11.41

Keikhlasan Cintanya

Pria itu berdiri di teras rumahnya saat pagi hari. Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Sambil olah raga kecil, ia tak henti-hentinya melihatku. Saat itu aku memang sedang berdiam diri di kamar, memikirkan tentang masalah keluargaku yang selalu ribut karena pertengkaran kecil.

Sorenya lelaki itu memperkenalkan dirinya kepadaku lewat adik sepupuku. Dari adik sepupuku itulah kuketahui namanya, Aman. Kesan pertamaku padanya, ia terlihat sombong, banyak tingkah, dan selalu menggoda wanita. Aku Nela, seorang wanita judes dan selalu berburuk sangka pada setiap lelaki. Kata ibu dan juga teman-temanku, aku orang yang tidak murah senyum, bawaannya selalu marah, dan mudah stres jika tidak mampu menyelesaikan sebuah masalah.
Tiap hari aku selalu serius belajar untuk meraih cita-citaku menjadi dokter. Hal ini disebabkan, dulu ayahku meninggal karena kanker yang tidak memiliki biaya untuk berobat. Dengan menjadi dokter, aku berharap bisa membantu rakyat kecil.
Hampir setiap hari Aman selalu mengganggu dan menggodaku, bahkan sering main ke rumah. Awalnya, keluargaku tidak suka dengan kehadiran Aman. Namun lambat laun kedatangan Aman membawa perubahan di rumahku. Suasana awal yang gaduh sekarang menjadi sedikit tenang. Dua tanteku yang dulu sering ribut, kini mulai saling berbaikan. Bibiku yang dulu ganjen menggoda lelaki, kini menjadi pendiam. Entah siapa Aman, aku tak pula mengenalnya lebih dekat. Yang kutahu, dia hanya seorang pendatang dan bertempat tinggal di samping rumahku.
Tidak kenal pagi, siang, atau malam, Aman selalu datang menggangguku. Mengajakku untuk selalu senyum, saling berbagi kesenangan, dan jangan mudah stres jika sedang menghadapi cobaan. Mula-mula aku cuek saja dengan sikapnya yang sok berbuat baik kepadaku.
Entah dapat kabar dari mana, Aman kenal dengan teman sekolahku, Adev. Kata ibuku, perkenalan Aman dan Adev terjadi ketika Adev main ke tempatku dan bertemu dengan Aman. Saat itu aku sedang tidak di rumah, tapi pergi ke tempat temanku.
Dari Adevlah, Aman mengetahui sifatku. Kebetulah Adev suka menulis catatan harian dan buku catatan itu dibaca oleh Aman seharian ketika maen ke rumah Adev. Kebetulan Adev tidak tahu kalau catatan hariannya dibaca Aman.
Adev sebenarnya sudah tahu banyak tentang jeleknya sifatku. Tetapi dia belum memiliki keberanian untuk merubah diriku. Dia hanya bisa memendamnya entah sampai kapan.
Aman mulai mengetahui siapa aku sebenarnya dan dia ingin segera merubahku.
***
“Hei Nel, maukah kau kuajak nonton film di bioskop?” ajak Aman penuh harap.
Awalnya aku tidak mau. Tapi karena Aman terus mendesak dan berharap padaku, aku tak kuasa menolak permintaannya.
Sejak saat itu aku mulai mengenal siapa sebenarnya Aman. Setelah nonton, aku diajaknya untuk jalan-jalan menyusuri jalan raya. Sedikit-dikit aku marah, tapi Aman mampu menenangkanku hingga kami pulang ke rumah.
Di minggu selanjutnya dia mengajakku jalan-jalan ke mall. Seperti biasa, karena Aman memaksa, aku tak kuasa menolakknya.
“Yang penting dia tidak berbuat hal yang macam-macam,” batinku.
Aku diajak jalan-jalan, makan di cafe, tertawa, maen time zone, dan lain sebagainya. Tak terasa seharian aku diajaknya bersenang-senang.
Di minggu-minggu selanjutnya dia pun terus selalu berusaha mendekatiku. Mengajakku untuk diperkenalkan ke dunia yang penuh dengan senyum. Aku mulai berpikir, mengapa dia kok ingin sekali mengajakku bermain ke sana-kemari. Apa dia tidak punya kerjaan yang lain?
Sebenarnya dia adalah seorang manager di perusahaan terkenal. Tapi dia tidak ingin aku mengetahui itu.
Orang tuaku dan juga sanak familiku mulai senang dengan kehadiran Aman. Selain membawa perubahan, kehadiran Aman membuat dagangan keluargaku menjadi laris. Awalnya, tokoku kalah saingan dengan toko depan rumah.
Sejak saat itu aku mulai tumbuh rasa empatik terhadap Aman. Dia adalah orang yang telah merubahku menuju dunia yang penuh senyum.
***
Ketika Aman tahu kalau aku menyukainya, dia malah berubah sikap kepadaku. Sikapnya tidak seceria seperti sebelum-sebelumnya. Dia agak menjauh dariku. Untuk beberapa hari, persahabatanku dengan Aman menjadi renggang. Aku gak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Padahal aku tahu, kalau dia memang cinta kepadaku. Hal ini kuketahui dari ibunya yang pernah berkata padaku.
“Nak, sejak Aman kenal dengan kamu sebenarnya dia sudah jatuh cinta kepadamu. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia katakan. Karena itulah dia menjauh darimu,” jelas Ibu Aman sambil meninggalkanku.
Di samping penjelasan ibunya, aku dapat kabar kalau Aman sebenarnya sudah menikah dengan seorang dokter sejak lama. Dia mendekatiku hanya karena ingin menyakiti hatiku saja. Mendengar kabar itu, aku menjadi benci terhadap Aman. Tetapi benci itu masih dibalut rasa cinta kepadanya, sehingga membuat hati ini terombang-ambing seperti kapas yang tak menentu ke mana arah yang akan kutuju.
Tiap hari aku menjadi semakin heran dengan sikap Aman. Dalam masa kekosonganku itu, Adev datang untuk menghiburku. Tiap hari dia berlagak seperti Aman. Menghibur, membuatku senang, dan mengajakku jalan-jalan persis seperti apa yang telah diperbuat oleh Aman kepadaku. Aku menjadi heran dengan sikap Adev yang berubah kepadaku.
Sejak saat itu pula aku mulai mengenal Adev lebih dekat. Hingga suatu saat Adev mengungkapkan rasa cintanya kepadaku. Namun aku belum bisa menjawab cintanya Adev lantaran hati ini masih ada rasa cinta untuk orang lain. Dengan pertimbangan dari diriku sendiri dan pertimbangan dari keluargaku, akhirnya aku harus memilih Adev untuk menjadi pacarku.
“Nak, Aman kan sudah menyakiti dan membohongi hatimu. Dia telah berniat jahat kepadamu. Ibu mulai sadar, kebaikan yang selama ini diperbuat Aman untuk keluarga kita hanya ingin membuat hatimu terluka,” pesan ibu.
Dengan pertimbangan itu, akhirnya aku memilih Adev menjadi pendamping cintaku.
Waktu telah lama berjalan, hingga aku menjadi orang yang semakin dewasa. Hari pertunanganku dengan Adev pun telah terlaksana. Tinggal menunggu hari untuk melaksanakan hari pernikahan.
Tiba-tiba, suatu hari aku mendengar Aman masuk rumah sakit. Kabar itu aku dengar dari wanita yang diaku oleh Aman sebagai istrinya.
“Hai, bukankah kamu istrinya Aman?” sapaku saat bertemu di toko baju.
“Istri Aman? Bukan. Ini suamiku bersamaku. Aman adalah teman baikku yang telah mempertemukan kami berdua hingga kami sudah bertunangan,” ucapnya yang saat itu bersama calon suaminya.
“Aman adalah dewa penolong dalam hidup kami,” tambahnya.
“Apa!!!” aku mendadak kaget dengar kabar itu.
“Anda siapa? Oh iya, sudah tahu kalau Aman sekarang ada di rumah sakit?”
Tanpa menghiraukan penjelasan wanita itu, aku langsung pegi dan mencari tempat sepi. Sedih, sakit, dan pedih hati ini telah dibohongi lagi.
Aku berlari mencari rumah sakit di mana Aman diperiksa. Setelah sampai di rumah sakit, Aman sudah tidak ada. Kata dokter, dia kabur dari sumah sakit. Aku pun lari mencari tempat sepi untuk berdiam diri.
Aman tidak ingin aku tahu kalau dirinya sakit. Dengan izin orang tuanya yang saat itu sedang menjaganya, Aman pergi dan mencariku hingga akhirnya mendapatiku di bawah pohon tempat biasa kami sering bertemu.
Aman menjelaskan kalau dirinya hanya sakit biasa. Tidak parah. Aman juga tetap membenarkan kalau dirinya sudah menikah dengan dokter yang kujumpai tadi.
“Nel, percayalah padaku. Aku sudah menikah sejak lama dan belum dikaruniai seorang anak. Perempuan yang kau temui itu hanya ingin membohongimu,” ungkap Aman meyakinkanku.
Aku hanya diam.
“Nel, ada seorang pria yang sangat mencintaimu. Dia sangat mengharapkan dirimu. Dialah adalah calon suamimu sendiri, Adev,” tambahnya.
Aku hanya diam tertunduk dan menangis. Aman pun memeluk dan menahanku untuk tidak menangis lagi.
Aku pun yakin dengan penjelasan Aman yang meledak-ledak.
Hingga hari pernihakanku tiba, aku tetap yakin kalau Aman memang telah menyakiti hatiku.
***
Beberapa hari setelah pernikahanku, aku mendapat kabar kalau Aman masuk ke rumah sakit lagi. Kelurgaku beserta Adev mendatangi rumah sakit di mana Aman diperiksa.
Di rumah sakit itulah semua rahasia Aman terbongkar. Ternyata Aman selama ini telah terserang penyakit jantung. Hidupnya tidak akan lama lagi. Soal dia sudah pernah menikah dengan seorang dokter adalah ungkapan bohong. Aman hanya ingin memperjuangkan Adev yang selama ini mencintaiku. Perubahan sikap Adev hingga ia berani menyatakan cintanya kepadaku adalah karena usaha keras Aman agar cinta Adev terbalas olehku.
Aman sebenarnya mencintaiku. Tapi cinta Aman tak ingin membuatku menjadi seorang janda. Karena cintanya yang amat besar itulah, Aman menginginkan aku menikah dengan Adev.
“Adev adalah nyata, sedang aku tidak,” pesan Aman saat di rumah sakit.
“Kau bodoh, Aman,” kesalku.
“Lama tak bertemu kau tampak gemuk, Nel,” ucap Aman kepadaku mengarahkan ke pembicaraan lain.
Kemudian aku lari keluar menahan isak tangisku yang tak tahan melihat betapa besar tulus cintanya kepadaku. Kuketahui, ternyata ucapan Aman itu untuk yang terakhir kalinya.
***
“Hatinya sangat tulus dan cintanya begitu ikhlas. Semua tak bisa dibayar dengan uang, Nak,” jelasku.
***
“Hei Bu, kenapa melamun?” anakku menoba membangunkanku dari lamunanku.
“Nak, itu tadi cerita tentang Aman yang telah membuat ibu tersenyum sebelum ibu menikah dengan ayahmu,” ceritaku pada anakku sambil ditemani Adev.
“Sekarang Aman di mana, Bu” tanya si Aman kecil anakku.
Aku beri nama Aman kepada anakku sebagai penghargaan atas keikhlasan cintanya kepadaku.
”Aman telah meninggal sejak di rumah sakit itu. Sekarang dia telah kembali ke pangkuan Tuhan.”
"Ibu beruntung bisa menikah dengan ayahmu. Ayahmu adalah suami sekaligus teman baik dalam hidup,” tambahku.

Di Sudut Tanya, 28 Oktober 2006

0 komentar: