15.05

Sumpah Pemuda Jilid Dua

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa indonesia.”

Demikian bunyi teks sumpah pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada awal terbentuknya, sumpah pemuda bernama “Ikrar Pemuda”. Namun karena dianggap kurang memiliki kekuatan makna secara bahasa, akhirnya kata “ikrar” berganti menjadi “sumpah”. Ikrar hanya dimaknai sebagai janji tanpa ada konsekuensi, sedangkan sumpah mengandung konsekuensi tertentu jika tidak dilaksanakan.

Karena itu, sumpah harus diyakini sebagai sebuah janji bagi pemuda Indonesia kepada dirinya dan dunia atas trilogi kebersatuan Indonesia. Janji yang berkonsekuensi pada kesadaran atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa.

Kesadaran ini penting dipahami mengingat Indonesia merupakan negeri yang amat kaya serta memiliki aneka bahasa, ras, adat, dan agama. BJ Habibi mengatakan, negeri ini negeri maritim atau bahari, karena 60 persen wilayahnya dikelilingi lautan dan diapit oleh dua benua dan dua samudera. Pada situasi seperti ini, kita patut bangga. Negeri kita sudah memiliki perekat bahasa: bahasa Indonesia. Bayangkan jika bahasa pemersatu negeri kita adalah bahasa Jawa atau bahasa Lampung.

Terlepas dari kondisi di atas, ada hal lain yang patut dicermati pemuda. Dulu, common enemy bangsa kita adalah kolonial Belanda, Portugis, atau Jepang. Hanya dengan bambu runcing, penjajah bisa kita usir dari negeri ini. Apa kuncinya? Semangat nasionalisme. Lalu, apa common enemy Indonesia saat ini?

Jika kita mengatakan musuh kita sekarang adalah kemiskinan, maka siapa yang harus dilawan? Tidak jelas. Musuh tidak terdeteksi seperti pra-kemerdekaan. Karena memang musuh itu adalah diri kita sendiri. Akibatnya, nasionalisme mulai luntur dalam benak pemuda Indonesia.

Secara de jure, bangsa kita telah merdeka sejak 63 tahun yang lalu. Tetapi secara de facto kemerdekaan belum bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa ini. Masih banyak terjadi kekerasan dan penindasan baik secara fisik maupun mental. Belum lagi masih ada sebagian wilayah dan daerah di negeri ini yang belum merasakan adanya listrik layaknya di kota-kota besar. Kemakmuran dan kesejahteraan masih belum merata. Kalau demikian, apa negara kita layak dikatakan sebagai negara yang merdeka?
Ironis memang. Apalagi jika mengingat sejarah kemerdekaan Indonesia yang sudah tua tetapi rakyatnya masih belum terlepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Pemandangan dan cerita tetang busung lapar, keracunan, dan penindasan masih terdengar dari sudut-sudut di setiap daerah di negeri ini.

Bagi Ahmad Syafii Maarif, kerusakan negeri ini hampir sempurna. Kira rapuh dari dalam. Dan salah satu kerapuhan itu adalah menyusustnya semangat nasionalisme kepemudaan. Dewasa ini, pemuda mengalami perubahan tingkah laku, sikap sosial, dan pandangan hidup yang beralih pada cara berpikir dan bertindak instan serta serba politis.
Sikap kaum muda tersebut tertera dalah tiga F, yaitu food, fashion, dan fun. Food tercermin pada makanan seperti pizza hut, McDonald, KFC, Hamberger, dan lain sebagainya. Fashion terlihat dari merk-merk pakaian semisal celana jeans, sepatu, topi, hingga handphone, dan aksesoris lain yang made in Amarika. Kemudian, fun bisa kita jumpai di tempat-tempat hiburan, cafe, hingga lokasi prostitusi. Pemuda kita telah digiring ke arah yang demikian.

Jika generasi muda kita lemah, apa yang akan terjadi pada satu dasawarsa ke depan? Karena itu, sudah saatnya bangsa ini harus mempersiapkan pemuda-pemuda dengan semangat patriotisme. Kita harus mulai menengok ulang pada budaya-budaya lokal yang kini mulai ditinggalkan untuk kemudian dibangkitkan serta ditunjukkan kepada dunia bahwa inilah bangsa Indonesia. Kita harus bangga dengan produk-produk lokal. Di sinilah pemuda benar-benar diharapkan untuk membangun kembali komitmen dan integritas Indonesia.

Sekarang, kira harus mempersiapkan pemuda yang memiliki visi masa depan yang jelas, memiliki ketrampilan, pengetahuan, pandangan yang berorientasi produktif, kekuatan spiritual, serta mampu menguasai bahasa internasional. Lain dulu lain sekarang. Sumpah pemuda yang selama ini kita dengarkan perlu dikaji ulang untuk kemudian dikonstruksi kembali redaksi dan maknanya. Realitas dulu dan sekarang sudah pasti berbeda. Tentunya, sumpah pemuda harus berubah.

Kiranya, sekarang kita harus kembali bersama-sama merumuskan sumpah pemuda jilid dua untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme pada pemuda-pemudi dan seluruh tumpah darah Indonesia sebelum semuanya terlambat. ”Kami putra dan putri Indonesia cinta pada budaya dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia cinta pada produk dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia siap memberantas korupsi di dalam negeri”.

Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

0 komentar: