Sebentar lagi, salah satu ortom Muhammadiyah berbasis pelajar dan remaja akan menghadapi perhelatan akbar bernama Muktamar yang ke-15 di
Organisasi yang sudah berumur 45 tahun sejak kelahirannya 18 Juli 1961 ini telah banyak melahirakan tokoh, potikus, ilmuwan, atau sekedar guru dan pendidik biasa. Namun lain dulu lain sekarang, IRM harus mencoba kembali merefleksikan eksistensi dirinya pada era sekarang dengan melihat apa yang telah diperbuat pada masa lalu sehingga bisa membuat sejarah pada masa yang akan datang. Era di mana, struktur sosial semakin mengekang keberadaan masyarakat sekitarnya. Lalu apa yang telah diperbuat oleh IRM selama ini? Siapa yang diperjuangkan? Dan siapa yang dilawan?
Pertanyaan di atas telah menggugah IRM khususnya para aktivis yang terlibat di dalamnya untuk bangun dan bangkit dari tidur panjangnya. Bangkit tidak sekedar diam dan melakukan aktivitas apa adanya. Tetapi bangkit untuk kembali membangun dan memperbaiki bangunan-bangunan yang selama ini sudah mulai rapuh. Kita mencoba mempertanyakan dan menguji ulang, masih relefankah strategi yang telah diperjuangkan IRM? Apa bangunan-bangunan yang perlu diperbaiki, dipertegas, dan dikokohkan? Meminjam istilah filsafat, apa epistemologi gerakan yang telah digunakan IRM selama ini?
Dari pertanyaan di atas, akan melahirkan pula pertanyaan, siapa basis yang akan diperjuangkan oleh IRM? Masih relevankah dasar-dasar gerakan dan AD/ART IRM? Bagaiaman dengan rutinitas program yang selama ini telah dijalani IRM, sesuaikah dengan maksud dan tujuan IRM atau malah semakin menjauh karena organisasi ini sangat besar tanpa ada kontrol?
Sejak era reformasi 1998, kondisi bangsa sudah mulai berubah. Dulu, perjuangan IPM (sebelum berganti menjadi IRM) masih di bawah tekanan pemerintah rezim orde baru. Karena itu, tidak banyak kebijakan yang bisa diperbuat oleh IRM, sehingga IRM hanya memiliki semboyan Tiga Tertib: Tertib Ibadah, Tertib Belajar, dan Tertib Organisasi. Kini, berbagai macam gerakan bisa berbuat dengan sebebas mungkin melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat. IRM pun harus kembali berpikir ulang, sudahkah gerakan yang berbasis pelajar ini memperjuangkan rakyatnya?
Kelahiran IRM tidak terlepas dari semakin banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berkembang sehingga Muhammadiyah sangat memerlukan organisasi pelajar untuk membentengi akidah para pelajar Muhammadiyah dari serangan orang-orang komunis pada saat dulu (1960-an). Karena itu, bukan menjadi perdebatan lagi kalau basis IRM adalah pelajar dan hingga kini pun tetap pelajar. Hanya saja namanya yang berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah karena desakan pemerintah saat itu, tahun 1992, untuk tidak boleh menggunakan kata “pelajar”.
Penulis kira, muktamar di
Dalam maksud dan tujuan IRM telah tertulis, “Terbentuknya remaja muslim yang berakhlak mulia dan berilmu dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhoi oleh Allah Subahanahu wata’ala.” Point utama gerakan IRM adalah mewujudkan remaja muslim yang berkahlak mulia dan berilmu. Jika ada sesuatu apa pun yang tidak mendukung untuk mewujudkan remaja yang berdedikasi ke arah akhlak mulia dan berilmu maka itu adalah musuh IRM. Sebagai contoh, jika televisi tidak menunjang ke arah akhlak mulia dan berilmu, maka televisi menjadi musuh IRM dan harus diperangi.
Mejadi pilihan yang tepat jika paradigma kesadaran kritis sebagai ruh gerakan IRM di era sekarang. Kesadaran kritis dimaknai sebagai bentuk kesadaran tertinggi di antara kesadaran naif dan kesadaran magis. Lalu, kaitannya dengan gerakan IRM apa? IRM sebagai gerakan berbasis pelajar harus sadar kalau anggotanya sekarang banyak menjadi korban pada segala aspek, baik pada aspek sosial, potilik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Pada aspek sosial, pelajar yang suka tawuran langsung divonis sebagai destroyer/perusak kenyamanan. Padahal para pemvonis itu tidak tahu apa yang melatarbelakangi tawuran itu terjadi. Di bidang politik, pelajar hanya berfungsi sebagai makanan empuk ideologi-ideologi politik tertentu. Mereka hanya dijadikan pelengkap kampanye dan rela berjam-jam di bawah panasnya terik matahari. Mengecat badannya sesuai dengan warna parpol yang disegani, dan mengganti suara motor dengan yang lebih nyaring. Berharap mereka mendapat hiburan, kaos oblong, dan uang sebagai pencuci mulut.
Pada ranah ekonomi, pelajar menjadi santapan empuk para kapitalis. Mereka hanya mementingkan keuntungan pribadi dan menjerumuskan pelajar dengan segala bentuk rayuan untuk membeli produk-produknya tanpa pandang bulu. Pada akhirnya, budaya konsumerisme dan pop menghantui kehidupan pelajar kapan pun dan di mana pun mereka berada. Apalagi sekarang sudah ada sarana media massa sebagai salah satu cara para kapitalis meracuni pelajar dengan berbagai propaganda dan kampanye produk.
Kesadaran kritis yang diciptakan tentunya harus dilakukan setahap demi setahap. Para aktivis yang terlibat di dalamnya tentu harus dipahamkan terlebih dahulu dengan paradigma yang sedang diusung. Jika tidak demikian, ditakutkan para aktivisnya menjadi latah dengan kata-kata ”kesadaran kritis” hingga akhirnya malah menjadi anti-kritis.
Pada akhirnya aksi/tindakan nyata merupakan langkah terakhir dari rangkaian tradisi kritis. Aksi merupakan bentuk keterlibatan yang sebenarnya dalam proses perubahan. IRM yang mewakili kaum pelajar harus menunjukkan sikap keberpihakannya dengan jelas. Keberpihakan itu tentunya tidak hanya dikerjakan oleh IRM sendirian, akan tetapi harus melibatkan semua komponen dalam suatu komunitas sosial yang memiliki tujuan yang sama. Misal, IRM bekerja sama dengan Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nadhatul Ulama (IPNU), dan LSM lain yang memiliki kepedulian terhadap dunia pelajar. Dengan demikian, gerakan IRM akan dipandang sebagai gerakan yang memiliki karakter visioner dan pelopor.
IRM kembali ke pelajar, kiranya menjadi pilihan yang tepat bagi IRM yang sedang mengusung paradigma kesadaran kritis. Pelajarlah umat yang akan dibela oleh IRM. Kesadaran kritis terkait erat dengan hubungan struktur sosial dan kebijakan pemerintah. Untuk itu, banyak agenda yang nanti harus diperbincangkan oleh IRM pada muktamar yang ke-15 nanti. Agenda yang perlu diperbincangkan adalah fokus basis Gerakan IRM: pelajar atau remaja, kebijakan-kebijakan terkait dengan permusyawaran dan struktur IRM, program-program yang akan diperbincangkan, serta profil kader IRM.
Menjadi hal yang perlu diagendakan pula, persoalan keroposnya nilai-nilai ideologi Muhammadiyah yang tertanam pada jiwa para aktivis IRM. Sudahkan mereka benar-benar memahami dan menjalankan khittah perjuangan Muhammadiyah? Karena itu, proses ideologisasi di tingkatan internal IRM perlu dimassifkan, mengingat ini juga yang menjadi agenda persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi induknya. Proses kaderisasi menjadi pilihan yang tepat. Pengkaderan Taruna Melati dari tingkat dasar hingga purna harus dioptimalkan sedemikian baik. Dari tingkatan pusat hingga ranting harus ada taruna melati. Karena, jika proses kaderisasinya mati maka tunggu saat kehancuran sebuah organisasi atau gerakan. Optimalisasi proses pengkaderan menjadi agenda penting yang sedang dijalankan oleh Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah periode sekarang.
Realitas ini tidak bisa dihindari atau ditinggalkan begitu saja. Muhammadiyah ke depan menjadi tanggungan generasi angkatan Muda sekarang. Hal yang lumrah ketika kaderisasi menjadi poin penting untuk segera digembar-gemborkan di segala level dari pusat hingga ranting. Bagaimana dengan IRM sekarang?
Ketua Kader PW IRM DIY
0 komentar:
Posting Komentar