Hingga kini gerakan-gerakan pelajar yang mewakili kaum terdidik dengan seragam “abu-abu” dan “biru” masih belum mendapatkan tempat di masyarakat. Istilah abu-abu dan biru di sini adalah, mereka yang berstatus pelajar setingkat SMP dan SMA.
Tak sekedar itu saja, pada persoalan kebijakan publik (public policy) pun keberadaan mereka masih belum menjadi salah satu design maker. Sebut saja mereka yang termasuk kategori gerakan pelajar adalah Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU), dan gerakan-gerakan pelajar lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Selama ini anggapan umum mengatakan, bahwa pelajar merupakan klas sosial yang terpinggirkan dan belum dianggap sebagai pihak yang mampu memberikan kontribusi pemikiran, terlebih sebagai pengambil kebijakan. Pelajar selalu diposisikan sebagai anak kecil yang belum tahu apa-apa, lemah, inferior, kurang berpengalaman, egoistik, serta selalu melakukan perlawanan secara pribadi dan brutal.
Klas sosial yang dimaksud di sini adalah kelompok masyarakat tertentu di mana anggota masyarakat tersebut menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni mereka bekerja (budak) dan menghasilkan nilai lebih dan mereka yang tidak bekerja (majikan) mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya kepada klas menengah distributor, pemilik modal, dan lain sebagainya. Hematnya, klas sosial selalu mengindikasikan adanya ketimpangan posisi, majikan hampir selalu menjadi atasan dan budak hampir selalu menjadi bawahan.
Dalam konteks klas sosial tersebut, pelajar diposisikan sebagai budak dari ilmu pengetahuan. Pemerintah, sekolah, dan guru adalah pihak yang mengeruk keuntungan dari pelajar. Dalam sistem pendidikan kita, terdapat dua arus ketimpangan antara guru sebagai pengajar dan murid sebagai obyek yang diajarkan.
Guru mengajar, murid belajar. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru sebagai subyek dari proses belajar, murid menjadi obyeknya. Inilah model pendidikan “gaya bank” yang haru segera dihapuskan.
Anggapan-anggapan di atas itulah yang pada akhirnya tidak memberikan ruang kepada para pelajar untuk beraktualisasi terlebih dahulu. Pelajar seperti berada di dalam kastil. Orang luar mengatakan, “Wah, enaknya di dalam kastil”. Tetapi mereka yang berada di dalam kastil mengatakan “Betapa kami sangat tersiksa”. Ini sama halnya dengan pembunuhan secara perlahan-lahan terhadap kreativitas pelajar.
Banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap pelajar telah membuktikan betapa pelajar masih saja menjadi golongan tertindas yang tidak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi kejadian bunuh diri akibat persoalan yang sepele.
Kita masih ingat seorang pelajar SMP di Cipunegara, Subang, Jawa Barat, tewas gantung diri karena tidak naik kelas. Remaja bernama Cahyono ini hidup bersama adik dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek. Kondisi ekonomi mereka relatif pas-pasan, sehingga ketika menerima rapor dan dinyatakan tidak naik kelas, remaja yang berusia 14 tahun ini mengalami tekanan batin yang sangat berat. Diam-diam, ia memilih jalan pintas bunuh diri.
Kasus Cahyono pun ditemani oleh kejadian yang menimpa pelajar SMP di Tegal, Jawa Tengah. Pelajar tersebut mengalami cacat mental permanen setelah diselamatkan dari usaha bunuh dirinya dengan cara menggantung. Ia tak tahan menanggung malu lantaran tunggakkan SPP yang belum terbayarkan, sementara pihak sekolah terus menagih. Di Cianjur, Jawa Barat, seorang bocah SD bunuh diri setelah diledek teman-temannya karena orangtua tak mampu membiayai acara study tour.
Kasus lain terjadi juga (17/7/2005) di Cikiwul, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Warga sekitar dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seikat tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan ayahnya, alasan Vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah.
Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam SD Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jum’at (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar Biaya Ujian Akhir Nasional (UAN), kini UN, sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Negeri Sanding IV Garut, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500.
Kasus-kasus di atas cukup membuktikan bahwa pelajar masih tetap menjadi yang tertindas. Karena itu, saatnya gerakan pelajar bangkit dari keterpurukan yang selalu membayang-bayanginya. Deklarasikan, bahwa gerakan pelajar mampu bertindak dan berlaku secara mandiri, mampu berpikir dan mengambil keputusan secara tegas tanpa ada paksaan, serta menyatakan diri sebagai salah satu subyek perubahan dari realitas sosial yang timpang.
Tunjukkanlah bahwa ini adalah prinsip dari Gerakan Pelajar Transformatif! Mari kita berikrar sebagai kaum intelektual yang mampu melakukan perubahan. “Pelajar Berpihak, Maka Pelajar Ada!”. Artinya, keberadaan Gerakan Pelajar Transformatif dianggap ada jika telah melakukan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan dan hak-hak pelajar. Keberpihakn tersebut tentunya harus dilandasi pada proses kesadaran, kepekaan, kepedulian, dan aksi nyata. Sebaliknya, pelajar akan tetap dikatakan sebagai obyek jika tidak bisa melakukan apa-apa. Keberadaan kita dibuktikan dengan keberpihakan kita!
Inilah Manifesto Gerakan Pelajar Transformatif: Pelajar transformatif berdaulat demi cita-cita perubahan sosial. Menundukkan kedzaliman adalah tugas mulia kami. Menegakkan keadilan adalah misi suci kami. Berpihak pada kepentingan pelajar adalah kewajiban kami.
0 komentar:
Posting Komentar