22.29

Asyiknya Mudik Ke Lampung

Pulang kampung menjelang ramadhan, waw asyik sekali. Di saat itu pula suasana arus mudik mulai lalu-lalang. Jalan raya penuh dengan bis-bis antar-kota maupun atar-propinsi. Begitu juga dengan saya yang akan mudik ke kampung Gaya Baru, salah satu desa terpencil yang ada di sudut Kabupaten Lampung Tengah.

Tepatnya hari Jum’at, tanggal 5 Nopember 2004 lalu (H-9) saya sudah berencana mudik. Tiket bis Putra Remaja telah dipesan bersama dua teman. Saya kedapetan bangku no 15, lumayan agak belakang. Alhamdulillah untuk tahun ini saya bisa pulang bareng dengan teman-teman sedaerah, karena biasanya selalu pulang sendirian. Sebelum pulang, tak lupa saya beli oleh-oleh khas Jogja, bakpia dan salak pondoh. Selain itu juga, Jogja terkenal dengan dengan makanan gudegnya, tempat-tempat pariwisata, kraton, termasuk band musik terkenal Sheila on 7 dan Jikustik.

Selamat tinggal Jogjaku. Saya tiba di terminal Giwangan pada jam setengah tiga siang. Ini terminal baru DIY, berdekatan dengan ring road selatan, pindahan dari terminal Umbulharjo. Semua fasilitas seperti bandara, walaupun cuma mirip sedikit. Kenyamanan cukup terjamin. Di lantai bawah hanya ada bis-bis dan sopir beserta kondekturnya. Pedagang-pedagang asongan tidak boleh masuk. Sementara penumpang dan pengantar berada di ruang tunggu, lantai dua, dengan tiket masuk cuma cepek.

Setelah sampai di terminal, saya langsung ke loket Putra Remaja untuk cek pemberangkatan. Dengan suasana yang ramai dan panas, kami menunggu pemberangkatan bis untuk beberapa menit di ruang tunggu. Nggak sengaja saya bertemu dengan teman yang juga mudik ke kampungnya, Banjarnegara. Untuk beberapa menit kami berbincang-bincang seputar Muktamar IRM. Maklumlah, kita sama-sama kader IRM. Sesaat siemens A-55ku berdering, ”Dho, ati-ati yo nang ndalan. Moga apik-apik wae. Ojo lali oleh-olehe, he…he… Taqobbalallahu Minna Waminkum. Qt jumpa lagi di episode lain, ok.” Kira-kira begitu isi smsnya. Sedikit membuatku tertawa kecil.

Adzan Ashar telah berkumandang. Karena bis belum juga berangkat, terpaksa saya sholat dulu di mushola terminal. Setelah itu menuju bis. Duduklah para penumpang di bangku sesuai dengan nomor tiket. Sambil menunggu penumpang lainnya, seorang pengamen kecil masuk ke dalam bis dan menyanyikan lagu Gengsi Gede-gedean. Kurogoh recehan dari kocek dan kuberikan ke pengamen itu. Baru saja selesai satu pengamen, datang lagi pengamen yang lain hingga 5 kali berturut-turut. Tepatnya pukul setengah empat, bis berangkat untuk meninggalkan Jogjakarta, sebuah kota yang mendapat julukan kota pelajar.

Bis berjalan lewat arah ring road, kemudian lewat jalur jalan Magelang dengan santainya. Sementara itu saya berkenalan dengan teman sebangku yang kuliah di UII. Sejenak kemudian kami ngobrol tentang organisasi kampus. Bis tetap melaju melewati pemandangan hijau di jalanan. Berhentilah bis di terminal Muntilan. Kebetulan saat itu hujan turun lebat. Bis mengganti mesin di dealer. Maklumlah, bisnya sudah agak lama, padahal ada keluaran baru. Mungkin belum jatahnya. Setelah selesai, bis kembali berjalan dengan roda empatnya. Hari semakin gelap dan tanda buka puasa segera tiba, sementara perjalanan masih panjang.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar,” suara adzan dari salah satu masjid yang kami lewati. Alhamdulillah buka puasa yang dinanti-nantikan datang juga. Semua penumpang segera berbuka dengan roti dan softdrink yang telah disediakan oleh bis. Waktu sholat Maghrib telah lewat. Saya berfikir, untuk sholat Maghrib dijamak aja dengan Isya'.

Bis memasuki daerah Purworejo. Tiba-tiba, sittt, suara bisku mendadak ngerem kencang. Semua penumpang kaget. Yang sedang tidur mendadak bangun, untung tidak apa-apa. Hanya tas dan barang bawaan saja yang kocar-kacir. Semua penumpang bertanya-tanya. Dua orang pengendara sepeda motor tertabrak truk. Salah satu di antara keduanya pecah kepala, karena terlintas ban truk. Memang setiap tahun suasana arus mudik hampir dihiasi dengan kecelakaan. Salah satu stasiun TV menyiarkan adanya kecelakaan mobil pribadi akibat ngantuknya si sopir.

Sekitar jam 8 lewat sedikit, di Kebumen, bis saya berhenti di RM Lestari. Salah satu rumah makan prasmanan yang rutin dikunjungi oleh bis-bis atau mobil pribadi. Harga makanannya agak murah. Untuk kali ini kami makan gratis, karena sudah dibayar ketika beli tiket.

Setelah makan, kami menuju toilet untuk buang air dan gosok gigi. Di pintu keluar kami harus membayar Rp. 500. Setelah itu, menuju mushola untuk sholat Isya’ jamak Magrib. Bis telah menunggu. Pak sopir menghidupkan mesin, tanda bis akan berangkat lagi. Semua penumpang pun masuk bis. Malam semakin larut, lampu jalanan kerlap-kerlip dengan indah, bis lalu-lalang, tetapi sayang, keindahan itu hilang lantaran mataku sudah tidak bisa diajak bersahabat lagi. Terpaksa saya ambil selimut dan tidur. Suasana menjadi hening. Bis tetap berjalan, sedangkan pak sopir semangat memegang setirnya, tidak takut lelah, karena harus melaksanakan amanahnya, yaitu mengantarkan orang.

Tengah malam, tiba-tiba saya terbangun. Jalanan macet. Semua bis berhenti menunggu giliran untuk berjalan. Maklumlah, bis yang kami tumpangi lewat jalur Pantai Utara (Pantura). Menjelang sahur, sekitar jam tiga, bis berhenti di salah satu warung makan di Indramayu. Karena lelah, sebagian penumpang ada yang tidak sahur, tetapi tetap ada yang sahur. Setelah sahur, kami kembali melanjutkan perjalanan. Bis telah memasuki wilayah Jawa Barat sejak tengah malam tadi. Mecet total di daerah Cikampek. Menjelang fajar, bis baru bisa berjalan dengan lancar.

Jam 9 pagi, bis memasuki Jakarta, dan sampai di Pelabuhan Merak pada jam 11 siang. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan. Menurut pengalaman, seharusnya bis tiba di Pelabuhan Merak tadi pagi sekitar jam 7-an. Sebagian penumpang banyak yang berceloteh dan ngomel. Sebelum masuk ke kapal, petugas pelabuhan mengecek jumlah penumpang untuk dikenakan biaya. Suasana antri beli tiket agak ramai. Antrian bis, truk, dan motor untuk menunggu giliran naik ke kapal sangat padat. Sementara di luar kapal, penjual-penjual bersliweran mencari pembeli.

Beberapa menit kemudian, pedagang asongan naik ke bis kami untuk menawarkan dagangannya. Suasana menjadi agak ribut. Ada penjual aqua, penjual dodol garut, tukang koran, dan pedagang-pedagang lainnya yang silih berganti naik-turun ke bis kami. “Ayo Mas, dipilih-dipilih, murah dan enak… Ini dodol asli Garut dan bisa untuk oleh-oleh buat keluarga,” itulah kalimat yang keluar dari mulut seorang pedagang dodol. Ya, itulah hidup. Kita harus mencari uang demi sesuap nasi. Alhamdulillah suasana mulai agak sepi ketika bis akan masuk ke gerbong kapal.

Tepatnya jam 12.20, kapal akan segera berlayar menuju Pelabuhan Bakauheni. Bunyi serpong telah dihidupkan, tanda kapal berangkat. Saya dan bebraoa teman naik ke atas kapal. Suasana di gerbong bawah sangat panas, karena penuh dengan suara mesin. Biasanya sebelum kapal meninggalkan pelabuhan, ada anak-anak laut yang berada di bawah kapal menunggu orang melempar uang receh. Mereka dengan gesit akan menangkap recehan yang dibuang ke laut. Memang sedikit menakutkan.

Setelah kapal berlayar, nampaklah pemandangan laut Selat Sunda sangat indah. Pulau-pulau yang terlihat kecil di peta, sekarang nampak besar. Gunung Krakatau yang dulu pernah mengguncangkan sebagian pulau-pulau Indonesia juga terlihat jelas. Dan sekarang ada lagi gunung kecil, mungkin itu anak gunung Krakatau. Hebatnya lagi, di sebagian pulau-pulau kecil itu ada kehidupan yang rata-rata penghuninya pelaut. Inilah panorama keindahan alam semesta.

Perjalanan di laut kira-kira memakan waktu dua jam lebih. Suasana laut sangat sejuk, udaranya segar. Setelah sekian lama kami berbincang-bincang, tampaklah Pelabuhan Bakauheni menyambut kehadiran kami. Para penumpang bersiap-siap untuk turun, termasuk kami. Sekitar jam 14.30-an bis kami keluar dari kapal dan disambut dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang di Propinsi Lampung yang terkenal dengan binatang Gajah, di Way Kambas. Ada juga Pantai Pasir Putih di Kalianda, dan jenis makanan, seperti: sambel tempoyak, kopi Lampung, dan kemplang.

Bis tetap berjalan melewati arus yang cukup tajam. Daerah Bakauheni masih penuh dengan pegunungan. Tak heran, jika jalannya naik-turun dan penuh tikungan. Bis berjalan melewati daerah Panjang, wilayah yang kerap dijadikan jalur lintas Sumatera. Turunlah dua orang penumpang. Setelah itu, tibalah bis kami di terminal Raja Basa, salah satu terminal yang sebagian orang menganggapnya sadis. Memang betul, karena setiap ada bis jauh datang, tukang-tukang ojek atau orang-orang terminal langsung menyerbu. Kemudian menawarkan jasa, ditanya-tanya dengan rayuan agak memaksa. Bahkan ada yang dengan kekerasan. Ih, ngeri banget ya… Belum lagi kondisi lingkungan terminal yang tidak terurus. Bayangkan saja, jalanan di pinggir-pinggir terminal becek, sampah berterbangan dan terkadang bau pesing. Belum lagi asap-asap bis dan mobil yang membuat polusi udara.

Sekitar lima orang turun di terminal itu. Kemudian giliran pedagang-pedagang asongan masuk ke bis kami untuk menjual barangnya. Ada pedagang kemplang, tukang rokok dan koran. Dua menit kemudian ada anak kecil ngamen. Terpaksa saya merogoh lagi recehan dari saku celana.

Bis kembali ke jalan untuk menghabiskan tujuan yang tinggal beberapa jam lagi. Waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore. Biasanya bis sampai di Metro sekitar jam 2 siang.

Sekitar jam 5-an bis telah memasuki daerah Metro. Terlihat tulisan di gapura “Selamat datang di Kota Metro”. Semua penumpang bergegas untuk menyiapkan barang-barang bawaannya. Sebagian merapikan selimut dan membuang sampah-sampah makanan kecil.

Dan, siiittt, suara bis berhenti tepat di depan loket Putra Remaja. Semua penumpang turun tepat dengan adzan. “Dug, dug, dug, dug,” bunyi suara bedug, salah satu tradisi yang masih ada. Para penumpang yang ada di loket itu segera mencari makanan kecil untuk membatalkan puasanya. Nampak sebagian orang membeli gorengan dan es cendol di pinggir jalan. Kemudian perjalanan menuju rumah, saya lanjutkan dengan menggunakan sepeda motor. Dan jam delapan malam saya tiba di rumah.

Inilah sebuah perjalanan mudik yang cukup melelahkan, sehari semalam. Badan pegal-pegal, makan nggak terkontrol. Namun, di balik itu semua terdapat makna dan hikmah yang sangat besar, yakni kita dapat bersilaturahmi dan kumpul bareng keluarga di rumah. Sebuah kegembiraan tersendiri. Mungkin, hal seperti ini hanya bisa dilakukan setiap setahun sekali, begitu juga dengan teman-teman pembaca. Bagi yang sudah mudik, pasti enak kan. Oh iya, mana oleh-olehnya. Jangan lupa ya, dibagi-bagi lho.

0 komentar: