Sutarno, pemuda asal Bacilen, Kajoran, Klaten Selatan, mengidap penyakit kaki gajah, elephantiasis. Kedua kakinya bengkak sebatas lutut. Bagian betis ke bawah besarnya hampir sama rata. Kalau sedang masuk angin kakinya yang sering dihinggapi cacing Filaria itu semakin membesar. Terkadang keluar lendir akibat beberapa luka di lipatan kaki. Setiap orang akan canggung jika melihatnya, apalagi mendekat.
Pada umurnya yang ke-51 tahun ini ia belum juga menikah. Setiap gadis yang akan dijodohkan selalu menolaknya, karena merasa tidak nyaman dan jijik. Ia memutuskan untuk tidak mencari pasangan hidup dan memilih hidup sendiri. Ia hanya pasrah kepada yang Maha Kuasa. Untung para kerabatnya selalu bergiliran mengirimkan makanan. Setiap pagi, jam 07.00-9.00 ia pergi ke sawah, bertani. Setelah itu ia kembali ke rumah untuk mengurus badannya. Dialah orang pertama kali ditemukan sebagai penderita kaki gajah untuk tahun ini, sebagaimana yang telah diberitakan di harian Jawa Pos, 29-30 Juni 2005.
Tak banyak orang yang mengenalnya, kecuali kerabat dan sanak familinya. Apalagi sampai prihatin dan bertandang ke rumahnya. Orang-orang yang jauh dari rumahnya bisa tahu karena koran asal Surabaya itu meliputnya selama dua edisi, Kamis dan Jum’at. Tak ada isak tangis, malu atau mengeluh pada dirinya. Termasuk saat ditemui oleh wartawan saat diwawancarai. Kalau rasa sakit iya, tetapi itu bukanlah satu-satunya halangan bagi dia untuk tetap melakukan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari dengan baik.
Hingga umur yang setengah abad itu ia tetap tegar dengan segala rintangan dan cobaan. Tidak ingin mencari jalan pintas yang berakibat fatal untuk menyelesaikan aibnya. Aib yang bagi orang lain bisa dianggap sangat menjijikkan. Bisa jadi, kalau orang lain yang sudah buntu pikirannya, sudah bunuh diri atau tidak mau bertemu dengan siapa pun.
Kita bisa melihat juga bagaimana sakit dan keluh kesahnya seorang ibu pada hitungan 9 bulan 10 hari, di saat mengandung si jabang bayi yang sudah berontak untuk berjumpa dengan dunia. Bisa jadi kelahiran si anak mengakibatkan ibunya meninggal atau harus dioperasi. Bagi kaum laki-laki atau para suami hanya bisa sekadar membayangkannya saja.
Setengah tahun yang lalu badai tsunami telah mengguncang bangsa ini. Membuat semua orang yang ada di dunia ikut merasa sakit dan prihatin akan musibah yang merenggut banyak nyawa. Badai itu tak kenal tua atau muda, beriman atau kafir, bangsawan atau rakyat biasa. Berbondong-dondong bantuan dalam bentuk uang dan barang mengalir, baik dari negeri sendiri maupun negeri orang. Semua merasa terpanggil dengan peristiwa yang terjadi pada 26 Desember 2004 itu. Di saat sebagian orang sedang menikmati weekend dengan indahnya pemandangan pantai.
Halaman koran dan media cetak selalu menghadirkan liputan berita kriminal: pembunuhan, perampokan, tabrakan, dan segala bentuk kriminalitas lainnya. Semuanya selalu saja membuat kerabat yang terkena bencana tak segan-segan menjerit, mengeluarkan air mata hingga meronta-ronta tak ada hentinya. Tapi apakah bagi kita yang enak-enakan dengan harta dan tahta bisa merasakan sakit mereka? Atau minimal dalam bentuk prihatin, sehingga ada keinginan untuk menyisihkan waktu dan harta bagi mereka?
Sakit bagi sebagian orang merupakan bagian hidup yang harus dijauhi, bahkan mendekat pun jangan. Mereka akan selalu waspada, apalagi bagi orang yang takut dengan datangnya kematian. Tetapi bagi sebagian yang lain sakit adalah rahmat, kasih sayang. Jika kita diberi sakit berarti Allah semakin sayang, sehingga kita akan terus-menerus bertasbih, bertahmid, dan bertakbir pada-Nya. Terkadang kita baru ingat berdzikir pada sang Pencipta di saat salah satu bagian tubuh merasa sakit atau dilanda musibah.
“Jika aku sakit maka Dialah yang akan menyembuhkanku.” Itulah salah satu arti ayat yang menjadi spirit bagi orang-orang sakit. Mereka berkeyakinan bahwa Allah pasti akan menyembuhkan penyakitnya. Dokter hanya sebagai motivator untuk proses penyembuhan sakitnya.
Bagi Sutarno, penyakit yang dideritanya itu merupakan salah satu bentuk ketegaran melawan hidup. Tidak ada kata pesimis baginya. Jika ditebak, mungkin Sutarno akan bilang,“Hidup itu berjalan apa adanya, mengapa mesti ditakuti? Toh, semua orang pasti akan menjemput ajalnya.”
Lalu, bagaimana dengan yang sehat? Tentunya harus lebih tegar dari apa yang di alami oleh Sutarno. Ketegaran untuk melawan hidup yang masih panjang. Jangan malas belajar karena tidak punya HP merk baru. Jangan tidak beribadah karena tidak ada baju baru. Tetapi berpikir, sudahkah saya bisa membahagiakan orang-orang terdekat atau malah membuat mereka sakit?
0 komentar:
Posting Komentar