16.24

Menggagas Kekuatan Gerakan Pelajar Muhammadiyah

Hingga kini gerakan-gerakan pelajar yang mewakili kaum terdidik dengan seragam “abu-abu” dan “biru” masih belum mendapatkan tempat di masyarakat. Istilah abu-abu dan biru di sini adalah, mereka yang berstatus pelajar setingkat SMP dan SMA.

Tidak sekedar itu saja. Pada persoalan kebijakan publik (public policy) pun keberadaan mereka masih belum menjadi salah satu design maker. Sebut saja mereka yang termasuk kategori gerakan pelajar adalah Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU), dan gerakan-gerakan pelajar lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Realitas: Pelajar Tetap ‘Terpinggirkan’
Selama ini anggapan umum mengatakan, bahwa pelajar merupakan klas sosial yang terpinggirkan dan belum dianggap sebagai pihak yang mampu memberikan kontribusi pemikiran, terlebih sebagai pengambil kebijakan. Pelajar selalu diposisikan sebagai anak kecil yang belum tahu apa-apa, lemah, inferior, kurang berpengalaman, egoistik, serta selalu melakukan perlawanan secara pribadi dan brutal.

Klas sosial yang dimaksud di sini adalah kelompok masyarakat tertentu di mana anggota masyarakat tersebut menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni mereka bekerja (budak) dan menghasilkan nilai lebih dan mereka yang tidak bekerja (majikan) mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya kepada klas menengah distributor, pemilik modal, dan lain sebagainya. Hematnya, klas sosial selalu mengindikasikan adanya ketimpangan posisi, majikan hampir selalu menjadi atasan dan budak hampir selalu menjadi bawahan.

Dalam konteks klas sosial tersebut, pelajar diposisikan sebagai budak dari ilmu pengetahuan. Pemerintah, sekolah, dan guru adalah pihak yang mengeruk keuntungan dari pelajar. Dalam sistem pendidikan kita, terdapat dua arus ketimpangan antara guru sebagai pengajar dan murid sebagai obyek yang diajarkan.

Guru mengajar, murid belajar. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru sebagai subyek dari proses belajar, murid menjadi obyeknya. Inilah model pendidikan “gaya bank” yang haru segera dihapuskan.

Anggapan-anggapan di atas itulah yang pada akhirnya tidak memberikan ruang kepada para pelajar untuk beraktualisasi terlebih dahulu. Pelajar seperti berada di dalam kastil. Orang luar mengatakan, “Wah, enaknya di dalam kastil”. Tetapi mereka yang berada di dalam kastil mengatakan “Betapa kami sangat tersiksa”. Ini sama halnya dengan pembunuhan secara perlahan-lahan terhadap kreativitas pelajar.

Banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap pelajar telah membuktikan betapa pelajar masih saja menjadi golongan tertindas yang tidak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi kejadian bunuh diri akibat persoalan yang sepele.

Kita masih ingat seorang pelajar SMP di Cipunegara, Subang, Jawa Barat, tewas gantung diri karena tidak naik kelas. Remaja bernama Cahyono ini hidup bersama adik dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek. Kondisi ekonomi mereka relatif pas-pasan, sehingga ketika menerima rapor dan dinyatakan tidak naik kelas, remaja yang berusia 14 tahun ini mengalami tekanan batin yang sangat berat. Diam-diam, ia memilih jalan pintas bunuh diri.

Kasus Cahyono pun ditemani oleh kejadian yang menimpa pelajar SMP di Tegal, Jawa Tengah. Pelajar tersebut mengalami cacat mental permanen setelah diselamatkan dari usaha bunuh dirinya dengan cara menggantung. Ia tak tahan menanggung malu lantaran tunggakkan SPP yang belum terbayarkan, sementara pihak sekolah terus menagih. Di Cianjur, Jawa Barat, seorang bocah SD bunuh diri setelah diledek teman-temannya karena orangtua tak mampu membiayai acara study tour.

Kasus lain terjadi juga (17/7/2005) di Cikiwul, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Warga sekitar dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seikat tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan ayahnya, alasan Vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah.

Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam SD Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jum’at (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar Biaya Ujian Akhir Nasional (UAN), kini UN, sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Negeri Sanding IV Garut, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500.

Bergegas: Pelajar Berpihak, Maka Pelajar Ada!

Kasus-kasus di atas cukup membuktikan bahwa pelajar masih tetap menjadi yang tertindas. Karena itu, saatnya gerakan pelajar bangkit dari keterpurukan yang selalu membayang-bayanginya. Deklarasikan, bahwa gerakan pelajar mampu bertindak dan berlaku secara mandiri, mampu berpikir dan mengambil keputusan secara tegas tanpa ada paksaan, serta menyatakan diri sebagai salah satu subyek perubahan dari realitas sosial yang timpang.

Tunjukkanlah bahwa ini adalah prinsip dari Gerakan Pelajar Transformatif! Mari kita berikrar sebagai kaum intelektual yang mampu melakukan perubahan. “Pelajar Berpihak, Maka Pelajar Ada!”. Artinya, keberadaan Gerakan Pelajar Transformatif dianggap ada jika telah melakukan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan dan hak-hak pelajar. Keberpihakn tersebut tentunya harus dilandasi pada proses kesadaran, kepekaan, kepedulian, dan aksi nyata. Sebaliknya, pelajar akan tetap dikatakan sebagai obyek jika tidak bisa melakukan apa-apa. Keberadaan kita dibuktikan dengan keberpihakan kita!

Inilah sebuah Manifesto Gerakan Pelajar Transformatif: Pelajar transformatif berdaulat demi cita-cita perubahan sosial. Menundukkan kedzaliman adalah tugas mulia kami. Menegakkan keadilan adalah misi suci kami. Berpihak pada kepentingan pelajar adalah kewajiban kami.

Membangun Kekuatan Gerakan Pelajar Muhammadiyah
Setelah manifesto di atas dideklarasikan, saatnya IRM mulai bergegas untuk merapatkan kembali barisan organisasinya dan mempersiapkan agenda strategis untuk gerakannya ke depan. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan nama IPM dengan alasan, bahwa secara de jure IRM telah berganti menjadi IPM pasca SK PP Muhammadiyah. Tetapi secara de facto, pasca keputusan pleno diperluas PP IRM Juli 2007, masih menggunakan nama IRM sampai Muktamar November 2008.

Ada beberapa kekuatan yang bisa dan harus dilakukan oleh IPM, terutama pasca SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah perihal nomenklatur perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).

Pertama, setelah IRM berganti menjadi IPM, maka tidak ada lagi organisasi pelajar di sekolah Muhammadiyah kecuali Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ini sudah menjadi harga mutlak. Hal ini tentunya harus didukung pula oleh SK PP Muhammadiyah perihal IPM sebagai satu-satunya organisasi intra sekolah Muhammadiyah. Dengan demikian, tidak akan ada lagi dualisme antara IPM dan OSIS. Jika ada pihak sekolah yang tidak mengindahkan keputusan tersebut, maka perlu diberlakukan sanksi tersendiri dengan aturan-aturan yang berlaku. Kami pun berharap pula kepada Majelis Dikdasmen dari tingakt pusat hingga daerah untuk komitmen mengawal keputusan tersebut.


Kedua
, IPM harus kembali melakukan pembinaan secara intens terhadap sekolah-sekolah Muhammadiyah, terutama sekolah yang hampir gulung tikar dan kekurangan murid. Ini bukan berarti bahwa IPM mengambil alih peran sekolah. Tetapi IPM menjadi partner sekolah dalam melakukan poses pengembangan kegiatan belajar mengajar, di samping juga melakukan proses kaderisasi secara intens. Pelajar merupakan benteng ideologi bagi masa depan Muhammadiyah. Sejak kecil mereka harus ditanamkan semangat untuk berjuang di Muhammadiyah.

Ketiga, pembina IPM harus orang yang paham Muhammadiyah dan Ortomnya, diutamakan mereka yang sekarang sedang aktif di struktur IPM. Hal ini dilakukan agar kekuatan kaderisasi di tingkat sekolah pun menjadi lebih meningkat serta para aktivis IPM memiliki lahan dalam berjuang dan mampu menumpahkan ide-ide kreatifnya ke tingkat ranting. Salah satu hilangnya peran sekolah Muhammadiyah sebagai lembaga kaderisasi adalah karena pembina IPM bukanlah orang Muhammadiyah, apalagi yang paham tentang Muhammadiyah.

Saatnyalah kita membangun kembali kekuatan gerakan pelajar Muhammadiyah dalam rangka membela kepentingan dan hak-hak kaum pelajar. Hingga saat ini belum ada gerakan-gerakan pelajar yang berani meneriakkan suara pelajar, memperjuangkan pemerataan akses pendidikan ke seluruh pelosok tanah air, transportasi gratis, serta ada diskon bagi pelajar yang ingin berobat ke rumah sakit. Ini menjadi ‘misi suci’ bagi IPM bersama gerakan lain semisal PII, IPNU, dan IPPNU.

Pelajar adalah aset masa depan negara yang harus dijaga keutuhannya. Jangan ada pihak yang berani mencederainya.

Ridho Al-Hamdi
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah

1 komentar:

Unknown mengatakan...

komentar dari aku
(Arifin, temen kamu satu angkatan di IAIN)

Assalamu'alaikum wr wb
sorry gue nebeng komentar, tapi yang penting adalah mo silaturrahmi aje.. bobot komentar no 2 aje ye? koz emang gak berbobot hehehe

kamu mo jadi Paulo Freire ya? wah hebat dong, emang sich konsep pendidikan kita selama ini seakan2 kaya' bank pengetahuan. otak kayak celengan yang bebas dimasukin ilmu atau informasi dari siapa aja yang berwenang.

kalo Rabindranath Tagore mengibaratkan anak sekolah itu sebagai kumpulan anak-anak babi kecil yang ngantri siap untuk disembelih ke mesin penggilingan kapitalis..

Pendidikan yang diinginkan oleh Freire adalah pendidikan partisipatoris yang mementingkan peranan aktif dan kreativitas dari para siswa dalam menentukan kondisi lingkungannya dengan mengambil sikap kritis sebagai dasar pemahaman terhadap realitas sosial yang ada

tapi harus diakui untuk mewujudkan itu ke dalam basis pendidikan formal kita sangat susah. kecuali dalam ruang lingkup pemberdayaan sosial banyak berhasil diterapkan oleh beberapa LSM.

dalam kasus remaja maupun ABG dan pelajar, saya kira itu bukan melulu disebabkan oleh faktor pendidikan formal. tetapi totalitas dari hubungan sosial yang ada yang turut mempengaruhinya. orang tua membimbing para pemuda, masyarakat menekankan tentang perlunya menjaga ethika, negara memaksa dalam hal pengambilan sikap tegas dan menjaga warga agar tunduk sesuai dengna hukum tertentu.

di lain pihak, remaja harus mengontrol emosionalnya pada masa pubertas. dalam massa tersebut meningkatnya fungsi hormon mempengaruhi tindakan maupun emosional seseorang. sehingga mempunyai kecenderungan untuk melawan "otoritas" tradisi sangat memungkinkan.

untuk perjuangan para pelajar, saya kira metode pendidikan perlu diubah menjadi metode partisipatoris dan kebijakan pendidikan lebih mengutamakan rasa keadilan sosial.

saya juga pernah mengalami rasa stress ketika pada waktu sma pernah nyaris putus sekolah akibat kekurangan biaya pendidikan, maklum aku juga berasal dari kelas menengah ke bwah. sehingga kasus bunuh diri itu .. aku sangat merasakan betul,

mungkin ini aja, kapan-kapan aku akan mampir di blog mu lagi..Insya Allah

*(Akhmad Arifin, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Angkatan 2003 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)