Kini Organisasi Kemasyarakatan, disingkat Ormas, sedang dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang setelah Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan realitas sekarang. Perdebatan di DPR tentu beragam mewarnai kepentingan mereka masing-masing. Ormas telah didefenisikan sebagai salah satu sarana bagi masyarakat unuk mewujudkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam rangka menjamin keutuhan negara, persatuan dan kesatuan bangsa guna tercapainya tujuan nasional, diatur dengan Undang-Undang.
Dari rancangan yang sekarang sedang berjalan, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi perhatian bersama. Pertama, ormas haruslah berbadan hukum. Artinya, pemerintah tidak akan mengakui keberadaan sebuah ormas tanpa ada akta notaris. Untuk mendapatkan akta notaris, sebuah ormas harus sudah memiliki nama organisasi, visi dan misi, asas, tujuan, lambang, kedudukan, struktur organisasi, keanggotaan, wilayah kerja, permusyawaratan, dan lain sebagainya. Jika Ormas tidak berbadan hukum, maka tidak akan ada akses ke pemerintah serta tidak memiliki ruang publik, misal pemasangan spanduk atau jenis pengumunan lain.
Kedua, asas Ormas harus mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa asas yang dimiliki oleh segala Ormas di Indonesia harus selaras dengan butir-butir Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang yang lainnya (RUU Ormas, pasal 17).
Artinya, Ormas yang tidak berketuhanan alias Ormas beraliran komunis atau atheis tidak akan diakui di negara ini karena bertentangan dengan asas Pancasila butir pertama. Hematnya, Ormas yang tidak berketuhanan Yang Maha Esa dianggap tidak ada dan tidak sah sesuai hukum. Hal yang sama pun berlaku pada Ormas beraliran keras atau fundamental. Jika Ormas beraliran fundamental ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pemerintah berhak membekukan atau membubarkan Ormas tersebut.
Dalam pasal 31 dituturkan ada tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ormas. 1) Menjaga, memelihara, dan mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan NKRI, dan ideologi negara; 2) Menjaga dan memelihara ketertiban umum serta mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas; dan 3) Menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan demikian, Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menggangu kedaulatan dan keutuhan NKRI, dilarang menyebarluaskan ideologi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dilarang melakukan kegiatan yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat, dilarang melakuakan atau mendukung tindak pidana korupsi, pencurian uang, terorisme, separatisme, dan radikalisme (RUU Ormas, pasal 52).
Kasus yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap kelompok Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat dan terhadap Gus Dur alias Abdurrahman Wahid saat berceramah di Purwakarta Jawa Barat, 23 Mei 2006, telah mencerminkan anarkisme sesama warga negara dan bertententangan dengan pasal di atas.
Ketiga, pembentukan Ormas oleh warga negara minimal berusia 17 tahun atau susah menikah, termasuk anggota bagi ormas berbasis massa harus berusia 17 tahun atau susah menikah. Logikanya, bagi mereka yang belum berusia 17 atau belum menikah tidak ada ruang untuk bergabung dalam ormas apa pun. Ketika kita melihat ormas-ormas yang ada, maka aturan ini sangat merugikan organisasi semacam Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), dan Ikatan Putri-putri Nahdhatul Ulama (IPPNU) yang telah berjalan cukup lama. Secara riil, basis massa mereka adalah pelajar yang duduk di bangku sekolah SMP dan SMA atau yang setingkat. Sebagai contoh di IPM, anggota adalah mereka yang yang berusia 12 sampai 21 tahun atau sedang duduk di bangku setingkat SMP dan SMA. Karena itu, penulis berharap agar keanggotaan Ormas basis massa tidak hanya dibatasi oleh umur tetapi diberi kebebasan dalam menyusun AD/ART-nya.
Keempat, dalam pasal 22 disebutkan bahwa ormas berbasis massa lingkup nasional harus berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Pasal ini tentu merugikan bagi ormas-ormas keagamaan yang sejak kelahirannya telah berjuang untuk kepentingan sosial tapi keberadaannya tidak di ibu kota. Kerugian itu bisa dirasakan oleh Muhammadiyah, ‘Aisyiah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Nasyiatul ‘Aisyiah (NA), Tapak Suci Putra Muhammadiyah (TSPM), Kepanduan Hizbul Wathan (HW), Majelis Mujahididn Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Kedudukan organisasi-organisasi ini berada di Yogyakarta yang lahir jauh sebelum RUU Ormas ada. Karena itu, harus ada klausul lain yang menjelaskan bahwa ormas yang tidak berkedudukan di ibu kota hanya ormas yang berdiri jauh sebelum UU Keormasan ini ditetapkan atau jauh sebelum negara ini merdeka.
Untuk konteks negara kita yang sedang menganut aliran demokrasi, penulis menilai bahwa Ormas di masa depan haruslah berbadan hukum dan merujuk kepada asas Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pasal 52 di atas benar-benar dijalankan oleh seluruh elemen masyarakat demi terciptanya keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini bukan mengindikasikan bahwa Ormas harus berasas pancasila. Justru semua Ormas diberi kebebasan untuk menentukan asasnya, tetapi tetap berpedoman pada kemaslahan warga negara.
Untuk poin nomor tiga dan empat seperti dijelaskan di atas perihal keanggotaan ormas berbasis massa minimal 17 tahun dan keberadaannya harus di ibu kota, harus ditinjau ulang demi kemaslahan bersama. Sebuah Undang-Undang dibentuk dan dilaksanakan tentunya untuk kemaslahatan bersama bukan malah untuk mendiskriminasikan salah satu kelompok yang ada. Kita adalah negara demokratis, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dari rancangan yang sekarang sedang berjalan, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi perhatian bersama. Pertama, ormas haruslah berbadan hukum. Artinya, pemerintah tidak akan mengakui keberadaan sebuah ormas tanpa ada akta notaris. Untuk mendapatkan akta notaris, sebuah ormas harus sudah memiliki nama organisasi, visi dan misi, asas, tujuan, lambang, kedudukan, struktur organisasi, keanggotaan, wilayah kerja, permusyawaratan, dan lain sebagainya. Jika Ormas tidak berbadan hukum, maka tidak akan ada akses ke pemerintah serta tidak memiliki ruang publik, misal pemasangan spanduk atau jenis pengumunan lain.
Kedua, asas Ormas harus mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa asas yang dimiliki oleh segala Ormas di Indonesia harus selaras dengan butir-butir Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang yang lainnya (RUU Ormas, pasal 17).
Artinya, Ormas yang tidak berketuhanan alias Ormas beraliran komunis atau atheis tidak akan diakui di negara ini karena bertentangan dengan asas Pancasila butir pertama. Hematnya, Ormas yang tidak berketuhanan Yang Maha Esa dianggap tidak ada dan tidak sah sesuai hukum. Hal yang sama pun berlaku pada Ormas beraliran keras atau fundamental. Jika Ormas beraliran fundamental ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pemerintah berhak membekukan atau membubarkan Ormas tersebut.
Dalam pasal 31 dituturkan ada tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ormas. 1) Menjaga, memelihara, dan mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan NKRI, dan ideologi negara; 2) Menjaga dan memelihara ketertiban umum serta mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas; dan 3) Menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan demikian, Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menggangu kedaulatan dan keutuhan NKRI, dilarang menyebarluaskan ideologi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dilarang melakukan kegiatan yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat, dilarang melakuakan atau mendukung tindak pidana korupsi, pencurian uang, terorisme, separatisme, dan radikalisme (RUU Ormas, pasal 52).
Kasus yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap kelompok Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat dan terhadap Gus Dur alias Abdurrahman Wahid saat berceramah di Purwakarta Jawa Barat, 23 Mei 2006, telah mencerminkan anarkisme sesama warga negara dan bertententangan dengan pasal di atas.
Ketiga, pembentukan Ormas oleh warga negara minimal berusia 17 tahun atau susah menikah, termasuk anggota bagi ormas berbasis massa harus berusia 17 tahun atau susah menikah. Logikanya, bagi mereka yang belum berusia 17 atau belum menikah tidak ada ruang untuk bergabung dalam ormas apa pun. Ketika kita melihat ormas-ormas yang ada, maka aturan ini sangat merugikan organisasi semacam Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), dan Ikatan Putri-putri Nahdhatul Ulama (IPPNU) yang telah berjalan cukup lama. Secara riil, basis massa mereka adalah pelajar yang duduk di bangku sekolah SMP dan SMA atau yang setingkat. Sebagai contoh di IPM, anggota adalah mereka yang yang berusia 12 sampai 21 tahun atau sedang duduk di bangku setingkat SMP dan SMA. Karena itu, penulis berharap agar keanggotaan Ormas basis massa tidak hanya dibatasi oleh umur tetapi diberi kebebasan dalam menyusun AD/ART-nya.
Keempat, dalam pasal 22 disebutkan bahwa ormas berbasis massa lingkup nasional harus berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Pasal ini tentu merugikan bagi ormas-ormas keagamaan yang sejak kelahirannya telah berjuang untuk kepentingan sosial tapi keberadaannya tidak di ibu kota. Kerugian itu bisa dirasakan oleh Muhammadiyah, ‘Aisyiah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Nasyiatul ‘Aisyiah (NA), Tapak Suci Putra Muhammadiyah (TSPM), Kepanduan Hizbul Wathan (HW), Majelis Mujahididn Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Kedudukan organisasi-organisasi ini berada di Yogyakarta yang lahir jauh sebelum RUU Ormas ada. Karena itu, harus ada klausul lain yang menjelaskan bahwa ormas yang tidak berkedudukan di ibu kota hanya ormas yang berdiri jauh sebelum UU Keormasan ini ditetapkan atau jauh sebelum negara ini merdeka.
Untuk konteks negara kita yang sedang menganut aliran demokrasi, penulis menilai bahwa Ormas di masa depan haruslah berbadan hukum dan merujuk kepada asas Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pasal 52 di atas benar-benar dijalankan oleh seluruh elemen masyarakat demi terciptanya keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini bukan mengindikasikan bahwa Ormas harus berasas pancasila. Justru semua Ormas diberi kebebasan untuk menentukan asasnya, tetapi tetap berpedoman pada kemaslahan warga negara.
Untuk poin nomor tiga dan empat seperti dijelaskan di atas perihal keanggotaan ormas berbasis massa minimal 17 tahun dan keberadaannya harus di ibu kota, harus ditinjau ulang demi kemaslahan bersama. Sebuah Undang-Undang dibentuk dan dilaksanakan tentunya untuk kemaslahatan bersama bukan malah untuk mendiskriminasikan salah satu kelompok yang ada. Kita adalah negara demokratis, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar