14.13

Ketika Civitas Muhammadiyah Mengawal SK 149

Setelah membaca dan mencermati Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 149/KEP/1.0/B/2006 tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, penulis tertarik untuk memberikan komentar sekaligus penguat atas surat keputusan yang lebih dikenal dengan “SK 149”. Walaupun tulisan ini terkesan agak terlambat, tetapi untuk konteks dan kondisi sekarang persoalan SK 149 masih tetap relevan.

Kemunculan SK 149 tidak lain merupakan akumulasi dari keberadaan Muhammadiyah yang dari waktu ke waktu seperti buah apel yang “digerogoti” seekor ulat. Segala cara sudah dilakukan oleh Muhammadiyah untuk menyingkirkan ulat tersebut, toh tetap saja ulat itu menempel terus. Di setiap jajaran Muhammadiyah dari elit hingga grassroot pun membicarakan persoalan Muhammadiyah yang sedang menghadapi common enemy, yaitu masuknya “ideologi lain”. Ketika tokoh-tokoh Muhammadiyah berceramah atau berpidato di hadapan para kadernya, tak lain tema yang diangkat adalah persoalan “adanya ideologi lain”. Ketika cara-cara lembut sudah tidak berhasil dilakukan, maka lahirlah SK tersebut dengan bahasa yang sangat bijaksana, yaitu bahasa “konsolidasi”.

Kehadiran SK 149 patutlah disambut dengan penuh atusiasme dan krititsisme dari para kader, serta mengawal substansi SK tersebut dan mengimplementasikannya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit kepada jajaran Muhammadiyah yang paling bawah, Pimpinan Ranting. Karena di rantinglah, eksistensi Muhammadiyah kembali dipertanyaan. Jika rantingnya eksis, maka eksis pula Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya.

Catatan Penting dari SK 149
Ada beberapa hal catatan penting yang terdapat dalam SK 149. Pertama, poin yang berbunyi: “Bahwa Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang cukup tua dan besar sangat menghargai ukhuwah, kerjasama, toleransi, dan sikap saling menghormati dengan seluruh kekuatan/kelompok lain dalam masyarakat, lebih-lebih dengan sesama komponen Islam. Karena itu, Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak dan keabsahan untuk bebas dari segala campur-tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya”. (Menimbang: nomor 4).

Secara tersurat telah jelas, bahwa Muhammadiyah memiliki prinsip menghargai ukhuwah, kerjasama, toleransi, dan sikap saling menghormati terhadap organisasi manapun, bahkan dengan non-muslim sekalipun. Namun sikap toleransi Muhammadiyah itu harus ada timbal baliknya dari pihak yang telah diajak bersikap toleransi untuk juga kembali menghormati segala bentuk keputusan Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah sudah melaksanakan kewajibannya, saatnya Muhammadiyah pun mendapatkan haknya yang sama untuk tidak ada campur tangan, pengaruh, serta kepentingan dari pihak mana pun. Entah dari parpol, sesama ormas Islam, maupun dari non-Islam.

Kedua, Seluruh civitas (pimpinan, kader, anggota, karyawan, amal usaha, ortom, majelis/lembaga, kantor) Muhammadiyah wajib bebas dari paham, misi, infiltrasi, pengaruh, dan kepentingan dari mana pun yang dapat merugikan dan merusak persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan civitas Muhammadiyah harus bebas dari kepentingan partai politik mana pun termasuk partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik yang bersayap dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini berpijak pada Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Jika tidak ditetapkan demikian, maka amal usaha Muhammadiyah akan selalu dijadikan alat/lahan berdakwah dan melakukan kampanye politik sesuai dengan kepentingannya, serta terjadi perbedaan paham dalam melaksanakan hari raya Idul Fitri/Idul Adha seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

Ketiga, civitas Muhammadiyah dituntut untuk memiliki komitmen, integritas, serta loyalitas kepada persyarikatan sebagaimana yang tercermin dalam kepribadian Muhammadiyah. Karena itu, para kader Muhammadiyah baik pimpinan maupun anggota benar-benar mengamalkan dan menjalankan ajaran-ajaran (produk hukum) Muhammadiyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti Khittah Perjuangan, Muqoddimah Anggaran Dasar, Matan dan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, serta keputusan-keputusan resmi Muhammadiyah, termasuk SK 149.

Keempat, seluruh jajaran Muhammadiyah terutama ortom dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk segera melakukan penguatan gerakan dan ideologi dengan melakukan pembinaan-pembinaan dan bentuk-bentuk pengkaderan seperti Darul Arqom, Baitul Arqom, Taruna Melati, Tunas Melati, Up-Grading, Refreshing, pengajian-pengajian umum dan khusus, serta pengelolaan kegiatan-kegiatan masjid dan mushalla agar hidup kembali sesuai dengan ruh dan spirit perjuangan Muhammadiyah. Lebih tegas lagi, seluruh program ortom harus mengarah kepada bentuk-bentuk pengkaderan yang tentunya dengan segala inovasi dan kreasinya. Begitu juga dengan seluruh jajaran pimpinan dan karyawan AUM yang harus direvitalisasi paham bermuhammadiayahnya. Tentunya, program ini dijalankan oleh Majelis Pendidikan Kader (MPK) beserta jajaran majelis dan lembaga lainnya.

Dari keempat catatan di atas, pembaca (lebih-lebih pihak yang kurang/tidak sepakat) mungkin akan menilai bahwa Muhammadiyah terkesan tidak dinamis dan tidak toleran. Muhammadiyah akan dinilai eksklusif dan anti perubahan. Penilaian seperti itu dipersilahkan saja, asalkan dengan argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi jauh lebih penting ketika kita mendengarkan komentar Hassan Hanafi, bahwa ketika datang era ketertutupan maka keterbukaan adalah sebuah kemajuan. Begitu sebaliknya, ketika datang era keterbukaan maka sikap ketertutupan merupakan bentuk dari kemajuan.

Muhammadiyah lahir di era ketertutupan (1912), maka keterbukaan (konsep adanya ijtihad) adalah sikap awal Muhammadiyah berdiri dengan melawan segala bentuk kolonialisme, kemiskinan, dan anti TBC (Takhayul, Bid’ah, Khurafat). Karena itu, Muhammadiyah sering mendapat julukan ormas yang dinamis. Sekarang adalah era serba terbuka. Justru agar Muhammadiyah tetap konsisten dengan nilai-nilai kedinamisannya, maka Muhammadiyah mengambil sikap tertutup agar nilai-nilai yang dibangun oleh Muhammadiyah tetap bertahan di tengah ”perdagangan nilai-nilai” yang beragam. Di sinilah, Muhammadiyah justru sedang ingin konsisten dengan perjuangannya.

Kritik Terhadap AMM
Sementara organisasi induknya sedang hangat-hangatnya melawan segala infiltrasi dan kepentingan politik maupun ideologi lain, tetapi angkatan mudanya malah ingin mencoba terjun ke wilayah rawan yang sedang diperangi oleh induknya. Artinya, ketika Muhammadiyah sekarang sedang melawan segala bentuk kepentingan politik praktis dan datangnya ideologi dari berbagai bentuk, tetapi AMM-nya malah sangat “gandrung” dengan “politik praktis” konteks Muhammadiyah. Sebagai bukti, Kongres AMM di Yogyakarta tahun 2005 lalu merupakan bentuk dukung-mendukung terhadap calon ketua umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010. Muktamar di masing-masing AMM lebih terkesan politis. Substansi yang seharusnya dibicarakan seperti arah kebijakan masing-masing ortom, telah dilupakan. Tetapi bentuk-bentuk pemilihan ketua beserta jajarannya menjadi hal yang paling penting.

Belum lagi kelahiran partai yang muncul dari gagasan kaum Muda Muhammadiyah sebagai bentuk kekecewaan terhadap partai yang selama ini tidak mampu menampung aspirasi warga Muhammadiyah serta gagal menghantarkan kader Muhammadiyah untuk menjadi presiden RI. Namun, kondisi kontras perpolitikan yang terjadi di tubuh Muhammadiyah dan AMM tidak bisa terlepas dari perpolitikan bangsa yang juga semakin carut-marut.

Menjadi sebuah keharusan, bahwa AMM khususnya dan ortom pada umumnya untuk kembali meluruskan gerakannya sesuai dengan khittah perjuangan dan AD/ART-nya masing-masing. AMM juga harus mengindahkan apa yang sudah menjadi keputusan PP Muhammadiyah perihal SK 149 sebagaimana yang telah termuat dalam SM edisi no. 24 tahun ke-91/16-31 Desember 2006 halaman 34-35. Jika hal ini tidak diindahkan, maka nilai-nilai puritanisme dan kedinamisan Muhammadiyah harus kembali dipertanyakan ulang. Karena itu, civitas Muhammadiyah harus menghormati serta melaksanakan kebijakan yang terdapat dalam SK 149.

Saatnya untuk Mengawal
SK 149 bukan sekedar surat edaran yang hanya dibaca, bukan prasasti yang indah dipajang, bukan pula sederet tulisan yang hanya mengancam orang lain yang selama ini menggangu Muhammadiyah. Tetapi SK tersebut haruslah dipahami, dipelajari, hingga dikawal sampai pada tataran yang lebih konkrit. Dari Pimpinan Pusat hingga Pimpinan Ranting harus melakukan usaha-usaha pengkaderan dengan segala bentuknya. Hal ini berlaku juga untuk ortom dan AUM. Di setiap jajaran baik PP, PW, PD, PC, dan PR harus melakukan pengkaderan dengan konsep yang benar-benar sesuai dengan khittah perjuangannya.

Misal, IRM melakukan pengkaderan Taruna Melati dari pusat hingga ranting. IMM dengan Darul Arqom-nya, Pemuda dengan Tunas Melati-nya, serta NA, Aisyiah, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan. Jika hal ini dilakukan, kita benar-benar amanah atas SK 149. Tentunya, kita juga jangan terlalu terjebak untuk mengurus hal ini saja, hingga lupa persoalan lain yang lebih penting dan lebih menguntungkan persyarikatan. Selalu bijaklah dalam bertindak. Selamat berjuang Muhammadiyahku!

Ridho Al-Hamdi
Ketua PP IRM yang Membidangi Kaderisasi Periode 2006-2008

(Pernah dimuat di SM 2006)

0 komentar: