Harus disadari, dominasi Barat atas Timur dalam konteks studi orientalisme hanya sebuah permainan yang dibungkus lewat kepentingan geografis-politis. Sehingga realitas yang lahir, Barat ingin mencoba mengerdilkan Timur. Kesan yang muncul di publik adalah Barat berkuasa dan Timur dikuasai. Barat superior dan Timur inferior. Jika Timur ingin maju maka harus belajar dengan Barat. Balfour dan Cromer pun senada mengatakan, orang Timur itu irasional, bejat moral, dan kekanak-kanakan. Sedangkan orang Eropa rasional, berbudi luhur, dewasa, dan normal. Orang Timur akhirnya hanya sebagai pihak yang diadili dan yang didisiplinkan Barat.
Orientalisme bisa dinilai sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperealisme terhadap Timur, terutama terhadap dunia Islam. Hal ini juga disadari oleh Komaruddin Hidayat, bahwa orientalisme telah meninggalkan stigma buruk di kalangan dunia Islam. Sehingga apapun yang dikatakan oleh sarjana Barat tentang Islam harus dicurigai. Begitu juga dengan sarjana-sarjana Indonesia yang mengambil program Islamic Studies di Perguruan Tinggi Barat patut dicurigai, karena telah terkontaminasi oleh pemikiran para orientalis.
Banyak perspektif yang berbicara tentang orientalisme terkait dengan perkembangan zaman, hingga menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai. Salah satu pedebatan itu, apakah Fazlur Rahman, pemikir Islam yang diusir dari negerinya (Pakistan), bisa dikatakan sebagai seorang orentalis karena dia menetap di Amerika dan mengajar ilmu-ilmu keislaman? Padahal dirinya seorang Muslim. Atau, bisakah orang-orang Muslim Indonesia yang belajar tentang Islam di Amerika disebut sebagai orientalis? Pertanyaan-pertanyaan ini mencoba menggugat makna orientalisme yang masih bias. Apakah makna itu didasarkan atas pemikiran seseorang yang tertarik terhadap kajian ketimuran? Didasarkan atas geografis seseorang (maksudnya, tinggal Barat)? Atau hanya khusus untuk orang-orang non Islam yang mempelajari Barat? Kiranya perlu ada interpretasi baru atas orientalisme.
Penulis sepakat dengan kritik yang dilontarkan Edward W. Said, bahwa orientalisme tidak hadir dalam suatu ruang yang hampa, tetapi ia lahir karena faktor politik dan budaya. Maka dari itu, Barat harus bertanggung jawab atas persepsinya yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Kekeliruan ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan penjajahan, keagamaan, ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi.
Problema orientalisme itu akhirnya memunculkan berbagai tanggapan, terutama dari kalangan kaum muslimin. Sebagian mereka ada yang menganggap, seluruh orientalis adalah musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secara emosional menyatakan, orang Islam yang mempelajari karya orientalis termasuk antek zionis. Hal ini tidak terlepas dari argumen mereka yang menyatakan, orientalisme itu bersumber pada ide-ide kristenisasi yang sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. Sebagai contoh karya HAR Gibb, Mohammedanism. Di dalam bukunya itu, Gibb berpendapat Al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad dan menamakan Islam sebagai Mohammedanism. Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama Islam.
Namun, ada sebagian kelompok lain yang bersikap toleran. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama bersikap sangat berlebihan. Semua karya kaum orientalis dinilai sangat ilmiah dan obyektif. Kelompok kedua lebih bersikap hati-hati dan kritis. Mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam, karena beberapa karyanya cukup memberi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan umatnya.
Prinsipnya, meminjam pernyataan Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. Secara politis, pandangan dan kajian Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa serta menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan. Tegasnya penyebaran Kristen.
Penulis semakin menaruh rasa curiga terhadap orang-orang Barat yang mengkaji ilmu-ilmu ketimuran yang semakin intensif. Mereka sekarang tidak suka disebut sebagai orientalis, lebih sukai dengan nama Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis karena adanya kritik tajam Said. Inti kritiknya, terjadi bias intelektual Barat terhadap dunia Timur, Islam, dan dunia muslim khususnya. Memang, orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Sedangkan Islamisis tampak lebih bersahabat. Nama-nama Islamisis yang produktif saat ini adalah John L. Esposito, Karen Armstrong, Annemarie Schimmel, Martin Lings, Charles Kurtzman, dan lain sebagainya. Di antara mereka ada yang kemudian masuk Islam seperti Annemarie Schimmel.
Kritik penulis, sebenarnya para orientalis yang ingin berganti nama itu hanya ingin mencari perlindungan dari kata ”Islamisis”. Kata ”Islamisis” sebenarnya terjadi problem bahasa dan mereka tidak tepat dikategorikan sebagai Islamisis. Ini penggunaan kata yang perlu didekonstruksi ulang. Biarlah term orientalis tetap melekat bagi mereka yang ingin mempelajari dunia ketimuran. Jangan atas nama ”Islamisis” yang hanya sebagai perlindungan tetapi bermisi buruk.
Demikian, orientalisme hingga tulisan ini ada masih menjadi bagian dari disiplin ilmu yang tak terselesaikan dan sarat akan kepentingan geo-politis. Kalau pun di kalangan tradisi Islam muncul oksidentalisme dengan Hassan Hanafi sebagai juru bicara, toh tetap tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Tetapi, setidaknya dengan kehadiran oksidentalisme, posisi Timur bisa menjadi subyek atas Barat. Tidak melulu Barat sebagai subjek. Tepatnya, oksidentalisme hadir sebagai penyeimbang atas orientalisme yang selama ini telah mendominasi dunia Timur.
Orientalisme bisa dinilai sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperealisme terhadap Timur, terutama terhadap dunia Islam. Hal ini juga disadari oleh Komaruddin Hidayat, bahwa orientalisme telah meninggalkan stigma buruk di kalangan dunia Islam. Sehingga apapun yang dikatakan oleh sarjana Barat tentang Islam harus dicurigai. Begitu juga dengan sarjana-sarjana Indonesia yang mengambil program Islamic Studies di Perguruan Tinggi Barat patut dicurigai, karena telah terkontaminasi oleh pemikiran para orientalis.
Banyak perspektif yang berbicara tentang orientalisme terkait dengan perkembangan zaman, hingga menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai. Salah satu pedebatan itu, apakah Fazlur Rahman, pemikir Islam yang diusir dari negerinya (Pakistan), bisa dikatakan sebagai seorang orentalis karena dia menetap di Amerika dan mengajar ilmu-ilmu keislaman? Padahal dirinya seorang Muslim. Atau, bisakah orang-orang Muslim Indonesia yang belajar tentang Islam di Amerika disebut sebagai orientalis? Pertanyaan-pertanyaan ini mencoba menggugat makna orientalisme yang masih bias. Apakah makna itu didasarkan atas pemikiran seseorang yang tertarik terhadap kajian ketimuran? Didasarkan atas geografis seseorang (maksudnya, tinggal Barat)? Atau hanya khusus untuk orang-orang non Islam yang mempelajari Barat? Kiranya perlu ada interpretasi baru atas orientalisme.
Penulis sepakat dengan kritik yang dilontarkan Edward W. Said, bahwa orientalisme tidak hadir dalam suatu ruang yang hampa, tetapi ia lahir karena faktor politik dan budaya. Maka dari itu, Barat harus bertanggung jawab atas persepsinya yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Kekeliruan ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan penjajahan, keagamaan, ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi.
Problema orientalisme itu akhirnya memunculkan berbagai tanggapan, terutama dari kalangan kaum muslimin. Sebagian mereka ada yang menganggap, seluruh orientalis adalah musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secara emosional menyatakan, orang Islam yang mempelajari karya orientalis termasuk antek zionis. Hal ini tidak terlepas dari argumen mereka yang menyatakan, orientalisme itu bersumber pada ide-ide kristenisasi yang sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. Sebagai contoh karya HAR Gibb, Mohammedanism. Di dalam bukunya itu, Gibb berpendapat Al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad dan menamakan Islam sebagai Mohammedanism. Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama Islam.
Namun, ada sebagian kelompok lain yang bersikap toleran. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama bersikap sangat berlebihan. Semua karya kaum orientalis dinilai sangat ilmiah dan obyektif. Kelompok kedua lebih bersikap hati-hati dan kritis. Mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam, karena beberapa karyanya cukup memberi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan umatnya.
Prinsipnya, meminjam pernyataan Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. Secara politis, pandangan dan kajian Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa serta menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan. Tegasnya penyebaran Kristen.
Penulis semakin menaruh rasa curiga terhadap orang-orang Barat yang mengkaji ilmu-ilmu ketimuran yang semakin intensif. Mereka sekarang tidak suka disebut sebagai orientalis, lebih sukai dengan nama Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis karena adanya kritik tajam Said. Inti kritiknya, terjadi bias intelektual Barat terhadap dunia Timur, Islam, dan dunia muslim khususnya. Memang, orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Sedangkan Islamisis tampak lebih bersahabat. Nama-nama Islamisis yang produktif saat ini adalah John L. Esposito, Karen Armstrong, Annemarie Schimmel, Martin Lings, Charles Kurtzman, dan lain sebagainya. Di antara mereka ada yang kemudian masuk Islam seperti Annemarie Schimmel.
Kritik penulis, sebenarnya para orientalis yang ingin berganti nama itu hanya ingin mencari perlindungan dari kata ”Islamisis”. Kata ”Islamisis” sebenarnya terjadi problem bahasa dan mereka tidak tepat dikategorikan sebagai Islamisis. Ini penggunaan kata yang perlu didekonstruksi ulang. Biarlah term orientalis tetap melekat bagi mereka yang ingin mempelajari dunia ketimuran. Jangan atas nama ”Islamisis” yang hanya sebagai perlindungan tetapi bermisi buruk.
Demikian, orientalisme hingga tulisan ini ada masih menjadi bagian dari disiplin ilmu yang tak terselesaikan dan sarat akan kepentingan geo-politis. Kalau pun di kalangan tradisi Islam muncul oksidentalisme dengan Hassan Hanafi sebagai juru bicara, toh tetap tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Tetapi, setidaknya dengan kehadiran oksidentalisme, posisi Timur bisa menjadi subyek atas Barat. Tidak melulu Barat sebagai subjek. Tepatnya, oksidentalisme hadir sebagai penyeimbang atas orientalisme yang selama ini telah mendominasi dunia Timur.
0 komentar:
Posting Komentar