16.50

Televisi Sebagai Tanda Era Goblogisasi

Penulis mempunyai keponakan. Namanya Reni. Kini dia sedang duduk di bangku SMP. Tentunya keponakan itu bukan di Jogja, tapi di Metro (Lampung). Penulis sempat bersamanya untuk beberapa minggu. Awalnya, keluarga paman saya ini tidak memiliki televisi, apalagi komputer. Namun hidup harus berubah dan kehidupan keluarga paman saya pun ikut berubah. Mereka kini memiliki televisi, komputer pun ada dua buah.

Kini, kebiasaan menonton televisi tidak bisa dilepaskan oleh Reni. Bahkan remot pun harus dia yang memegang. Tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya tanpa seizin Reni. Kebiasaannya yang dulu rajin mengikuti tadarus tiap sore hari di masjid, kini menjadi jarang disebabkan tontonan gosip yang selalu menghadirkan artis-artis cantik dan terkenal. Shalat Maghrib dan Isya’ di masjid pun mulai ditinggalkannya secara perlahan-lahan. Itu juga disebabkan karena program televisi yang menyajikan tayangan sinetron anak muda penuh glamour dengan soundtrack lagu dari band-band papan atas negeri ini.

Sang ibu pun tak ingin ketinggalan dengan anaknya. Saat malam hari, ibu tiga anak ini rutin menyaksikan program acara sinetron keluarga dan misteri ilahi. Sang ayah hanya mendapat jatah pagi hari untuk menonton siaran berita. Itu pun terbatas waktunya. Karena jam tujuh harus sudah berangkat ke sekolah. Maklum, beliau mejabat sebagai kepala sekolah di desanya.

Kita pun masih ingat dengan sederetan film-film ternama berkelas internasional semisal Titanic dan The Lord of The Ring yang sempat mewarnai dunia pertelevisian kita. Hadir pula film-film remaja yang akhirnya bertengger di panggung televisi, seperti AADC, Dealova, Eifel… I’m in Love, dan Cinta Pertama. Bahkan ada yang dijadikan cerita serial seperti yang terjadi pada film Heart.

Dalam kontes musik, lahir band-band baru yang hampir keseluruhannya dirajai oleh anak muda. Lagu-lagu mereka pun hampir tiap jam selalu mewarnai program acara televisi. Ada yang dijadikan soundrack film, soundtrack iklan, siaran 10 tembang hits dalam negeri, atau konser di berbagai tempat di tanah air. Tentunya satu sama lain saling menggaet penggemarnya. Ribuan kaset mereka pun tercecer di pinggir jalan.

Televisi merupakan tanda dari globalisasi. Dia lahir dari rahim modernisasi. Modernisasi yang terkadang tak selalu membawa kebahagiaan. Menjadi sesuatu hal yang sulit untuk menolak kehadiran televisi di era goblogisasi dan gombalisasi yang serba tanpa skat dan batas ini. Seolah, televisi telah menjadi salah satu menu wajib dalam keluarga. Mungkin, slogan “Matikan TV-mu” hanya menjadi gonggongan anjing yang ditinggalkan kafilah.

Ironis memang. Karena kita telah masuk ke dalam ‘lubang hitam’ modernisasi dan menjadi agak sulit untuk keluar dari lubang tersebut. Televisi telah menjadi bius yang mampu menghipnotis jutaan manusia secara perlahan-lahan tanpa disadari oleh manusia itu sendiri. Seluruh program acaranya telah menjadi pil yang mampu menawarkan ilusi-ilusi indah. Para produser pun telah berhasil meninabobokan kita, tertutama kawula mudanya.

Walaupun kita sudah mengetahuinya, tetapi tetap saja belum sadar. Generasi muda yang seharusnya mampu melawan proses pembodohan ini, ternyata telah terlena dengan tayangan-tayangan tersebut. Meminjam istilah Sigmund Freud, televisi adalah ilusi yang harus dimusnahkan! Karena dia telah menawarkan janji-janji palsu yang merusak identitas generasi muda.

Hal ini bukan menandakan bahwa televisi divonis seratus persen sebagai media yang tidak berguna. Sebenarnyanya banyak juga tayangan lain yang bermanfaat bahkan harus ditonton, semisal berita, liputan khusus (investigasi, buser, dll), discovery, national geographic, english learning, dan bedah tokoh. Lalu, bagaimana dengan tayangan-tayangan sampah yang tidak bermoral? Tinggalkan! Cari aktivitas lain yang bisa menghindarkan kita dari sekedar menonton program yang tidak berguna itu.

Sekarang, apa yang harus kita perbuat sebagai warga biasa? Tidak ada! Karena kita bukan direktur utama dari sebuah stasiun televisi, bukan produser pada sebuah program acara, dan bukan pula sutradara atau penulis skenario dalam proses pembuatan alur cerita film.

Yang bisa kita lakukan hanya meninggalkan produk mereka dan mencari produk lain yang lebih berkualitas. Tapi terkadang kita masih senang dengan produk yang kurang berkualitas tersebut. Karena produk yang kurang berkualitas biasanya malah lebih nikmat ditonton. Sekarang, kita hanya bisa memilih: Ingin menjadi budak televisi atau membebaskan diri dari perbudakan tersebut. Tulisan ini belum bisa memberikan solusi, tetapi hanya mengingatkan kembali apa yang telah kita perbuat dalam hidup ini. Karena hidup harus selalu direfleksikan!

Papringan, December 22, 2007

0 komentar: