Di sini pernah ada pengunjung yang menginap sampai satu bulan. Dia nggak pulang-pulang. Kalau dia makan, ya di depan komputer. Tinggal pesan di kantin, pasti diantar. Kalau mau minum tinggal ambil di kulkas. Kalau dia tidur, di kursi. Urusan mandi menjadi nomor sekian. Lagian kita juga menyediakan kamar mandi. Selain itu, dulu pernah ada 15-20 user kami yang menginap berhari-hari, hinga kami harus mengeluarkan dua buah kasur dan guling untuk tidur mereka.
Sebuah pengalaman yang dikisahkan Riyanto, asisten supervisor di Genesis Game Center Jalan AM Sangaji Yogyakarta, kepada Siti Muslihah KN dari Kuntum. Cerita lain juga didapatkan Triana Candraningrum dari Kuntum ketika menjumpai Brilian Akbar Suriadjati, siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta. Siswa ini mengaku saat ngegame frekuensi waktunya tidak pasti. ”Bisa-bisa sampai sehari semalam full,” ujar Billy, panggilan akrabnya. Pengalaman yang sama juga terjadi pada M. Iqbal Jayadi. ”Dulu saat UAN SMP pun aku tetap ngegame. Kalau diitung-itung seminggu bisa empat kali sehabis pulang sekolah. Bahkan bisa sampai semalaman,” kenang siswa SMA Negeri III Yogyakarta ini kepada Ardianto dari Kuntum.
Berbeda dengan Wiri Tunggul Sagara saat ditemui Nurun Isnaeni dari Kuntum. Siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ini memiliki jadwal tersendiri untuk ngegame. ”Jadwalku saat weekend aja. Aku mulai ngegame Sabtu malam jam sembilan hingga Minggu pagi jam delapan. Itu nggak pake istirahat. Trus dilanjutin lagi jam empat sorenya sampai jam sembilan malam,” ungkap siswa kelas II ICT (Information Communication Technology) ini. Namun saking asyik ngegame, terkadang game bisa membuat seseorang lupa akan kesehatannya, terutama persoalan makan. ”Kalau urusan makan sih terkahir. Namanya juga sudah seneng, susah ninggalinnya. Jadi, paling-paling aku cuma minum aja biar nggak dehidrasi,” aku Rifki Zulkarnaen, siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, kepada Nurun Isnaeni dari Kuntum.
Masing-masing anak memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang game. Tentunya, persoalan sejak kapan mereka bermain pun berbeda-beda. ”Kalau aku sih senang game sejak kecil, saat masih zaman Nintendo dan PS I. Tapi mulai sering mainnya ketika SMP,” kata Rezani, siswa kelas III Akademi Perhotelan SMK Negeri 2 Jakarta, saat ditemui Muhammad Raihan Febriansyah dari Kuntum. Alasan mereka suka dengan game pun beragam. Ada yang sekadar refreshing, menghilangkan stres, atau malah hobi. ”Ngegame tuh bisa menjadi penghibur saat sedih dan suntuk. Apalagi kalau pelajaran sekolah yang melelahkan selama enam hari. Jadi, aku butuh hiburan dengan memilih ngegame,” terang Rifki yang bertubuh tinggi dan berkulit putih.
Untuk bermain game bisa di mana saja. Di rumah sendiri, di tempat teman, atau di game center. Tapi sebagian dari mereka lebih memilih di game online. Selain asyik dan ramai, dengan game online kita bisa bermain dengan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Baik antarkota maupun antarnegara. Jadi, kita bisa bermain dengan gamers yang ada di Amerika atau di Jepang. Asyik kan. Dunia seperti dalam genggaman tangan. Sebagian besar dari juga mereka mengatakan kalau bermain paling asyik adalalah dengan teman. Mereka bisa saling adu ketangkasan dan uji kecerdasan. Kadang bisa sampai marah-marahan. Di situ letak keasyikan sekaligus kejengkelan mereka.
Dengan game online juga, pilihan permainannya sangat beragam. Para user pun dipersilahkan memilih game sesuka hati mereka tanpa ada batasan. ”Aku paling senang kalau main Diagoten Saiban III atau NDS. Ini permainan tentang pengacara yang berusaha menyelesaikan kasus yang dia hadapi. Aku seolah belajar jadi detektif beneran,” jelas Billy yang kini kelas XII IPS. Lain ladang lain ilalang. Lain Billy lain pula Rezani. Kalau Rezani senang bermain FIFA, Winning Eleven, dan Championship Manager. ”Seolah-olah aku seperti main bola beneran,” tambah siswa berambut lurus ini. Sedangkan Iqbal bersama temannya biasa bermain Warecraft. Ini permainan kompetisi. Ada 10 orang, lalu dibagi menjadi dua tim. ”Kalau lagi sendirian, aku biasa main Need for Speed,” ujar siswa berkulit putih ini.
Selain bermain di game center, biasanya ada sebagian dari gamers yang memiliki peralatan game di rumahnya. Entah itu beli sendiri atau malah dibelikan orang tuanya. Di rumah, mereka (gamers) bisa mengasah ketrampilannya. Barulah kalau di luar mereka bertanding dengan lawan-lawannya. Jadi, ngegame di rumah hanya sekadar buat latihan saja. Namun dari hasil reportase yang dilakukan Kuntum, kebanyakan dari mereka lebih senang main di game center. ”Di luar banyak teman dan kalau menang bisa pamer dengan yang lainnya,” aku Wiri yang suka tersenyum saat ditemui Kuntum.
Diakui atau tidak, game center sudah mewabah di masyarakat kita terutama di kota-kota besar, salah satunya Yogyakarta. Hal ini pun diakui oleh Drs. Achmad Choiruman, MC., M.Si., dosen Universitas Gajah Mada. Menurutnya, kelahiran game membuat siapa saja menjadi kecanduan. Game dapat menjadikan anak individual dan jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan waktunya habis untuk ngegame. ”Si anak juga jadi boros untuk mengeluarkan uang dan bisa membuat mata tidak sehat,” ungkapnya kepada Nurun Isnaeni dari Kuntum.
Dosen yang tinggal dikompleks Bulaksumur ini heran dengan anaknya yang gandrung dengan game. Hampir setiap pulang sekolah anaknya selalu main game. ”Sampai-sampai cara menghentikannya dengan mematikan komputernya dan meminta dia untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kalau nggak gitu, dia nggak mau berhenti,” tambahnya dengan perasaan cemas. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Suryani saat dijumpai Muhammad Raihan Febriansyah dari Kuntum. ”Setahu saya game center itu nggak punya aturan waktu. Seharusnya anak belajar di sekolah, malah nongkrong main game,” kata ibu dari Rezani yang agak gemuk ini.
Namun kita memang tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada perusahaan-perusahaan atau pemilik game center. Ini sudah zaman modern dan persaingan hidup semakin tajam. ”Jadi, kemunculan game center di tengah-tengah kehidupan yang susah ini merupakan hal yang wajar,” terang Dr. Tulus Warsito, M.Si., Dekan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang juga orang tua dari Billy, kepada Triana Candraningrum dari Kuntum.
Memang, fenomena game center kini telah menjadi hiburan yang sangat digemari siapa pun. Waktunya pun kebanyakan non-stop 24 jam. Alasan ini pulalah yang membuat Yizreel, pemilik Bintang Gamenet Yogyakarta, mendirikan bisnis warnet dan gamenet. Padahal sebenarnya toko ini awalnya mau dibuat toko buku. ”Tapi melihat prospek gamenet sangat bagus, akhirnya kami memilih bisnis itu,” ujarnya kepada Arief Hidayat dari Kuntum. Gamenet yang sudah berdiri sejak tahun 2001 ini setiap hari rata-rata dikunjungi sekitar 200-an orang. Tapi bisa jadi lebih banyak dari itu atau malah kurang. Semua tergantung kondisi. ”Untuk presentasi pengunjung, 30 persen remaja, 50 persen dewasa, dan 20 persen lainnya,” tambahnya sambil memegang kepala.
Jika kita ingin ngegame, harga sewanya bermacam-macam. Ada yang 1.500 rupiah per jam, 2.000 rupiah per jam, dan 2.500 per jam. Semua tergantung waktunya. Malah ada yang memberikan tarif 1.200 rupiah per jam di Bintang Gamenet Yogyakarta. ”Tapi itu untuk jam 10 malam hingga jam 10 pagi harinya,” terang Yizreel sambil menyulut rokok. Variasi harga dilakukan juga di Planet Game Center Yogyakarta. ”Di tempat kami per jam 2.500 rupiah. Kalau lima jam kena 10.000 rupiah. Untuk tujuh jam kena 13.000 rupiah. Dan kalau 10 jam harus membayar 18.000 rupiah. Sedangkan kalau menyewa satu hari kena 25.000 rupiah,” jelas Hadi, pemilik Planet Game Center, panjang lebar.
Setelah bermain game, ada banyak hal yang dirasakan gamers. Dampaknya bisa positif, bisa juga negatif. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pelajar asal Kendal yang tidak ingin menyebutkan namanya. ”Setelah ngegame uang jajanku berkurang, pelajaran di sekolah sering ketinggalan, dan selalu kurang tidur. Kalau di kelas pasti ngantuk,” ungkap siswa yang hanya memberikan nama samarannya ”M. Abdul Wahid” kepada Arief Hidayat dari Kuntum.
Dari kisah-kisah yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa game terlepas dari jenis dan metode permainannya sangat memberikan pengaruh kuat kepada penggunanya. Kecanduan untuk terus bermain menjadi dampak tersendiri ketika mereka senang mengoperasikannya secara kreatif. Gimana nggak kecanduan. Para user diizinkan untuk mengatur diri mereka sendiri tanpa batasan waktu. Di sinilah mereka menjadi aktif setelah jenuh dengan pelajaran yang selalu membuat mereka pasif. Bahkan untuk mencuri uang orang tuanya mungkin akan dilakukan hanya untuk duduk berjam-jam di depan permaian sebesar teve itu.
Selain itu, game juga bisa mengakibatkan kekerasan pada anak. Pada tahun 1993, dua senator AS, Joseph Lieberman dan Hillary Clinton, pernah berkampanye menentang serial Mortal Kombat, sebuah game pertarungan yang penuh adegan kekerasan dan banjir darah. Di samping itu, mereka juga melarang game-game jenis lainnya yang diketahui ada muatan pornografi. Dua senator ini juga menarik penayangan serial TV anak, Captain Kangaroo. Bahkan pemerintah Cina melarang peredaran sekitar 50 judul game komputer di negaranya. Lalu, bagaimana di Indonesia?
Ridho Al-Hamdi
Laporan: Triana Candraningrum, Ardianto, Liesna Eka N., Nurun Isnaeni, Arief Hidayat, M. Raihan Febriansyah, dan Siti Muslihah KN.
0 komentar:
Posting Komentar