17.14

Wajah Yogyakarta Pascagempa

Hampir semua warga Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tahu kalau tiba-tiba pada Sabtu, 27 Mei 2006, pukul 5.54 (versi lain ada yang mengatakan 5.56) terjadi gempa tektonik dari Laut Selatan berkekuatan 5,9 skala Richter (versi Badan Meteorologi Universitas Gadjah Mada 6,2 skala Richter). Tanpa diduga, guncangan selama kurang lebih satu--dua menit itu langsung merobohkan ratusan rumah warga terutama di daerah Kabupaten Bantul.

Awalnya, warga sekitar mengatakan gempa itu berasal dari Gunung Merapi. Tetapi sebagian lain mengatakan gempa berasal dari arah pantai Selatan (Parangtritis). Akhirnya, warga yang dari selatan (Jalan Parangtritis) berlari menuju utara, dan yang dari utara (dekat Gunung Merapi) berlari ke selatan. Terjadilah keributan di tengah-tengah Kota Yogyakarta.


Warga menjadi kalut dan kacau. Semua kendaraan seketika itu banyak yang saling bertabrakan dan jatuh di jalanan karena guncangan gempa. Orang-orang yang berada dalam rumah, keluar menuju tanah lapang. Semua aktivitas terhenti.


Suasana mencekam dan teror psikologis menghantui warga. Menjadi suatu kewajaran karena baru kali ini gempa berkekuatan di atas 5,9 skala Richter menggoyang Kota Gudeg.


Suasana mencekam itu ditambah lagi dengan datangnya isu yang mengatakan akan datang tsunami. Orang-orang berteriak, "Ada air! Ada air!" Tetapi, itu hanyalah suara-suara tidak bertanggung jawab yang memperkeruh suasana.


Aliran listrik saat itu juga mati. Media koran tidak terdistribusikan dengan baik dan berita televisi tidak ada. Satu-satunya media yang menjadi pusat informasi adalah radio lokal Yogyakarta, Sonora FM.


Warga yang ingin menghubungi dan memberi informasi ke Sonora harus menggunakan telepon genggam. Itu pun tidak langsung nyambung, tersendat-sendat.


Warga menjadi trauma dengan gempa seperti ini, sehingga ketika mendengar suara mirip gempa langsung lari ke luar. Begitu seterusnya. Hal ini disebabkan adanya berita yang mengatakan akan ada gempa susulan.


Kondisi psikologis saat itu memang tidak baik. Bisa dikatakan gempa yang terjadi pada pagi hari itu adalah teror psikologis.


Kejadian ini memang tidak pernah diduga-duga. Sebenarnya, yang diperkirakan mengguncang Yogyakarta adalah Gunung Merapi. Tetapi, itulah alam, yang tidak bisa ditebak dengan tepat secara teoretis.


Pascagempa, Bupati Kabupaten Bantul, Idham Samawi, mengimbau seluruh warga Bantul dan DIY pada umumnya untuk tidur di luar rumah pada malam pertama pascabencana karena gempa susulan bisa terjadi tiba-tiba.


Warga harus selalu waspada dengan adanya gempa susulan. Secara teoretis, tsunami tidak akan terjadi.


Sebab, kalaupun terjadi, seharusnya 5--10 jam setelah gempa pagi harinya atau tsunami, akan ada gempa lebih kuat lagi dari gempa sebelumnya. Tetapi, kemungkinan kecil kalau ada gempa yang lebih besar. Ini berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi UGM.


Kondisi Yogyakarta rusak berat. Banyak bangunan yang roboh dan rata dengan tanah, terutama daerah Bantul. Sebab itu, semua lembaga pendidikan meliburkan diri. Bahkan, ada universitas yang akhirnya tidak melaksanakan ujian akhir semester lantaran kampusnya tidak layak lagi digunakan.


Warga di daerah Bantul banyak yang mengungsi ke daerah utara (Kota Yogyakarta dan Sleman). Bahkan, ada yang mengungsi ke daerah lain di luar DIY. Tindakan serupa pun dilakukan para pendatang, terutama mereka yang berstatus mahasiswa.


Banyak dari mereka yang akhirnya memutuskan balik ke kampung halaman. Alasannya, selain menghindar teror psikologis, kampus dipastikan libur. Sehingga tidak ada aktivitas lagi. Mungkin mereka berpikir, lebih baik pulang kampung saja daripada menjadi korban bencana.


Dari data terakhir, lebih 5.000 korban yang meninggal pascagempa tersebut. Sejak hari pertama, pihak televisi selalu memberitakan kejadian gempa tersebut.


Bantuan berbagai pihak berdatangan silih berganti. Banyak posko-posko yang didirikan baik oleh pemerintah, LSM, organisasi independen, ormas, orsospol, maupun warga sekitar. Di jalanan, banyak orang yang meminta-minta bantuan hanya untuk menyambung hidup mereka.


Mereka tak punya malu lagi, entah itu laki-laki maupun perempuan. Tujuan mereka hanya satu, bisa bertahan hidup.


Jalanan di daerah Yogyakarta menuju Bantul akhir-akhir ini menjadi padat. Orang lalu lalang untuk mengirim dana dan logistik ke daerah-daerah bencana.


Setiap rumah sakit selalu penuh dengan korban-korban jiwa. Toko-toko dan warung makan banyak yang tutup, sehingga bagi pendatang yang ingin mencari makan agak kesusahan. Harga bensin tiba-tiba naik hingga belasan ribu per liter, begitu juga dengan harga-harga barang lain.


Walaupun logistik selalu datang dari mana-mana, tetap saja masih ada daerah yang belum terjamah posko-posko bencana, terutama daerah pedalaman dan pelosok. Tim relawan kami (Posko Muhammadiyah) sangat kebingungan menangani hal ini.


Banyak hal yang belum tertangani, pendataan masih lemah, serta logistik yang keluar masuk belum tercatat dengan rapi. Karena masyarakat panik, akhirnya rumah mereka ditinggalkan begitu saja.


Banyak rumah yang kehilangan, baik itu perabotan dapur, alat-alat elektronik, sepeda motor, hingga ternak sapi dan kambing. Saat-saat yang mencekam inilah kesempatan menjarah dilancarkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.


Bahkan, di salah satu kampus di Yogyakarta, ada toko buku yang hancur dan akhirnya hampir semua bukunya dijarah warga sekitar. Tidak heran jika lagu ciptaan Ebit G. Ade menghiasi suasana ini, terutama bait lagu yang mengatakan, "masih ada tangan yang tega berbuat nista".


Ini wajah Daerah Istimewa Yogyakarta pascabencana. Perekonomian hancur dan warga harus kembali menata ulang kondisi bangunan tempat tinggalnya. Salah satu radio memberitakan untuk memulihkan kembali DIY membutuhkan waktu sekitar satu tahun.


Tak ada kata lain selain uluran bantuan saudara-saudara yang ada di Nusantara ini. Sekecil apa pun bentuk bantuan itu sangat berharga untuk membangun kembali salah satu daerah istimewa ini.


Pernah dimuat Harian Lampung Post, Kamis 8 Juni 2006

0 komentar: