Masih tersimpan dalam ingatan, kunjungan ke Papua itu terjadi seminggu setelah terbakarnya pesawat Garuda di Bandara Adisucipto Yogyakarta (7/3/2007). Tentunya rasa khawatir terhadap jenis transportasi udara ini sempat menyelimuti pikiran penulis saat di udara bersama pesawat Merpati. Perjalanan di udara yang menghabiskan sekitar enam jam itu sempat transit di Makassar dan Timika.
Ketika detik-detik pendaratan (landing) di Bandara Sentani Jayapura, penulis melihat negeri Papua dari atas. ”Begitu luas, banyak pegunungan, awan, ada pula danau-danau kecil, dan rumah-rumah di pinggir sungai,” ingatku. Perjalanan dari bandara menuju lokasi masih menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Untuk beberapa hari, penulis tinggal di kompleks perumahan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kebetulan saat itu MUI Papua sedang menyelenggarakan pelatihan Dai Se-Papua selama enam bulan alias setengah tahun.
”Waw, ini sangat fantastis,” ungkapku kepada salah satu panitia ketika kutanya tentang kegiatan selama di MUI tersebut. Peserta yang hadir adalah utusan masing-masing daerah Se-Provinsi Papua. Sebagian besar dari mereka orang Muhammadiyah. Karena itu, mereka juga membawa anal-anak dan istrinya ke lokasi acara. ”Kayak mau pindah rumah aja,” gumamku saat itu.
Inilah pertama kalinya penulis menginjakkan kaki di tanah Papua. Dulu ketika SD, penulis hanya bisa menggambar peta Papua di atas kertas dan hanya bisa membayangkan apakah mungkin akan bisa ke sana. Tapi mimpi-mimpi itu berbalik menjadi kenyataan. Penulis pun jadi teringat dengan pepatah, bermimpilah kamu, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.ternyata, untuk keliling Indonesia tidak harus menjadi presiden. Tapi di IRM saja sudah cukup untuk mengenal
Masyarakat yang tinggal di
Penulis masih ingat, ketika makan ikan bawal bakar di pinggiran pelabuhan Jayapura. Satu porsi harganya 40 ribu. Itu sudah dengan minuman dan sayuran lainnya. Menunya lumayan lengkap. Jika harga tersebut dibandingkan dengan harga di Yogyakarta, sangat jauh berbeda. Di Yogyakarta uang 10 ribu sudah cukup untuk itu semua.
Di tengah-tengah acara musyawarah tersebut, penulis juga bertemu dengan wakil bupati Kota Jayapura yang juga orang Muhammadiyah dan masih memiliki rumah di Maguwoharjo, Sleman. Kebetulan anaknya kuliah di UGM. Selain itu, penulis juga berkunjung ke sekolah Muhammadiyah Kota Jayapura. Ini satu-satunya SMA Muhammadiyah di Kota Jayapura. Letaknya satu kompleks dengan kampus STIKOM (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Jayapura. Di samping itu, Muhammadiyah Kota Jayapura memiliki juga TK, SMP, dan panti asuhan Muhammadiyah. Lokasi antara satu dengan yang lainnya saling berdekatan.
Kepala sekolah SMA-nya bernama Ahmad Dahlan. Penulis diminta untuk memberikan pengajian umum di lapangan setelah mereka berolah raga. Mereka sangat antusias dengan apa yang penulis sampaikan. Ketika diajak untuk menyanyikan lagu Sang Surya, sebagian besar mereka bisa menyanyikannya. Lebih herannya lagi, ada beberapa siswa yang beragama non-Islam bisa menyanyikannya dengan suara lantang di bagian paling depan.
Ketika penulis bertanya tentang agama siswa di sekolah tersebut, maka Pak Dahlan menjelaskan, sekitar 10 persen lebih siswanya beragama non-Islam. ”Mereka tidak berpikir ini sekolah Islam atau tidak, Mas. Tapi kualitas dan alumninya,” terangnya. ”Atau bisa saja, karena mereka kejauhan saat memilih sekolah lain, akhirnya memilih SMA Muhammadiyah dengan alasan dekat dengan rumah mereka,” tambahnya sembari tertawa bersama.
Hal ini pun terjadi juga di kampus STIKOM yang 80 persen mahasiswanya beragama non-Islam (pernah ditulis di majalah ini juga). ”Kita tidak bisa menolak mereka, Mas. Justru keuangan yang lancar dari mereka yang non-Islam itulah,” cerita Pak Nur, Rektor III STIKOM Jayapura. Hal ini pun sebenarnya terjadi juga di Kupang, NTT.
Dari pengalaman ini, penulis berpikir bahwa Muhammadiyah memang sangat besar dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Inilah wajah Muhammadiyah yang rahmatan lil ’alaimin (bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama, dan ras). Cita-cita ini sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (the real Islamic sociecity).
Muhammadiyah tidaklah berwajah sangar/penuh kekerasan. Ia juga tidak suka memaksa orang untuk sesuai dengan keinginannya. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mengajak siapa saja untuk saling menghormati perbedaan, toleransi terhadap beda keyakinan, serta tidak menyelesaikan persoalan melalui jalur kekerasan. Muhammadiyah, seperti yang pernah dinyatakan oleh Prof. Dr. HM. Dien Syamsuddin, MA, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sangat mengecam terhadap segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan atas nama organisasi apa pun.
Muhammadiyah Papua memberi pengalaman berharga kepada kita semua, bahwa perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk berdakwah. Justru di situlah, Muhammadiyah membuktikan dirinya untuk bisa bermanfaat (useful) bagi siapa saja.
Selama tinggal di Jayapura, penulis selalu melihat pegunungan tinggi yang penuh dengan rumah dan pepohonan lebat. Banyak bangunan rumah yang terletak di lereng-lereng gunung. Saat malam hari, penulis pernah diajak jalan-jalan keliling Kota Jayapura. Di suatu tempat, penulis berhenti dan mengamati Kota Jayapura dari ketinggian. Tiba-tiba suara Pak Nur muncul. ”Mas, Papua ini kalau malam kayak Hong Kong, tapi kalau siang kayak singkong,” ungkapnya sembari tertawa kecil. Penulis pun langsung paham dengan pernyataan tersebut.
Saat malam hari, Jayapura (yang mencerminkan ibu kota Papua) diterangi lampu-lampu kecil baik di lereng-lereng gunung maupun di pusat peradabannya (pasar dan bangunan kota). Jadi, Jayapura seperti dikelilingi kunang-kunang di setiap sudut gunung. Sedangkan di siang hari, segala jenis pepohonan terlihat besar dan menjadi pemandangan yang masih alami.
Selain itu, penulis juga sempat heran ketika salah seorang panitia mencarikan taksi untuk menghantarkan kepulangan penulis. Soalnya, selama di Papua penulis belum pernah melihat taksi. Pikir penulis, mungkin taksi di sini sangat spesial dan hanya untuk orang-orang tertentu. Tetapi jenis taksi yang dimaksud di Papua adalah mobil angkot kecil alias mikrolet. ”Ya Allah. Kirain apaan,” gumamku sambil tersenyum ketika panitia mempersilahkan penulis untuk menaiki taksi yang dimaksud bersama beberapa panitia lain yang ikut menghantarkanku ke bandara. Sepanjang perjalanan itu pula, banyak rumah di pinggir laut (kebetulan jalur darat satu-satunya terletak di pinggir laut).
Banyak hal yang membuat pengalaman penulis bertambah. Keanekaragaman, perbedaan konsep tentang sesuatu, semangat, dan penghormatan terhadap tamu. Semua itu tentunya didapatkan di Muhammadiyah saat pergi ke Papua.
Ridho Al-Hamdi
1 komentar:
artikel anda:
http://maluku-papua.infogue.com/
http://maluku-papua.infogue.com/papua_malam_kayak_hong_kong_pagi_jadi_singkong
promosikan artikel anda di infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler,telah tersedia widget shareGue dan nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!
Posting Komentar