13.20

Pelajar Miskin Korban Pendidikan!

Masa-masa pelajar adalah masa seorang anak sedang berada pada proses peralihan menuju dewasa. Hasrat untuk marah dan memberontak cukup besar. Stres di usia mereka sudah tidak asing lagi, bahkan ada yang sudah menjadi menu sehari-hari. Hanya gara-gara urusan sepele, seorang anak bisa melakukan tindakan yang tidak masuk akal, misal bunuh diri.

Pendidikan tidak kenal kaya dan miskin. Setiap orang berhak atas pendidikan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan seharusnya menjadi taman bermain. Di sinilah pelajar menemukan jati dirinya, mengenal teman, dan saling curhat. Namun apa yang terjadi di kenyataan sangatlah berbeda. Sekolah semakin menjadi jurang pemisah antara siswa yang kaya dan siswa yang miskin. Siswa kaya berada pada posisi aman, tetapi siswa miskin selalu menjadi korban pendanaan, baik biaya SPP, pembelian buku paket, study tour, dan iuran-iuran lainnya. Semua iuran atas nama pengembangan mutu sekolah dan anak didik.

Di koran harian, kita sering membaca berita kasus bunuh diri pelajar yang sebagian besar masalahnya terkait dengan pendanaan sekolah. Ada yang malu karena nunggak pembayaran SPP, iuran kelas, pembayaran LKS (Lembar Kerja Siswa), tidak ikut kegiatan wisata, dan lain sebagainya.

Kita masih ingat seorang pelajar SMP di Cipunegara, Subang, Jawa Barat, tewas gantung diri karena tidak naik kelas. Remaja bernama Cahyono ini hidup bersama adik dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek. Kondisi ekonomi mereka relatif pas-pasan, sehingga ketika menerima rapor dan dinyatakan tidak naik kelas, remaja yang berusia 14 tahun ini mengalami tekanan batin yang sangat berat. Diam-diam, ia memilih jalan pintas bunuh diri.

Kasus Cahyono pun ditemani oleh kejadian yang menimpa pelajar SMP di Tegal, Jawa Tengah. Hingga kini pelajar tersebut mengalami cacat mental permanen setelah diselamatkan dari usahanya bunuh diri dengan cara menggantung. Ia tak tahan menanggung malu lantaran tunggakkan SPP yang belum terbayarkan, sementara pihak sekolah terus menagih. Di Cianjur, Jawa Barat, seorang bocah SD bunuh diri setelah diledek teman-temannya karena orang tua tak mampu membiayai acara study tour.

Kasus lain juga terjadi pada hari Jum’at, 17 Juli 2005, di Cikiwul, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Warga sekitar dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seikat tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan ayahnya, alasan Vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah.

Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam SD Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jum’at (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar biaya ujian akhir nasional (UAN) sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Negeri Sanding IV Garut, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500.

Mencuatnya kasus-kasus bunuh diri di kalangan pelajar tentu sangat memprihatinkan. Sekolah ternyata telah menjadi ’’hantu’’ bagi anak-anak miskin. Sekolah begitu menakutkan seperti penjara, disiksa dan dibelakukan tidak manusiawi. Padahal seharusnya di sekolahlah anak bisa mendapatkan rasa aman dalam artian fisik maupun mental. Belum lagi anak-anak dibebankan kurikulum yang berat dan cara mengajar guru yang menekan atau terkadang merendahkan.

Belum lagi kekerasan-kekerasan lain yang melanda para pelajar tak berdosa. Kita lihat kasus pembunuhan Emilia "Yanti" Bareto (16 tahun) dan Agusta de Jesus (15 tahun). Kedua pelajar yang berkewarganegaraan Indonesia ini dibunuh oleh sekelompok orang di Dili-Timor Leste akhir Januari 2005 lalu. Pembunuhan serupa juga terjadi pada tiga anak pelajar di Poso, Sulawesi Tengah dan di Pasuruan Jawa Timur tahun 2007.

Kini, pendidikan semakin berani menyingkirkan anak-anak miskin. Kehadiran sekolah-sekolah berlabel serba ‘plus’ dan ‘IT’ alias Islam Termahal telah menjadi sederetan bukti bahwa sekolah telah benar-benar menyingkirkan anak miskin. Ternyata, pelajar miskin telah menjadi korban pendidikan!

0 komentar: