After through long time, our government decides for executing Bali bombs perpetrator (Amrozi, Imam Samudera, and Muchlas) on Sunday early morning, November 9th 2008. As you know, there are many comments from our society about it. According to some people, particularly Australian people and victim families, that execution is compatible with their behavioral. Even several people feel happiness. Besides that, several people regret with that decision. “They enough acquire long life punishment, so they could regret it forever,” said an Australian in television.
After that execution, there are many threats for President and Vice President (SBY and Jusuf Kalla). One of the threats is from abroad cyber media. The main point of the threat is murder to President and Vice President. Additionally, our government catches one of terrorism network member in Jakarta. He stores bomb assemblies as well. There is other discovery about terrorism network which government looks for it.
Recently, the state confuses with this case. Tempo daily ever publishes in their newspaper headline with the title “Jakarta Siaga Satu”. This headline makes image that Jakarta and this country in critical situation. As you know, it just little problem about Bali bombs.
Is Indonesia as Failed State?
How about our state power from that threats? Or our country fear it, so this a sign for Indonesia as failed state. Is there Indonesia future? There are three indicators for a state is still strong or failed. This is Bursan’s analysis.
Firstly, idea of the state. There is or there isn’t a state, if there is the idea of Indonesia in Indonesia brain. I mean, this is an ideology must be growth in Indonesian heart. It relate with nationalism. So we must keep our imagines about unity of Indonesia. Secondly, the organizational expression of the state. The all government structure must be function, such as president, governor, regent, until head of village. Besides that, government buildings like hospitals, banks, and other BUMN (department of effort for public ownership). Thirdly, physical foundation of the state. It mean, government must have limit of territorial of state. The Ambalat case show to us that Indonesia not have power to defense their country. So, it’s terrible experience for us. We must be change more best.
As you know, the three points above could become standardization for Indonesia as strong state or failed state after Amrozi CS dead execution.
As well as that, there are some strategies for government after this execution and terrorism as well. First, strengthening security and defenses sector. The all government must make a consolidation intensively with all structure from central government until village level. This is as control to all parties which would to against government. The department of police are must be intensively looking for whatever related with terrorism.
Second, controlling to the lessons curriculum in the education institutions, from elementary school until university. It’s must be done. The purpose for there isn’t indication for extreme religious understanding. This is not Orde Baru regime, but as control for security in our country.
Third, strengthening leadership in all public sectors. The leadership model must be strong in all position, such as president or vice president, governor, and regent. They must be diligent and be coherent, advocating to all weak party, and they must be brave to deciding whatever quickly. Even they must be ready if their soul and family are lost caused on their decision. Therefore, as you know that public position is heavy responsibility.
So, we must make our country be a strong state, not failed state. The Indonesian people always ready to struggle for this country.
Ridho Al-Hamdi
A Postgraduate Student of Political Science UGM
About Me
- @ridhoalhamdi
- Lecturer at Department of Govermental Studies, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Indonesia. His interest topics are Islam and Politics, Politica Party and election Studies, political behavior, Political Communication and political marketing. Now, He resides in Yogyakarta, Indonesia. Further communication, please contact him in e-mail: ridhoalhamdi@yahoo.com
Bridging Community (Management's Class)
- Adjie Setiyawan
- Agustin Nuriel
- Ainil Izzah
- Al-Amin Reza
- Alit Unagi
- Andry Kumala
- Anne Khairunnisa
- Ardana Pratista S
- Arief Firmansyah
- Arief Wicaksono
- Arifuddin Try Utomo
- Arziannisa Azwary
- Bob Maulana
- Debi OS
- Faaza Fakhrunnas
- Fajar Praharu
- Fajar Prasetya
- Fakhrul Arief
- Gestian
- Haryo Agung P.
- Hasanuddin
- Ibnu Suryo
- Jati Pertiwi
- Khamid Rifan
- Lhia Dwi
- Lusitania Maretasari
- Luthfiyana Puspowati
- M. Noor Fahmi
- M. Siswandi
- Miftahul Jannah
- Nafta Caustine F.
- Nia Widya Ningrum
- Ova
- Putri Oktovita Sari
- Retti Mutia
- Rifqi Romadhon
- Rizkika Awalia
- Rochana K. Windati
- Sehly El Farida
- Septiara N.
- Setyasih Handayani
- Sheila Aqla RV
- T. Zeyfunnas
- Tatag Julianto
- Toga Melina Kartikasari
- Wahyu Indra
- Windi Hamsari
- Yuda Pratama Putra
Bridging Community (Economical Class)
- Agung Purnama M
- Aprinia Wardany
- Dicky Hidayat
- Dony Mahardika
- Eko Pranata
- Ericka Betty R.
- Fajar Ramadhan A
- Febri Septiawan
- Fita Fatimah
- Fitri Fauzia
- Fitri Fauziah
- Hasbi Ashshiddiq
- Ilham Farih
- Karmila PW
- Mela Melindasari
- Nita Sari Astuti
- Noor Rahmalita S
- Nopi Haryanto
- Nur Indah Hardianti
- Nuzyl Denni K
- Phian Ingdriansyah
- Puspita Maharani
- Ririd Dwi Septiani
- Said Hendra
- Setya Afriya
- Siska Budiningrum
- Tomi Putra
- Yenny Anggriani
- Yoga Prasetyo
My Followers
My Friends
- Abdul Halim Sani
- Abdul Munir Mulkhan
- Agus Wibowo GK
- Ali Usman
- Arifin "Bukan" Ilham
- Awaluddin Jalil
- Chandra
- Deni Pakek Weka
- Deni Weka
- Dharono Global TV
- Mas Jidi PECOJON
- Masmulyadi
- Masmulyadi (Dua)
- Meitria Cahyani
- Mudzakkir
- Muhammad Al-Fayyadl
- Muhibbudin Danan Jaya
- Musyaffa Basir
- P-Men IRM Sulsel
- Robby H. Abrar
- Rully
- Saiful Bari
- Tatag Julianto
Institutions
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa indonesia.”
Demikian bunyi teks sumpah pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada awal terbentuknya, sumpah pemuda bernama “Ikrar Pemuda”. Namun karena dianggap kurang memiliki kekuatan makna secara bahasa, akhirnya kata “ikrar” berganti menjadi “sumpah”. Ikrar hanya dimaknai sebagai janji tanpa ada konsekuensi, sedangkan sumpah mengandung konsekuensi tertentu jika tidak dilaksanakan.
Karena itu, sumpah harus diyakini sebagai sebuah janji bagi pemuda Indonesia kepada dirinya dan dunia atas trilogi kebersatuan Indonesia. Janji yang berkonsekuensi pada kesadaran atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa.
Kesadaran ini penting dipahami mengingat Indonesia merupakan negeri yang amat kaya serta memiliki aneka bahasa, ras, adat, dan agama. BJ Habibi mengatakan, negeri ini negeri maritim atau bahari, karena 60 persen wilayahnya dikelilingi lautan dan diapit oleh dua benua dan dua samudera. Pada situasi seperti ini, kita patut bangga. Negeri kita sudah memiliki perekat bahasa: bahasa Indonesia. Bayangkan jika bahasa pemersatu negeri kita adalah bahasa Jawa atau bahasa Lampung.
Terlepas dari kondisi di atas, ada hal lain yang patut dicermati pemuda. Dulu, common enemy bangsa kita adalah kolonial Belanda, Portugis, atau Jepang. Hanya dengan bambu runcing, penjajah bisa kita usir dari negeri ini. Apa kuncinya? Semangat nasionalisme. Lalu, apa common enemy Indonesia saat ini?
Jika kita mengatakan musuh kita sekarang adalah kemiskinan, maka siapa yang harus dilawan? Tidak jelas. Musuh tidak terdeteksi seperti pra-kemerdekaan. Karena memang musuh itu adalah diri kita sendiri. Akibatnya, nasionalisme mulai luntur dalam benak pemuda Indonesia.
Secara de jure, bangsa kita telah merdeka sejak 63 tahun yang lalu. Tetapi secara de facto kemerdekaan belum bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa ini. Masih banyak terjadi kekerasan dan penindasan baik secara fisik maupun mental. Belum lagi masih ada sebagian wilayah dan daerah di negeri ini yang belum merasakan adanya listrik layaknya di kota-kota besar. Kemakmuran dan kesejahteraan masih belum merata. Kalau demikian, apa negara kita layak dikatakan sebagai negara yang merdeka?
Ironis memang. Apalagi jika mengingat sejarah kemerdekaan Indonesia yang sudah tua tetapi rakyatnya masih belum terlepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Pemandangan dan cerita tetang busung lapar, keracunan, dan penindasan masih terdengar dari sudut-sudut di setiap daerah di negeri ini.
Bagi Ahmad Syafii Maarif, kerusakan negeri ini hampir sempurna. Kira rapuh dari dalam. Dan salah satu kerapuhan itu adalah menyusustnya semangat nasionalisme kepemudaan. Dewasa ini, pemuda mengalami perubahan tingkah laku, sikap sosial, dan pandangan hidup yang beralih pada cara berpikir dan bertindak instan serta serba politis.
Sikap kaum muda tersebut tertera dalah tiga F, yaitu food, fashion, dan fun. Food tercermin pada makanan seperti pizza hut, McDonald, KFC, Hamberger, dan lain sebagainya. Fashion terlihat dari merk-merk pakaian semisal celana jeans, sepatu, topi, hingga handphone, dan aksesoris lain yang made in Amarika. Kemudian, fun bisa kita jumpai di tempat-tempat hiburan, cafe, hingga lokasi prostitusi. Pemuda kita telah digiring ke arah yang demikian.
Jika generasi muda kita lemah, apa yang akan terjadi pada satu dasawarsa ke depan? Karena itu, sudah saatnya bangsa ini harus mempersiapkan pemuda-pemuda dengan semangat patriotisme. Kita harus mulai menengok ulang pada budaya-budaya lokal yang kini mulai ditinggalkan untuk kemudian dibangkitkan serta ditunjukkan kepada dunia bahwa inilah bangsa Indonesia. Kita harus bangga dengan produk-produk lokal. Di sinilah pemuda benar-benar diharapkan untuk membangun kembali komitmen dan integritas Indonesia.
Sekarang, kira harus mempersiapkan pemuda yang memiliki visi masa depan yang jelas, memiliki ketrampilan, pengetahuan, pandangan yang berorientasi produktif, kekuatan spiritual, serta mampu menguasai bahasa internasional. Lain dulu lain sekarang. Sumpah pemuda yang selama ini kita dengarkan perlu dikaji ulang untuk kemudian dikonstruksi kembali redaksi dan maknanya. Realitas dulu dan sekarang sudah pasti berbeda. Tentunya, sumpah pemuda harus berubah.
Kiranya, sekarang kita harus kembali bersama-sama merumuskan sumpah pemuda jilid dua untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme pada pemuda-pemudi dan seluruh tumpah darah Indonesia sebelum semuanya terlambat. ”Kami putra dan putri Indonesia cinta pada budaya dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia cinta pada produk dalam negeri. Kami putra dan putri Indonesia siap memberantas korupsi di dalam negeri”.
Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM
Geliat dan gesekan politik di Muhammadiyah pascareformasi semakin jelas dengan kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN), walaupun secara de jure tidak ada hubungan antara PAN dengan Muhammadiyah. Namun secara sosio-historis tidak bisa dinafikan bahwa Amin Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu (yang kemudian mengundurkan diri menjelang berdirinya PAN, 23 Agustus 1998) memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kader-kader Muhammadiyah. Bahkan Tanwir Muhammadiyah merekomendasikan Amin Rais sebagai kader terbaik untuk maju pada pemilihan capres tahun 2004.
Gesekan itu semakin bertambah ketika muncul kekecewaan dari sebagian kader muda Muhammadiyah terhadap perjuangan PAN yang dianggap tidak bisa membawa aspirasi dan kepentingan Muhammadiyah. Karena itu, digagaslah adanya Kongres Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tahun 2004 yang menghasilkan berdirinya Perhimpunan Amanah Muhammadiyah (PAM). Dari situlah, kemudian berujung pada lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) dengan kader yang mayoritas didominasi anak-anak muda Muhammadiyah.
Akhir-akhir ini, Muhammadiyah diributkan dengan munculnya iklan politik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) perihal dimunculkannya KHA Dahlan (pendiri Muhammadiyah), juga KH. Hasyim ’Asyari, Soeharto, dan beberapa nama lainnya sebagai tokoh bangsa. Berbagai kritikan menghujani PKS hingga dalih apa pun dijadikan sebagai pembenar atas tindakan mereka, bila perlu ayat suci Al-Qur’an dikeluarkan. Pepatah lama mengatakan, seribu alasan akan diungkapkan hanya untuk membenarkan sebuah premis awal.
Muhammadiyah dan AMM Sebagai Civil Society
Membaca dan menilai gerakan Muhammadiyah beserta AMM-nya (PM, NA, IMM, dan IPM), maka penulis memposisikannya sebagai civil society. Kehadiran mereka dalam konteks ini diletakkan sebagai ruang publik (public sphere) yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, seperti yang diungkapkan oleh Affan Gaffar (1999).
Karena itu, PM dan NA harus mampu mewakili aspirasi pemuda-pemudi yang ada di kampung/desa untuk melakukan upaya-upaya advokasi terhadap pemerintah. Begitu pula dengan IMM dan IPM yang harus mampu menjadi artikulator mahasiswa di kampus dan pelajar di tingkat sekolah. Terlepas dari kritik sejarawan Kuntowijoyo, bahwa klasifikasi ortom Muhammadiyah berdasarkan jenis kelamin, kita harus tetap yakin, bahwa AMM merupakan jembatan kuat untuk mewakili basis massanya.
Namun keyakinan yang selama ini dipegang kemudian dibenturkan dengan realitas, muncul sebuah pesimisme jika Muhammadiyah dan AMM-nya dianggap sebagai civil society, yang berujung pada terwujudnya masyarakat madani (beradab). Kita tidak bisa memungkiri, bahwa fragmentasi kepentingan personal di internal Muhammadiyah dan AMM sangat tinggi. Sumber fragmentasi itu bisa muncul dari tingkat ekonomi aktivisnya yang berbeda-beda, latar belakang sosial-budaya-pendidikannya, etnisitas yang beragam, serta sikap politik yang tersebar di berbagai partai politik. Entah itu di Golkar, PDI-P, Demokrat, PKS, PPP, Gerindra, maupun di PAN dan PMB itu sendiri.
Jika Muhammadiyah dianggap menjadi bagian dari civil society, masih jauh dari cita-cita masyarakat. Belum lagi konflik politis lainnya yang semakin menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak lagi ideal sesuai dengan tujuannya. Padahal, kelahiran Muhammadiyah dan ortom-ortomnya bukan hanya untuk internal Muhammadiyah an sich, tetapi untuk masyarakat luas pada umumnya.
Politik Nasional vis a vis Politik Muhammadiyah
Tidak bisa dipungkiri bahwa perpolitikan nasional membawa pengaruh yang cukup signifikan di segala level masyarakat, tak terkecuali di tingkat Muhammadiyah. Nilai-nilai demokrasi yang dipahami salah kaprah pun bisa berdampak pada chaos-nya antar-rakyat sendiri. Lagi-lagi yang bakal jadi korban tak lain dan tak bukan rakyat lagi. Hal yang dimikian pun terjadi di internal warga Muhammadiyah.
Karena perbedaan pemahaman warga Muhammadiyah terhadap demokrasi, maka perilaku-perilaku yang ada di partai politik, baik pada saat kampanye pilkada ataupun pada saat pencalonan legislatif tercermin di tingkat Muhammadiyah beserta ortomnya. Bahkan tercermin pula ke lorong-lorong yang bernama Muktamar, Musywil, Musyda, Musycab, dan Musyran. Berbagai jenis perilaku yang dulunya tabu di Muhammadiyah, kini telah hadir tanpa ada skat yang membatasinya. Mulai dari black-campign antar-calon, like and dislike, pembunuhan karakter kader potensial, penyingkiran calon lain karena lawan politik, rebutan posisi ketua umum, hingga deal-deal politik lainnya dengan berbagai pihak. Hal yang demikian telah mewarnai setiap bentuk permusyawaratan dan persidangan di Muhammadiyah.
Belum lagi, sebagian kader-kader Muhammadiyah yang masih ada di struktur maju sebagai calon DPR, DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), DPD, bahkan ketua umum PP Muhammadiyah menyatakan diri siap maju sebagai calon Presiden di pemilu 2009 nanti. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada mekanisme yang berlaku, maka ruang-ruang yang awalnya tidak politis, kini akan terbaca secara sangat politis. Tentunya, mekanisme itu tidak hanya berhenti pada pembuatan SK saja, proses pengawalan pun harus dilakukan oleh semua pihak dari tingkat Ranting hingga Pusat. Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sangat aneh: Anak-anak muda Muhammadiyah justru melawan mekanisme itu tanpa ada solusi terbaik bagi persyarikatan. Lagi-lagi, persyarikatan yang dikorbankan.
Is Muhammadiyah Collapse?
Istilah collapse bisa diartikan sebagai to fall down suddenly, generally as a result of damage, structural weakness (Encarta) atau kekosongan wewenang (vacuum of authority). Makna sederhananya, collapse adalah gagal karena disebabkan oleh sesuatu. Berdasarkan pada pembacaan fenomena di atas, kita melangkah pada pertanyaan, apakah Muhammadiyah yang hampir berumur satu abad ini akan tetap menjadi organisasi yang strong atau justru sebaliknya, collapse?
Ada tiga tolok ukur, meminjam pendapat Bursan, yang digunakan sebagai standarisasi apakah Muhammadiyah akan tetap strong atau collapse di tengah dinamika yang ada. Pertama, the idea of Muhammadiyah. Keberadaan Muhammadiyah masih dianggap eksis atau tidaknya bisa diukur dari masih ada atau tidaknya ide tentang Muhammadiyah di pikiran para warga dan kader Muhammadiyah. Walaupun belum ada data kuantitatif tentang berapa jumlah warga Muhammadiyah yang masih berideologi Muhammadiyah, tetapi bukti-bukti di lapangan telah berbicara bahwa, warga Muhammadiyah sudah kehilangan ghirah untuk bermuhammadiyah. Entah itu karena faktor teologis, ekonomis, atau hanya sekadar pindah ke partai politik tertentu tetapi menghina Muhammadiyah dari luar. Sungguh tindakan seperti ini tidak memiliki fatsun. Jauh sebelum ini, Abdul Munir Mulkan sudah mengklasifikasikan orang-orang Muhammadiyah berdasarkan disertasinya di salah satu kampung di Jember. Karena itu, melihat realitas yang ada, proses -proses ideologisasi dan kaderisasi harus ditingkatkan lagi sebelum ide tentang Muhammadiyah hilang dari pikiran warga Muhammadiyah.
Kedua, organizational expression of Muhammadiyah. Eksistensi Muhammadiyah masih dianggap ada atau tidak, dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya struktur dari tingkat Pusat hingga Ranting. Begitu juga dengan fungsi-fungsi amal usaha, seperti PKU, sekolah, universitas/sekolah tinggi/akademi, balai kesehatan, dan lain sebagainya. Jika ternyata fungsi-fungsi ini tidak berjalan dengan baik, maka bisa dipastikan gerakan Muhammadiyah akan mendekati collapse. Karena itu, harus ada mekanisme beserta pengawalannya, sehingga hukum pun berlaku di Muhammadiyah.
Ketiga, physical foundation of Muhammadiyah. Walaupun Muhammadiyah tidak memiliki batas-batas teritorial seperti negara, tetapi ciri ini bisa disamakan dengan seberapa besar kader-kader yang tetap loyal di Muhammadiyah, baik di struktur maupun di amal usaha. Jika ternyata orang yang duduk di jabatan amal usaha bukan kader ideologis, sudah hampir dipastikan ini juga merupakan tanda-tanda dari the end of Muhammadiyah.
Ketiga poin di atas setidaknya bisa digunakan sebagai tolok ukur apakah masa depan Muhammadiyah semakin mendekati kejayaan atau justru sebaliknya, collapse. Hipotesa sementara menyatakan, bahwa Muhammadiyah sedang berada di persimpangan jalan yang mengambang. Tergantung siapa kader yang akan membawanya. Jika kader itu oportunis dan hanya menjadikan Muhammadiyah sebagai jembatan, maka jembatan itu tidak akan bertahan lama dan akan digantikan oleh bentuk jembatan yang baru. Karena tentu banyak orang yang lalu lalang di jembatan itu tanpa ada satu orang pun yang menjaganya jika terjadi keretakan atau rusak di salah satu sudut jembatan itu.
Namun jika kader itu menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk berdakwah demi terciptanya masyarakat yang beradab, maka sudah pasti akan ada landasan filosofis mengapa Muhammadiyah dijadikan sebagai sarana untuk berjuang. Tentu, fondasi yang dibangun akan kokoh dan akan selalu ada generasi baru yang memperbaiki fondasi itu sehingga “rumah Muhammadiyah” tetap berdiri walaupun badai mengguncangnya. Kiranya, angkatan muda harus ikut andil dalam hal ini. Jika muncul pertanyaan, is Muhammadiyah collapse? Anda sudah pasti tahu jawabannya.
Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM
Saat Pembukaan, Wapres Jusuf Kalla Hadir
Pagi itu, 25 Oktober 2008, rombongan bis besar dari Asrama Haji Donohudan Boyolali berbondong-bondong menuju arena pembukaan Muktamar XVI IRM di Stadion Sriwedari Solo. Belum lagi bis-bis dari berbagai arah baik itu dari Solo maupun dari luar Solo membanjiri arena pembukaan Muktamar. Penjagaan ketat dilakukan oleh pihak kepolisian dan Kokam terhadap lokasi itu. Wajar saja hal ini terjadi, karena pembukaan Muktamar dihadiri oleh Wakil Presiden RI Drs. Muhammad Jusuf Kalla.
Ini merupakan Muktamar IRM terkahir dalam sejarah pergerakan IPM-IRM. Karena pada muktamar kali ini nama IPM akan diputuskan dan disahkan sebagai pengganti nama IRM. Tentu kita sudah tahu mengapa IRM diganti dengan IPM.
Pembukaan Muktamar dihadiri oleh ribuan orang, baik itu siswa-siswi SD maupun siswa-siswi SMP dan SMA dari berbagai penjuru di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Hadir juga tamu undangan dari para alumni IPM-IRM yang datang dari berbagai daerah. Tentunya, dalam acara ini selain Pak Wapres beserta rombongan, hadir pula Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Walikota Solo Joko Widodo, Ketua PWM Jawa Tengah Marpuji Ali, ortom-ortom dari pusat hingga ranting, dan peserta-peninjau Muktamar yang terdiri sekitar 600-an orang.
Pembukaan ini selain dimeriahkan penampilan tari-tari dan band-band lokal, sempat diributkan dengan atraksi ”Penolakan IRM” dari rombongan IRM Jawa Timur dengan cara keliling lapangan. Rombongan ini sempat bentrok dengan aparat keamanan tapi bisa segera diselesaikan dengan damai.
Acara Persidangan Selalu Kisruh
Setelah pembukaan, acara persidangan berjalan selama empat hari (25-28 Oktober 2008). Agenda persidangan terdiri dari Laporan Pertanggungjawaban PP IRM periode 2006-2008, pemilihan tim formatur, penetapan nama IPM, dan perumusan konstitusi IPM baru. Persidangan yang dipimpin oleh Ivan (Jatim), Hadisra (Sulsel), dan Ucok (Medan) ini selalu terjadi baku hantam sesama peserta dan sering terjadi PK alias peninjauan kembali terhadap apa yang telah diputuskan pada sidang-sidang selanjutnya.
Pada Konpiwil pra-Muktamar, ketika presidium sidang ingin memutuskan tentang nama-nama calon formatur, tiba-tiba ada peserta maju ke depan forum dan ingin memukul presidium sidang. Dari arah lain juga ribut dengan naik ke atas meja, kemudian mengeluarkan suara keras. Begitu juga dengan para peserta lain yang saling caci-maki dan perang mulut.
Debat antarpeserta pun terjadi ketika PP IRM sedang membacakan LPj di depan forum. ”Apakah LPj dibaca semua atau hanya poin-poinnya saja?” tanya presidium sidang. Setelah melalui dialektika yang cukup panjang, diputuskan hanya dibacakan poin-poinnya saja. Setelah selesai pembacaan LPj, giliran PW IRM Se-Indonesia yang memberikan progress report dan tanggapan balik atas LPj PP IRM. Proses persidangan berjalan hingga dini hari (jam tiga pagi) dan tinggal beberapa wilayah saja yang mengikuti persidangan.
Pada proses pemilihan calon formatur tahap pertama (dari 38 calon menjadi 27 calon) pun terjadi perdebatan cukup sengit, apakah semua peserta (PW dan PD) yang memilih calon formatur atau cukup PW saja? Forum pun kembali ramai dan terjadi adu pendapat hingga forum dead lock dan ada lobi-lobi antar-wilayah. Kesepakatannya adalah cukup PW saja yang memilih calon formatur. Keputusan ini sebenarnya tidak banyak diterima oleh Daerah-daerah. Karena mereka beranggapan, punya hak suara juga atas pemilihan ini.
Materi Muktamar Banyak Digugat
Sidang komisi terbagi menjadi tiga bagian. Komisi A membahas tentang Muqaddimah IPM, Kepribadian IPM, Janji Pelajar, dan Rekomendasi. Komisi B membahas tentang strategi perjuangan IPM, agenda aksi IPM, dan struktur IPM ke depan. Komisi C hanya membahas tentang AD/ART IPM.
Pada masing-masing sidang komisi, terjadi banyak gugatan atas materi Muktamar yang ditawarkan kepada para peserta. Pada komisi A terjadi perdebatan tentang isi dari Muqaddimah yang terlalu panjang. Belum lagi Kepribadian IPM yang belum merepresentasikan karakter gerakan IPM. Hal ini pun terjadi di Komisi B dan C yang menggugat tentang struktur dan pasal-pasal AD/ART. Walaupun perdebatan terjadi, akhirnya pihak yang menggugat atas materi Muktamar tidak bisa menawarkan solusi baik dan kembali didebat ulang oleh pihak yang mendukung materi Muktamar.
Namun secara keseluruhan tidak terjadi perubahan besar-besaran atas materi Muktamar yang ditawarkan oleh Tim Materi yang terdiri dari Ridho, Arar, dan Nana (PP IRM), serta Faliq Jabar, Arham Sulsel, Fuad Jateng, dan Antoni Sumbar. ”Atas koordinasi yang selalu dijalankan oleh tim materi, pengawalan sidang komisi berjalan dengan lancar hingga keputusan pleno berakhir,” ungkap Faliq Mubarak, anggota Tim Materi.
Bazar Banjiri Arena Muktamar
Selain melihat ribut dan ramainya suasana persidangan, di luar arena terjadi sesuatu hal yang cukup meriah dan banyak dikunjungi oleh peserta Muktamar, yaitu Bazar. Hanya tempat inilah lokasi yang bisa dijadikan ajang ngobrol santai dan saling tukar pengalaman antarpeserta. Tentunya, ngobrol-ngobrol itu dibarengi dengan makan cemilan ringan yang dihidangkan oleh beberapa stand bazar.
Para peserta stand bazar adalah Dian Krudung, Indosat, PW IRM Jateng, Suara Muhammadiyah, Majalah Kuntum, toko buku Jusuf Agency, Resist Book, Joko’s Silver, PW IRM Jatim, PW IRM DIY, Toko 6, PD IRM Jember, PD IRM Kota Yogyakarta, Toko Batik Pekalongan, Bintangin, LaPSI, PW IRM Kalsel, serta beberapa pihak yang memeriahkan tapi tidak mendapatkan stand seperti yang disediakan panitia.
Walaupun dari segi keuntungan tidak besar bahkan ada yang tidak untung sama sekali, tetapi mereka tetap merasa senang berada di arena bazar. ”Yang jelas kita hanya ingin memeriahkan Muktamar dan sebagai ajang promosi jualan. Kalau untung ya alhamdulillah, kalau nggak juga nggak masalah,” ungkap penjaga toko batik Pekalongan kepada Kuntum.
Acara Muktamar Hiasi Media
Di tengah hiruk-pikuknya acara, media massa baik cetak maupun elektronik juga ikut mempublikasikan acara Muktamar. Hal ini terbukti dengan press conference PP IRM di salah satu rumah makan di Solo sehari menjelang pembukaan Muktamar. “Press conference ini dihadiri oleh 20-an wartawan media cetak maupun elektronik,” ungkap Moh. Mudzakkir, Ketua Umum PP IRM.
Pada saat pembukaan, beberapa stasiun televisi pun mempublikasikan suasana pembukaan Muktamar. Begitu juga media lain yang terdiri dari Republika, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Solo Pos, dan beberapa radio lokal Solo maupun Boyolali.
”Kami memang telah bekerja sama dengan beberapa media untuk mempublikasikan acara Muktamar yang bersejarah ini,” ungkap Ketua Media Center Muktamar, Machendra Setya Atmaja kepada Kuntum.
Saking meriahnya acara pembukaan, Harian Republika mengangkat isu Muktamar sebagai headline pada halaman depan dengan foto yang cukup bagus. Bahkan Suara Merdeka yang tidak sempat mempublikasikan acara pembukaan, menggantinya dengan memuat salah satu artikel tentang IPM di rubrik wacana lokal.
Para peserta yang hadir pun mendapatkan informasi baik seputar Muktamar maupun tentang wacana nasional yang sedang berkembang di negara ini.
Tim Formatur Terbentuk, Deni Weka Ketua Umum Terpilih
Di babak akhir dari cerita Muktamar adalah pemilihan sembilan tim formatur dan penetapan Ketua Umum dan Sekretaris Jendral PP IPM terbaru. Setelah melalui proses pemungutan suara dan penghitungan yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Pusat (Panlihpus), terpilihlah 9 orang anggota tim formatur. Mereka itu adalah Andi R. Wijaya (ketua tim formatur), Deni Wahyudi Kurniawan, Diyah Puspitarini, Machendra Setya Atmaja, Nurjannah Seliani Sandiah, Virgo Sulianto Gohardi, Eka Damayanti, Aris Iskandar, dan Zulfikar Ahmad.
”Mereka kami minta untuk segera menetapkan Ketua Umum dan Sekjend terbaru,” ungkap Ketua Panlihpus Masmulyadi kepada Kuntum didampingi anggota Panlihpus lainnya, Subhan Purno Aji, Pepsi NTB, Ali Murtadho Sumsel, Qusnul Jatim, dan Sedek Maluku.
Berdasarkan hasil rapat tim formatur, ditetapkanlah Deni Wahyudi Kurniawan dan Andi Rahmat Wijaya sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jendral PP IPM 2008-2010. Selain itu, kepengurusan lainnya akan dibicarakan dan ditetapkan setelah Muktamar berakhir.
Muktamar ini ditutup oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir dan juga sambutan terakhir Ketua Umum PP IRM Moh. Mudzakkir serta sambutan Ketua Umum terpilih, Deni Wahyudi Kurniawan. Selamat berjuang IPM dan kita tunggu karya-karyanya untuk Indonesia yang berkemajuan.
Ridho Al-Hamdi
Peserta Muktamar Utusan PP IRM Periode 2006-2008
Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, kita sudah mengkaji tentang konsep Developmetal State (DS), Market-Friendly, dan Democratic Developmental State (DDS) sebagai sebuah paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dalam suatu negara. Namun, dalam review ini akan difokuskan pada kajian Developmetal State dan pengalaman yang terjadi di negara-negara Asia Timur. Karena itu, sebelum masuk pada pengalaman yang terjadi di negara-negara Asia Timur, akan dipaparkan ulang apa itu Developmetal State dan karakteristiknya.
Menurut Johnson’s Formulation (Pei-Shan Lee, 2002), yang dimaksud dengan Developmetal State itu adalah mencakup beberapa karakteristik di bawah ini. Pertama, memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara. Kedua, merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif, dan disiplin dengan basis merit. Ketiga, mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial. Keempat, melembagakan hubungan antar-birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif. Kelima, melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya. Keenam, mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya-sumber daya, seperti keuangan.
Inti dari paradigma DS adalah peranan dominan lembaga eksekutif. Yang dimaksud dengan lembaga eksekutif disini adalah otoritas administratif dan kekuatan politik. Jadi, paradigma ini dimaksudkan untuk menegaskan peran pemerintah dalam ekonomi pasar. Kinerja ekonomi dibangun melalui penataan kelembagaan yang kuat yang dilakukan oleh pemerintah. Ini biasa dikenal dengan proses pembangunan ekonomi terrencana. Pemerintah menyelenggarakan ekonomi terrencana ini melalui lembaga yang ditunjuk khusus yang bertanggung jawab atas tugas mengarahkan pembangunan itu sendiri, dan menjalankan beragam alat kebijakan untuk memastikan kegiatan bisnis tetap terpelihara dan terkelola dalam kerangka kepentingan nasional. Hal ini dianggap sebagai pra-syarat penting dalam mengelola proses pembangunan.
PENGALAMAN-PENGALAMAN DI ASIA TIMUR
Melihat penjelasan tentang konsep Developmetal State di atas, pada pembahasan ini akan melihat keberhasilan konsep Developmetal State yang berlaku di Asia Timur berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan oleh negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.
Menurut KS. Jomo, persoalan huru-hara keuangan di Asia Timur sudah mulai sejak pertengahan 1997 yang difokuskan pada persoalan sistem kapitalisme. Soal adanya krisis yang dimulai pada Juli 1997 disebabkan karena manajemen yang salah pada sektor ekonomi makro. Bagi Yogi Suwarno, untuk menggambarkan tentang Developmetal State maka pengalaman Jepang adalah contoh yang dapat menjelaskan cara kerja paradigma tersebut.
Beeson (2002) menjelaskan bahwa inti dari Developmental State Jepang adalah birokrasi yang berkompeten dan berkomitmen untuk mengimplementasikan proses pembangunan ekonomi yang terrencana. Di negara-negara tersebut, kapasitas negara (state capacity) mapan untuk melaksanakan kebijakan industri yang beragam. Mereka juga mempunyai birokrasi yang relatif efisien, serta diisi oleh staf yang termasuk bertalenta nasional dan terbaik. Lembaga birokrasi ini tidak hanya merekrut orang-orang yang bertalenta terbaik saja, tetapi juga mereka mampu memanfaatkan alat-alat kebijakan yang memberikan kepada mereka otoritas lebih terhadap dunia bisnis.
Di Jepang, Yogi Suwarno menjelaskan lebih lanjut, MITI dan Minister of Finance mempunyai kapasitas untuk mengendalikan tabungan domestik (domestic savings) untuk menyediakan kredit murah bagi industri-industri tertentu. Melalui cara ini, perencana Jepang mampu memandu proses industrialisasi sejak dini dan juga mendorong lebih banyak industri yang bernilai tinggi. Sedangkan industri yang sudah tua dipindahkan ke negara lain.
Pola intervensi negara ini telah ditiru oleh banyak negara dengan tingkat kesuksesan yang berbeda. Negara tetangga seperti Taiwan dan Korea meniru pengalaman Jepang lebih dini dan dapat dikatakan sukses. Sementara negara-negara Asia Tenggara meniru belakangan dengan hasil yang berbede-beda.
Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara, dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan kapasitas, akan tetapi mereka juga dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat terlambat. Oleh karena itu, efektivitas implementasi Developmental State pada sistem internasional yang sekarang menjadi perlu dikaji lagi.
Bagi KS. Jomo, ada beberapa hal mengapa Asia Timur secara natural berhasil dalam menerapkan sistem Developmetal State ini. Baginya ada beberapa poin utama. Pertama, kekuatan suatu rezim (state) merupakan unsur yang sangat penting untuk tawaran pembangunan di negara-negara Asia Timur (Anderson, 1998). Kedua, distribusi kekuasaan dan otonomi kepada para eksekutif yang ada di daerah, termasuk juga distribusi dalam pembuatan kebijakan seperti yang dilakukan oleh Jepang dan bahkan Thailand. Hal ini pun sangat berdampak baik bagi para investor asing.
Ketiga, bertentangan dengan prinsip neo-liberal bahwa mereka berkuasa atas pasar. Dalam hal ini, negara-negara di Asia Timur berprinsip bahwa pemerintah memiliki intervensi atas perkembangan ekonomi yang berjalan di negara mereka dan mereka sangat membatasi apa yang harus dilakukan oleh para investor.
Ketiga catatan di atas harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara di Asia Tenggara bahwa, dalam penerapan Developmetal State yang menjadi kunci utama adalah kekuatan negara atas pasar (market). Jika posisi negara sudah kuat, terutama peran lembaga eksekutif, maka pasar akan bisa dikendalikan dan hukum bisa diterapkan kepada para investor.
BEBERAPA CATATAN
Dari hasil diskusi yang diselenggarakan pada Jum’at (14/11/2008), ada beberapa catatan yang dianggap cukup penting terkait dengan perkembangan Developmetal State di negara-negara Asia Timur.
Pertama, paradigma Developmetal State akan sukses di negara-negara yang telah memiliki state capacity dalam pengelolaan political goods, seperti keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain sebagainya.
Kedua, posisi negara, terutama lembaga eksekutif (presiden, menteri) sangat kuat. Kelemahan di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia karena posisi lembaga eksekutif tidak kuat. Sebaliknya, yang memiliki kekuatan penuh ada di lembaga legislatif.
Ketiga, Developmetal State hanya akan berkembang di negara otoriter. Jika paradigma ini berkembang di negara demokratis, maka akan menemukan banyak kendala. Karena negara demokratis cenderung dekat dengan kapitalisme dan kapitalisme itu adalah tanda dari pasar bebas.
Keempat, birokrasi harus dijalankan secara efisien dengan menggunakan konsep governability. Konsep governability tidak mengedepankan high cost tetapi lebih pada bagaimana struktur dapat bekerja dengan sangat efisien dan biaya yang rendah.
Kelima, Di samping itu pula, negara-negara di Asia Timur memang telah maju sebelumnya dan menerapkan paradigma Developmetal State terlebih dahulu.
Ridho Al-Hamdi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM