang dipahami salah kaprah pun bisa berdampak pada chaos-nya antar-rakyat sendiri. Lagi-lagi yang bakal jadi korban tak lain dan tak bukan rakyat lagi. Hal yang dimikian pun terjadi di internal warga Muhammadiyah.

Karena perbedaan pemahaman warga Muhammadiyah terhadap demokrasi, maka perilaku-perilaku yang ada di partai politik, baik pada saat kampanye pilkada ataupun pada saat pencalonan legislatif tercermin di tingkat Muhammadiyah beserta ortomnya. Bahkan tercermin pula ke lorong-lorong yang bernama Muktamar, Musywil, Musyda, Musycab, dan Musyran. Berbagai jenis perilaku yang dulunya tabu di Muhammadiyah, kini telah hadir tanpa ada skat yang membatasinya. Mulai dari black-campign antar-calon, like and dislike, pembunuhan karakter kader potensial, penyingkiran calon lain karena lawan politik, rebutan posisi ketua umum, hingga deal-deal politik lainnya dengan berbagai pihak. Hal yang demikian telah mewarnai setiap bentuk permusyawaratan dan persidangan di Muhammadiyah.

Belum lagi, sebagian kader-kader Muhammadiyah yang masih ada di struktur maju sebagai calon DPR, DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), DPD, bahkan ketua umum PP Muhammadiyah menyatakan diri siap maju sebagai calon Presiden di pemilu 2009 nanti. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada mekanisme yang berlaku, maka ruang-ruang yang awalnya tidak politis, kini akan terbaca secara sangat politis. Tentunya, mekanisme itu tidak hanya berhenti pada pembuatan SK saja, proses pengawalan pun harus dilakukan oleh semua pihak dari tingkat Ranting hingga Pusat. Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sangat aneh: Anak-anak muda Muhammadiyah justru melawan mekanisme itu tanpa ada solusi terbaik bagi persyarikatan. Lagi-lagi, persyarikatan yang dikorbankan.

Is Muhammadiyah Collapse?
Istilah collapse bisa diartikan sebagai to fall down suddenly, generally as a result of damage, structural weakness (Encarta) atau kekosongan wewenang (vacuum of authority). Makna sederhananya, collapse adalah gagal karena disebabkan oleh sesuatu. Berdasarkan pada pembacaan fenomena di atas, kita melangkah pada pertanyaan, apakah Muhammadiyah yang hampir berumur satu abad ini akan tetap menjadi organisasi yang strong atau justru sebaliknya, collapse?

Ada tiga tolok ukur, meminjam pendapat Bursan, yang digunakan sebagai standarisasi apakah Muhammadiyah akan tetap strong atau collapse di tengah dinamika yang ada. Pertama, the idea of Muhammadiyah. Keberadaan Muhammadiyah masih dianggap eksis atau tidaknya bisa diukur dari masih ada atau tidaknya ide tentang Muhammadiyah di pikiran para warga dan kader Muhammadiyah. Walaupun belum ada data kuantitatif tentang berapa jumlah warga Muhammadiyah yang masih berideologi Muhammadiyah, tetapi bukti-bukti di lapangan telah berbicara bahwa, warga Muhammadiyah sudah kehilangan ghirah untuk bermuhammadiyah. Entah itu karena faktor teologis, ekonomis, atau hanya sekadar pindah ke partai politik tertentu tetapi menghina Muhammadiyah dari luar. Sungguh tindakan seperti ini tidak memiliki fatsun. Jauh sebelum ini, Abdul Munir Mulkan sudah mengklasifikasikan orang-orang Muhammadiyah berdasarkan disertasinya di salah satu kampung di Jember. Karena itu, melihat realitas yang ada, proses -proses ideologisasi dan kaderisasi harus ditingkatkan lagi sebelum ide tentang Muhammadiyah hilang dari pikiran warga Muhammadiyah.

Kedua, organizational expression of Muhammadiyah. Eksistensi Muhammadiyah masih dianggap ada atau tidak, dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya struktur dari tingkat Pusat hingga Ranting. Begitu juga dengan fungsi-fungsi amal usaha, seperti PKU, sekolah, universitas/sekolah tinggi/akademi, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika ternyata fungsi-fungsi ini tidak berjalan dengan baik, maka bisa dipastikan gerakan Muhammadiyah akan mendekati collapse. Karena itu, harus ada mekanisme beserta pengawalannya, sehingga hukum pun berlaku di Muhammadiyah.

Ketiga, physical foundation of Muhammadiyah. Walaupun Muhammadiyah tidak memiliki batas-batas teritorial seperti negara, tetapi ciri ini bisa disamakan dengan seberapa besar kader-kader yang tetap loyal di Muhammadiyah, baik di struktur maupun di amal usaha. Jika ternyata orang yang duduk di jabatan amal usaha bukan kader ideologis, sudah hampir dipastikan ini juga merupakan tanda-tanda dari the end of Muhammadiyah.

Ketiga poin di atas setidaknya bisa digunakan sebagai tolok ukur apakah masa depan Muhammadiyah semakin mendekati kejayaan atau justru sebaliknya, collapse. Hipotesa sementara menyatakan, bahwa Muhammadiyah sedang berada di persimpangan jalan yang mengambang. Tergantung siapa kader yang akan membawanya. Jika kader itu oportunis dan hanya menjadikan Muhammadiyah sebagai jembatan, maka jembatan itu tidak akan bertahan lama dan akan digantikan oleh bentuk jembatan yang baru. Karena tentu banyak orang yang lalu lalang di jembatan itu tanpa ada satu orang pun yang menjaganya jika terjadi keretakan atau rusak di salah satu sudut jembatan itu.

Namun jika kader itu menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk berdakwah demi terciptanya masyarakat yang beradab, maka sudah pasti akan ada landasan filosofis mengapa Muhammadiyah dijadikan sebagai sarana untuk berjuang. Tentu, fondasi yang dibangun akan kokoh dan akan selalu ada generasi baru yang memperbaiki fondasi itu sehingga “rumah Muhammadiyah” tetap berdiri walaupun badai mengguncangnya. Kiranya, angkatan muda harus ikut andil dalam hal ini. Jika muncul pertanyaan, is Muhammadiyah collapse? Anda sudah pasti tahu jawabannya.

Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

14.46

Selamat Tinggal IRM, Selamat Berjuang IPM

Saat Pembukaan, Wapres Jusuf Kalla Hadir
Pagi itu, 25 Oktober 2008, rombongan bis besar dari Asrama Haji Donohudan Boyolali berbondong-bondong menuju arena pembukaan Muktamar XVI IRM di Stadion Sriwedari Solo. Belum lagi bis-bis dari berbagai arah baik itu dari Solo maupun dari luar Solo membanjiri arena pembukaan Muktamar. Penjagaan ketat dilakukan oleh pihak kepolisian dan Kokam terhadap lokasi itu. Wajar saja hal ini terjadi, karena pembukaan Muktamar dihadiri oleh Wakil Presiden RI Drs. Muhammad Jusuf Kalla.

Ini merupakan Muktamar IRM terkahir dalam sejarah pergerakan IPM-IRM. Karena pada muktamar kali ini nama IPM akan diputuskan dan disahkan sebagai pengganti nama IRM. Tentu kita sudah tahu mengapa IRM diganti dengan IPM.

Pembukaan Muktamar dihadiri oleh ribuan orang, baik itu siswa-siswi SD maupun siswa-siswi SMP dan SMA dari berbagai penjuru di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Hadir juga tamu undangan dari para alumni IPM-IRM yang datang dari berbagai daerah. Tentunya, dalam acara ini selain Pak Wapres beserta rombongan, hadir pula Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Walikota Solo Joko Widodo, Ketua PWM Jawa Tengah Marpuji Ali, ortom-ortom dari pusat hingga ranting, dan peserta-peninjau Muktamar yang terdiri sekitar 600-an orang.

Pembukaan ini selain dimeriahkan penampilan tari-tari dan band-band lokal, sempat diributkan dengan atraksi ”Penolakan IRM” dari rombongan IRM Jawa Timur dengan cara keliling lapangan. Rombongan ini sempat bentrok dengan aparat keamanan tapi bisa segera diselesaikan dengan damai.

Acara Persidangan Selalu Kisruh
Setelah pembukaan, acara persidangan berjalan selama empat hari (25-28 Oktober 2008). Agenda persidangan terdiri dari Laporan Pertanggungjawaban PP IRM periode 2006-2008, pemilihan tim formatur, penetapan nama IPM, dan perumusan konstitusi IPM baru. Persidangan yang dipimpin oleh Ivan (Jatim), Hadisra (Sulsel), dan Ucok (Medan) ini selalu terjadi baku hantam sesama peserta dan sering terjadi PK alias peninjauan kembali terhadap apa yang telah diputuskan pada sidang-sidang selanjutnya.

Pada Konpiwil pra-Muktamar, ketika presidium sidang ingin memutuskan tentang nama-nama calon formatur, tiba-tiba ada peserta maju ke depan forum dan ingin memukul presidium sidang. Dari arah lain juga ribut dengan naik ke atas meja, kemudian mengeluarkan suara keras. Begitu juga dengan para peserta lain yang saling caci-maki dan perang mulut.

Debat antarpeserta pun terjadi ketika PP IRM sedang membacakan LPj di depan forum. ”Apakah LPj dibaca semua atau hanya poin-poinnya saja?” tanya presidium sidang. Setelah melalui dialektika yang cukup panjang, diputuskan hanya dibacakan poin-poinnya saja. Setelah selesai pembacaan LPj, giliran PW IRM Se-Indonesia yang memberikan progress report dan tanggapan balik atas LPj PP IRM. Proses persidangan berjalan hingga dini hari (jam tiga pagi) dan tinggal beberapa wilayah saja yang mengikuti persidangan.

Pada proses pemilihan calon formatur tahap pertama (dari 38 calon menjadi 27 calon) pun terjadi perdebatan cukup sengit, apakah semua peserta (PW dan PD) yang memilih calon formatur atau cukup PW saja? Forum pun kembali ramai dan terjadi adu pendapat hingga forum dead lock dan ada lobi-lobi antar-wilayah. Kesepakatannya adalah cukup PW saja yang memilih calon formatur. Keputusan ini sebenarnya tidak banyak diterima oleh Daerah-daerah. Karena mereka beranggapan, punya hak suara juga atas pemilihan ini.

Materi Muktamar Banyak Digugat
Sidang komisi terbagi menjadi tiga bagian. Komisi A membahas tentang Muqaddimah IPM, Kepribadian IPM, Janji Pelajar, dan Rekomendasi. Komisi B membahas tentang strategi perjuangan IPM, agenda aksi IPM, dan struktur IPM ke depan. Komisi C hanya membahas tentang AD/ART IPM.

Pada masing-masing sidang komisi, terjadi banyak gugatan atas materi Muktamar yang ditawarkan kepada para peserta. Pada komisi A terjadi perdebatan tentang isi dari Muqaddimah yang terlalu panjang. Belum lagi Kepribadian IPM yang belum merepresentasikan karakter gerakan IPM. Hal ini pun terjadi di Komisi B dan C yang menggugat tentang struktur dan pasal-pasal AD/ART. Walaupun perdebatan terjadi, akhirnya pihak yang menggugat atas materi Muktamar tidak bisa menawarkan solusi baik dan kembali didebat ulang oleh pihak yang mendukung materi Muktamar.

Namun secara keseluruhan tidak terjadi perubahan besar-besaran atas materi Muktamar yang ditawarkan oleh Tim Materi yang terdiri dari Ridho, Arar, dan Nana (PP IRM), serta Faliq Jabar, Arham Sulsel, Fuad Jateng, dan Antoni Sumbar. ”Atas koordinasi yang selalu dijalankan oleh tim materi, pengawalan sidang komisi berjalan dengan lancar hingga keputusan pleno berakhir,” ungkap Faliq Mubarak, anggota Tim Materi.

Bazar Banjiri Arena Muktamar
Selain melihat ribut dan ramainya suasana persidangan, di luar arena terjadi sesuatu hal yang cukup meriah dan banyak dikunjungi oleh peserta Muktamar, yaitu Bazar. Hanya tempat inilah lokasi yang bisa dijadikan ajang ngobrol santai dan saling tukar pengalaman antarpeserta. Tentunya, ngobrol-ngobrol itu dibarengi dengan makan cemilan ringan yang dihidangkan oleh beberapa stand bazar.

Para peserta stand bazar adalah Dian Krudung, Indosat, PW IRM Jateng, Suara Muhammadiyah, Majalah Kuntum, toko buku Jusuf Agency, Resist Book, Joko’s Silver, PW IRM Jatim, PW IRM DIY, Toko 6, PD IRM Jember, PD IRM Kota Yogyakarta, Toko Batik Pekalongan, Bintangin, LaPSI, PW IRM Kalsel, serta beberapa pihak yang memeriahkan tapi tidak mendapatkan stand seperti yang disediakan panitia.

Walaupun dari segi keuntungan tidak besar bahkan ada yang tidak untung sama sekali, tetapi mereka tetap merasa senang berada di arena bazar. ”Yang jelas kita hanya ingin memeriahkan Muktamar dan sebagai ajang promosi jualan. Kalau untung ya alhamdulillah, kalau nggak juga nggak masalah,” ungkap penjaga toko batik Pekalongan kepada Kuntum.

Acara Muktamar Hiasi Media
Di tengah hiruk-pikuknya acara, media massa baik cetak maupun elektronik juga ikut mempublikasikan acara Muktamar. Hal ini terbukti dengan press conference PP IRM di salah satu rumah makan di Solo sehari menjelang pembukaan Muktamar. “Press conference ini dihadiri oleh 20-an wartawan media cetak maupun elektronik,” ungkap Moh. Mudzakkir, Ketua Umum PP IRM.

Pada saat pembukaan, beberapa stasiun televisi pun mempublikasikan suasana pembukaan Muktamar. Begitu juga media lain yang terdiri dari Republika, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Solo Pos, dan beberapa radio lokal Solo maupun Boyolali.

”Kami memang telah bekerja sama dengan beberapa media untuk mempublikasikan acara Muktamar yang bersejarah ini,” ungkap Ketua Media Center Muktamar, Machendra Setya Atmaja kepada Kuntum.

Saking meriahnya acara pembukaan, Harian Republika mengangkat isu Muktamar sebagai headline pada halaman depan dengan foto yang cukup bagus. Bahkan Suara Merdeka yang tidak sempat mempublikasikan acara pembukaan, menggantinya dengan memuat salah satu artikel tentang IPM di rubrik wacana lokal.

Para peserta yang hadir pun mendapatkan informasi baik seputar Muktamar maupun tentang wacana nasional yang sedang berkembang di negara ini.

Tim Formatur Terbentuk, Deni Weka Ketua Umum Terpilih
Di babak akhir dari cerita Muktamar adalah pemilihan sembilan tim formatur dan penetapan Ketua Umum dan Sekretaris Jendral PP IPM terbaru. Setelah melalui proses pemungutan suara dan penghitungan yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Pusat (Panlihpus), terpilihlah 9 orang anggota tim formatur. Mereka itu adalah Andi R. Wijaya (ketua tim formatur), Deni Wahyudi Kurniawan, Diyah Puspitarini, Machendra Setya Atmaja, Nurjannah Seliani Sandiah, Virgo Sulianto Gohardi, Eka Damayanti, Aris Iskandar, dan Zulfikar Ahmad.

”Mereka kami minta untuk segera menetapkan Ketua Umum dan Sekjend terbaru,” ungkap Ketua Panlihpus Masmulyadi kepada Kuntum didampingi anggota Panlihpus lainnya, Subhan Purno Aji, Pepsi NTB, Ali Murtadho Sumsel, Qusnul Jatim, dan Sedek Maluku.

Berdasarkan hasil rapat tim formatur, ditetapkanlah Deni Wahyudi Kurniawan dan Andi Rahmat Wijaya sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jendral PP IPM 2008-2010. Selain itu, kepengurusan lainnya akan dibicarakan dan ditetapkan setelah Muktamar berakhir.
Muktamar ini ditutup oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir dan juga sambutan terakhir Ketua Umum PP IRM Moh. Mudzakkir serta sambutan Ketua Umum terpilih, Deni Wahyudi Kurniawan. Selamat berjuang IPM dan kita tunggu karya-karyanya untuk Indonesia yang berkemajuan.

Ridho Al-Hamdi
Peserta Muktamar Utusan PP IRM Periode 2006-2008

14.38

Krisis dan Developmental State di Asia Timur

Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, kita sudah mengkaji tentang konsep Developmetal State (DS), Market-Friendly, dan Democratic Developmental State (DDS) sebagai sebuah paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dalam suatu negara. Namun, dalam review ini akan difokuskan pada kajian Developmetal State dan pengalaman yang terjadi di negara-negara Asia Timur. Karena itu, sebelum masuk pada pengalaman yang terjadi di negara-negara Asia Timur, akan dipaparkan ulang apa itu Developmetal State dan karakteristiknya.

Menurut Johnson’s Formulation (Pei-Shan Lee, 2002), yang dimaksud dengan Developmetal State itu adalah mencakup beberapa karakteristik di bawah ini. Pertama, memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara. Kedua, merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif, dan disiplin dengan basis merit. Ketiga, mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial. Keempat, melembagakan hubungan antar-birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif. Kelima, melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya. Keenam, mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya-sumber daya, seperti keuangan.

Inti dari paradigma DS adalah peranan dominan lembaga eksekutif. Yang dimaksud dengan lembaga eksekutif disini adalah otoritas administratif dan kekuatan politik. Jadi, paradigma ini dimaksudkan untuk menegaskan peran pemerintah dalam ekonomi pasar. Kinerja ekonomi dibangun melalui penataan kelembagaan yang kuat yang dilakukan oleh pemerintah. Ini biasa dikenal dengan proses pembangunan ekonomi terrencana. Pemerintah menyelenggarakan ekonomi terrencana ini melalui lembaga yang ditunjuk khusus yang bertanggung jawab atas tugas mengarahkan pembangunan itu sendiri, dan menjalankan beragam alat kebijakan untuk memastikan kegiatan bisnis tetap terpelihara dan terkelola dalam kerangka kepentingan nasional. Hal ini dianggap sebagai pra-syarat penting dalam mengelola proses pembangunan.


PENGALAMAN-PENGALAMAN DI ASIA TIMUR
Melihat penjelasan tentang konsep Developmetal State di atas, pada pembahasan ini akan melihat keberhasilan konsep Developmetal State yang berlaku di Asia Timur berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan oleh negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.

Menurut KS. Jomo, persoalan huru-hara keuangan di Asia Timur sudah mulai sejak pertengahan 1997 yang difokuskan pada persoalan sistem kapitalisme. Soal adanya krisis yang dimulai pada Juli 1997 disebabkan karena manajemen yang salah pada sektor ekonomi makro. Bagi Yogi Suwarno, untuk menggambarkan tentang Developmetal State maka pengalaman Jepang adalah contoh yang dapat menjelaskan cara kerja paradigma tersebut.

Beeson (2002) menjelaskan bahwa inti dari Developmental State Jepang adalah birokrasi yang berkompeten dan berkomitmen untuk mengimplementasikan proses pembangunan ekonomi yang terrencana. Di negara-negara tersebut, kapasitas negara (state capacity) mapan untuk melaksanakan kebijakan industri yang beragam. Mereka juga mempunyai birokrasi yang relatif efisien, serta diisi oleh staf yang termasuk bertalenta nasional dan terbaik. Lembaga birokrasi ini tidak hanya merekrut orang-orang yang bertalenta terbaik saja, tetapi juga mereka mampu memanfaatkan alat-alat kebijakan yang memberikan kepada mereka otoritas lebih terhadap dunia bisnis.

Di Jepang, Yogi Suwarno menjelaskan lebih lanjut, MITI dan Minister of Finance mempunyai kapasitas untuk mengendalikan tabungan domestik (domestic savings) untuk menyediakan kredit murah bagi industri-industri tertentu. Melalui cara ini, perencana Jepang mampu memandu proses industrialisasi sejak dini dan juga mendorong lebih banyak industri yang bernilai tinggi. Sedangkan industri yang sudah tua dipindahkan ke negara lain.

Pola intervensi negara ini telah ditiru oleh banyak negara dengan tingkat kesuksesan yang berbeda. Negara tetangga seperti Taiwan dan Korea meniru pengalaman Jepang lebih dini dan dapat dikatakan sukses. Sementara negara-negara Asia Tenggara meniru belakangan dengan hasil yang berbede-beda.

Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara, dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan kapasitas, akan tetapi mereka juga dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat terlambat. Oleh karena itu, efektivitas implementasi Developmental State pada sistem internasional yang sekarang menjadi perlu dikaji lagi.

Bagi KS. Jomo, ada beberapa hal mengapa Asia Timur secara natural berhasil dalam menerapkan sistem Developmetal State ini. Baginya ada beberapa poin utama. Pertama, kekuatan suatu rezim (state) merupakan unsur yang sangat penting untuk tawaran pembangunan di negara-negara Asia Timur (Anderson, 1998). Kedua, distribusi kekuasaan dan otonomi kepada para eksekutif yang ada di daerah, termasuk juga distribusi dalam pembuatan kebijakan seperti yang dilakukan oleh Jepang dan bahkan Thailand. Hal ini pun sangat berdampak baik bagi para investor asing.

Ketiga, bertentangan dengan prinsip neo-liberal bahwa mereka berkuasa atas pasar. Dalam hal ini, negara-negara di Asia Timur berprinsip bahwa pemerintah memiliki intervensi atas perkembangan ekonomi yang berjalan di negara mereka dan mereka sangat membatasi apa yang harus dilakukan oleh para investor.

Ketiga catatan di atas harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara di Asia Tenggara bahwa, dalam penerapan Developmetal State yang menjadi kunci utama adalah kekuatan negara atas pasar (market). Jika posisi negara sudah kuat, terutama peran lembaga eksekutif, maka pasar akan bisa dikendalikan dan hukum bisa diterapkan kepada para investor.

BEBERAPA CATATAN
Dari hasil diskusi yang diselenggarakan pada Jum’at (14/11/2008), ada beberapa catatan yang dianggap cukup penting terkait dengan perkembangan Developmetal State di negara-negara Asia Timur.

Pertama, paradigma Developmetal State akan sukses di negara-negara yang telah memiliki state capacity dalam pengelolaan political goods, seperti keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain sebagainya.

Kedua, posisi negara, terutama lembaga eksekutif (presiden, menteri) sangat kuat. Kelemahan di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia karena posisi lembaga eksekutif tidak kuat. Sebaliknya, yang memiliki kekuatan penuh ada di lembaga legislatif.

Ketiga, Developmetal State hanya akan berkembang di negara otoriter. Jika paradigma ini berkembang di negara demokratis, maka akan menemukan banyak kendala. Karena negara demokratis cenderung dekat dengan kapitalisme dan kapitalisme itu adalah tanda dari pasar bebas.

Keempat, birokrasi harus dijalankan secara efisien dengan menggunakan konsep governability. Konsep governability tidak mengedepankan high cost tetapi lebih pada bagaimana struktur dapat bekerja dengan sangat efisien dan biaya yang rendah.

Kelima, Di samping itu pula, negara-negara di Asia Timur memang telah maju sebelumnya dan menerapkan paradigma Developmetal State terlebih dahulu.


Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

15.36

Indonesia Pascaeksekusi Amrozi CS

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I yang terdiri dari Amrozi, Imam Samudera, dan Muchlas dilakukan oleh tim tembak dini hari pada Minggu, 9 November 2008. Tentunya beragam komentar muncul dari banyak kalangan terhadap eksekusi mati tersebut. Sebagian besar merasa lega atas eksekusi terutama dari pihak asing (terkhusus warga Australia) dan korban baik luar negeri maupun domestik, karena setimpal dengan perbuatan mereka. Tetapi sebagian yang lain menyesali bahkan tidak rela atas eksekusi itu. “Lebih baik dihukum seumur hidup, biar mereka menyesal atas perbuatannya,” ungkap salah seorang warga Australia di salah satu stasiun swasta.

Teror dari berbagai pihak baik menjelang eksekusi maupun setelah eksekusi terus bermunculan. Salah satu teror pun muncul dari situs internet luar negeri yang mengancam akan membunuh Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla jika eksekusi dilakukan. Tertangkap pula salah satu anggota jaringan teroris di Jakarta yang menyimpan rakitan bom. Belum lagi temuan-temuan lain yang sedang dalam proses pencarian tim pemerintah.

Negara pun seolah dibuat kalang kabut oleh segelintir orang yang menginginkan teror tetap terus berjalan. Apalagi salah satu harian nasional pernah mengambil headline yang berjudul ”Jakarta Siaga Satu”. Berita ini seolah membuat kesan, bahwa Jakarta dan negara sedang dalam keadaan kritis atau bencana. Padahal persoalannya hanya terkait dengan eksekusi terpidana bom bali Amrozi CS.

Indonesia Sebagai Failed State?

Lalu bagaimana kekuatan negara atas ancaman-ancaman yang muncul? Atau jangan-jangan negara sudah tidak berdaya atas ancaman-ancaman tersebut, sehingga ini merupakan tanda-tanda Indonesia sebagai failed state. Masih adakah masa depan Indonesia sebagai negara? Ada tiga indikasi bagaimana negara (state) tetap ada atau the end of state sebagaimana analisisnya Busan.

Pertama, idea of the state. Dikatakan ada atau tidaknya sebuah negara, ketika masih ada warganya yang berpikir tentang konsep Indonesia (the idea of Indonesia). Hal ini memang terkesan ideologis dan memang cara yang harus ditanamkan kepada warga negara Indonesia harus ideologis. Walaupun Indonesia sudah hancur dari segi fisik kepulauan ataupun tata administrasinya, tetapi ide tentang Indonesia masih ada di otak masing-masing warganya, maka Indonesia tetap dikatakan ada.

Dalam konteks ini, posisi negara tetap kuat atas ancaman teroris pascaeksekusi Amrozi CS. Karena itu, pelajaran-pelajaran tentang sejarah Indonesia ataupun ide-ide tentang kebangsaan harus ditanamkan kepada anak didik kita sejak dini, sehingga mereka merasa bangga memiliki Indonesia.

Kedua, organizational expression of the state. Keberadaan sebuah negara tetap eksis atau tidaknya bisa diukur dari apakah struktur negara masih berjalan atau tidak, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota, rumah sakit, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika fungsi-fungsi ini masih berjalan sebagaimana mestinya, maka Indonesia tetap strong state.

Karena itu, fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas harus diperkuat kembali barisannya serta melakukan koordinasi secara terus menerus untuk menanggapi isu-isu yang tidak jelas. Tentunya, peran struktur negara harus dimainkan dengan full strong terhadap pihak-pihak yang selama ini dianggap berpotensi untuk menghancurkan negara.

Ketiga, physical foundation of the state. Sebuah negara dikatakan ada jika memiliki batas teritorial yang jelas. Indonesia pun tentu memiliki batas teritorial yang jelas dengan negara-negara tetangga. Walaupun beberapa waktu yang lalu pernah konflik dengan Malaysia terkait kasus ambalat yang sempat mengancam kedaulatan Indonesia. Karena itu, pemerintah harus tegas melawan semua pihak yang ingin merampas batas teritorial Indonesia. Jangan dibiarkan begitu saja sehingga batas Indonesia secara perlahan-lahan habis dan akan terjadi konflik yang berkepanjangan di internal negara Indonesia sendiri.

Jika ketiga poin di atas tetap ada, maka Indonesia bukanlah sebagai failed state pascaeksekusi Amrozi CS. Hal serupa pun pernah diungkapkan oleh Jusuf Wanandi (2002), bahwa Indonesia bukan termasuk failed state. Ada beberapa alasan atas pernyataan Wanandi, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik adanya penyelesaian konflik di beberapa daerah secara demokratis, serta masih adanya ide tentang nasionalisme dan patriotisme.

Di samping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pascaeksekusi Amrozi CS. Pertama, memperkuat sektor keamanan dan pertahanan. SBY dan JK sebagai kepala negara berserta kabinet Indonesia bersatu harus melakukan koordinasi secara intensif dengan struktur-struktur yang ada baik dari tingkat pusat hingga kepala desa dan RT-RW. Ini sebagai kontrol atas segala bentuk perlawanan yang berpotensi menghancurkan negara. Pihak kepolisian pun harus secara cermat melakukan operasi di berbagai sudut negara, baik itu di terminal, stasiun, pelabuhan, dan sudut-sudut Indonesia yang dianggap berpotensi terjadinya teror.

Kedua, pemantauan terhadap kurikulum mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah harus mengontrol sistem yang berjalan di setiap sekolah dengan tujuan tidak adanya indikasi pada pemahaman yang ekstrimis. Ini bukan berarti kita menerapkan kembali sistem diktator seperti yang terjadi di era Orde Baru. Tetapi hanya sebatas kontrol yang dilakukan tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat, dan terkhusus pihak keluarga.

Ketiga, memperkuat leadership di berbagai sektor publik. Gaya kepemimpinan harus diperkuat lagi pada berbagai jabatan publik, terutama presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Jabatan-jabatan seperti ini harus memainkan peran yang cerdas, tegas/tidak plin-plan, berpihak kepada yang tertindas, serta berani mengambil risiko atas keputusan yang telah dibuatnya. Bahkan nyawa dan keluarga pun harus siap dipertaruhkan atas jabatan publik yang diembannya. Karena itu, jabatan bukanlah santapan empuk yang diperebutkan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Jangan ada indikasi failed state terhadap Indonesia hanya gara-gara segelintir orang. Gunakan kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia, karena rakyat selalu berada di depan untuk segenap tumpah darah negeri ini.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I yang terdiri dari Amrozi, Imam Samudera, dan Muchlas dilakukan oleh tim tembak dini hari pada Minggu, 9 November 2008. Tentunya beragam komentar muncul dari banyak kalangan terhadap eksekusi mati tersebut. Sebagian besar merasa lega atas eksekusi terutama dari pihak asing (terkhusus warga Australia) dan korban baik luar negeri maupun domestik, karena setimpal dengan perbuatan mereka. Tetapi sebagian yang lain menyesali bahkan tidak rela atas eksekusi itu. “Lebih baik dihukum seumur hidup, biar mereka menyesal atas perbuatannya,” ungkap salah seorang warga Australia di salah satu stasiun swasta.

Teror dari berbagai pihak baik menjelang eksekusi maupun setelah eksekusi terus bermunculan. Salah satu teror pun muncul dari situs internet luar negeri yang mengancam akan membunuh Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla jika eksekusi dilakukan. Tertangkap pula salah satu anggota jaringan teroris di Jakarta yang menyimpan rakitan bom. Belum lagi temuan-temuan lain yang sedang dalam proses pencarian tim pemerintah.

Negara pun seolah dibuat kalang kabut oleh segelintir orang yang menginginkan teror tetap terus berjalan. Apalagi salah satu harian nasional pernah mengambil headline yang berjudul ”Jakarta Siaga Satu”. Berita ini seolah membuat kesan, bahwa Jakarta dan negara sedang dalam keadaan kritis atau bencana. Padahal persoalannya hanya terkait dengan eksekusi terpidana bom bali Amrozi CS.

Indonesia Sebagai Failed State?

Lalu bagaimana kekuatan negara atas ancaman-ancaman yang muncul? Atau jangan-jangan negara sudah tidak berdaya atas ancaman-ancaman tersebut, sehingga ini merupakan tanda-tanda Indonesia sebagai failed state. Masih adakah masa depan Indonesia sebagai negara? Ada tiga indikasi bagaimana negara (state) tetap ada atau the end of state sebagaimana analisisnya Busan.

Pertama, idea of the state. Dikatakan ada atau tidaknya sebuah negara, ketika masih ada warganya yang berpikir tentang konsep Indonesia (the idea of Indonesia). Hal ini memang terkesan ideologis dan memang cara yang harus ditanamkan kepada warga negara Indonesia harus ideologis. Walaupun Indonesia sudah hancur dari segi fisik kepulauan ataupun tata administrasinya, tetapi ide tentang Indonesia masih ada di otak masing-masing warganya, maka Indonesia tetap dikatakan ada.

Dalam konteks ini, posisi negara tetap kuat atas ancaman teroris pascaeksekusi Amrozi CS. Karena itu, pelajaran-pelajaran tentang sejarah Indonesia ataupun ide-ide tentang kebangsaan harus ditanamkan kepada anak didik kita sejak dini, sehingga mereka merasa bangga memiliki Indonesia.

Kedua, organizational expression of the state. Keberadaan sebuah negara tetap eksis atau tidaknya bisa diukur dari apakah struktur negara masih berjalan atau tidak, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota, rumah sakit, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika fungsi-fungsi ini masih berjalan sebagaimana mestinya, maka Indonesia tetap strong state.

Karena itu, fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas harus diperkuat kembali barisannya serta melakukan koordinasi secara terus menerus untuk menanggapi isu-isu yang tidak jelas. Tentunya, peran struktur negara harus dimainkan dengan full strong terhadap pihak-pihak yang selama ini dianggap berpotensi untuk menghancurkan negara.

Ketiga, physical foundation of the state. Sebuah negara dikatakan ada jika memiliki batas teritorial yang jelas. Indonesia pun tentu memiliki batas teritorial yang jelas dengan negara-negara tetangga. Walaupun beberapa waktu yang lalu pernah konflik dengan Malaysia terkait kasus ambalat yang sempat mengancam kedaulatan Indonesia. Karena itu, pemerintah harus tegas melawan semua pihak yang ingin merampas batas teritorial Indonesia. Jangan dibiarkan begitu saja sehingga batas Indonesia secara perlahan-lahan habis dan akan terjadi konflik yang berkepanjangan di internal negara Indonesia sendiri.

Jika ketiga poin di atas tetap ada, maka Indonesia bukanlah sebagai failed state pascaeksekusi Amrozi CS. Hal serupa pun pernah diungkapkan oleh Jusuf Wanandi (2002), bahwa Indonesia bukan termasuk failed state. Ada beberapa alasan atas pernyataan Wanandi, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik adanya penyelesaian konflik di beberapa daerah secara demokratis, serta masih adanya ide tentang nasionalisme dan patriotisme.

Di samping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pascaeksekusi Amrozi CS. Pertama, memperkuat sektor keamanan dan pertahanan. SBY dan JK sebagai kepala negara berserta kabinet Indonesia bersatu harus melakukan koordinasi secara intensif dengan struktur-struktur yang ada baik dari tingkat pusat hingga kepala desa dan RT-RW. Ini sebagai kontrol atas segala bentuk perlawanan yang berpotensi menghancurkan negara. Pihak kepolisian pun harus secara cermat melakukan operasi di berbagai sudut negara, baik itu di terminal, stasiun, pelabuhan, dan sudut-sudut Indonesia yang dianggap berpotensi terjadinya teror.

Kedua, pemantauan terhadap kurikulum mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah harus mengontrol sistem yang berjalan di setiap sekolah dengan tujuan tidak adanya indikasi pada pemahaman yang ekstrimis. Ini bukan berarti kita menerapkan kembali sistem diktator seperti yang terjadi di era Orde Baru. Tetapi hanya sebatas kontrol yang dilakukan tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat, dan terkhusus pihak keluarga.

Ketiga, memperkuat leadership di berbagai sektor publik. Gaya kepemimpinan harus diperkuat lagi pada berbagai jabatan publik, terutama presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Jabatan-jabatan seperti ini harus memainkan peran yang cerdas, tegas/tidak plin-plan, berpihak kepada yang tertindas, serta berani mengambil risiko atas keputusan yang telah dibuatnya. Bahkan nyawa dan keluarga pun harus siap dipertaruhkan atas jabatan publik yang diembannya. Karena itu, jabatan bukanlah santapan empuk yang diperebutkan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Jangan ada indikasi failed state terhadap Indonesia hanya gara-gara segelintir orang. Gunakan kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia, karena rakyat selalu berada di depan untuk segenap tumpah darah negeri ini.

Ridho Al-Hamdi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

13.37

Selamat Datang Gerakan Pelajar Baru "IPM"

Awal kelahirannya bernama ”Ikatan Pelajar Muhammadiyah”, pada tanggal 18 Juli 1961 di Surakarta. Di tengah perjalanan rezim Orde Baru yang begitu diktator, nama IPM harus berganti menjadi ”Ikatan Remaja Muhammadiyah” tahun 1992 untuk menyelamatkan eksistensi gerakan ini. Karena kalau tidak berubah, IPM akan dibekukan. Bagi pemerintah saat itu, satu-satunya organisasi pelajar yang diakui hanyalah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).
Kemudian, ketika rezim Orde Baru telah tumbang, 1998, muncul keinginan dari berbagai kalangan untuk mengembalikan nama IRM menjadi IPM. Namun dari setiap Muktamar ke Muktamar, baik itu Muktamar di Jakarta (2000), Muktamar di Yogyakarta (2002), hingga Muktamar di Lampung (2004), masih belum menemukan titik terang. Permusyawaratan seperti ”bola liar” yang tidak ada pawangnya. Barulah titik terang itu sedikit ada pada Muktamar Medan (2006) dengan dibentuknya ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM dan kemungkinan perubahan nama.
Di tengah perjalanan IRM di bawah kepemimpinan Moch. Mudzakkir (Ketua Umum PP IRM) inilah, nama IPM secara resmi disahkan pada Muktamar Solo Jawa Tengah, 23-28 Oktober 2008. Tentunya perubahan nama itu tidak sekadar perubahan fisik seperti lambang, badge, maupun stempel. Tetapi perubahan harus kita tunjukkan secara paradigmatik. Maka dari itu, tim materi Muktamar kali ini telah merumuskan konstitusi baru IPM yang nantinya akan dijadikan panduan oleh seluruh pimpinan, kader, anggota, dan simpatisan IPM di mana pun mereka berada.
Konstitusi baru IPM tersebut secara sederhana bisa terbagi menjadi dua kategori. Pertama bisa disebut sebagai landasan idiil dan kedua bisa disebut sebagai landasan operasional. Kategori pertama terdiri dari Muqaddimah IPM, Kepribadian IPM, Strategi Perjuangan IPM, dan Agenda Aksi IPM. Kategori kedua terdiri dari AD/ART IPM, Struktur Pimpinan IPM, serta Kebijakan dan Program-program Bidang IPM. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Muqaddimah Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Muqaddimah merupakan pembuka ideologi IPM yang dijadikan landasan utama IPM dalam berjuang dan dalam menyusun konstitusi yang ada. Dalam Muqaddimah ini muatan awal dimulai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terdiri dari QS. Al-Fatihah, QS. Ali Imran ayat 104 dan 110, QS. Al-Hasyr ayat 18, QS. Al-Isra’ ayat 36, dan QS. Ar-Ra’d ayat 11. Keenam jenis ayat tersebut merupakan sikap yang diambil oleh IPM untuk melandasi setiap gerak langkah perjuangannya.
Setelah itu, barulah dijelaskan mengenai sejarah dan perkembangan IPM dari awal kelahiran hingga perkembangannya saat ini. Kemudian, di akhir Muqaddimah dirumuskan nilai-nilai dasar Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang terdiri dari lima butir: Nilai Keislaman, Nilai Keilmuan, Nilai Kekaderan, Nilai Kemandirian, dan Nilai Kemasyarakatan.
2. Kepribadian Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Kepribadian ini menjelaskan tentang sosok IPM sebagai organisasi yang berbasiskan pelajar. Karena itu, IPM didefinisikn sebagai gerakan Islam amar makruf nahi munkar di kalangan pelajar yang tertuju pada dua bidang, perorangan dan masyarakat.
Kemudian dijelaskan pula tentang Dasar dan Amal Perjuangan IPM yang memuat lima poin. Pertama, IPM sebagai gerakan dakwah di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai gerakan kader di kalangan pelajar. Ketiga, IPM sebagai gerakan keilmuan di kalangan pelajar. Keempat, IPM sebagai ortom Muhammadiyah di kalangan pelajar. Kelima, IPM sebagai organisasi independen di kalangan pelajar.
Pada bagian akhir, dirumuskan ulang tentang Janji Pelajar Muhammadiyah yang memuat enam pernyataan. Pertama, berjuang menegakkan ajaran Islam. Kedua, hormat terhadap orang tua dan guru. Ketiga, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Keempat, bekerja keras, mandiri, dan berprestasi. Kelima, rela berkorban dan menolong sesama. Keenam, siap menjadi kader Muhammadiyah dan bangsa.
3. Strategi Perjuangan dan Agenda Aksi IPM
Strategi perjuangan ini merupakan senjata bagi IPM untuk melancarkan aksi-aksinya terhadap para pelajar. Harapannya, dengan adanya strategi ini IPM bisa diterima oleh para pelajar di mana pun mereka berada. Strategi perjuangan IPM itu terdiri dari enam macam: Strategi Gerakan Keislaman, Strategi Gerakan Kader, Strategi Gerakan Intelektual, Strategi Gerakan Budaya, Strategi Gerakan Kewirausahaan, dan Strategi Gerakan Kemasyarakatan.
Setelah dirumuskan strategi perjuangan, maka perlu ada agenda aksi sebagai bentuk konkrit kegiatan IPM. Adapun bentuk aksi yang bisa dilakukan ada enam bentuk: Pengajian Islam Rutin (PIR), Sekolah Kader, Gerakan Iqra, Gerakan Budaya Tanding, Gerakan Kewirausahaan, dan Gerakan Advokasi Pelajar (GAP). Tentunya keenam agenda aksi tersebut memiliki bentuk kegiatannya masing-masing dengan ciri khasnya yang berbeda-beda.
4. AD/ART IPM
Ada beberapa perubahan yang terjadi dalam AD/ART selain perubahan istilah dari IRM menjadi IPM. Pertama, maksud dan tujuan IPM sekarang dirumuskan menjadi “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Kedua, tentang syarat berdirinya Ranting, Cabang, Daerah, dan Wilayah perlu diperketat lagi dengan klausul yang telah dijelaskan di AD/ART. Hematnya, jika ada Cabang atau Daerah yang tidak memenuhi syarat untuk berdiri, maka tidak ada surat keputusan tentang berdirinya Cabang atau Daerah tersebut.
Ketiga, tentang batas umur pimpinan. Di ART pasal 25 dijelaskan bahwa batas maksimal pengurus Ranting adalah 20 tahun atau hingga masa kelulusan SMA pada saat Musyran. Sedangkan batas maksimal pengurus Cabang dan Daerah adalah 22 tahun pada saat Musycab dan Musyda. Untuk Wilayah dan Pusat, batas maksimal pengurusnya adalah 24 tahun pada saat Musywil dan Muktamar.
Keempat, tentang distribusi Iuran Anggota dan Uang Pangkal (IA/UP). Jika di aturan lama distribusi IA/UP diberlakukan dari Ranting hingga Pusat, maka pada periode pascamuktamar Solo, distribusi IA/UP cukup dari Ranting hingga Daerah. Alasannya, Wilayah dan Pusat tidak secara langsung membina IPM Ranting, sehingga IPM cukup mengoptimalkan Daerah untuk langsung terjun melakukan pembinaan ke Ranting. Selain itu, agar pendanaan Daerah bisa lebih optimal dalam memberdayakan Ranting.
Selain itu, tetap ada perubahan-perubahan yang terjadi pada permusyawaratan baik dari Musyran hingga Muktamar. Semua perubahan tentu demi kebaikan gerakan IPM ke depan.
5. Struktur Pimpinan dan Kebijakan Program-Program Bidang IPM
Secara umum, struktur IPM tidak jauh berbeda dengan struktur sebelumnya. Sifat kepemimpinan di IPM adalah desentralisasi. Artinya, dalam melaksanakan dan memutuskan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama dengan penuh pertimbangan.
Namun ada beberapa perubahan nama bidang. Nama Bidang KPSDM berganti menjadi Bidang Perkaderan. Bidang Studi dan Dakwah Islam (SDI) berganti menjadi Kajian dan Dakwah Islam (KDI). Bidang Apresiasi Seni, Kebudayaan, dan Olahraga (ASKO) berganti menjadi Apresiasi Seni, Budaya, dan Olahraga (ASBO). Bidang Hikmah dan Advokasi (HA) berganti menjadi Bidang Advokasi. Untuk Bidang Kewirausahaan hanya ada di Ranting. Sedangkan untuk struktur di atasnya cukup dibentuk lembaga kewirausahaan di bawah koordinasi bendahara.
Adapun kebijakan-kebijakan program per bidangnya bisa dilihat di materi Muktamar (www.irm.or.id). Secara garis besar, program per bidang tetap mengacu pada strategi dan agenda aksi yang telah dirumuskan sebelumnya. Harapannya, dari satu periode ke periode selanjutnya, program-program yang diselenggarakan IPM bisa berkesinambungan (sustainablity program).
Selain materi di atas, ada beberapa rekomendasi yang harus dilakukan oleh beberapa pihak setelah IPM resmi disahkan pada Muktamar Solo. Kepada seluruh jajaran IPM dari Pusat hingga Ranting dan juga kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah, untuk mensosialisasikan perubahan nama ini secara serentak. Perubahan itu tentu diikuti dengan perubahan seluruh administrasi dalam IPM, begitu juga program dan kegiatannya.
Kepada Majelis Dikdasmen dari Pusat hingga Daerah, untuk mengawal perubahan nama ini dengan memberlakukan aturan bahwa satu-satunya organisasi pelajar intra sekolah yang diakui di sekolah Muhammadiyah hanyalah IPM. Karena itu, tidak ada lagi OSIS di sekolah Muhammadiyah.
Kepada PP IPM yang terpilih, untuk segera merumuskan ulang Panduan Pengelolaan Ranting dan Fortasi bagi siswa baru, serta Sistem Perkaderan IPM (SPI). Hal yang paling penting yang juga menjadi rekomendasi pada Muktamar ini adalah berdirinya Forum Guru Muhammadiyah (FGM). Harapan dengan berdirinya FGM ini, para guru di sekolah Muhammadiyah memiliki wadah untuk mengorganisir kepentingan dan hak-haknya dalam berjuang di amal usaha Muhammadiyah.
Dengan perubahan-perubahan di atas, diharapkan IPM ke depan menjadi lebih dinamis dan dekat dengan pelajar. Sukses selalu untuk IPM baruku dan selamat bermuktamar.
Ridho Al-Hamdi
Ketua PP IRM dan Ketua Tim Materi
Muktamar XVI IRM di Solo

13.16

Papua: Malam Kayak Hong Kong, Pagi Jadi Singkong

Saat menulis catatan ini, penulis berpikir kalau rentang waktu yang ditulis antara data (saat berkunjung ke Jayapura) dengan tulisan ini sangat jauh. Sudah setahun lebih (sejak Maret 2007) penulis berkunjung ke belahan Indonesia bagian timur itu, ketika ada tugas organisasi untuk mengawal proses musyawarah IRM Papua. Dalam sidang redaksi, diputuskan bahwa persoalan waktu bukanlah menjadi alasan utama sebuah tulisan tidak layak baca. Yang penting adalah pesan mendalam yang hendak disampaikan pada tulisan tersebut. Dari kesepakatan itulah tulisan ini lahir.

Masih tersimpan dalam ingatan, kunjungan ke Papua itu terjadi seminggu setelah terbakarnya pesawat Garuda di Bandara Adisucipto Yogyakarta (7/3/2007). Tentunya rasa khawatir terhadap jenis transportasi udara ini sempat menyelimuti pikiran penulis saat di udara bersama pesawat Merpati. Perjalanan di udara yang menghabiskan sekitar enam jam itu sempat transit di Makassar dan Timika.

Ketika detik-detik pendaratan (landing) di Bandara Sentani Jayapura, penulis melihat negeri Papua dari atas. ”Begitu luas, banyak pegunungan, awan, ada pula danau-danau kecil, dan rumah-rumah di pinggir sungai,” ingatku. Perjalanan dari bandara menuju lokasi masih menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Untuk beberapa hari, penulis tinggal di kompleks perumahan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kebetulan saat itu MUI Papua sedang menyelenggarakan pelatihan Dai Se-Papua selama enam bulan alias setengah tahun.

”Waw, ini sangat fantastis,” ungkapku kepada salah satu panitia ketika kutanya tentang kegiatan selama di MUI tersebut. Peserta yang hadir adalah utusan masing-masing daerah Se-Provinsi Papua. Sebagian besar dari mereka orang Muhammadiyah. Karena itu, mereka juga membawa anal-anak dan istrinya ke lokasi acara. ”Kayak mau pindah rumah aja,” gumamku saat itu.

Inilah pertama kalinya penulis menginjakkan kaki di tanah Papua. Dulu ketika SD, penulis hanya bisa menggambar peta Papua di atas kertas dan hanya bisa membayangkan apakah mungkin akan bisa ke sana. Tapi mimpi-mimpi itu berbalik menjadi kenyataan. Penulis pun jadi teringat dengan pepatah, bermimpilah kamu, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.ternyata, untuk keliling Indonesia tidak harus menjadi presiden. Tapi di IRM saja sudah cukup untuk mengenal Indonesia dan keragamannya.

Masyarakat yang tinggal di kota itu cukup multietnik, seperti layaknya di kota-kota besar lainnya. Penduduknya sudah majemuk. Banyak juga orang Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Bahkan ketua PWM Papua saja asli dari Palembang, Sumatera Selatan. Hanya saja, sebagian dari mereka masih ada yang keturunan Papua. Selain itu, gaya hidup mereka sudah modern. Pakaian mereka layaknya pakaian yang dipakai masyarakat pada umumnya. Toko-toko dan pasar pun sudah ramai. Namun harga-harga di sana relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga-harga di Yogyakarta.

Penulis masih ingat, ketika makan ikan bawal bakar di pinggiran pelabuhan Jayapura. Satu porsi harganya 40 ribu. Itu sudah dengan minuman dan sayuran lainnya. Menunya lumayan lengkap. Jika harga tersebut dibandingkan dengan harga di Yogyakarta, sangat jauh berbeda. Di Yogyakarta uang 10 ribu sudah cukup untuk itu semua.

Di tengah-tengah acara musyawarah tersebut, penulis juga bertemu dengan wakil bupati Kota Jayapura yang juga orang Muhammadiyah dan masih memiliki rumah di Maguwoharjo, Sleman. Kebetulan anaknya kuliah di UGM. Selain itu, penulis juga berkunjung ke sekolah Muhammadiyah Kota Jayapura. Ini satu-satunya SMA Muhammadiyah di Kota Jayapura. Letaknya satu kompleks dengan kampus STIKOM (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Jayapura. Di samping itu, Muhammadiyah Kota Jayapura memiliki juga TK, SMP, dan panti asuhan Muhammadiyah. Lokasi antara satu dengan yang lainnya saling berdekatan.

Kepala sekolah SMA-nya bernama Ahmad Dahlan. Penulis diminta untuk memberikan pengajian umum di lapangan setelah mereka berolah raga. Mereka sangat antusias dengan apa yang penulis sampaikan. Ketika diajak untuk menyanyikan lagu Sang Surya, sebagian besar mereka bisa menyanyikannya. Lebih herannya lagi, ada beberapa siswa yang beragama non-Islam bisa menyanyikannya dengan suara lantang di bagian paling depan.

Ketika penulis bertanya tentang agama siswa di sekolah tersebut, maka Pak Dahlan menjelaskan, sekitar 10 persen lebih siswanya beragama non-Islam. ”Mereka tidak berpikir ini sekolah Islam atau tidak, Mas. Tapi kualitas dan alumninya,” terangnya. ”Atau bisa saja, karena mereka kejauhan saat memilih sekolah lain, akhirnya memilih SMA Muhammadiyah dengan alasan dekat dengan rumah mereka,” tambahnya sembari tertawa bersama.

Hal ini pun terjadi juga di kampus STIKOM yang 80 persen mahasiswanya beragama non-Islam (pernah ditulis di majalah ini juga). ”Kita tidak bisa menolak mereka, Mas. Justru keuangan yang lancar dari mereka yang non-Islam itulah,” cerita Pak Nur, Rektor III STIKOM Jayapura. Hal ini pun sebenarnya terjadi juga di Kupang, NTT.

Dari pengalaman ini, penulis berpikir bahwa Muhammadiyah memang sangat besar dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Inilah wajah Muhammadiyah yang rahmatan lil ’alaimin (bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama, dan ras). Cita-cita ini sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (the real Islamic sociecity).

Muhammadiyah tidaklah berwajah sangar/penuh kekerasan. Ia juga tidak suka memaksa orang untuk sesuai dengan keinginannya. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mengajak siapa saja untuk saling menghormati perbedaan, toleransi terhadap beda keyakinan, serta tidak menyelesaikan persoalan melalui jalur kekerasan. Muhammadiyah, seperti yang pernah dinyatakan oleh Prof. Dr. HM. Dien Syamsuddin, MA, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sangat mengecam terhadap segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan atas nama organisasi apa pun.

Muhammadiyah Papua memberi pengalaman berharga kepada kita semua, bahwa perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk berdakwah. Justru di situlah, Muhammadiyah membuktikan dirinya untuk bisa bermanfaat (useful) bagi siapa saja.

Selama tinggal di Jayapura, penulis selalu melihat pegunungan tinggi yang penuh dengan rumah dan pepohonan lebat. Banyak bangunan rumah yang terletak di lereng-lereng gunung. Saat malam hari, penulis pernah diajak jalan-jalan keliling Kota Jayapura. Di suatu tempat, penulis berhenti dan mengamati Kota Jayapura dari ketinggian. Tiba-tiba suara Pak Nur muncul. ”Mas, Papua ini kalau malam kayak Hong Kong, tapi kalau siang kayak singkong,” ungkapnya sembari tertawa kecil. Penulis pun langsung paham dengan pernyataan tersebut.

Saat malam hari, Jayapura (yang mencerminkan ibu kota Papua) diterangi lampu-lampu kecil baik di lereng-lereng gunung maupun di pusat peradabannya (pasar dan bangunan kota). Jadi, Jayapura seperti dikelilingi kunang-kunang di setiap sudut gunung. Sedangkan di siang hari, segala jenis pepohonan terlihat besar dan menjadi pemandangan yang masih alami.

Selain itu, penulis juga sempat heran ketika salah seorang panitia mencarikan taksi untuk menghantarkan kepulangan penulis. Soalnya, selama di Papua penulis belum pernah melihat taksi. Pikir penulis, mungkin taksi di sini sangat spesial dan hanya untuk orang-orang tertentu. Tetapi jenis taksi yang dimaksud di Papua adalah mobil angkot kecil alias mikrolet. ”Ya Allah. Kirain apaan,” gumamku sambil tersenyum ketika panitia mempersilahkan penulis untuk menaiki taksi yang dimaksud bersama beberapa panitia lain yang ikut menghantarkanku ke bandara. Sepanjang perjalanan itu pula, banyak rumah di pinggir laut (kebetulan jalur darat satu-satunya terletak di pinggir laut).

Banyak hal yang membuat pengalaman penulis bertambah. Keanekaragaman, perbedaan konsep tentang sesuatu, semangat, dan penghormatan terhadap tamu. Semua itu tentunya didapatkan di Muhammadiyah saat pergi ke Papua.

Ridho Al-Hamdi

20.19

Say No to Fuel Price Increase

Ridho Al-Hamdi, Chairman at Central Board of Muhammadiyah Student Association

On Friday evening (May, 23rd 2008) our government decided again, that fuel (BBM) price is increasing by 28,7 percent. Previously, in SBY-JK era, fuel price increases happened twice, first on March, 1st 2005 and second on October, 1st 2005. At the limited conference led by Minister of Finance, Sri Mulyani, in the office of Minister of Coordinator for Economics at Banteng Court Area, Central Jakarta, a decision on fuel price increases was submitted by Minister of Energy and Human Resources, Purnomo Yusgiantoro.

For now, the premium price is Rp 6,000 previously Rp 4,500 in October 2005 and Rp 2,400 in March 2005. Gasoline becomes Rp 5,500 previously Rp 4,300 in October 2005 and Rp 2,100 in March 2005. Kerosene becomes Rp 2,500 previously Rp 2,000 in October 2005 and Rp 700 in March 2005.

After this decision, our national politics becomes heated. Many people from various groups criticize and demonstrate in the street. One demonstration extended along HI circle to the President’s palace. They were organized by Young Men’s Activator Network, Student Action Front, Front of Farmer Evocation and Fisherman, Commission of Indonesia Paupers for Justice, and Indonesia Impecunious People’s Association. The demonstration finished in chaos. The police arrested many people among the demonstrators.

The other demonstration happened in front of Indonesia’s parliament (DPR RI) by several students. The action finished in chaos and there were three students injured. On Friday afternoon, before the decision on fuel price increases, hundreds of UNAS students met in their campus in Pasar Minggu area, South Jakarta. The students blockaded Pajaten Raya road for their action. After this occurrence, there was a clash between students and police. This caused FISIPOL UNAS building to be damaged. In this occurrence too, there were 141 students brought to the police office. The same demonstration happened in other areas like Yogyakarta and Makassar.

Many rejection came from whoever, such us political observers, economic scientists, activists, political parties, NGOs (non-government organization), etc. There are some people that according to palace perspective reject fuel price increases, such us Rizal Ramli (former Minister for Economic Coordination in Gus Dur era), Wiranto (General Chairman of Hanura Party), and Fuad Bawazir (former Minister of Finance). But our government still persists with their decision, there are even some parties supporting this decision.

As you know, fuel price increases cause our transportation price to increase. Almost all transportation becomes more expensive, like train, bus, plane, even ojek (motorcycle) and pedicab. So, this policy can not make our life becomes comfortable. The next question is what is the impact of fuel price increases on students in Junior and High School? It must be answered.

There are several impacts of fuel price increases on our students. First, the transportation price becomes expensive. If we take a bus (like Kopaja, Kopata, or Mickrolet), we must pay almost twice as much. On the other hand, if we take a motorcycle, we must pay more to buy gasoline. So, we must scrimp when we spend our money. Second, book prices increase. When we buy books, sometimes we must think again, again, and again. Will our money be enough for several days after we buy those books? Huh, we are confused by this policy. A policy which does not advocate to people. Therefore, we must say no to fuel price increases.

11.02

Pelatihan Kader TMU Tingkat Nasional di Lampung

Pimpinan Pusat IRM sukses menyelenggarakan Pelatihan Kader Paripurna Tingkat Nasional Taruna Melati Utama pada tanggal 1-12 Juli 2008. Bertindak sebagai tuan rumah dalam pelatihan ini adalah PW IRM Lampung dengan mengambil lokasi acara di Villa 21 Gisting, Tanggamus.

Acara yang dibuka oleh Drs. Dahlan Rais (Sekretaris PP Muhammadiyah) ini mengambil tema ”Menafsir Gerakan Pelajar Baru di Era Globalisasi”. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan baik NU, Muhammadiyah, maupun masyarakat dan pejabat daerah setempat. Acara ini menghadirkan pembicara dari berbagai tokoh tingkat nasional. Diantaranya Dr. Haedar Nashir, M.Si. (Ketua PP Muhammadiyah), M. Busyro Muqoddas, M.Hum. (Ketua Komisi Yudisial RI), Zulkifli Hassan (Sekjen DPP PAN dan Ketua Fraksi PAN DPR RI), Triaswati (Sekretaris PP Aisyiah), Imam Cahyono (Project Officer Globalisasi The Prakarsa Jakarta), dan Joko Sustanto dkk (Maarif Institute).

Tema sentral dalam pelatihan ini adalah globalisasi. Artinya, globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang harus segera direspon oleh IRM atau IPM ke depan. Karena kalau tidak, kita akan tertinggal oleh kereta api zaman yang melaju dengan cepat. Ada empat kelompok materi yang dibahas secara berkesinambungan.

Pertama, membahas tentang apa itu globalisasi yang mengakibatkan dua arus utama, fundamentalisme agama (Islam Transnasional) dan fundamentalisme pasar (neoliberalisme). Melihat fenomena ini, apa yang harus disikapi oleh Muhammadiyah dan IRM? Tentunya, IRM tidak terjebak pada salah satu arus dari kedua arus yang ada. Tetapi bisa berpikir kritis dan bertindak tepat terhadap globalisasi yang merupakan sebuah ancaman sekaligus sebuah tantangan.

Kedua, membahas tentang apa yang harus dilakukan oleh IRM sebagai gerakan Islam yang berbasis pelajar terhadap neoliberalisme dan Islam Transnasional. Karena itu, IRM harus menjadi gerakan pelajar kritis dan tentunya berpihak pada pelajar. Karena itu, sejak sekarang IRM harus mempersiapkan strategi perjuangannya beserta agenda aksinya.

Ketiga, membahas tentang kefasilitatoran. Materi ini menjadi salah satu materi penting sebagai dasar bagi aktor-aktor IRM dalam mendesain dan mengelola sebuah pelatihan di wilayahnya, terutama di setiap perkaderan-perkaderan yang ada.

Keempat, membahas tentang agenda aksi. Untuk merespon globalisasi, IRM telah menyiapkan agenda aksi yang terdiri dari 6 jenis: Pengajian Islam Rutin (PIR), Sekolah Kader, Gerakan Iqra, Gerakan Budaya Tanding, Gerakan Kewirausahaan, dan Gerakan Advokasi Pelajar (GAP). Harapannya, keenam agenda aksi ini mampu membentengi nilai-nilai yang terkandung dalam maksud dan tujuan IRM tanfidz Medan (terbentuknya remaja muslim yang berakhak mulia, berilmu, dan terampil).

Selain itu juga, para peserta diajak untuk mengunjungi tiga lokasi yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap globalisasi. Pertama, pesantren salafi sebagai bentuk pertahanan ideologi Islam di tengah ideologi pasar-kapitalis. Kedua, pabrik pembuat tahu sebagai respon atas banyaknya menu-menu barat yang berorientasi hedonis (glamour). Ketiga, paguyuban seni reog sebagai lawan atas budaya pop yang semakin lama semakin mengikis budaya lokal.

Dengan materi-materi di atas, TMU kali ini menjadi starting point menuju perubahan nama menjadi Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM) yang akan dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 2008 saat Muktamar di Solo. Lampung telah menjadi saksi sekaligus tempat bersejarah atas perubahan nama itu.

Ridho Al-Hamdi

Ketua Pimpinan Pusat IRM

17.00

Our Real Education Face

“The teacher is admired and imitated”. It’s old aphorism which always enters people’s discussions. The duty of teacher is very weighty. He must teach, guide, instruct, and also understand child growth during in the school. The teacher’s duty is double burden.

The teacher figure must be a good figure for all students in school. According to students, if the teacher can gives a good example, hence the student will say, that this teacher is very good. Meanwhile, if the teacher is not consistent and a bad example, hence the student will confront him. And then, the teacher will get a new sill.

Therefore, the duty of teacher is not only change a stupid child to clever child, but can change a demure child to a active child, and also give an understanding to all student how know reality intelligently. We must make a school as garden and also as medium to learn to understand how to advocate the truth. The teacher’s duty is a holy duty which still underestimated.

The basic problem is we think about things only for a short time. We work, hence we are paid. According to some us, a teacher only teaches in the classroom and gives some exercises. Afterwards, we leave and go back to home. If the student criticizes to teacher or doesn’t finish some exercises, hence they are get some punishments such as running around a field, washing bathroom, push up, or being expelled from class.

The teacher is teaching and the student is learning. The teacher is knowing every things and the student not know anything. The teacher is thinking and the student is thought. The teacher is speaking and the student is listening. The teacher is arranging and the student is arranged. The teacher is doing and the student is imitate what which the teacher’s doing. The teacher is choosing some lessons which will taught and the student is adapting. The teacher is subject and the student is object.

We often hear ideas like above from Paulo Freire, a Brazil education thinker. He say, that education institute (read: school) gives two different matters, the teacher is king and the student is servant. So, the students is teacher’s slave.

We often also hear many cases about education realities in newspaper and also television. We can see sine cases, such as Oman, a student at elementary school of Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi. On Friday (6/4th/2004), he took rat poison, because he didn’t have money to pay the cost of UAN’s expense. The Oman’s case reminds us of Haryanto’s suicide case, a student at elementary school of Negeri Sandiang IV Garut, at 2003. Hariyanto tried to commit suicide because he could not pay the cost of extra-curricular classes, Rp. 2.500.

The our teachers not sensitive with child cases above. They always think, I teach, hence I get money. Therefore, we hope to our teachers can make education as medium to children characters building. Finally, the student will be able to differentiate between right and wrong.

There are three of primacy characteristics of education. First, learning from reality or experience. We learn not only theory, but also reality and experience in our society. Therefore, there are not more authority than other. Someone’s greatness can seen from his experiences in society, not from his good speaking. Second, there are not teacher and students. All party in education process is teacher and also students at the same time. Third, dialogue. We must communicate well using many activity (such as group discussion, role playing, etc) and also media (graphical and audio visual) which can allow effective discussion between participants.

Ridho Al-Hamdi

Chairman for Cadre and Human Resource Development at PP IRM