21.28

Ketika Pendidikan Adalah Pembebasan

Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakekat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti dan memahami relitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berfikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran) dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berfikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Selama ini kita sering mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan sebagi proses pendidikan. Jelas, ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan. Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dengan pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itupun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.

Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur soiial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.

Semua hal di atas merupakan tujuan ideal pendidikan, namun bagaimana kenyataan di lapangan? Ternyata praktek pendidikan yang terjadi justru sebaliknya. Pendidikan dijadikan cara untuk melanggengkan doktrin tertentu dan sebagai alat hegemoni kekuasaan. Peserta didik hanya dijadikan objek dan dilatih untuk menjadi penurut dengan tujuan keseragaman nasional. Apabila hal ini terjadi, pendidikan tidak lagi mampu menjadikan manusia sebagi insan kamil, tetapi justru menjadikan manusia sebagai robot-robot kekuasaan yang tidak bisa berfikir secara kritis dan bebas terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan manusia mengalami kehampaan eksistensi sebagai manusia yang pada dasarnya secara fitriyah memiliki potensi berfikir bebas dan berkesadaran.

Kondisi pendidikan seperti ini sama sekali menafikan peserta didik sebagai manusia yang berpotensi untuk berfikir dan akan muncul kelompok masyarakat terbelakang dan bodoh, yang sebenarnya merupakan akibat dari penindasan struktural. Ketertindasan struktural inilah yang pada tataran global melahirkan proses kemiskinan baik di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sebagai akibatnya, terjadi transformasi budaya yang bermakna dekaden, yaitu dari budaya kritis menjadi budaya oportunis dan pragmatis. Dengan demikian penjinakan yang dilakukan oleh struktur kekuasaan melalui cara penyeragaman berfikir telah mengakibatkan suatu kondisi dimana kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran kritis sebagai manusia yang dikaruniai akal, melainkan kesadaran na’if yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.

Inilah persoalan pendidikan bangsa kita yang begitu kompleks dan hanya sedikit orang yang peduli. Oleh karena itu, sudah saatnyalah pendidikan kritis diwujudkan, demi terciptanya cita-cita yang berorientasi pada usaha penyadaran dan pembebasan. Jika kita merujuk pada buku “Pendidikan Popular” karya Mansour Fakih dkk, ada tiga ciri pokok pendidikan kritis yaitu belajar dari realitas, tidak menggurui, dan dialogis.

Sekarang saatnyalah kita mampu menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang berkesadaran. Kita harus memulai mengenal dan memahami realitas dengan cara terjun langsung pada permasalahan yang muncul dari masyarakat, juga membaca buku-buku pengetahuan baik yang bersifat klasik maupun kontemporer sehingga ketinggalan informasi. Apabila agenda besar dalam melakukan pendidikan kritis dapat terealisasikan, maka saat itulah muncul yang namanya pembebasan.

0 komentar: