20.59

Terorisme dan Ketidakadilan Global

Pengantar Tentang Kejahatan Lintas Batas
Berbicara tentang kejahatan lintas batas, maka kita akan membicarakan tentang segala bentuk tindakan kriminal yang melampaui batas-batas teritorial tertentu. Akan ada banyak pengertian yang digunakan untuk memberikan definisi terhadap istilah ”kejahatan lintas batas” atau yang disingkat dengan KLB. Di sini akan diuraikan juga macam-macam bentuk kejahatan lintas batas, serta terorisme sebagai isu sentral dalam kajian ini. Pada akhir pembahasan, diuraikan perspektif kritis dalam melihat terorisme sebagai kejatahan lintas batas serta solusi penyelesaiannya.

Kejahatan lintas batas dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang kompleks dan melibatkan para pihak (stakeholders) yang sungguh mengancam keamanan global. Lima faktor penyebabnya meliputi isu militer, ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial. Kelima elemen ini pada tataran konsepsional dapat dibedakan, tetapi pada level praksis, ketika timbul ancaman keamanan, substansi keterhubungan antar faktor-faktor itu menjadi sulit dibedakan. Artinya, sangat sukar mendeterminasi bahwa, sebuah ancaman keamanan nasional, regional, dan internasional hanya disebabkan oleh satu faktor saja (a single factor), misalnya faktor ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi politik (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Salah satu ancaman keamanan lintas batas terutama di daerah perbatasan setiap negara adalah penyelundupan orang dan barang. Modus operandi ini menjadi potensi ancaman besar bagi keamanan lintas negara yang sulit diberantas. Senator Amerika Serikat, John Kerry, menganggap kejahatan lintas batas sudah menggurita, yang erat hubungannya dengan aspek bisnis yang sangat menggiurkan. Kejahatan model ini juga melibatkan organisasi mafia, beraliansi dengan mitra lokal, pihak militer, birokrat, pebisnis, dan masyarakat. Perdagangan ilegal antar-negara antara lain meliputi obat-obatan terlarang, senjata, barang elektronik, manusia untuk tenaga kerja murah, perjualan organ tubuh, serta industri seks dan modal (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Pada awalnya, terdapat pemikiran bahwa ”kejahatan lintas batas” (transnational border crime) belum dapat diklasifikasikan sebagai jaringan sebuah organisasi kejahatan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dampak sangat besar dari kejahatan lintas batas itu mendorong pihak keamanan dan pemerintah untuk mengkontekskan perbuatan tersebut sebagai Transnational Organized Crime (TOC). Kejahatan terorganisir antar-negara tersebut semakin diawasi setelah penyerangan terhadap ”Menara Kembar” di New York, 11 September 2001. Modus operandi itu, kini diperhitungkan sebagai sebuah fenomena dan tindakan kriminal (terorisme) baru. Kendati pun belum ada definisi yang jelas tentang kejahatan lintas batas, tetapi salah satu faktor pemicunya adalah kemudahan akses internasional di sektor telekomunikasi, teknologi, dan informasi. Selain itu, kejahatan lintas batas terjadi juga karena lemahnya penegakan hukum di negara-negara berkembang antara lain seperti di Indonesia (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).
Pada perspektif yang lain, suatu perbuatan diklasifikasikan sebagai kejahatan lintas batas apabila memenuhi dua aspek utama. Pertama, dilakukan baik oleh individu atau kelompok secara ilegal; ditinjau dari sisi hukum dan keamanan dua atau lebih negara terkait. Dari sudut pandang dua negara bersangkutan, perbuatan serupa dikelompokkan sebagai “perbuatan melawan hukum”. Kedua, dari perspektif internasional, perbuatan kriminal serupa itu jelas melanggar berbagai perjanjian bilateral, trilateral, multilateral, konvensi, atau deklarasi tentang isu dan kasus yang sudah disepakati. Artinya, telah ada kekuatan hukum sebagai dasar dan rujukan untuk menilai sebuah perbuatan melawan hukum negara, dan patut dihukum (www.suarapembaruan.com, 28/5/07).

Berbagai bentuk kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas (transnational crime) dengan melihat lokasi kejadian atau pelakunya. Ada yang terjadi di wilayah perbatasan antara dua negara dan melibatkan penduduk yang tinggal disekitarnya (transborder crime). Namun ada juga yang tersebar di berbagai kota/daerah yang bukan wilayah perbatasan, dilakukan secara berkelompok/jaringan internasional yang terorganisir (transnational organized crime).

Berdasarkan referensi yang telah ditemukan, ada 11 contoh jenis kejahatan lintas batas yang dapat dikemukakan di sini. Berikut ini adalah jenis-jenisnya.
1. Terorisme, merupakan serangan terkoordinir yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang tiba-tiba dan target korban yang seringkali warga sipil (Kamus Wikipedia).
2. Bajak laut (pirate), adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Tujuan mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapa pun kecuali di bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Target utama penyerangan para bajak laut adalah sebagian besar kapal-kapal (dan juga daerah-daerah kolonial) yang berada di bawah kekuasaan Spanyol atau Portugis (Kamus Wikipedia).
3. Illegal loging atau penebangan liar, merupakan kegiatan penebangan hutan yang tidak mendapatkan izin pemerintah dan dilakukan secara diam-diam.
4. Illegal fishing atau penangkapan ikan secara liar. Kegiatan seperti ini sama saja urgensi dengan pembalakan dan penambangan liar.
5. Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, demi tujuan eksploitasi (Situs Resmi Kedutaan Amerika di Jakarta).
6. Penyelundupan (smuggling), bisa berupa apa saja dari satu negara ke negara lain tanpa legal-formal.
7. Perdanganggan obat-obat terlarang (drug trafficking).
8. Penyelundupan senjata. Jenis kejahatan ini bisa berupa senjata api dan gas, serta peralatan senjata perang lainnya. Proses penjualan bisa dilakukan melalui darat dan udara (www.tempo.co.id, 2/12/04).
9. Kejahatan dunia maya (cyber crime). Dunia internet memang seperti dua sisi mata uang. Sisi satu memiliki nilai positif, tapi sisi lain mengandung nilai negatif. Nilai negatif ini yang dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas. Kejahatan macam ini bisa berupa pembobolan data milik negara, seperti yang pernah terjadi pada KPU.
10. Pencuciang uang (money laundering). The Financial Action Task Force (satuan tugas internasional) memerangi pencucian uang di seluruh negara. Indonesia masuk dalam daftar hitam negara tidak kooperatif sejak 2001 bersama dengan negara-negara yang selama ini dikenal sebagai surga pencucian uang, seperti Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina.
11. Korupsi. Secara sederhana korupsi bisa dipahami sebagai gejala atau praktek di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya suap, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya, demi keuntungan pribadi (BN. Marbun, 2005). Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, penjelasan tentang korupsi sudah dipaparkan secara gamblang dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Korupsi disepakati sebagai kejahatan lintas batas/negara yang serius pada pertemuan ke-6 tingkat Pejabat Senior ASEAN tahun 2006 tentang Kejahatan Lintas.

Di Indonesia, kejahatan lintas batas meningkat cukup signifikan beberapa tahun terakhir dan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Kejahatan yang terjadi di wilayah perbatasan, antara lain seperti illegal loging, illegal fishing, perdagangan manusia, penyelundupan, dan perdanganggan obat-obat terlarang telah menimbulkan kerugian negara puluhan triliun setiap tahunnya, jumlah yang semestinya cukup besar untuk membantu peningkatan kesejahteraan rakyat. Dari kejahatan trafficking, Indonesia dijadikan sebagai negara transit dalam penyelundupan migran gelap dari Timur Tengah ke Australia, dan melahirkan permasalahan tersendiri dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Masalah yang serupa juga terjadi dengan negara Malaysia. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai negara pemasok Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk industri prostitusi di Singapura atau Hongkong, yang disisipkan lewat kegiatan pengiriman TKI. Serupa hal itu, Indonesia menjadi pasar PSK asal Cina, Taiwan, Rusia, dan negara asing lainnya. Dua jenis kejahatan ini menimbulkan social cost yang besar bagi Indonesia (www.solidaritycenter.org).

Demikian pula kejahatan money laundering atas hasil dari bisnis haram seperti prostitusi, perjudian, narkoba, dan bahkan dari hasil korupsi yang masih sulit diatasi. Pada bulan Maret 2003, Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United State dalam International Narcotics Control Strategy Report melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam deretan negara major laundering countries di wilayah Asia Pasifik. Predikat ini diperuntukkan bagi negara yang lembaga dan sistem keuangannya terkontaminasi oleh bisnis narkotika internasional dalam jumlah yang sangat besar. Laporan tersebut didukung oleh laporan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2003, bahwa jumlah peredaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai 300 triliun rupiah per tahun, hampir sama dengan APBN yang hanya 315 triliun pada tahun itu (www.bnn.go.id). Selain itu, miliaran bahkan triliunan rupiah uang hasil korupsi disimpan di bank atau diinvestasikan di luar negeri dan penegak hukum tidak berdaya untuk menarik dana tersebut kembali ke Indonesia.

Dari sini dapat dipahami, bahwa kejahatan lintas batas merupakan tindakan kriminal yang tidak kenal keamanan dan perdamaian internasional. Dalam hal ini, kejahatan lintas batas akan difokuskan pada isu terorisme sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan lintas batas yang merugikan manusia di mana pun mereka berada.

Terorisme: Perlawanan atas Ketidakadilan Global
Dari jenis-jenis kejahatan lintas batas di atas, kajian ini difokuskan pada isu terorisme. Sebuah isu yang semenjak tragedi meledaknya World Trade Center lebih dilekatkan dengan isu jihad. Padahal makan terorisme sangat jauh dari esensi jihad itu sendiri. Nama agama di sini menjadi kambing hitam terorisme.

Menurut para ahli kontraterorisme, istilah ”teroris” dilekatkan pada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna, serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki pembenaran. Karena itu, para pelakunya (teroris) layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya, seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati (Kamus Wikipedia).

Menurut Francisco Budi Hardiman, istilah ”terorisme” pada tahun 1970-an dilekatkan pada beragam fenomena: dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kelaparan dan kemiskinan. Istilah ini jelas berkonotasi peyoratif, seperti juga istilah ”genosida” atau ”tirani”. Karena itu, istilah ini juga rentan dipolitisasi. Lebih jauh, dia menjelaskan juga bahwa terorisme termasuk dalam kategori kekerasan politis (political violence) seperti kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, gerilya, pembantaian, dll. Karakteristiknya antara lain, pertama, merupakan intimidasi yang memaksa. Kedua, memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk satu tujuan tertentu. Ketiga, korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni ”bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”. Keempat, target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas. Kelima, Pesan aksi ini cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal. Keenam, para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya berjuang demi agama dan kemanusiaan (F. Budi Hardiman, 2005).

Tujuan para teroris melakukan aksi-aksinya diungkapkan secara terperinci oleh F. Budi Hardiman. Menurutnya ada enam tujuan. Pertama, mempublikasikan suatu alasana lewat aksi kekejaman karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang cepat dan masif dimungkinkan. Kedua, aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok. Ketiga, katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa. Keempat, menebar kebencian dan konflik interkomunal. Kelima, mengumumkan musuh atau kambing hitam. Keenam, menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan polisi, serta lain sebagainya. Sedangkan untuk membenarkan aksi terorismenya, para pelaku teror membenarkan tindakannya berdasarkan lima alasan. Pertama, segala cara dibenarkan demi pencapaian tujuan transendental (surga). Kedua, kekerasan ekstrem dianggap bersifat katarsis, memberi rahmat, dan regeneratif. Ketiga, pelaku meletakkan aksinya dalam konteks sejarah dimana aksi itu merupakan elemen dari hukum sejarah itu sendiri. Keempat, dijelaksan dari perspektif moral kesetimpalan ’mata diganti mata, gigi diganti gigi’. Kelima, aksi teror dipandang sebagai ’kejahatan kecil’ dibanding dengan ancaman musuh yang merupakan ’kejahatan agung’ (F. Budi Hardiman, 2005).

Terorisme bukan merupakan isu baru. Namun menjadi lebih aktual ketika terjadi peledakan pada World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001. Tragedi yang terjadi selama dua jam ini dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan kurang lebih 3.000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, 189 orang tewas (termasuk para penumpang pesawat), 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke WTC merupakan penyerangan terhadap ”Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, mereka sebenarnya tidak saja menyerang Amerika Serikat, tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut (Kamus Wikipedia).

Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan terorisme internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya tragedi Bali (12 Oktober 2002) yang merupakan tindakan teror dan menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang (Kamus Wikipedia). Begitu juga kejadian bom di Hotel JW. Marriot, bom di Kuningan, bom di Kedubes Australia, dan Bom Bali II.

Memang belum ada pengertian yang tuntas tentang terorisme. Yang jelas, alasan para pelaku melakukan teror bom di mana-mana adalah anggapan bahwa dunia yang dihegemoni oleh neoliberalisme tidak berlaku adil. Islam yang dianggap sebagai agama paling sempurna telah dihina dan disubstitusikan. Islam dinggap oleh kaum neoliberalis, sebagai penghambat bagi gerak lajunya perekonomian dunia. Padahal bagi para teroris, agamalah yang seharusnya memimpin dunia. Karena anggapan bahwa Islam paling benar, maka nilai-nilai jihad mereka munculkan dalam bentuk peperangan. Pengeboman yang terjadi dimana-mana dan selalu dilekatkan dengan Islam sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan dunia global.

Atas dasar tolok ukur kejahatan lintas batas yang telah dijelaskan di atas, maka dalam konteks ini terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang dilakukan tidak hanya dalam satu wilayah tertentu saja, tetapi lebih dari dua negara. Di samping itu, terorisme telah mengancam keamanan internasional dan yang lebih penting lagi, terorisme telah menghilangkan banyak nyawa warga sipil yang tidak berdosa. Ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berada pada urutan teratas dan harus segera diberhentikan.

Pembacaan Teori Kritis Terhadap Terorisme
Menurut pembacaan teori kritis, kemunculan aksi terorisme merupakan bentuk perlawanan terhadap dunia global dan khususnya terhadap pemerintah atas perlakuan ketidakadilan terhadap kaum tertentu. Kaum tertentu ini yang kerap kali melakukan tindakan teror. Bagi para teroris, dunia sekarang telah didominasi oleh kaum neoliberalisme, istilah yang kerap dianggap ingin menghidupkan kembali ’liberalisme klasik’ dan juga sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi. Paham neoliberalisme ini dianggap sebagai musuh yang akan menjadi kekuatan global dan akan menyingkirkan semua pihak, termasuk agama. Dengan alasan inilah para teroris itu melakukan perlawanan terhadap dunia global dengan taktik yang bombastis dan dapat menarik perhatian dunia.

Menurut Adjie S., aksi terorisme sebenarnya ingin memaksa pemerintah untuk menyerah sekaligus mengikuti tuntutan mereka. Tujuan teror tidaklah menjadi penting, tetapi efek dan reaksi yang mereka lakukan dengan kejam itu yang menjadi target mereka dan berharap masyarakat dan pemerintah menjadi panik. Karena itu, dengan tindakan kejam ini para teroris berharap pemerintah mau mengikuti keinginan para teroris yang tidak pernah digubris (Adjie S., 2005).

Karena itu, demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan penuh perdamaian, ada beberapa langkah berikut ini yang harus menjadi perhatian utama dalam rangka menghadapi aksi terorisme. Pertama, membuat kesepakatan global bahwa terorisme sebagai common enemy dalam rangka pemenuhan dasar state security dan human security serta tidak membahayakan warga sipil di belahan negara manapun.

Kedua, pihak pemerintah harus memperketat keamanan negara dengan cara mempertegas hukum terhadap pelaku terorisme tanpa tebang pilih serta kembali memperkuat peran-peran lembaga kepolisian dan penjagaan keamanan, terutama pada batas-batas teritoriral antar-negara.

Ketiga, melakukan kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk memerangi segala bentuk tindakan terorisme dalam rangka perdamaian internasional.

Keempat, masyarakat sipil juga berhak untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat lain yang terindikasi menyimpan barang-barang pendukung terorisme. Jadi, kontrol tidak hanya datang dari atas (pemerintah), tetapi dari bawah juga. Pihak masyarakat harus mulai memiliki kesadaran untuk mengontrol sesama warganya sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus mengawasi semua pihak dalam penggunaan dan pemasaran bahan peledak.

Kelima, melakukan proses penyadaran kepada seluruh warga tentang apa itu terorisme, bahaya terorisme, dampak terorisme, jaringan terorisme, serta bagaimana mengetahui seseorang itu melakukan tindakan-tindakan yang mengindikasikan pada terorisme. Proses penyadaran bisa berupa pelatihan, short course, pembuatan opini publik di media (cetak atau elektronik), serta adanya gerakan kampanye anti-terorisme dari masyarakat sendiri. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan aksi-aksi terorisme dapat terkontrol dan tidak terjadi lagi.



Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

0 komentar: