14.48

Is Muhammadiyah Collapse?

Geliat dan gesekan politik di Muhammadiyah pascareformasi semakin jelas dengan kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN), walaupun secara de jure tidak ada hubungan antara PAN dengan Muhammadiyah. Namun secara sosio-historis tidak bisa dinafikan bahwa Amin Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu (yang kemudian mengundurkan diri menjelang berdirinya PAN, 23 Agustus 1998) memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kader-kader Muhammadiyah. Bahkan Tanwir Muhammadiyah merekomendasikan Amin Rais sebagai kader terbaik untuk maju pada pemilihan capres tahun 2004.

Gesekan itu semakin bertambah ketika muncul kekecewaan dari sebagian kader muda Muhammadiyah terhadap perjuangan PAN yang dianggap tidak bisa membawa aspirasi dan kepentingan Muhammadiyah. Karena itu, digagaslah adanya Kongres Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tahun 2004 yang menghasilkan berdirinya Perhimpunan Amanah Muhammadiyah (PAM). Dari situlah, kemudian berujung pada lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) dengan kader yang mayoritas didominasi anak-anak muda Muhammadiyah.

Akhir-akhir ini, Muhammadiyah diributkan dengan munculnya iklan politik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) perihal dimunculkannya KHA Dahlan (pendiri Muhammadiyah), juga KH. Hasyim ’Asyari, Soeharto, dan beberapa nama lainnya sebagai tokoh bangsa. Berbagai kritikan menghujani PKS hingga dalih apa pun dijadikan sebagai pembenar atas tindakan mereka, bila perlu ayat suci Al-Qur’an dikeluarkan. Pepatah lama mengatakan, seribu alasan akan diungkapkan hanya untuk membenarkan sebuah premis awal.

Muhammadiyah dan AMM Sebagai Civil Society
Membaca dan menilai gerakan Muhammadiyah beserta AMM-nya (PM, NA, IMM, dan IPM), maka penulis memposisikannya sebagai civil society. Kehadiran mereka dalam konteks ini diletakkan sebagai ruang publik (public sphere) yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, seperti yang diungkapkan oleh Affan Gaffar (1999).

Karena itu, PM dan NA harus mampu mewakili aspirasi pemuda-pemudi yang ada di kampung/desa untuk melakukan upaya-upaya advokasi terhadap pemerintah. Begitu pula dengan IMM dan IPM yang harus mampu menjadi artikulator mahasiswa di kampus dan pelajar di tingkat sekolah. Terlepas dari kritik sejarawan Kuntowijoyo, bahwa klasifikasi ortom Muhammadiyah berdasarkan jenis kelamin, kita harus tetap yakin, bahwa AMM merupakan jembatan kuat untuk mewakili basis massanya.

Namun keyakinan yang selama ini dipegang kemudian dibenturkan dengan realitas, muncul sebuah pesimisme jika Muhammadiyah dan AMM-nya dianggap sebagai civil society, yang berujung pada terwujudnya masyarakat madani (beradab). Kita tidak bisa memungkiri, bahwa fragmentasi kepentingan personal di internal Muhammadiyah dan AMM sangat tinggi. Sumber fragmentasi itu bisa muncul dari tingkat ekonomi aktivisnya yang berbeda-beda, latar belakang sosial-budaya-pendidikannya, etnisitas yang beragam, serta sikap politik yang tersebar di berbagai partai politik. Entah itu di Golkar, PDI-P, Demokrat, PKS, PPP, Gerindra, maupun di PAN dan PMB itu sendiri.

Jika Muhammadiyah dianggap menjadi bagian dari civil society, masih jauh dari cita-cita masyarakat. Belum lagi konflik politis lainnya yang semakin menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak lagi ideal sesuai dengan tujuannya. Padahal, kelahiran Muhammadiyah dan ortom-ortomnya bukan hanya untuk internal Muhammadiyah an sich, tetapi untuk masyarakat luas pada umumnya.

Politik Nasional vis a vis Politik Muhammadiyah
Tidak bisa dipungkiri bahwa perpolitikan nasional membawa pengaruh yang cukup signifikan di segala level masyarakat, tak terkecuali di tingkat Muhammadiyah. Nilai-nilai demokrasi yang dipahami salah kaprah pun bisa berdampak pada chaos-nya antar-rakyat sendiri. Lagi-lagi yang bakal jadi korban tak lain dan tak bukan rakyat lagi. Hal yang dimikian pun terjadi di internal warga Muhammadiyah.

Karena perbedaan pemahaman warga Muhammadiyah terhadap demokrasi, maka perilaku-perilaku yang ada di partai politik, baik pada saat kampanye pilkada ataupun pada saat pencalonan legislatif tercermin di tingkat Muhammadiyah beserta ortomnya. Bahkan tercermin pula ke lorong-lorong yang bernama Muktamar, Musywil, Musyda, Musycab, dan Musyran. Berbagai jenis perilaku yang dulunya tabu di Muhammadiyah, kini telah hadir tanpa ada skat yang membatasinya. Mulai dari black-campign antar-calon, like and dislike, pembunuhan karakter kader potensial, penyingkiran calon lain karena lawan politik, rebutan posisi ketua umum, hingga deal-deal politik lainnya dengan berbagai pihak. Hal yang demikian telah mewarnai setiap bentuk permusyawaratan dan persidangan di Muhammadiyah.

Belum lagi, sebagian kader-kader Muhammadiyah yang masih ada di struktur maju sebagai calon DPR, DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), DPD, bahkan ketua umum PP Muhammadiyah menyatakan diri siap maju sebagai calon Presiden di pemilu 2009 nanti. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada mekanisme yang berlaku, maka ruang-ruang yang awalnya tidak politis, kini akan terbaca secara sangat politis. Tentunya, mekanisme itu tidak hanya berhenti pada pembuatan SK saja, proses pengawalan pun harus dilakukan oleh semua pihak dari tingkat Ranting hingga Pusat. Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sangat aneh: Anak-anak muda Muhammadiyah justru melawan mekanisme itu tanpa ada solusi terbaik bagi persyarikatan. Lagi-lagi, persyarikatan yang dikorbankan.

Is Muhammadiyah Collapse?
Istilah collapse bisa diartikan sebagai to fall down suddenly, generally as a result of damage, structural weakness (Encarta) atau kekosongan wewenang (vacuum of authority). Makna sederhananya, collapse adalah gagal karena disebabkan oleh sesuatu. Berdasarkan pada pembacaan fenomena di atas, kita melangkah pada pertanyaan, apakah Muhammadiyah yang hampir berumur satu abad ini akan tetap menjadi organisasi yang strong atau justru sebaliknya, collapse?

Ada tiga tolok ukur, meminjam pendapat Bursan, yang digunakan sebagai standarisasi apakah Muhammadiyah akan tetap strong atau collapse di tengah dinamika yang ada. Pertama, the idea of Muhammadiyah. Keberadaan Muhammadiyah masih dianggap eksis atau tidaknya bisa diukur dari masih ada atau tidaknya ide tentang Muhammadiyah di pikiran para warga dan kader Muhammadiyah. Walaupun belum ada data kuantitatif tentang berapa jumlah warga Muhammadiyah yang masih berideologi Muhammadiyah, tetapi bukti-bukti di lapangan telah berbicara bahwa, warga Muhammadiyah sudah kehilangan ghirah untuk bermuhammadiyah. Entah itu karena faktor teologis, ekonomis, atau hanya sekadar pindah ke partai politik tertentu tetapi menghina Muhammadiyah dari luar. Sungguh tindakan seperti ini tidak memiliki fatsun. Jauh sebelum ini, Abdul Munir Mulkan sudah mengklasifikasikan orang-orang Muhammadiyah berdasarkan disertasinya di salah satu kampung di Jember. Karena itu, melihat realitas yang ada, proses -proses ideologisasi dan kaderisasi harus ditingkatkan lagi sebelum ide tentang Muhammadiyah hilang dari pikiran warga Muhammadiyah.

Kedua, organizational expression of Muhammadiyah. Eksistensi Muhammadiyah masih dianggap ada atau tidak, dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya struktur dari tingkat Pusat hingga Ranting. Begitu juga dengan fungsi-fungsi amal usaha, seperti PKU, sekolah, universitas/sekolah tinggi/akademi, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika ternyata fungsi-fungsi ini tidak berjalan dengan baik, maka bisa dipastikan gerakan Muhammadiyah akan mendekati collapse. Karena itu, harus ada mekanisme beserta pengawalannya, sehingga hukum pun berlaku di Muhammadiyah.

Ketiga, physical foundation of Muhammadiyah. Walaupun Muhammadiyah tidak memiliki batas-batas teritorial seperti negara, tetapi ciri ini bisa disamakan dengan seberapa besar kader-kader yang tetap loyal di Muhammadiyah, baik di struktur maupun di amal usaha. Jika ternyata orang yang duduk di jabatan amal usaha bukan kader ideologis, sudah hampir dipastikan ini juga merupakan tanda-tanda dari the end of Muhammadiyah.

Ketiga poin di atas setidaknya bisa digunakan sebagai tolok ukur apakah masa depan Muhammadiyah semakin mendekati kejayaan atau justru sebaliknya, collapse. Hipotesa sementara menyatakan, bahwa Muhammadiyah sedang berada di persimpangan jalan yang mengambang. Tergantung siapa kader yang akan membawanya. Jika kader itu oportunis dan hanya menjadikan Muhammadiyah sebagai jembatan, maka jembatan itu tidak akan bertahan lama dan akan digantikan oleh bentuk jembatan yang baru. Karena tentu banyak orang yang lalu lalang di jembatan itu tanpa ada satu orang pun yang menjaganya jika terjadi keretakan atau rusak di salah satu sudut jembatan itu.

Namun jika kader itu menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk berdakwah demi terciptanya masyarakat yang beradab, maka sudah pasti akan ada landasan filosofis mengapa Muhammadiyah dijadikan sebagai sarana untuk berjuang. Tentu, fondasi yang dibangun akan kokoh dan akan selalu ada generasi baru yang memperbaiki fondasi itu sehingga “rumah Muhammadiyah” tetap berdiri walaupun badai mengguncangnya. Kiranya, angkatan muda harus ikut andil dalam hal ini. Jika muncul pertanyaan, is Muhammadiyah collapse? Anda sudah pasti tahu jawabannya.

Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

0 komentar: