19.47

Kupang, Potret Pluralitas Kota Kasih


Adalah pengalaman baru, saya bisa berkunjung ke ibu kota Nusa Tenggara Timur (provinsi yang memiliki 16 kabupaten dan kota) yang terkenal sebagai ”Kota Kasih” ini. Di pinggi-pinggir jalan selalu ada tulisan ”Kupang Kota Kasih”. Pengambilan istilah ”Kasih” merupakan singkatan dari Kupang Aman, Sehat, Indah, dan Harmonis. Mungkin inilah suasana kerukunan yang didambakan masyarakatnya. Perbedaan waktu antara Kupang dengan Indonesia bagian barat, satu jam lebih cepat.

Selain itu, hampir di seluruh lapisan bawah tanah Kupang adalah karang. Sebagian masyarakatnya memberikan julukan lain kepada Kupang sebagai kota karang. Karena lapisan karang itulah, air menjadi sulit untuk didapatkan, sekalipun hampir setiap hari hujan. Walaupun hujan sangat deras, tapi jarang terjadi banjir. Seorang aktivis kampus di Kupang mengatakan, tanah di utara Kupang ini turun satu sentimeter setiap tahun, tapi tanah di selatan Kupang naik satu sentimeter juga. ”Jadi, Kupang seimbang dan nggak akan tenggelam walaupun hujan lebat, he, he...” guraunya.

Terkadang pihak penginapan yang kami tempati beli air dari tangki. Jadi, kita harus hemat air. Untuk mencuci saja harus menunggu bak mandi penuh. Karena itulah, pakaian kotor kami serahkan ke laundry yang ada di penginapan. Harganya dihitung per potong, tidak kiloan. Harga per potong 2.500 rupiah untuk semua jenis pakaian. Untuk jas paling mahal, 30 ribu rupiah. Tidak ada jasa laundry lain di sekitar penginapan. Sebenarnya kami ingin mencuci sendiri, tapi repot. Sedangkan laporan penelitian harus banyak yang dikerjakan.

Kunjungan ke Kupang ini berawal dari adanya penelitian tentang kehidupan beragama di kampus Nusa Cendana (Undana). Sebuah kampus yang didirikan tahun 1962 dan kini telah memiliki tujuh fakultas, baik sosial-humaniora maupun eksak. Tata letaknya hampir mirip kampus UI Depok. Luas, banyak pepohonan yang memisahkan antara satu fakultas dengan fakultas lain, dan di pinggiran kota. Model kampus seperti ini bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus yang lain. Tetapi (maaf), bangunannya tergolong kurang terawat.

Jika dibandingkan dengan kunjungan sebelum-sebelumnya, kunjungan kami ke kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Katolik dan Protestan ini cukup lama, hampir tiga minggu. Seolah sudah menjadi warga sana. Saya bersama Drs. H. Dahwan, M.Si. (Dosen Syariah UIN Sunan Kalijaga) tiba di Bandara El-Tari Kupang pada hari Jumat tengah malam, 9 Januari 2009.

Saat itu kami transit sementara di penginapan Astiti. Keesokan harinya hingga akhir penelitian, kami tinggal di penginapan Flores Indah di Kelurahan Solor, salah satu perkampungan muslim di Kupang. Penginapan ini milik orang Arab. Letaknya dekat pantai Kupang, sekitar 300 meter ke arah selatan. Jadi, kalau kita lari pagi, pasti bertemu dengan mulut pantai. Ada dua perkampungan muslim lainnya, Kampung Airmata dan Gondopoi. Sebenarnya masih ada penginapan yang lebih baik dari yang kami tempati, tetapi banyak hotel yang menyediakan kupu-kupu malam. Kami tak sanggup untuk tinggal di penginapan seperti itu, takut gak konsen buat laporan, he, he... Menurut data Depag NTT tahun 2007, jumlah muslim di NTT hanya 8,5 persen berada pada urutan ketiga setelah Katolik dan Protestan. Kemudian disusul Hindu dan Budha.

Hampir setiap hari, kami selalu mengunjungi Undana (kampus Penfui) dengan bis Damri. Disebut kampus Penfui karena letaknya di kampung Penfui. Ongkosnya 2.500 rupiah. Bis melewati pinggiran pantai, pasar ikan, terkadang naik-turun bukit, dan melintasi perkampungan. Waktu yang ditempuh sekitar 20 hingga 30-an menit. Tergantung laju kecepatan bis. Setelah turun dari bis, kami masih harus berjalan kaki lagi di bawah terik panasnya matahari untuk sampai ke kampus. Begitu juga ketika pulang. Tak jarang air keringat keluar dari pori-pori tubuh. Walaupun cuacanya hujan, tapi hawanya tetap panas. Maklum, harus adaptasi. Kalau ke kampus Undana lama, kami naik mikrolet jalur 2.

Saat di kampus, kami mencari dan mengcopy beberapa data, wawancara, mengamati perilaku mahasiswa, dan kembali lagi ke penginapan untuk menulis laporan. Berbagai kendala yang muncul dari pihak kampus sempat mewarnai perjalanan selama di Kupang. Namun itu justru menjadi tantangan. Di luar kampus, kami juga bertemu dengan beberapa aktivis organisasi ektra kemahasiswaan, seperti GMKI, PMKRI, HMI, GMNI, PMII, dan KAMMI sebagai pelengkap data.

Cuaca di Kupang memang lebih panas dibandingkan dengan kota-kota semisal Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Bogor. Walaupun kami datang di saat musim hujan, namun udaranya tetap saja panas. Hal ini dibenarkan oleh ibu penjual Rumah Makan ”Teluk Bayur” asal Bukit Tinggi. ”Panas ya, Mas? Ini aja sudah panas, apalagi kalau musim kemarau. Panasnya bisa sampai 37 derajat celcius,” ungkapnya. Tak heran jika ada perubahan di wajah saya, agak mateng, he, he…

Soal makan, harganya lebih mahal dibanding dengan makanan yang ada di Jawa. Jika saya makan dengan ikan laut, harga satu porsi bisa 25 ribu rupiah. Itu belum dengan air minumnya. Namun ada juga warung yang menyediakan makanan seharga 10 ribuan rupiah. Sebenarnya kami cukup sulit menjumpai rumah makan yang tergolong halal. Tetapi karena kami tinggal di kawasan muslim, banyak rumah makan yang menjadi pilihan sehari-hari. Misal, masakan Padang, masakan Solo, masakan Pasundan, nasi kuning, nasgor, Jawa timuran, soto, dan lain sebagainya. Sebagian besar penjualnya banyak pendatang, terutama dari Jawa. Kami pun ngobrol dengan bahasa Jawa. Tak jarang terdengar musik-musik dangdut juga. Plat kendaraan tidak hanya asli Kupang (DH), tetapi dari luar daerah juga ada. Serasa masih seperti ada di Jawa.

NTT juga merupakan salah satu provinsi multietnis. Budaya lokalnya beragam. Ada budaya Sumba, Rote, Alor, Lamaholot, Lio, Ende, Keo, dan lain sebagainya. Tidak ada satu budaya paten di NTT seperti budaya betawi mewakili Jakarta atau minang di Padang. Namun yang sering menjadi perwakilan NTT biasanya budaya Rote. Di samping itu, banyak imigran yang menetap di Kupang. Tentu jumlah mereka masih relatif kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lokal. “Saya tinggal di Kupang sudah 17 tahun, Mas. Jualan jamu gendong. Untungnya lumayan. Bisa untuk nambah biaya anak-anak yang sekolah di Ngawi,” kisah ibu setengah baya itu kepada saya.

Di mana-mana selalu ada gereja, bahkan tepat di depan penginapan kami ada satu gereja Protestan. So, sangat sulit sekali mendapatkan masjid. Suara adzan pun jarang terdengar. Untung saja 200 meter sebelah barat penginapan ada Masjid Al-Fatah yang biasa kami kunjungi untuk shalat terutama Dhuhur, Maghrib, dan Subuh. Maklum, kami terbiasa menjamak. Tetapi jamaah yang hadir tidak lebih dari tiga shaf.

Ada sesuatu hal yang berbeda di Kupang, yang tidak kita jumpai di kota-kota besar di Jawa. Di Kupang hampir tidak ada pengemis dan pengamen. Menurut penjelasan Ketua PWM NTT, Drs. H. Zaenuddin Achied, masyarakat Kupang memiliki nilai gengsi yang sangat tinggi. Hal ini dibenarkan oleh teman-teman IPM Kupang. ”Masyarakat Kupang itu tidak mau harga dirinya direndahkan. Lebih baik kelaparan daripada harus meminta-minta,” jelas teman-teman IPM. Tetapi kami masih menjumpai beberapa pemulung dan orang gila di pinggiran jalan.

Hal yang patut untuk diceritakan juga adalah orang-orang Kupang termasuk memiliki sikap yang ramah. Kalau kami menyapa, mereka pun melempar senyuman khasnya. Ketika naik Damri, mereka rela membagi kursi yang seharusnya cukup untuk dua orang menjadi tiga orang. Panggilan khas orang Kupang adalah ”Nona” untuk perempuan (kalau di Jawa ”Mbak”) dan ”Nyong” untuk laki-laki (kalau di Jawa ”Mas”). Sapaan kami sehari-hari kepada mereka adalah ”Met Pagi...”, ”Met Siang...”, ”Met Malam...” atau cukup dengan ucapan ”Halooo....” atau ”Saloommm”. Wajar, mereka kan non muslim.

Di samping itu semua, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa amal usaha Muhammadiyah, seperti TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK). Tapi sayang, suasana konflik di Muhammadiyah Kupang cukup tinggi. Salah satu konflik yang sempat mewarnai selama kami di sana adalah, perebutan jabatan rektor UMK yang menyebabkan kegiatan kampus mati total hingga kepulangan kami.

Terlepas dari itu semua, di tengah-tengah kesibukan, kami tetap mengikuti perkembangan berita tentang perang Israel-Palestina, pelantikan Barack Obama sebagai Presiden AS ke-44, tragedi tenggelamnya Kapal Teratai Prima di laut Sulawesi, banjir di Ibu Kota Jakarta dan beberapa daerah lain, turunnya harga BBM menjadi 4.500 rupiah, terbunuhnya Kolonel Kasminah, serta tak kalah juga komedi lucu Tawa Sutra sebagai penghibur kami. Semuanya telah mewarnai selama perjalanan kami di Kupang hingga Ahad, 25 Januari 2009. Capek juga.

Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum

0 komentar: