Indie merupakan sebuah semangat untuk do it your self. Lahirnya film indie bermula sa-at banyak pembuat film di Amerika kesulitan menembus jaringan Hollywood. Alasan film-film mereka ditolak, antara lain karena kurang populer dari segi cerita, tidak komersil, aktor dan aktrisnya kurang menarik sehingga tidak punya nilai jual.
Istilah independen sendiri memang agak rancu waktu diterapkan di Indonesia. Di Ame-rika, istilah film indie adalah film yang mele-paskan diri dari industri mapan. Di Indonesia didefinisikan sebagai film yang nggak masuk bioskop atau layar lebar. Tetapi bisa juga disebut sebagai komunitas yang sejak awalnya memang menamakan diri indie sebelum me-nawarkan ke sebuah perusahaan. Karena semangat indie yang punya karakteristik idealis itulah booming bikin film pun terjadi.
Banyak orang ngomong kalau indie itu ha-rus benar-benar mencerminkan sebuah idea-lisme dari si pembuat. Tetapi sebenarnya se-tiap karya film apapun harus mempunyai pesan yang mencerminkan idealisme si pembuat. Terserah itu film cemen kayak sinetron, laris manis kayak AADC atau berat banget kayak garapannya Garin Nugroho.
Jika dicermati, film-filmya Garin memang terkesan sangat imajinatif dan susah dipaha-mi, sehingga penonton merasa kesulitan da-lam menangkap pesannya. Padahal secara konsep maupun estetik top abis. Tidak ada salahnya jika seseorang dalam membuat film merasa perlu memberikan subyektifitasnya. Tetapi harus diingat, selain sebagai media eks-presi film juga merupakan media komunikasi, karena dibilang berhasil jika pesan yang disampaikan bisa dipahami penonton.
Dewasa ini, ada anggapan kalau membuat film itu gampang. Tinggal modal pinjem handy-cam, patungan beli kaset produksi, ngedit bareng. Jadi sudah. Tapi perlu diingat, harus ada keseimbangan antara konsep isi, cerita, segi estetik dan visual. Sebuah karya seni akan terlihat berkualitas pada saat terjadi keseim-bangan dari hal-hal di atas.
Di samping itu, bikin film bisa dijadikan sebagai media untuk curhat, nggak perlu pa-kai riset dulu. Cuma sebatas modal dengkul sama urat doang. Tapi jangan ngamuk kalau hasilnya juga berkualitas dengkul dan urat, he... he...
Memang tidak salah kalau ada ungkapan, bahwa setiap orang adalah seniman, mampu bikin film sendiri. Tapi ada yang perlu digaris-bawahi, jika film itu merupakan sebuah makh-luk hidup tentunya dia akan berteriak. Film itu bakalan minta tolong untuk tidak diperkosa atas nama kebebasan seni. Dia juga memo-hon untuk hidup normal secara seimbang dari segi konsep dan estetik, karena dia merasa terhormat pada saat semua hal di atas terwu-jud. Dan si pembuat film akan merasa dihargai dengan jerih payahnya.
Membuat jernis film ini memang tidak terlalu menghabiskan banyak uang, tetapi tuntutan berkualitas dan enak dinikmati itu harus. Tentunya kualitas bisa didapat lewat konsep cerdas dan brilian yang diturunkan ke tataran teknis pembuatan. Dan untuk mem-baca produk jadinya, dibutuhkan juga tingkat apresiasi yang boleh dibilang lebih tinggi dari penonton.
Jakarta International Film Festival (JiFFest) sendiri menjadi salah satu even dari banyaknya even apresiasi film, baik lokal maupun internasional. Film-film yang diputer agak berbeda dengan film-film bioskop biasanya. Misinya adalah sebagai salah satu ajang sineas-sineas muda berbakat untuk menampilkan karya mereka, serta mening-katkan apresiasi masyarakat pada film yang bukan produksi perusahaan resmi. Film-film tersebut tentunya mengusung semangat indie, yang biasa diproduksi dengan biaya rela-tif rendah dan pilihan tema yang nggak umum banget.
Booming film semacam ini tidak lepas dari perkembangan teknologi yang makin dekat dengan pembelinya. Sebut saja mun-culnya berbagai handycam digital yang makin banyak ditemukan di pasaran. Dengan begitu, biaya produksi sebuah film bisa dipangkas. Sekarang, dengan modal ratusan ribu saja sudah cukup buat biaya produksinya.
Selain itu, menjamurnya Komunitas Film Independen bisa menjadi wadah buat men-dongkrak produktivitas film indie. Banyak cara yang mereka lakukan. Membuat film, diapre-siasi dan disebarkan sendiri. Caranya berke-liling ke berbagai tempat. Duh, semangatnya perlu dikasih aplause. Indie banget gitu lho.
Ridho Al-Hamdi
Istilah independen sendiri memang agak rancu waktu diterapkan di Indonesia. Di Ame-rika, istilah film indie adalah film yang mele-paskan diri dari industri mapan. Di Indonesia didefinisikan sebagai film yang nggak masuk bioskop atau layar lebar. Tetapi bisa juga disebut sebagai komunitas yang sejak awalnya memang menamakan diri indie sebelum me-nawarkan ke sebuah perusahaan. Karena semangat indie yang punya karakteristik idealis itulah booming bikin film pun terjadi.
Banyak orang ngomong kalau indie itu ha-rus benar-benar mencerminkan sebuah idea-lisme dari si pembuat. Tetapi sebenarnya se-tiap karya film apapun harus mempunyai pesan yang mencerminkan idealisme si pembuat. Terserah itu film cemen kayak sinetron, laris manis kayak AADC atau berat banget kayak garapannya Garin Nugroho.
Jika dicermati, film-filmya Garin memang terkesan sangat imajinatif dan susah dipaha-mi, sehingga penonton merasa kesulitan da-lam menangkap pesannya. Padahal secara konsep maupun estetik top abis. Tidak ada salahnya jika seseorang dalam membuat film merasa perlu memberikan subyektifitasnya. Tetapi harus diingat, selain sebagai media eks-presi film juga merupakan media komunikasi, karena dibilang berhasil jika pesan yang disampaikan bisa dipahami penonton.
Dewasa ini, ada anggapan kalau membuat film itu gampang. Tinggal modal pinjem handy-cam, patungan beli kaset produksi, ngedit bareng. Jadi sudah. Tapi perlu diingat, harus ada keseimbangan antara konsep isi, cerita, segi estetik dan visual. Sebuah karya seni akan terlihat berkualitas pada saat terjadi keseim-bangan dari hal-hal di atas.
Di samping itu, bikin film bisa dijadikan sebagai media untuk curhat, nggak perlu pa-kai riset dulu. Cuma sebatas modal dengkul sama urat doang. Tapi jangan ngamuk kalau hasilnya juga berkualitas dengkul dan urat, he... he...
Memang tidak salah kalau ada ungkapan, bahwa setiap orang adalah seniman, mampu bikin film sendiri. Tapi ada yang perlu digaris-bawahi, jika film itu merupakan sebuah makh-luk hidup tentunya dia akan berteriak. Film itu bakalan minta tolong untuk tidak diperkosa atas nama kebebasan seni. Dia juga memo-hon untuk hidup normal secara seimbang dari segi konsep dan estetik, karena dia merasa terhormat pada saat semua hal di atas terwu-jud. Dan si pembuat film akan merasa dihargai dengan jerih payahnya.
Membuat jernis film ini memang tidak terlalu menghabiskan banyak uang, tetapi tuntutan berkualitas dan enak dinikmati itu harus. Tentunya kualitas bisa didapat lewat konsep cerdas dan brilian yang diturunkan ke tataran teknis pembuatan. Dan untuk mem-baca produk jadinya, dibutuhkan juga tingkat apresiasi yang boleh dibilang lebih tinggi dari penonton.
Jakarta International Film Festival (JiFFest) sendiri menjadi salah satu even dari banyaknya even apresiasi film, baik lokal maupun internasional. Film-film yang diputer agak berbeda dengan film-film bioskop biasanya. Misinya adalah sebagai salah satu ajang sineas-sineas muda berbakat untuk menampilkan karya mereka, serta mening-katkan apresiasi masyarakat pada film yang bukan produksi perusahaan resmi. Film-film tersebut tentunya mengusung semangat indie, yang biasa diproduksi dengan biaya rela-tif rendah dan pilihan tema yang nggak umum banget.
Booming film semacam ini tidak lepas dari perkembangan teknologi yang makin dekat dengan pembelinya. Sebut saja mun-culnya berbagai handycam digital yang makin banyak ditemukan di pasaran. Dengan begitu, biaya produksi sebuah film bisa dipangkas. Sekarang, dengan modal ratusan ribu saja sudah cukup buat biaya produksinya.
Selain itu, menjamurnya Komunitas Film Independen bisa menjadi wadah buat men-dongkrak produktivitas film indie. Banyak cara yang mereka lakukan. Membuat film, diapre-siasi dan disebarkan sendiri. Caranya berke-liling ke berbagai tempat. Duh, semangatnya perlu dikasih aplause. Indie banget gitu lho.
Ridho Al-Hamdi
0 komentar:
Posting Komentar