17.28

Underground: Musik Cadas Berkelas Bebas

Lirik lagunya terdengar asing. Tidak banyak orang yang senang dan memahaminya. Sebagian orang menganggap ini musik yang tidak bernada. Pada setiap aksi panggungnya hampir pasti terjadi keributan, jingkrak-jingkrak, menggoyangkan kepala, dan moshing, atau dikenal dengan gerakan sang vokalis meloncat ke penonton. Ada juga gerakan surfing, berselancar di atas kepala penonton. Terkadang ada yang menggunakan ritual khusus sebagai pembuka dalam setiap pementasannya. Ozzy Osbourne, mantan vokalis Black Sabbath, sebuah grup musik dekade 1970-an yang terkenal karena lirik dan nada-nada keras dalam lagunya, me-makan kepala burung kakak tua pada pentas pembukaannya. Di sini, dulu jaman om dan bapak kita masih muda, sekelompok grup musik rock mengawali pentasnya dengan mengusung peti jenazah ke atas panggung, menggantungnya dan kemudian membakarnya.

Itulah musik underground. Untuk mem-buktikan jati diri mereka di hadapan orang lain banyak cara yang dilakukannya. Dari cara yang biasa-biasa saja sampai yang paling ekstrem. Juga jenis musiknya. Ada Trash Metal, Hardcore, Death Metal, Grind Core, Black Metal, dan Brutal Death. Masing-masing berusaha menunjukkan karakter dan ciri khas yang berbeda. Hampir semuanya menggambarkan tipikal memberontak, dandanan lebih bebas, dan lirik yang sarat dengan nada tak puas pada keadaan dan cenderung bernada keras. Di atas panggung mereka menunjukkan kegilaannya dengan menyuarakan pemberontakan lewat musik dan syairnya. Karena permainan musik yang keras dan cepat, lagu cen-derung terasa lebih cepat selesai dalam waktu singkat.

Biasanya, ketika akan memulai memainkan lagunya sang vokalis memberi aba-aba, mikropon ditenempelkan di bibir, gitaris dan bassis siap membetot senar, setelah itu musik mulai dimainkan. Hening sesaat hingga satu persatu alat musik mulai terdengar. Raungan gitar yang memekakkan telinga, disusul dentuman drum yang dipukul dengan tenaga ekstra yang terasa hampir memecahkan gendang telinga. Ruangan menjadi bising. Kita tidak bisa mendengar pembicaraan teman sebelah. Setelah mendengarkannya, terasa ada suara yang membekas di gendang telinga, seperti suara dengungan. Itu yang biasanya mereka lakukan dalam latihan rutin seminggu sekali atau dua kali. Bahkan ada yang hampir setiap hari menjelang pentas.

Banyak yang menyebut aliran musik ini sebagai musik pemberontakan alias anti kemapanan. Underground bisa juga diterjemahkan sebagai pencarian jati diri baru yang lebih bebas di dalam seni musik. Ada kecen-derungan sikap ugal-ugalan yang diungkapkan lewat lirik lagu serta tingkah laku seronok dengan cara menghujat dan berbicara tentang kekerasan. Musik sangar ini lahir, sekitar tahun 1960-an, didasari oleh perwujudan dari “Ide Karya Seni Total” yang banyak dipengaruhi oleh aliran dadaisme di Amerika, yang mencakup teater dan juga musik. Pada saat itu, para seniman melihat dan merasa tidak ada ketenteraman dalam berkarya hingga kemu-dian membuat sebuah gerakan kesenian yang berkonsep seni anti seni.

Ciri musik underground juga tidak terlepas dari munculnya kaum punk di Inggris sekitar tahun 1975-an. Kaum proletar yang merasa tersisih melakukan reaksi yang tidak baik terhadap kemapanan masyarakat kota London yang sibuk bekerja. Inilah yang membuat mereka merasa tidak puas, kecewa, merasa terjepit, frustasi, dan tersingkir. Hingga muncul patriotisme kelas menengah dalam lingkungan para pekerja kasar. Mereka menciptakan pembaharuan dan kelasnya sendiri.

Afrizal Malna, seorang penyair kenamaan Indonesia, mengungkapkan kemunculan musik underground berada di luar timbangan estetika. Kemunculannya memberikan kejutan bagi dinamika estetika musik yang dirasakan stagnan. Dengan kata lain, jika estetika terlalu mengganggu kreatifitas, bagaimana jika estetika tersebut dihancurkan saja.

Kelahiran musik underground sendiri sebenarnya ditandai oleh dua situasi. Pertama, se-bagai bentuk perlawanan terhadap aturan musik dengan cara melahirkan teori-teori nada yang cenderung brutal. Kedua, sebagai kema-rahan terhadap keputusan-keputusan politik dengan cara menghujat lewat lirik dan simbol.

Menurut Camel, pembetot bas grup musik Damnation asal Jogjakarta, aliran-aliran ekstrem itu menjadi lebih semarak lagi pada tahun 1980-an. Di tahun-tahun inilah perkembangan musik underground bisa dikatakan telah menemukan ‘bentuknya’. Mulai dikenal banyak orang dan penggemarnya semakin bertambah. Terbukti dengan makin banyaknya pentas musik underground dan massanya yang tampil dengan ciri khasnya yaitu simbol-simbol penghujatan lewat pakaian, tatto yang menghiasi badan dan wajah atau gambar-gambar simbolis pada kaos yang mereka pakai.

Juga dinamakan underground karena dia indie lable. Artinya, tidak terikat dengan salah satu perusahaan musik apa pun alias berdiri sendiri. “Jadi, kalau kita mau demo (rekaman album), ya harus punya alat rekam sendiri,” ungkap Camel sambil memegang gitarnya.

Menjadi grup band alternatif (underground) memang sebuah pilihan. Mungkin, pada awalnya mereka menjadikan komunitas underground sebagai tempat untuk nongkrong saja. Ketika di dalamnya mereka temukan ba-nyak kebebasan, yang tidak mereka temukan di luar, maka jiwa pemberontakan yang selama ini tersumbat bisa mereka ungkapkan. Dari sini kemudian lahir ekspresi kebebasan yang mereka teriakkan lewat syair-syair keras dalam lagunya.

0 komentar: