13.03

Cantik Itu Mitos?

”Cantik itu menarik”. Sebuah hipotesa (kesimpulan awal) yang tidak terlalu berlebihan. Ia milik wanita. Tak ada satu pun wanita yang tidak mendamba kecantikan pada dirinya. Hanya mereka yang tidak bisa cantik saja yang menolak kecantikan. Tubuh menjadi sasaran dari bentuk kecantikan. Terlebih para gadis remaja yang telah menjadi warga pesolek (dandy society) sejati.

Cantik diidentikkan dengan langsing, berkulit putih, tinggi, wajah mulus tanpa noda, berambut panjang/pirang, montok, pakai lipstik, dan tidak gemuk. Untuk wanita Indonesia ditambah dengan kriteria ”bermuka agak kebule-bule-an atau blasteran”. Konsep ini sedang menjamur di kalangan anak muda. Lelaki normal pasti mendambakan seorang kekasih yang cantik. Namun urukan cantik berbeda-beda. Setiap orang memiliki kriterianya masing-masing terhadap kualitas cantik.

Dari beberapa teman yang penulis jumpai, mereka menyatakan bahwa cantik itu sesuatu ideal yang harus didapatkan. Mereka rela berkorban untuk mendapatkan kekasih cantik yang diidam-idamkan, walaupun harus dengan jalan kekerasan. Wanita cantik yang menjadi bahan rebutan pun senang dengan keadaan demikian. Mereka seolah menjadi ratu yang bisa memilih lelaki mana yang cocok untuk diri mereka.

Kini, cantik telah menjadi mitos kehidupan. Ia menjadi hantu bagi kaum hawa. Mereka rela berdiet dan berolah raga untuk menguruskan kegemukan badan, membeli dan menikmati peralatan kosmetik untuk pemutihan kulit, dandan ke salon untuk rebonding (meluruskan rambut keriting), facial, medicure dan pedicure, luluran alias SPA, menghindari makanan berlemak, serta tidak ingin berlama-lama di bawah terik matahari.

Kulit hitam, kegemukan, wajah tidak cantik, dan bertambahnya usia seolah noda bagi wanita. Mereka ketakutan dengan kriteria ini dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan tubuh ideal, walaupun harus tertindas. Wanita selalu menderita untuk bisa menjadi sosok yang cantik. Sangat menyedihkan.

Tubuh mereka telah menjadi korban penindasan produk-produk kecantikan. Awalnya, konsep kecantikan dikemas dan kemudian dipublikasikan dengan menghadirkan artis-artis papan atas. Dunia periklanan selalu menghadirkan wanita cantik. Iklan sabun Lux menjadi satu bukti, bahwa kehadiran Tamara Blezensky, Luna Maya, Marcelina Zalianti, dan Dian Sastro sebagai bintang iklan telah menyudutkan wanita yang tidak ideal seperti mereka.

Iklan-iklan kosmetik lainnya semacam Ponds, Citra, dan Vaseline juga menampilkan sosok wanita cantik, langsing, putih, dan muda, sehingga para lelaki tergoda. Tidak cukup alat-alat kosmetik saja, iklan laptop pun telah mengeksploitasi wanita. Iklan tersebut ingin menyamakan laptop tipis dengan tubuh wanita yang langsing. Kalau kita cermati, sebenarnya pesan yang ingin disampaikan dalam iklan tersebut adalah ”Miliki laptop tipis seperti anda memiliki wanita langsing. Mudah dibawa ke mana saja. Persediaan terbatas!”.

Dengan konsep kencantikan yang dibangun tersebut, menjadi peluang besar bagi pemodal industri kecantikan untuk meraih keuntungan finansial yang sangat besar. Sayangnya, wanita-wanita kita tidak sadar dengan eksploitasi yang terjadi pada tubuh mereka. Malah, mereka sangat menikmati dari hasil eksploitasi tersebut. Kecantikan pun telah menjadi mitos yang menindas sekaligus membuat wanita enjoy menikmatinya. Kecantikan telah menjadi politis dan permainan pasar.

Sebelum melangkah pada akhir tulisan, penulis ingin memaparkan juga sekelumit tentang kecantikan dalam lintasan sejarah. Dalam dunia dewa jauh sebelum masehi, para dewa perempuan memiliki banyak kekasih. Umumnya, mereka lebih tua dan menyukai lelaki muda. Misalnya Ishtar dengan Tammuz, Venus dengan Adonis, Isis dengan Osiris, atau yang lainnya. Para lelaki muda itu hanya berfungsi sebagai pelayan bagi rahim dewa-dewa perempaun.

Di antara penduduk suku Woodabe di Nigeria, wanita menjadi pemegang kekuasan ekonomi dan mereka yang tinggal di pedalaman tertarik dengan kecantikan laki-laki. Para lelaki Woodabe menghabiskan waktu berjam-jam untuk menghias diri bersama-sama dan kemudian bersaing dengan mengenakan busana yang provokaitf dan wajah yang dirias, serta dengan menunjukkan pinggang-pinggang mereka yang ramping dan memasang tampang menggoda. Mereka berlomba dalam kontes kecantikan yang para jurinya adalah kaum wanita.

Hal ini menandakan, sejarah kecantikan tak hanya satu cerita. Secara kebetulan saja kita sekarang hidup dalam lintasan sejarah kecantikan dengan kriteria ”langsing dan putih”. Kriteria ini tentu berbeda dengan kecantikan pada abad pertengahan. Saat itu wanita cantik haruslah berbadan montok, bukan langsing.

Sepertinya sulit untuk mengatakan, cantik itu mitos! Karena kita sekarang sedang dihadapkan pada dua pilihan: Melawan konsep kecantikan dan menawarkan teori baru atau ikut arus dalam dunia kecantikan yang telah dimitoskan?

1 komentar:

Lucu Dan Selalu Ceria mengatakan...

ngebaca tulisan ini kayaknya penulisnya ga mo cewek cantik hehehehe... (sorry b'canda)
cantik mitos? hhhhmmmmm.....
wahh kayaknya terlalu sulit nganalisisnya tuhh..

yang dinamakan mitos kan suatu cerita yang sifatnya sakral dan melibatkan simbol-simbol serta pada umumnya mempunyai beragam makna yang terkait erat pada kultur atau budaya tertentu (definisi ini menurut para antropolog lhoo termasuk Levi-strauss). seperti cerita Ramayana, Mahabarata, Nyai Roro Kidul, Sunan Kalijaga dll.

So, aku ga paham apabila kecantikan itu disebut sebagai mitos apa nggak, Pak Ridho lebih tau kan?

alur fikiran di tulisan ini dapet ditangkap bahwa apa yang kita katakan sebagai "cantik" adalah hasil relasi antar manusia yang menentukan apa arti estetis bagi tubuh manusia? so, kecantikan bukan suatu yang ada di luar penilaian manusia, tetapi hasil hubungan sosial, ekonomi dan budaya atau relasi kemanusiaan dalam historis yang menentukannya.

Ridho mampu menunjukkan bukti bahwa kecantikan adalah "buatan" dengan meninjau latar belakang historis masa lampau ketika kecantikan tidak lagi ditentukan kriterianya sebagaimana pada masa sekarang walapun sayangnya contoh yang dibuatnya hanya dikenal pada dunia mitos dewa dan dewi Kahyangan, bukan pada alur sejarah manusia itu sendiri.

Mitos tentang wanita kuat dimana lelaki menjadi budaknya bukan hanya milik budaya Yunani, melainkan dalam budaya Jawa juga termuat, so ga perlu jauh2 kalo sekedar cari contoh. Nyai Roro Kidul digambarkan sebagai ratu dengan abdi lelaki, sering memakan kurban, dan semua lelaki tunduk dihadapan kakinya. begitu juga mitos Nyai Blorong, walaupun dalam tv digambarkan sebgai cantik.

kembali ke permasalahan kecantikan. apakah kecantikan adalah hasil historisitas ataukah ia suatu kualitas obyektif yang ada di luar historisitas? perdebatan yang sangat klasik, dan hasilnya juga sama dengan perdebatan mana yang lebih dulu antara telur dan ayam.

tetapi tulisan ini merujuk pada yang pertama atau kecantikan sebagai produk historis, bukan kualitas obyektif. Kecantikan dapat diproduksi, dengan mengubah persepsi untuk kepentingan eksploitasi industri. hmmm.....hmmm...

bukankah orang disebut cantik tanpa memerlukan suatu bahan kosmetik? bahan kosmetik sebagai pelengkap kecantikan ataukah ia hadir untuk memberikan alternatif (memproduksi) persepsi akan kecantikan?

cara fikir orang pertama, cantik itu adalah suatu kualitas yang diberikan secara taken for granted, dan kecantikan itu perlu dilestarikan dengan memelihara dan merawat tubuh, dengan lumuran, atau penjagaan kecantikan yang lain, tidak melulu tergantung industri modern karena budaya jawa juga mengenal bagaimana perempuan itu menjaga dan merawat kecantikan. begitu juga budaya Jepang dan China.

cara fikir kedua, memandang bahwa kecantikan itu kualitas yang diberikan dan berkembang tergantung bagaimana suatu masyarakat itu berkembang. sehingga ditentukan oleh hegemoni kultural bukan ditentukan oleh sebab yang sifatnya natural. so, hegemoni kapitalisme modern melalui budaya iklan, paham kebebasan, style dan mode, dan prinsip akumulasi modal sangat menentukan apa yang terbaik bagi cara pandang.

pendekatan yang sama juga pernah dilakukan oleh Marx yang menyatakan bahwa persepsi atau bangun kesadaran tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. tetapi alangkah naif apabila dunia kapital mampu merombak bentuk kesadaran sampai terdalam dan sampai menembus batas kesadaran manusia, termasuk tentang apa yang dikatakan sebagai cantik.

ada lelaki yang satu lebih tertarik pada wanita yang pendek, yang lain tertarik pada wanita yang alami gak modis dan biasa, sedangkan yang lain tertarik pada wanita yang satu ras. Dan anehnya juga banyak dijumpai orang yang jarang melihat iklan di tv tetapi mempunyai suatu bentuk persepsi terhadap kecantikan sama dengan kecantikan apa-apa yang disuguhkan di iklan? sebenarnya beragam peristiwa yang mudah dijadikan contoh untuk menggugurkan pernyataan bahwa industri mampu membentuk basis persepsi terhadap kecantikan.

Kritik terhadap kecantikan dalam pengetahuanku tuh adalah bagian dari kritik Neo Marxian, juga masuk kajian post kolonialism dan juga feminisme dimana "kritis emansipatoris" menjadi paradigma mereka. paradigma mereka bukanlah pendekatan obyektif empiris sebagaimana keilmuan.

Teori Kritis mempunyai sifat tentang kritik terhadap masyarakat yang mana mempunyai tujuan untuk pembebasan dengan memakai ekonomi, sosiologis, dll sebagai analisa kritisnya. Jadi hipotesis "mitos kecantikan" diasalkan dari paradigma itu, bukan paradigma positivisme. Tapi aku lebih suka paradigma yang terakhir, so mungkin persepsi kita akan berbeda tentang kecantikan.

kecantikan adalah suatu bentuk persepsi akan kualitas tertentu, dan kualtias tertentu bukan suatu buatan, melainkan fakta di luar kesadaran manusia. ia hadir, nyata, dalam otak manusia yang mengolahnya. serta bagaimana merawatnya demi menjaga status sosialnya entah lewat perawatan tradisi maupun perawatan modern.

thank's atas atensinya...