Tak terasa setengah perjalanan ramadhan telah berlalu. Tiap hari bulan yang dianggap suci itu semakin berkurang dan akan segera berganti dengan bulan baru. Ramadhan menjadi bulan yang berkah dinanti-nantikan oleh seluruh kalangan masyarakat, baik pedagang, para ustadz, kyai, politikus, media, artis, grup band musik, maupun dunia pertelevisian.
Karena ada momen ramadhan, masyarakat yang pada awalnya tidak berjualan akhirnya berjualan juga. Barang yang dijual tidak jauh dari kolak, es kelapa muda, minuman manis, gorengan, roti, buah-buahan, dan lain sebagainya. Jalan raya yang pada hari-hari biasa tidak ramai, kini menjadi padat dengan hadirnya pedangan dan pembeli baru. Setelah bulan ramdahan berlalu, jalanan menjadi sepi kembali.
Para ustadz dan kyai pun tak kalah tanding ikut nimbrung di bulan yang suci ini. Atas nama bulan ramadhan, mereka siap diundang sebagai penceramah baik saat tarawih, shalat subuh, maupun ketika takjilan. Tak heran jika bulan ramadhan adalah program 30 hari mencari amplop. Banyak penghasilan yang akan diambil pada bulan ini. Belum lagi ada ormas atau partai yang membuat selebaran pengumuman yang kurang lebih berbunyi: “Jika membutuhkan dai atau penceramah, hubungi kami di alamat… atau kontak ke no berikut…”, dan seterusnya.
Para artis dan pihak Production House (PH) pun tak ingin kalah dengan hadirnya ramadhan ini. Baik artis maupun PH bekerjasama untuk membuat film Islami khusus menyambut bulan suci ramadhan. Artis yang dalam kesehariannya selalu mengumbar aurat, kini ketika hadir di film edisi khusus ramadhan menjadi muslimah melebihi wanita-wanita biasa. Jilbab hanya dijadikan kedok untuk mengeruk uang. Filmnya pun laris ditonton pemirsa, baik menjelang buka puasa atau setelah shalat tarawih.
Para penyanyi solo maupun grup band juga berbondong-bondong menciptakan lagu spesial untuk ramadhan. Grup Band Ungu sukses meluncurkan album yang kedua kalinya untuk ramadhan. Pada ramadhan yang lalu, Grup Band Radja juga turut menyumbangkan satu album untuk ramadhan. Bahkan Acha dan Irwansyah berbalik menjadi penyanyi yang terlihat religius.
Hampir setiap hari, seluruh stasiun televis menayangkan beragam acara yang seluruhnya dikemas untuk ramadhan. Mulai dari sebelum sahur, bakda sahur, pagi, siang, menjelang buka puasa, hingga setelah tarawih dan mau tidur.
Semua itu adalah karena berkah ramadhan sebagai bulan untuk seluruh umat manusia.
Bulan suci ramadhan pada dasarnya dijadikan sebagai terminal bagi umat muslim dalam mengaruhi hidup ini. Ketika 11 bulan yang lalu seluruh umat manusia melakukan aktivitas yang beragam, kini saatnya pada bulan ramadhan melakukan refleksi terhadap apa saja yang telah kita lakukan. Jadikanlah ramadhan sebagai bulan untuk merefleksikan diri terhadap apa saja yang dilakukan selama ini.
Di bulan ini pula kita harus kembali mendekatkan diri pada sang rabb agar kita tidak terlampau jauh meninggalkan agama. Kita diajak untuk beribadah dengan imbalan segala amal apa pun pasti akan dilipatgandakan. Bahkan tidur pun menjadi ibadah. Inilah bulan special yang dielu-elukan oleh siapa saja.
Ramadhan telah menjadi komoditas siapa pun. Proses industrialisasi alias perdagangan atas nama ramadhan terjadi di mana-mana. Semua orang ikut andil dengan beragama kegiatan. Paket hemat ramadhan menjadi kebiasaan para pedagang di took-toko kecil.
Lebih penting lagi, komersialisasi ramadhan terjadi dalam dunia pertelevisian. Banyak pihak yang mengeruk keuntungan tanpa mengambil substansi bulan ramadhan, baik dari pihak PH, artis, maupun iklan yang berdatangan. Filmnya memang bagus dan disenangi oleh pemirsa, tapi kita tanpa sadar telah menjadi sasaran dan korban dari kebiadaban para pengeruk keuntungan tersebut.
Ramdhan telah menjadi korban dari budaya pop. Budaya Pop yang menurut John Storey dalam bukunya Cultural Studies and Pop Culture dianggap sebagai kebiasaan berupa praktek-praktek dalam keseharian, misal liburan ke pantai, perayaan ulang tahun, tujuh belas agustusan, dan aktivitas lainnya. Kata “pop” singkatan dari “popular” yang arti sederhadanya adalah disukai oleh banyak orang. Karena itu, budaya pop bisa bermakna budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan.
Praktek-praktek budaya pop bisa kita lihat pada laku kerasnya penjualan buku Harry Potter, larisnya film Titanic dan The Lord of The Ring, boomingnya film Ada Apa dengan Cinta dan Heart, serta semaraknya bulan ramadhan dengan beragam kegiatan. Kita juga bisa melihat perkembangan budaya pop dalam dunia musik terjadi pada tenarnya Dewa, Padi, dan Sheila on 7. Akhir-akhir ini terjadi juga pada Ungu, Letto, Radja, Peter Pan, dan lain sebagainya.
Dengan mengacu pada contoh-contoh di atas, semarak ramadhan merupakan bagian dari komoditas budaya pop yang berarti budaya tinggi tertutama pada kasus penjualan buku, rekaman, dan juga rating audiens televisi yang dinyatakan sebagai budaya pop. Apakah kita tinggal diam dengan realitas bulan ramadhan yang menjadi bagian dari komersialisasi? Awas virus komersialisasi ramadhan harus dijauhi, bahkan dilawan!
Yogyakarta, 19 September 2007
Karena ada momen ramadhan, masyarakat yang pada awalnya tidak berjualan akhirnya berjualan juga. Barang yang dijual tidak jauh dari kolak, es kelapa muda, minuman manis, gorengan, roti, buah-buahan, dan lain sebagainya. Jalan raya yang pada hari-hari biasa tidak ramai, kini menjadi padat dengan hadirnya pedangan dan pembeli baru. Setelah bulan ramdahan berlalu, jalanan menjadi sepi kembali.
Para ustadz dan kyai pun tak kalah tanding ikut nimbrung di bulan yang suci ini. Atas nama bulan ramadhan, mereka siap diundang sebagai penceramah baik saat tarawih, shalat subuh, maupun ketika takjilan. Tak heran jika bulan ramadhan adalah program 30 hari mencari amplop. Banyak penghasilan yang akan diambil pada bulan ini. Belum lagi ada ormas atau partai yang membuat selebaran pengumuman yang kurang lebih berbunyi: “Jika membutuhkan dai atau penceramah, hubungi kami di alamat… atau kontak ke no berikut…”, dan seterusnya.
Para artis dan pihak Production House (PH) pun tak ingin kalah dengan hadirnya ramadhan ini. Baik artis maupun PH bekerjasama untuk membuat film Islami khusus menyambut bulan suci ramadhan. Artis yang dalam kesehariannya selalu mengumbar aurat, kini ketika hadir di film edisi khusus ramadhan menjadi muslimah melebihi wanita-wanita biasa. Jilbab hanya dijadikan kedok untuk mengeruk uang. Filmnya pun laris ditonton pemirsa, baik menjelang buka puasa atau setelah shalat tarawih.
Para penyanyi solo maupun grup band juga berbondong-bondong menciptakan lagu spesial untuk ramadhan. Grup Band Ungu sukses meluncurkan album yang kedua kalinya untuk ramadhan. Pada ramadhan yang lalu, Grup Band Radja juga turut menyumbangkan satu album untuk ramadhan. Bahkan Acha dan Irwansyah berbalik menjadi penyanyi yang terlihat religius.
Hampir setiap hari, seluruh stasiun televis menayangkan beragam acara yang seluruhnya dikemas untuk ramadhan. Mulai dari sebelum sahur, bakda sahur, pagi, siang, menjelang buka puasa, hingga setelah tarawih dan mau tidur.
Semua itu adalah karena berkah ramadhan sebagai bulan untuk seluruh umat manusia.
Bulan suci ramadhan pada dasarnya dijadikan sebagai terminal bagi umat muslim dalam mengaruhi hidup ini. Ketika 11 bulan yang lalu seluruh umat manusia melakukan aktivitas yang beragam, kini saatnya pada bulan ramadhan melakukan refleksi terhadap apa saja yang telah kita lakukan. Jadikanlah ramadhan sebagai bulan untuk merefleksikan diri terhadap apa saja yang dilakukan selama ini.
Di bulan ini pula kita harus kembali mendekatkan diri pada sang rabb agar kita tidak terlampau jauh meninggalkan agama. Kita diajak untuk beribadah dengan imbalan segala amal apa pun pasti akan dilipatgandakan. Bahkan tidur pun menjadi ibadah. Inilah bulan special yang dielu-elukan oleh siapa saja.
Ramadhan telah menjadi komoditas siapa pun. Proses industrialisasi alias perdagangan atas nama ramadhan terjadi di mana-mana. Semua orang ikut andil dengan beragama kegiatan. Paket hemat ramadhan menjadi kebiasaan para pedagang di took-toko kecil.
Lebih penting lagi, komersialisasi ramadhan terjadi dalam dunia pertelevisian. Banyak pihak yang mengeruk keuntungan tanpa mengambil substansi bulan ramadhan, baik dari pihak PH, artis, maupun iklan yang berdatangan. Filmnya memang bagus dan disenangi oleh pemirsa, tapi kita tanpa sadar telah menjadi sasaran dan korban dari kebiadaban para pengeruk keuntungan tersebut.
Ramdhan telah menjadi korban dari budaya pop. Budaya Pop yang menurut John Storey dalam bukunya Cultural Studies and Pop Culture dianggap sebagai kebiasaan berupa praktek-praktek dalam keseharian, misal liburan ke pantai, perayaan ulang tahun, tujuh belas agustusan, dan aktivitas lainnya. Kata “pop” singkatan dari “popular” yang arti sederhadanya adalah disukai oleh banyak orang. Karena itu, budaya pop bisa bermakna budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan.
Praktek-praktek budaya pop bisa kita lihat pada laku kerasnya penjualan buku Harry Potter, larisnya film Titanic dan The Lord of The Ring, boomingnya film Ada Apa dengan Cinta dan Heart, serta semaraknya bulan ramadhan dengan beragam kegiatan. Kita juga bisa melihat perkembangan budaya pop dalam dunia musik terjadi pada tenarnya Dewa, Padi, dan Sheila on 7. Akhir-akhir ini terjadi juga pada Ungu, Letto, Radja, Peter Pan, dan lain sebagainya.
Dengan mengacu pada contoh-contoh di atas, semarak ramadhan merupakan bagian dari komoditas budaya pop yang berarti budaya tinggi tertutama pada kasus penjualan buku, rekaman, dan juga rating audiens televisi yang dinyatakan sebagai budaya pop. Apakah kita tinggal diam dengan realitas bulan ramadhan yang menjadi bagian dari komersialisasi? Awas virus komersialisasi ramadhan harus dijauhi, bahkan dilawan!
0 komentar:
Posting Komentar