Kita tentu ingat dengan tiga kata yang terpampang secara permanen di tembok sekolah saat kita duduk di bangku SD: “Cerdas, Taqwa, Terampil”. Ketiga kata tersebut telah menemani hari-hari kita di awal kita mengenal ilmu pengetahuan. Mungkin saat SD kita belum bisa memaknai secara penuh dan melaksanakan tiga kata tersebut. Karena keseharian kita selalu dihiasi oleh permainan dan canda tawa. Namun, keberadaan tiga kata tersebut setidaknya telah menjadi ruh yang terus menjiwai kita menjadi manusia beradab di tengah tantangan zaman yang berubah dari waktu ke waktu.
Kini, ketika kita telah beranjak dewasa, menjadi seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama dan telah bekerja di perusahaan terkenal tingkat internasional, kita baru menyadari, bahwa tiga kata yang telah tertanam sejak SD tersebut memiliki kekuatan dahsyat yang mendorong alam bawah sadar kita untuk menjadi insan mulia, berpengetahuan luas, dan menguasai keterampilan teknologi. Dalam konteks tulisan ini, tiga kata “Cerdas, Taqwa, Terampil” diartikan dengan kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama, yaitu “Pengetahuan, Moral dan Keterampilan”.
Tulisan ini ingin mengajak kepada para mahasiswa, sebuah status sosial tertinggi dalam masyarakat modern, untuk kembali memahami hakikatnya sebagai manusia dan perannya dalam kehidupan modern di era globalisasi yang terus berjalan dengan cepat. Jika kita tidak dapat mensiasati dan menguasai tantangan zaman, maka kita akan dilindas dan ditelan oleh zaman itu sendiri. Karena itu, sudah saatnya mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan aktor perubahan mengambil perannya untuk mengendalikan zaman menuju masyarakat yang berkeadaban.
A. Menguasai Pengetahuan dan Teknologi
Adalah Sukardi Rinakit (2008), seorang pengamat politik nasional, bercerita, bahwa dirinya pernah mengunjungi negara China dan India. Ketika Rinakit bertanya kepada anak-anak China, apa cita-cita kalian? Anak-anak China menjawab dengan serentak: “Mengalahkan Amerika!!!” Terbuktilah, semangat melawan Amerika diwujudkan dengan adanya perangkat hardware, sehingga muncul beragam produk-produk China dengan segala macam merk yang mampu menyaingi produk-produk buatan Amerika.
Kemudian, ketika Rinakit bertemu dengan anak-anak India dan bertanya, apa cita-cita kalian? Anak-anak India menjawab dengan serentak pula: “Mengalahkan Amerika!!!” Terbuktilah, semangat melawan Amerika diwujudkan dengan adanya perangkat software, sehingga tak jarang orang-orang India saat ini banyak yang menguasai perusahaan-perusahaan di Amerika. So, bagaimana dengan anak-anak Indonesia? Rinakit melanjutkan ceritanya dengan menjawab sedikit lelucon: Anak-anak Indonesia sukanya dengan underwear. Artinya, anak-anak Indonesia tidak terlepas dengan pikiran-pikiran negatif yang merusak moral dan kepribadian mereka.
Dari cerita di atas, ada satu hal yang menarik untuk dijadikan perhatian bersama, bahwa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia untuk dapat memajukan negeri ini dan bertarung dalam kancah internasional. Menurut Amien Rais (2008), salah satu kelemahan republik ini adalah rakyatnya tidak mampu menguasai teknologi dan tidak berani bertarung dengan negara-negara adidaya. Pada akhirnya, mental negara kita inlander (lemah) serta tidak berdaulat baik secara ekonomi maupun politik.
Realitas inilah yang seharunya mampu diperankan oleh mahasiswa. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh para mahasiswa. Pertama, kuasailah bahasa internasional. Bahasa adalah alat komunikasi. Sekalipun kita cerdas, namun tanpa komunikasi yang baik, kita tidak akan dapat menyampaikan gagasan-gagasan kita secara menyeluruh kepada orang lain. Artinya, jika kita tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa internasional, maka kita akan lemah secara pengetahuan. Dalam konteks kekinian, bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang saat ini menjadi alat komunikasi antar warga negara.
Kedua, belajarlah pada peradaban yang lebih maju. Jika saat ini Amerika merupakan kiblat peradaban dan ilmu pengetahuan, maka kita harus mengakui dan mau belajar pada Amerika. Berusahalah mencari scholarship agar kita bisa belajar hingga ke pusat peradaban. Dalam teori perang dikatakan, untuk mengalahkan musuh, kita harus belajar pada musuh. Artinya, jika kita ingin mengalahkan Amerika, maka kita harus belajar pada Amerika, seperti yang dilakukan oleh anak-anak India dan China saat ini.
Ketiga, fokuslah pada satu disiplin ilmu tertentu. Setelah kita mampu menguasai bahasa internasional sebagai alat komunikasi dan telah berusaha untuk belajar pada musuh, maka kita harus memusatkan konsentrasi pada satu bidang keilmuan tertentu. Pelajarilah secara mendalam dan detail ilmu yang kita miliki, sehingga kita menjadi pakar pada ilmu tertentu. Jika kita ingin menguasai ilmu managemen, maka kuasailah ilmu tersebut secara serius. Jika ingin menjadi psikolog, maka kuasailah teori-teorinya. Begitu juga jika kita ingin menjadi dokter. Dengan tiga tahapan tersebut, mahasiswa Indonesia dapat menjadi orang ternama di tingkat internasional.
B. Memperkuat Landasan Moral Pribadi
Yang membedakan antara peradaban Barat dengan peradaban Timur adalah soal moral. Barat tidak begitu mementingkan arti moral, sehingga free sex dan gonta-ganti pasangan bukanlah masalah besar, bahkan free sex menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Berbeda dengan Timur yang sangat memperhatikan moral. Untuk hidup bermasyarakat saja penuh aturan dan tata krama, apalagi menyangkut persoalan moral personal. Karena itu, dalam tradisi Timur, keperawanan perempuan sangatlah berharga terutama dalam tradisi Jawa, sehingga jarang ada perempuan yang keluar pada malam hari di atas jam sembilan. Jika ada perempuan yang keluyuran pada malam hari, secara moral dia akan mendapatkan label negatif.
Kita bisa berkaca pada kejadian akhir-akhir ini yang menimpa musisi ternama tanah air, Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan, yang divonis hukuman penjara karena melakukan free sex dengan artis ternama dan adegan pornonya telah tersebar di dunia maya. Orang mengakui kepiawaian Ariel dalam bermusik. Namun, karena keburukan moralnya, karir dan nama baiknya menjadi rusak.
Kisah Ariel menjadi cambuk bagi para mahasiswa, bahwa moral merupakan landasan yang sangat penting untuk menunjang karir seseorang. Karena perilaku yang amoral, seseorang bisa tersungkur ke lembah nista. Kita lihat saja cerita Antasari Azhar, mantan ketua KPK, yang terdampar di balik jeruji penjara akibat tuduhan cinta segitiganya dengan perempuan bernama Rani, seorang cady di lapangan golf. Atau tersebarnya adegan porno Yahya Zaini (politisi Golkar) dengan seorang penyanyi dangdut yang menyebabkan Yahya dipecat dari anggota DPR sekaligus dari Golkar. Karir dan reputasinya jatuh secara tiba-tiba.
Mereka yang sukses saja mendadak bisa miskin akibat perilaku yang amoral, apalagi mahasiswa yang masa depannya belum jelas. Karena itu, kita sangat berharap pada para mahasiswa untuk benar-benar mampu menjaga moral dan akhlak pribadi mereka. Masa depan bangsa ini ada di tangan kalian. Jika para mahasiwa sudah tergerus oleh nikmatnya rayuan-rayuan syahwat, maka republik ini tidak akan berumur panjang. Jika hal ini terus terjadi, tak lama kemudian: “Kita akan menjadi orang asing di negeri sendiri”.
Bekalilah kepribadian kita dengan landasan iman yang kuat dan kokoh, sehingga langkah kita menuju pintu kesuksesan tidak berhenti di tengah jalan. Jangan gara-gara sedikit perbuatan nista, usaha kita selama ini menjadi sia-sia. Ini sebuah perjuangan yang sangat berat. Jika para founding fathers kita berjuang melawan para penjajah, saatnya kita berjuang melawan diri kita sendiri untuk kemenangan republik ini menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi di hadapan negara yang lain.
C. Mengembangkan Keterampilan
Kini banyak institusi-institusi pendidikan yang menawarkan jurusan-jurusan ketrampilan. Bahkan, keberadaan SMK dan sekolah menengah kejuruan lainnya merupakan salah satu jawaban untuk menghadapi tantangan global. Orang lain tidak bisa mengetahui kemampuan kita jika kita tidak memiliki keterampilan pada satu bidang tertentu. Seorang sarjana teknik elektro, tetapi tidak bisa mengotak-atik alat-alat elektronik, dia tidak akan diterima di sebuah perusahaan elektronik. Begitu juga dengan seorang sarjana pertanian yang tidak pernah praktek cara bercocok tanam, akan menemukan kesusahan ketika terjun dalam dunia usaha pertanian.
Karena itu, di era yang serba tanpa skat ini, keterampilan menjadi sebuah keharusan bagi para mahasiswa untuk mewujudkan kesuksesan masa depannya. Saat ini, banyak sarjana pengangguran. Bahkan setingkat magister pun tak kalah banyaknya yang masih menganggur dan belum mendapatkan pekerjaan. Persoalannya adalah, mental yang dibangun oleh institusi pendidikan kita adalah mental pekerja, bukan creator atau pencipta lapangan pekerjaan. Alhasil, angka statistik pengangguran setiap tahunnya selalu meningkat. Mengapa demikian? Jawabannya ada di pundak masing-masing mahasiswa.
Keberadaan UKM-UKM di kampus seharusnya mampu memberikan solusi atas persoalan ini, sehingga hobi para mahasiswa bisa berlanjut terus hingga ke jenjang pekerjaan. Tanamkanlah pada diri para mahasiswa “jiwa-jiwa kreatif” agar selalu menjadi lulusan yang dapat menciptkan keterampilan yang beragam. Jika hal ini dapat dilakukan oleh para mahasiswa sejak di awal bangku kuliah, maka setelah mereka lulus tidak usah dikhawatirkan lagi ke arah mana mereka bekerja. Karena mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Bentuk-bentuk keterampilan yang bisa diasah sejak mahasiswa adalah keterampilan berwirausaha atau berdagang, keterampilan menjadi pendidik (guru atau dosen), keterampilan menjadi pemimpin (politisi atau pemimpin daerah), keterampilan menulis (jurnalis atau wartawan media), dan segala bentuk keterampilan lainnya yang dapat disah sejak kuliah, semisal bernyanyi. Dengan bekal yang telah ditanamkan sejak muda, para mahasiswa yang telah lulus tidak akan mengalami kegagapan teknologi.
Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa menguasai ilmu pengetahuan, memperkuat landasan moral, dan mengembangkan keterampilan merupakan strategi tepat yang harus dimiliki oleh para mahasiswa untuk menghadai tantangan global. Jika kita tidak mampu menaklukkan tantangan itu, maka kita sendiri yang akan ditaklukkan oleh tantangan itu. Karenanya, persiapkanlah segalanya sejak sekarang. Ingatlah spirit “Cerdas, Taqwa, Terampil” yang sudah mendarahdaging sejak SD dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menjadi manusia yang sukses mengadapi era tekonologi.
Yogyakarta, 15 April 2011
About Me
- @ridhoalhamdi
- Lecturer at Department of Govermental Studies, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Indonesia. His interest topics are Islam and Politics, Politica Party and election Studies, political behavior, Political Communication and political marketing. Now, He resides in Yogyakarta, Indonesia. Further communication, please contact him in e-mail: ridhoalhamdi@yahoo.com
Bridging Community (Management's Class)
- Adjie Setiyawan
- Agustin Nuriel
- Ainil Izzah
- Al-Amin Reza
- Alit Unagi
- Andry Kumala
- Anne Khairunnisa
- Ardana Pratista S
- Arief Firmansyah
- Arief Wicaksono
- Arifuddin Try Utomo
- Arziannisa Azwary
- Bob Maulana
- Debi OS
- Faaza Fakhrunnas
- Fajar Praharu
- Fajar Prasetya
- Fakhrul Arief
- Gestian
- Haryo Agung P.
- Hasanuddin
- Ibnu Suryo
- Jati Pertiwi
- Khamid Rifan
- Lhia Dwi
- Lusitania Maretasari
- Luthfiyana Puspowati
- M. Noor Fahmi
- M. Siswandi
- Miftahul Jannah
- Nafta Caustine F.
- Nia Widya Ningrum
- Ova
- Putri Oktovita Sari
- Retti Mutia
- Rifqi Romadhon
- Rizkika Awalia
- Rochana K. Windati
- Sehly El Farida
- Septiara N.
- Setyasih Handayani
- Sheila Aqla RV
- T. Zeyfunnas
- Tatag Julianto
- Toga Melina Kartikasari
- Wahyu Indra
- Windi Hamsari
- Yuda Pratama Putra
Bridging Community (Economical Class)
- Agung Purnama M
- Aprinia Wardany
- Dicky Hidayat
- Dony Mahardika
- Eko Pranata
- Ericka Betty R.
- Fajar Ramadhan A
- Febri Septiawan
- Fita Fatimah
- Fitri Fauzia
- Fitri Fauziah
- Hasbi Ashshiddiq
- Ilham Farih
- Karmila PW
- Mela Melindasari
- Nita Sari Astuti
- Noor Rahmalita S
- Nopi Haryanto
- Nur Indah Hardianti
- Nuzyl Denni K
- Phian Ingdriansyah
- Puspita Maharani
- Ririd Dwi Septiani
- Said Hendra
- Setya Afriya
- Siska Budiningrum
- Tomi Putra
- Yenny Anggriani
- Yoga Prasetyo
My Followers
My Friends
- Abdul Halim Sani
- Abdul Munir Mulkhan
- Agus Wibowo GK
- Ali Usman
- Arifin "Bukan" Ilham
- Awaluddin Jalil
- Chandra
- Deni Pakek Weka
- Deni Weka
- Dharono Global TV
- Mas Jidi PECOJON
- Masmulyadi
- Masmulyadi (Dua)
- Meitria Cahyani
- Mudzakkir
- Muhammad Al-Fayyadl
- Muhibbudin Danan Jaya
- Musyaffa Basir
- P-Men IRM Sulsel
- Robby H. Abrar
- Rully
- Saiful Bari
- Tatag Julianto
Institutions
During post New Order, Indonesia has hold general election in three times. Now we have a democracy system for noble goals, people prosperity. It means, there is a good correlation between democracy and prosperity.
Creating a state democracy requires three steps. Firstly, collapse of authoritarianism regime. The decline of Soeharto as second president of Indonesia who led during 32 years shows the success for this step. Secondly, transitional process of democracy. It characterized with three phenomena, i.e. the emergence of civil liberties, the institutionalized democracy, and the effective governance to implement people prosperity. Thirdly, consolidated and organized democracy. This alternative system must create the good public for Indonesian societies.
The transitional process of democracy has wide impact for the dynamic of Indonesia politics. Firstly, the emergence of various Non-Government Organizations (NGOs). The momentum of May 1998 gives wide liberties that cause the birthing of several NGOs and social communities in local areas. We can found it base on religion, ethnic, and social class (farmer, businessman, scholar, etc). Secondly, the increasing of people participation in the political activities. It can be demonstrated with the enthusiastic of the people in general election 2009. Everyone can register themselves as legislative candidates. Everybody has equal vote. A president has one vote and a farmer also has one vote. Thirdly, good governance. It can be shown with the loosing of the corruption culture as well as all crimes in various patterns.
The prime agendas during transitional democracy era are decentralization issues. It must conducted by all people. The political power will separate in various local governments. According to some political scientists, if we conduct these steps, the democracy will run very well.
In fact, the real struggle always not suitable with the dream. The collapse of Soeharto only causes the presidential rotation. Meanwhile, the authoritarianism system still exists as well all actors and Soeharto’s cronies. They seek alternative ways and even establish a new political party as well involve as leaders in government cabinets.
Recently, democracy was shown its declines. The elites who led during New Order regime create a new party as a proxy for their interests. In addition, we know that some parties give wide opportunities to elite’s family to involve as one of important functionaries. Even when they were registered themselves as a legislative or executive candidate, almost they will reach a victory in every election.
We can also see the NGO’s roles which are only as government under bow organizations. They just hold the government programs and don’t have a great idea. This fact shows that NGOs are a servant for the king. There is no idealism values in young generations thought.
The explanation above emphasizes that Indonesian democracy only half-heart. The local government and NGO’s still require the central government decrees. Even the Soeharto cronies still lead in several positions in this country. Therefore, now we still exist in the collapse of New Order regime. The consolidated democracy is long goals for this country.
Now, our real democracy like installing windows program in the computer which is not finishes yet completely. There are uncompleted components. Therefore, we must re-install our “democracy driver” and change with the new driver. The question is how to find a good democracy driver for better results.
Firstly, don’t look for “illegal democracy driver”. We must formulate a pure Indonesia democracy. We only use the theory and application of western democracy as a prime guidance. Secondly, the installation process must conducted by experts. The Indonesian elites must be free from various viruses which is cause the failure of democracy installation. Thirdly, the government elites must learn on previous history. We must learn on the history of collapse of two regimes i.e. Old Order and New Order.
We hope, the general election 2009 gives a breakthrough for democracy growth. Every voter seriously must choose them based on integrity and capability. We don’t select leaders who have bad track records in the past, particularly who have criminal cases. The anti-virus for this case is its voter themselves. Finally, we must modernize our information on both legislative and executive candidates. The goals of this are establishment of people prosperity.
Ridho Al-Hamdi, MA