07.45

Cerita Malika dan Berbagi Cinta

(Diambil dari Catatan teman. Moga bermanfaat)


Ayo berbagi... Ayo berbagi...

Kalau ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di kebanyakan benak kita saat itu? Barangkali kita akan berfikir bahwa kita harus berbagi dana, berbagi makanan, susu, pakaian, serta berbagi barang atau apapun yang sifatnya materiil.

Hmm... Itu karena alam pikir kita telah dipenuhi oleh ide-ide materialistik: mengukur segala sesuatunya dengan materi dan kasat mata. Barangkali sejenak kita terdiam di keheningan alam pikir kita untuk menikmati berbagi sebagai sebuah kebahagiaan.

Kali ini saya akan mengajak Anda semua menikmati berbagi dengan yang lain tapi bukan bersifat materi, karena berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.

Suatu hari, sahabat saya bercerita saat ia diajak oleh ayah angkatnya berkunjung ke panti asuhan yatim. Ayah itu memang selalu rutin berkunjung ke panti asuhan atau rumah yatim minimal setahun dua kali. Biasanya sekali di awal bulan Ramadhan (untuk mensurvei kebutuhan panti) dan sekali di akhir bulan Ramadhan (untuk membawakan hal-hal yang dibutuhkan panti).

Di sebuah rumah yatim sore itu, ayah bertemu dengan seorang gadis cilik yang manis. Lalu sang ayah bertanya pada gadis penghuni rumah yatim itu.

“Anak manis, siapa namamu?”

“Nama saya Malika, Om,” jawab gadis kecil itu.

“Nama yang cantik, secantik dirimu, Malika.”

“Malika kelas berapa sekarang?” tanya si ayah dengan senyum.

“Kelas 1 SD, Om,” jawab Malika.

Sambil membelai kepala Malika, lalu seraya sang ayah bertanya.

“Malika sudah punya tas baru?”

“Sudah, Om. Kan sudah dibelikan Abi dan Umi...”

Lalu ayah bertanya lagi: “Kalau baju baru untuk lebaran?”

Malika dengan antusias menjawab: “Sudah tentu dong, Om. Semua teman-teman di sini juga sudah dibelikan baju lebaran kok.”

“Kalau begitu apa yang Malika inginkan? Nanti Om akan berikan buat Malika.”

“Emmm...” suara Malika terhenti.

Malika menundukkan kepala seperti khawatir. Sang ayah lalu membelainya dan mencoba meyakinkannya, bahwa ayah sahabat saya itu akan berusaha memenuhi apa yang ia inginkan.

“Ayo Malika, katakan saja pada, Om. Malika ingin minta apa, Nak?”

“Tapi Om jangan marah ya...,” suara mungil Malika.

“Om janji tidak akan marah,” jawab sang ayah tersenyum hangat.

“Gak jadi deh, Om. Malika takut Om nanti marah dengan Malika.”

Rasa penasaran sang ayah semakin besar. Apa rupanya yang ingin Malika minta sehingga ia begitu takut untuk mengutarakannya.

“Malika mau minta sepeda atau boneka baru? Mau minta TV? Atau apa, Nak, yang kau minta? Mintalah, Nak. Om, pasti akan belikan,” Tanya sang ayah.

Sang ayah semakin penasaran karena setiap tawarannya selalu dijawab dengan gelengan kepala Malika.

“Tapi Om jangan marah ya...”

Sang ayah berfikir, semahal apa sih barang yang diinginkan Malika sehingga ia begitu khawatir dan tidak yakin.

“Malika, Om berjanji tidak akan marah padamu. Mintalah apa yang Malika mau.”

Lalu di balik senyum innocent-nya Malika bersuara. “Om, Malika mau minta… boleh gak mulai hari ini Malika panggil ayah pada Om?”

Seketika itu bibir ayah nyilu, matamya berkaca-kaca. Sambil memegangi kedua pipi Malika dengan tangannya, sang ayah berkata “Tentu, Malika... Tentu boleh Malika panggil ayah.”

“Terima kasih ayah... terimakasih ayah...” seru Malika dengan teriksak sambil memeluk ayah.

Dengan senyum, Malika berkata lagi, “Malika sudah punya sepatu, sudah dibelikan tas, sudah ada baju baru, tapi dari dulu Malika belum punya Ayah. Tapi hari ini Malika sudah dikasih ayah dari Allah SWT.”

“Terimakasih ya, ayah..” Malika mengungkapkan rasa terima kasih dan syukurnya dengan memeluk ayah.

Setelah bermain-main dan banyak bercerita sore itu, sang ayah sadar bahwa ia belum memberikan apa-apa buat Malika.

“Nah Malika, sekarang Malika boleh minta apa saja pada ayah sebagai hadiah lebaran.”

Karena sebelum lebaran nanti, ayah akan ke sini lagi bersama ibu dan juga kakak-kakakmu. Tapi lagi-lagi, Malika menggelengkan kepalanya.

“Kan udah, tadi Malika sudah boleh memanggil ayah.”

“Ayolah Malika, minta lah sesuatu pada ayah.”

Sebentar Malika berfikir lalu ia berkata: “Ayah besok kalau datang ke sini lagi Ayah bawa kamera ya...”

Setengah bingung ayah bertanya, “Buat apa, Nak?”

“Malika ingin punya foto bersama ayah dan ibu juga kakak-kakak.”

Malika memohon itu sambil memegangi kedua tangan ayah. Tiba-tiba kaki ayah lunglai. Dia berlutut di depan Malika. Dia peluk lagi Malika sambil bertanya, “Buat apa foto itu, Nak?”

“Malika mau bawa ke sekolah dan mau Malika tunjukkan pada teman-teman. Ini foto ayah Malika, foto ibu, dan kakak-kakak Malika.”

Ayah tadi memeluk erat Malika, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terimakasih, Malika. Meski usiamu masih sangat belia. Kau telah mengajarkan pada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta karena itu lebih bermakna dari sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia.

Mari kita ajak lebih banyak orang untuk berbagi cinta, agar dunia ini lebih damai seperti yang dilakukan oleh Malika.