12.59

Mural, Siapa Yang Suka?

Sederet gambar dengan warna bervariasi pada dinding-dinding jalanan daerah Kuningan terkesan cukup unik. Terpampang sebuah gambar wajah setengah abstrak seakan menyapa publik yang melintasi simpang empat itu. Ada pula karikatur sosok jagoan mirip James Bond dengan gaya sedang melakukan pembunuhan sadis. Memanfaatkan tembok pinggir jalan, penyangga tol, jalan layang, serta pagar dinding sebagai media untuk berekspresi dan berkarya, karya seni ini menyebar hampir ke seluruh sisi kota Yogyakarta. Mural, demikian banyak orang mulai mengenalnya, telah semarak di berbagai kota besar, seperti Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bandung.

Mural yang pada awalnya dibuat sebagai ungkapan protes lewat gambar-gambar di tembok-tembok bangunan dan gedung-gedung di wilayah perkotaan, ekspresi dan maknanya mulai bergeser. Tidak melulu sebagai ungkapan protes tetapi juga menambah artistik tata ruang kota dan menjadi pemandangan yang menyejukkan di tengah ingar bingar rutinitas kehidupan kota.

Gejala ini menular ke beberapa tempat setelah ada seniman yang tergabung sebuah komunitas salah satunya adalah Apotik Komik. Kemudian beberapa siswa sekolah mulai melukis dinding sekolahnya. Para pemuda melukisi dinding kampungnya. Hal ini dapat menjadikan kota lebih cantik. Jogja telah melakukannya, karena sesuai dengan citranya sebagai kota budaya. Namun, banyak pertanyaan, apakah mural itu mempercantik atau malah mengotori keindahan kota?

Di Jakarta pernah terjadi penghapusan semua lukisan dinding dengan cat putih pada tahun 2001. Namun, pelarangan itu hanya berhenti sebentar. Beberapa waktu kemudian bermunculan lagi gambar-gambar yang lebih unik. Inilah bentuk perjuangan para seniman yang ingin mendapatkan ruang publiknya sendiri. Orang tidak melulu dihadapkan pada pemandangan kota yang dipenuhi papan iklan, tetapi akan lebih hidup dengan aneka gambar seni di pinggir jalan raya. Di Jakarta ada sekelompok seniman yang dimotori Kassah Hakim, misalnya, membuat karikatur tokoh-tokoh politik.

Selain sebagai penghias kota, mural mampu untuk menggugah kesadaran masyarakat. Sebagai contoh, sebuah mural yang terdapat di sekeliling tembok lapangan Kridosono dan di dinding SD Negeri Tukangan I Jalan Suryopranoto Jogjakarta. Setiap kali kita lewat jalan itu pasti tampak pemandngan lukisan. Mural yang berada di pojok perempatan itu bukan hanya melakukan kampanye baca, melainkan juga pendekatan yang tepat kepada masyarakat akan perlunya membaca.

Simak saja beberapa tulisan yang terbaca pada mural tersebut: Open book open mind, book reader, maca buku agawe pinter lan migunani (membaca buku membuat pintar dan bermanfaat). Semua kata itu sangat jauh dari kesan bombastis. Para pembuat mural ini membiarkannya mengambang begitu saja sehingga kata-kata yang bertebaran dalam mural tersebut terasa lebih padat. Ini lebih bisa diterima dibanding kampanye lain yang lebih bombastis dan penuh dengan slogan kosong. Bagi seniman mural, pilihan warna yang terbaik untuk mural adalah gelap, karena tidak akan memantulkan cahaya lampu bagi kendaraan yang lewat.

Contoh gambar mural di atas bukanlah seseorang berkacamata sedang membaca buku di perpustakaan, tetap seseorang yang sedang naik skate board sambil baca buku. Ini cara unik untuk mendekati publik. Ikon seperti ini akan lebih akrab, terutama bagi anak muda perkotaan. Sekaligus memberi arti, bahwa ketertinggalan bisa dihindari dengan selalu memperluas wawasan dengan membaca. Juga membaca merupakan kendaraan untuk mencapai tujuan.

Mural lebih cocok dengan sifatnya yang langsung berhadapan dengan khalayak. Sehingga tidak heran jika ia memiliki tema yang beragam, termasuk sosial dan politik, yang dikemas secara cukup provokatif. Banyak juga mural yang bercorak simbolik, karikatural, dan abstrak, yang akhirnya publik kesulitan mencerna pesannya. Maka, sebaiknya seni mural dibuat sedemikian enak dengan pemahaman masyarakat. Apalagi para pengendara sepeda motor atau kendaraan lain yang hanya melihatnya selintas. Biasanya sebagian besar seniman mural adalah mereka yang pernah menekuni dunia komik, misalnya komunitas Masyarakat Komik Indonesia dan Sekte Komik.

Mural dapat membantu bagi seniman yang kurang memiliki modal untuk memasyarakatkan dan mengaktualisasikan ide mereka. Tentu, karya itu hanya bisa dinikmati dan tak bisa dibeli. Seperti halnya seniman teater yang menggunakan pasar, atau swalayan, untuk memperagakan happening art dan pembacaan puisi. Dengan mengambil ikon anak muda, mural telah melakukan pendekatan yang tepat kepada publik akan pentingnya sebuah pesan moral. Ada semacam citra yang dicoba untuk dibangun, semisal kebersihan itu pangkal kesehatan atau menulis adalah aktivitas yang menyenangkan, gaul dan funky.

Ridho Al-Hamdi
Redaktur Majalah Kuntum

0 komentar: